Jia membuka kedua matanya, kemudian berulang kali mencoba memejamkan kembali mata, namun sia-sia. Pikirannya terus saja melayang pada Kevin.
"Apakah bocah itu tidur nyenyak setelah aku pergi?" gumamnya. Sambil menggeliat pelan di tempat tidur, matanya tertuju pada wajah lugu Leo yang ternyata tidur dengan pulas di sampingnya, membuat hatinya merana. Merasa adanya ikatan yang kuat, ia dengan perlahan mengusap lembut rambut Leo, meresapi perasaannya. Walaupun bukan ibu kandung, namun perasaan tersebut telah tumbuh sejak Jia merawat Leo semenjak bayi. Tak urung ia pun tersenyum sendu seraya berbisik pelan. 'Biar dunia mengatakan kamu bukan anakku, tapi kamu tetap mendapatkan posisi itu. Namun, hati Jia sulit menahan beban penuh kekecewaan akibat pengkhianatan suami dan pelayan pribadi. Perasaan ingin membalaskan dendam semakin membara sejak penglihatannya pulih. Di sela-sela pertarungan batin itu, dia merasa begitu dekat dengan Kevin. "Oh Tuhan, mengapa aku semakin condong pada Kevin?" gumam Jia seraya menengadah, menatap langit-langit kamar. Dengan mata terpejam, dia berusaha meresapi perasaan bimbang dan pilu yang menggelayuti dirinya. Keesokan harinya, setelah bersiap-siap untuk pulang, Jia merasa berdebar-debar ingin bertemu dengan Kevin. Semangat memenuhi hatinya, langkahnya tergesa-gesa menuju kamar bocah itu. Dalam perjalanannya, Jia mengayunkan tongkat sambil berpura-pura buta, menutupi identitas sebenarnya dan membuat orang-orang tak menaruh perhatian padanya. Sesampainya di kamar Kevin, Jia melihat bocah berusia 5 tahun itu tengah duduk di dekat jendela, asyik memperhatikan aktivitas di luar. Melihat hal itu, senyum manis pun terukir di bibir Jia. Jia melirik ke sekeliling dan melihat vas bunga di atas meja. Dengan cepat dan sengaja, tangannya menyenggol vas tersebut hingga jatuh dan pecah, menciptakan suara ribut yang cukup untuk mengalihkan perhatian Kevin. Begitu Kevin mendengar suara tersebut, matanya langsung mencari sumbernya. Ketika ia melihat Jia di dekat vas yang pecah, senyum sumringah terlukis di wajahnya. 'Ini dia, penyelamatku dari kejenuhan,' gumam Kevin dalam hati. Dengan semangat, ia bangkit dari duduknya dan berlari menghampiri Jia, lalu memeluknya erat. Kedatangan Jia benar-benar berhasil memperbaiki moodnya yang sedari tadi murung. Kevin kemudian melepaskan pelukannya dan menengadahkan wajah, sambil berkata. "Apakah Bibi tersesat lagi tadi?" Jia hanya tersenyum, melihat Kevin yang kini tampak lebih ceria. Lalu dia mengangguk, menikmati pelukan hangat dari bocah laki-laki berambut poni. “Semua anak bermain di luar, tapi mengapa kamu mengurung diri disini?” tuturnya seraya mengelus dagu Kevin. Kevin semakin menenggelamkan wajahnya, menyembunyikan air mata yang selama ini ditutupi dari orang lain. "Terima kasih, Bi. Karena datang dan menemani aku tidur," ucap Kevin dengan mata berkaca-kaca. Jia bisa merasakan betapa Kevin seperti anak-anak panti asuhan lainnya, sangat membutuhkan kasih sayang dan perhatian. "Tadi malam, Bibi sempat tersesat, tapi akhirnya mendengar suaramu." Mendengar itu, Kevin melepaskan pelukannya, lalu perlahan menghapus air mata yang menetes. Dia menggantikannya dengan senyuman termanis yang mampu dibuatnya. "Aku tahu Bibi hari ini pulang, aku pasti bakal merindukanmu, Bi," ujar Kevin dengan rasa haru. Jia terbangun pagi ini dengan perasaan berat, seolah ada bebannya yang tertumpu di dada. Hari ini, ia harus meninggalkan panti setelah acara ulang tahun Leo selesai. Ternyata, perasaan sedih akan perpisahan sementara ini juga menular pada Kevin, anak kecil yang dalam waktu singkat berhasil mencuri hatinya. "Kevin, apa kamu sedih kalau Bibi pulang?" tanya Jia dengan suara yang hampir tercekat. Kevin menundukkan kepalanya, lalu dengan jujur mengangguk. "Aku pasti sedih, Bibi. Kamu sangat baik kepadaku." Mendengar pengakuan Kevin, Jia tersenyum haru dan langsung memeluk tubuh mungil Kevin dengan erat. Namun, suara deheman tak tertahan dari seseorang yang baru saja masuk ke dalam ruangan berhasil memisahkan pelukan itu dengan spontan. Keduanya berusaha menahan tangis, sadar bahwa perpisahan itu takkan lama. “Ternyata kamu disini, Paman sudah mencarimu dari tadi.” Jia menghela nafas lega, sempat berpikir bahwa suara itu milik Liam. Namun, dia terkejut ketika seorang pria tampan masuk tanpa permisi, berbalik dan menoleh mencari tahu siapa yang datang mengganggunya. "Kamu tidak pernah dekat dengan orang asing selain aku dan ibu panti," ujarnya sambil mengamati interaksi antara Kevin dan Jia. Hubungan keduanya terlihat begitu dekat, dan entah mengapa Jia merasa senang menyaksikan pemandangan itu. Fokusnya tertuju pada Kevin yang tersenyum bahagia, dan hatinya yang awalnya sedih serta tidak tega meninggalkan bocah itu, mendadak berubah dalam waktu singkat. Jia yakin bahwa pria tampan pemilik mata elang itu mampu menggantikan kesunyian yang selama ini dirasakan Kevin. 'Dia bisa melindungi dan menyayangi Kevin selama aku tidak ada disini, dan mencari tahu perasaan apa itu antara aku dan Kevin,' gumam Jia dalam hati, pasti melakukan tes DNA dan semua pertanyaan akan terungkap setelah dia mengirimkan sampel rambut milik bocah itu. “Kamu sendirian saja?” “Ya, aku sendirian,” sahut Jia membuyarkan lamunannya. Jia berusaha tampak acuh, pura-pura tak menyadari bahwa pria itu diam-diam mengamatinya dengan seksama dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Hatinya berdebar kencang, menahan diri agar tak terlihat gugup. Dia merasa seperti tahanan yang diinterogasi polisi, berakting sebaik mungkin untuk terlihat natural. 'Apa dia curiga kalau aku tak buta?' gumam Jia dalam hati, mulai mewaspadai pria itu yang sepertinya tak sesederhana yang terlihat. Sean, dengan tangan terlipat di depan dada, melirik tajam ke arah Jia. "Kenapa aku merasa kamu tertarik pada Kevin?" selidiknya dengan nada curiga. Jia berpikir sejenak mencari jawaban logis agar pria itu tidak meragukan niatnya. “Memastikan keadaan Kevin baik-baik saja. Semalam dia sangat ketakutan, aku kebetulan ada disini dan mendengar erangannya.” Jia merasa lega pria di sebelahnya tidak lagi memberikan kecurigaan. Sean menggendong Kevin, mencium pipi beraroma segar bertubi-tubi, keakraban yang terlihat seperti ayah dan anak. “Wah, ternyata posisiku tergantikan,” seloroh Sean menatap Kevin, meminta agar bocah itu menjelaskan hal ini. “Paman nomor satu di hatiku, tidak ada yang meraih nomor itu.” “Dasar nakal.” Sean menarik pelan hidung mancung milik Kevin, bocah yang mampu membuatnya tertarik. Jia berusaha secepat mungkin meninggalkan kamar sebelum Liam menyadari kepergiannya. Dengan genggamannya pada tongkat yang hendak digunakan untuk pergi, ia bersiap melangkah. Tiba-tiba, suara Sean terdengar menahan langkahnya. "Aku belum tahu siapa namamu," ucap Sean. Mata Jia tak berani menoleh, namun suaranya meluncur tegas. "Jia." Lalu dengan langkah mantap, ia mengayunkan tongkatnya dan melangkah keluar dari pintu kamar, meninggalkan Sean di belakangnya. Jia berjalan menyusuri lorong-lorong, melewati beberapa pintu. Suasana tampak sunyi dan sepi, hampir semua penghuni beraktivitas di luar lapangan. Langkah Jia terhenti sejenak, menelan saliva seakan tersangkut di tenggorokannya. Sorot matanya fokus pada ranjau di depan, diam-diam memperhatikan sekitaran dengan seksama. ‘Ah, kembali mengujiku?’ Jia melangkah pasti tanpa keraguan menginjak lantai yang dipenuhi minyak, memerankan akting haruslah total. Tamara tersenyum sinis saat melihat sang rival berjalan di atas lantai yang licin karena minyak. Dalam hati, ia mengejek. 'Mau gimana lagi, kamu tak bisa menghindari ini, kan?' Tamara merasa puas, karena apapun hasil dari rencananya, pasti ada keuntungan yang ia peroleh. Jia pun tahu bahwa dirinya harus siap menerima risiko, entah dalam bentuk apapun, asalkan perannya sebagai wanita buta tetap bisa ia mainkan dengan baik. Pasrah, Jia membiarkan dirinya terhempas, yakin bahwa dia akan terjatuh. Namun, asumsinya terbukti salah saat merasakan sepasang tangan kokoh menopang tubuhnya agar tidak jatuh. Tamara mendengus kesal, alisnya berkerut dalam kekecewaan saat menyaksikan ada pria asing yang membantu Jia. 'Huh, kali ini dia lolos,' umpat Tamara dalam hati. Dibalik rasa kesal, Tamara pun mencari kesempatan untuk mengambil beberapa foto Jia dan pria asing tersebut, lalu mengirimkannya pada Liam. Senyum jahat terukir, Tamara berhasil mengirimkan beberapa foto dan pad kekasih gelapnya. Tamara tersenyum licik, menatap Jia dengan tatapan memandang rendah. "Aku ingin lihat bagaimana kamu bisa menghindari ini," gumamnya penuh rencana jahat sebelum berbalik dan melangkah meninggalkan persembunyiannya. Tepat ketika Jia terlihat hampir terjatuh, tiba-tiba Sean muncul dan berhasil menangkap tubuh lemahnya. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Sean dengan wajah penuh kekhawatiran, melepaskan pelukan dan menghadapkan tubuh Jia ke arahnya. Jia merasa hangat di dada bidang Sean, menenangkan hati yang berdebar kencang. Jia merasa jantungnya berdebar kencang, perasaan gugup mulai meliputi dirinya ketika pria tampan yang ia kenal memiliki mata tajam layaknya seekor elang tak datang tepat waktu untuk menolongnya saat hampir tergelincir di lantai licin penuh minyak. Dengan raut wajah lega, dia berucap. "Terima kasih." Pria itu hanya mengangguk singkat, lalu melambaikan tangannya di hadapan mata Jia. Ia tersenyum sinis, sadar bahwa Jia tak bisa melihat gerak tangannya itu. "Ah, aku lupa kalau kamu itu buta," ejeknya, dengan nada mencemooh yang membuat hati Jia sedikit tersentak, meskipun tetap bersyukur telah ditolong. Perhatian Sean teralihkan ke arah lantai, begitu banyak minyak. “Kenapa bisa lantai ketumpahan minyak?” gumamnya tampak menyelidik. Plak Jia merasa pipinya panas dan perih begitu tamparan keras mendarat di wajah mulusnya. Dia terkejut, ini adalah kali pertama Liam mengangkat tangan padanya. Sebelum air mata tumpah, Jia langsung mengalihkan pandangan sambil mengusap pipinya, berusaha menahan emosi yang hampir meluap. "Apa kesalahanku?" Suaranya hampir tercekat. Dia ingin sekali menegur Liam, tapi di saat yang sama, Jia teringat jika dia harus berpura-pura lemah agar diremehkan oleh musuh yang mungkin mengintainya. Liam, menyadari ekspresi Jia yang terluka, merasa tidak ada penyesalan di matanya. Walau begitu, dia membuang muka dan menahan keinginannya untuk mencekik perempuan buta yang berdiri di hadapannya. Mungkin dengan cara ini, dia dapat menegaskan Jia untuk tidak dekat dengan pria asing selain dirinya. "Itulah sebabnya kamu menghilang, agar bisa bermesraan dengan pemilik yayasan ini," Liam membentak, matanya menyala dengan kecemburuan. Sejak mendapatkan informasi dari ibu panti tentang sosok asing bernama Sean, Liam sadar bahwa pria tersebut bukanlah lawan yang mudah. Apalagi ketika dia melihat simpati pria itu terhadap istrinya. Tanpa disadari, kecemburuan meluap, membuat tangannya menampar pipi mulus istri yang tak bersalah di hadapannya. "Aku tidak percaya padamu!" serunya penuh emosi. "Bermesraan?" Jia terkejut sambil memicingkan matanya, mencoba memahami situasi yang kini tengah dihadapi akibat ulah pelayan pribadinya. "Ya, seseorang mengirimkan foto kemesraanmu yang menjijikkan itu," cetus Liam dengan nada mencemooh. "Dia menolongku. Ada tumpahan minyak di lantai." Jia menangkap ekspresi Tamara tersenyum.Jia menggenggam erat tongkat di tangannya, ekspresi wajahnya memancarkan kemarahan yang tak tertahankan. Matanya menatap tajam ke arah Tamara yang tersenyum menikmati drama yang baru saja dimulai. Panas membakar pipinya karena tamparan Liam yang bahkan lebih menyakitkan dari pukulan tongkat yang sedang ia genggam. Dalam hati, Jia berkata. 'Pria asing malah membantuku, sementara Liam dengan seenaknya berselingkuh dengan pelayan pribadiku!' Dia merasakan ketidakadilan yang tak terukur, lalu merenungkan hukuman yang setimpal bagi kedua pengkhianat di hadapannya.“Jawab Jia?!” bentak Liam. “Apa yang seharusnya aku jawab? Pria itu menolongku.” “Benarkah?” “Aku dengar di panti asuhan ini memiliki cctv. Kenapa tidak kamu cek saja, dan lihat kebenarannya.” Jia tak ingin terjebak dalam pertengkaran yang dipicu oleh kecemburuan suaminya. Dengan berat hati, ia melangkah pergi sambil menggenggam erat tongkat penuntun jalannya. Setiap langkah yang diambil, keluhan mengenai suaminya yang aneh
"Sayang, aku pernah membahas tentang Muni?" tanya Jia dengan penuh keingintahuan, wajahnya nampak serius. Liam mengerutkan kening, mencoba mengingat apakah pernah mendengar nama tersebut sebelumnya. Muni? Sepertinya mengingat nama yang sempat mereka bahas sebelumnya. Liam mulai merasa curiga. Jia ini kenal dari mana dengan Muni? Tetapi kemudian Liam berusaha mengalihkan pikiran itu. Baginya, yang penting adalah menyenangkan hati Tamara dan Jia bersamaan. "Muni?" tanyanya. "Oh, perkenalkan, dia itu temanku. Seorang wanita miskin yang tinggal di sekitar sini. Punya anak perempuan seusia Leo." Jia menjelaskan, berharap bisa meyakinkan Liam. Dia tahu, dalam perjuangan membalas dendam, Jia membutuhkan sekutu. Dan Muni mungkin bisa menjadi kunci kesuksesan dalam misi mereka. ‘Bagaimanapun caranya, Muni harus menjadi pelayan disini,’ batin Jia berharap Liam memberikan izin. “Sayang,” ucap Jia pelan sembari meyakinkan suaminya. “Di rumah sebesar ini, Tamara mengerjakan pekerjaan
Jia melangkah mondar-mandir di depan pintu rumah, rasa gelisah tak terbendung saat menunggu kurir yang akan menyerahkan hasil tes DNA."Seharusnya sudah datang," gumamnya dalam hati. Tiba-tiba bell pintu berbunyi, menandakan kedatangan seseorang. Dengan langkah sigap dan penuh semangat, Jia membuka pintu dan menemui orang suruhannya yang ditunggu-tunggu. Senyum sumringah merekah di wajah Jia saat melihat kurir tersebut datang sambil membawa kabar yang ditunggu.Jia merasa ada perasaan aneh yang terus mengganggu pikirannya, seperti ada magnet yang menarik dirinya kepada seorang bocah laki-laki di panti asuhan. Anak kecil berwajah polos yang kerap menghiasi mimpi-mimpinya. Ia percaya, intuisi seorang ibu adalah sesuatu yang luar biasa, punya kemampuan untuk menghubungkan hati seorang ibu dengan anak kandung.Perasaan ini terlalu kuat untuk diabaikan dan membuat Jia ingin membuktikannya. "Apakah dia memang anakku?" gumam Jia lirih, menatap wajah bocah tersebut dalam foto, yang diambiln
Jia merasa jantungnya berdegup kencang, menahan rasa panik yang mulai merayapi pikirannya. Hampir saja ia ketahuan oleh suaminya mengenai perihal tes DNA yang diam-diam ia jalani. Untungnya, hasil tes tersebut dikirim melalui pesan singkat khusus yang hanya bisa dibaca sekali, lalu menghilang tanpa meninggalkan jejak.Sambil mencoba mengendalikan perasaannya, Jia menoleh ke sumber suara yang datang dari suaminya. Ia tersenyum tipis, berusaha menutupi kegugupan yang tengah menghantui. Dengan mengayunkan tongkat menuntunnya, Jia bergerak perlahan menuju pintu kamar sambil meraba apa saja di sekitarannya. Hingga tiba-tiba, Liam menarik tangan Jia, mengajaknya datang lebih cepat dalam dekapannya yang hangat. “Sayang, aku mencarimu.” Liam memeluk istrinya beberapa detik, lalu melepaskannya. Menatap wajah, terutama fokusnya berpusat pada sepasang manik mata indah, yang sayangnya tidak bisa melihat. “Sedang apa di kamar?” tanyanya dengan nada curiga. Jia mengambil kesempatan itu kala melih
Jia diam-diam menghela nafas, mengecewakan hatinya. Lelaki yang berdiri di dekatnya bukanlah Liam seperti yang ia harapkan. Ia tersenyum paksa, berusaha menyembunyikan rasa kecewanya.Lelaki tersebut berdiri tegak, memegang sebelah tangan Kevin yang enggan dilepaskan, dan sebelah lainnya memegang tongkat penuntun jalan.Tatapan tajamnya seperti elang pemangsa menerawang ke arah Jia, membuat detak jantungnya semakin kencang. Merasa dicurigai seseorang, Jia pun semakin waspada, tangannya berkeringat dan kepala terasa berdenyut. 'Apakah dia akan tahu kalau aku tidak buta?' bisik Jia pelan dalam hati.Jia menggenggam erat tongkatnya, pandangan lurus kedepan yang kosong sekali lagi membuat penyamarannya sebagai wanita buta berhasil. "Pa-paman?" seru Kevin bersemangat, melepaskan pegangan tangan Jia dengan cepat, dan beralih pada pria berparas tampan di hadapan mereka. Kedua matanya bersinar penuh antusiasme. Jia terkesiap dengan aksi Kevin yang langsung akrab dengan pria yang disapa pama
“Muni, dimana Leo?” tanya Jia yang baru saja sampai, datang menghampiri tangan kanannya.“Dia berada di sebelah sana, bersama Cici.” Tunjuk Muni mengarahkan tangannya ke arah dua bocah yang duduk di kursi santai. Jia tersenyum tipis melihat Leo mulai akrab dengan Cici, seolah tak mau kehilangan sosok yang selama ini ada bersamanya. Dalam hati, ia merasa lega sekaligus berterima kasih pada Cici yang telah mengurangi beban pikiran akan keberadaannya. Secara perlahan, Jia mendekati Leo dan Cici, matanya berkaca-kaca. Dia pun dengan hati-hati memeluk erat tubuh beraroma segar itu dari belakang, lalu mengecup pipi Leo yang sedang merajuk. “Maaf, Mama datang terlambat.” Bisik Jia lembut, melepaskan pelukan dan memberikan mainan mobil-mobilan yang menggunakan remot kontrol sebagai ungkapan permintaan maafSungguh, walaupun Leo bukanlah anak kandungnya, tapi ikatan diantara mereka cukup memiliki pondasi yang kuat. “Mama kemana saja? Aku bosan menunggu!” Leo cemberut membuang wajah, enggan
"Beraninya mereka," umpat kesal Tamara, tangan bergetar saat ia membanting pintu kamar dengan keras, menciptakan gemuruh yang menggambarkan kemarahan memuncak di dalam dirinya. Dalam hati, dia mulai meragukan setiap perkataan manis yang pernah diucapkan Liam kepadanya. Menjadi pasangan Liam di ranjang ternyata tidak cukup membuat pria itu puas. Mata Tamara merah padam, air mata yang menggenang mulai turun perlahan melintasi pipi, menetes hingga ke dagu. Kesedihan dan amarah berbaur di benaknya saat ingat suara desahan kenikmatan yang terdengar dari mulut Jia tadi. Emosi yang bercampur aduk itu benar-benar sulit ditoleransi lagi. Dia bergumam dengan lirih. "Sampai kapan harus merasakan sakit hati seperti ini?"“Laki-laki pembohong!” pekik Tamara bergegas mengambil vas bunga dan melemparkannya tepat mengenai cermin rias, melampiaskan rasa yang menyesak di hati. Tak puas hanya dengan itu, Tamara kemudian melihat sebuah bantal yang tergeletak di atas ranjang. Bantal tersebut seolah-ola
Jia perlahan membuka matanya, pandangan matanya menyusuri sekeliling ruangan yang terasa asing baginya. Dia mengerang kesakitan di bagian punggung, sambil berusaha mengingat apa yang telah terjadi pada dirinya. Suatu ingatan muncul di benaknya, seseorang tiba-tiba menyerang dan memukul punggungnya dengan keras. Lalu, di tengah-tengah kabut kesadaran, ada orang yang datang bagaikan pahlawan kesiangan, berusaha menyelamatkan dari bahaya yang mengintai.“Sean.” Jia tersentak kaget setelah mengenali siapa penyelamatnya, seorang pria menyebalkan di panti asuhan. “Ah, akhirnya kamu bangun juga.” Suara familiar membuat jantung Jia berdegup kencang, dia terkejut dan berusaha untuk tidak menunjukkan kemampuannya melihat. Langkah sepatu yang baru saja memasuki bangsal, mendekatinya dengan membawa seikat bunga mawar putih.'Bunga mawar putih? Mungkin saja kebetulan,' gumam Jia dalam hati, melirik bunga kesukaannya dengan rasa haru. "Aku membawanya untukmu." Sean memberikan buket mawar putih d
Jia merasakan tatapan yang tak nyaman dari salah seorang tamu, seakan mata itu berusaha menembus ruang personalnya. Dia tak tahan lagi. Dengan langkah berat, dia berdiri, menarik napas dalam-dalam seolah mengumpulkan keberanian. Jari-jarinya bergetar sedikit saat meletakkan sendok dan garpu dengan hati-hati di samping piring. "Maaf, saya harus segera pergi," ucapnya dengan suara rendah, mencoba menyembunyikan ketidaknyamanannya. Pesta makan malam itu kini terasa seperti sebuah medan pertempuran bagi Jia.“Aku sudah kenyang.” Jia berlalu pergi, mulai mengayunkan tongkat penuntun jalan menuju ke kamarnya. Senyum tipis menghiasi wajahnya saat mata Jia yang terkesan terburu-buru meninggalkan meja makan, dengan piringnya yang masih berisi setengah makanannya. Sean menatapnya penuh ketertarikan yang tak kunjung mendapat perhatian. "Aku sudah kenyang, saya ingin istirahat dulu!" ujarnya tegas, bangkit dari kursi dan berjalan dengan langkah sengaja memutar agar bisa bertemu dengan Jia di l
Jia semakin resah akan keberadaan Sean di rumahnya, apalagi kakek Wijaya yang memberikan restu atas kehadiran pria itu. Setiap sudut rumah terasa sumpek, hatinya tidak bisa tenang karena merasa terusik. "Apa yang membuat kakek percaya padanya? Apakah dia lebih baik daripada orang lain yang pernah ada di hidupnya?" gumam Jia yang bermonolog.Di dapur, Jia bolak-balik memikirkan cara untuk mengusir Sean dari rumahnya. Tak tahan merasakan ketidaknyamanan ini. 'Aku harus mencari cara agar dia pergi, aku tidak ingin kehilangan kenyamanan hidupku sendiri gara-gara pria ini,' batin Jia dengan penuh keputusasaan. Tapi, di satu sisi, ada perasaan yang masih tertahan, karena ia tidak ingin mengecewakan kakek Wijaya. Harus ada jalan keluar yang dapat memuaskan semua pihak, termasuk hatinya sendiri yang penuh kebimbangan.Setelah sekian lama larut dalam lamunan, Jia memutuskan untuk pergi dari dapur dan memberi ruang bagi Murni untuk bekerja menyiapkan hidangan tamu nanti. "Ah, sudah cukup m
Jia merasa tidak sanggup menerima keinginan kakek Wijaya yang mendesaknya untuk segera melahirkan seorang cicit.Dalam hatinya, dia bertanya-tanya mengapa Liam, sang suami, justru mendukung keputusan sang kakek yang membuatnya begitu terbebani. "Apa yang mereka pikirkan? Apakah mereka tidak memikirkan perasaanku sama sekali?" gumam Jia bermonolog, berperang antara pikiran dan juga hatinya. Perasaan jijik kembali muncul saat Jia mengingat bagaimana Liam telah mengkhianatinya dengan asisten rumah tangga. Bayang-bayang kenangan itu membuat hatinya semakin sulit menerima kenyataan bahwa dia harus berhubungan intim dengan pria yang telah merusak kepercayaannya itu."Bagaimana mungkin aku bisa melupakan pengkhianatan Liam? Apakah aku bisa menerima anak dari hubungan kami yang ternoda oleh pengkhianatan?" Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggelayuti pikiran Jia, membuatnya semakin terpuruk dalam keputusasaan.Jia berjalan mondar-mandir dalam ruangannya, langkah kakinya menggema rasa kece
Jia segera menetralkan perasaannya, sengaja berdehem menutupi wajahnya yang merona seperti udang rebus. “Kembali ke pembahasan awal.”Sean kembali duduk di kursinya, raut wajahnya mengeras saat menyerap setiap kata yang dilontarkan Jia tentang kecurigaan yang menggantung di udara. Keningnya berkerut, mata menerawang mencoba memecahkan teka-teki sikap Liam terhadap Jia. Dua kemungkinan muncul, menggelitik benaknya. Liam, suami yang mencari pelabuhan akhir setelah dihempas badai, atau Liam yang memiliki rencana gelap tersembunyi, kemungkinan yang paling mengkhawatirkan adalah Jia telah membaca gerak-geriknya.“Aku belum bisa memastikannya, informasikan apapun mengenai tindakan pria itu setiap kali kamu curiga!”Jia menarik napas lega, perasaan cemas yang sempat merayapi pikirannya kini mulai mencair. Dalam keheningan ruangan, dia bisa mendengar detak jam tangannya yang seperti berbisik.'Waktunya aku pergi!'Sean, dengan ekspresi yang tegang, melirik jam tangan yang melilit pergelanga
"Kamu gila ya?" teriak Jia, matanya membulat penuh kejutan melihat Sean bekerja dengan kecepatan yang tak terduga. Sean, dalam panik, segera menempatkan tangannya di mulut Jia, mata mereka saling berpandangan sejenak sebelum dia melirik ke sekitar, memastikan tak ada yang memperhatikan mereka.“Apa kamu ingin mengundang suamimu kesini?” bisik Sean. Jia terdiam, menganggukkan kepala diiringi panik takut mengundang perhatian dari Liam. Mulutnya yang dibungkam perlahan melonggar, terdengar helaan nafas lega saat semuanya masih di genggaman. “Aku begitu baik, menyiapkan surat perceraian mu. Jangan lupa ditandatangani surat itu?!” Sean tersenyum sinis sambil berlalu pergi, sosoknya yang tampan dan berkuasa itu terselip bayangan gelap saat menemui istri orang secara sembunyi-sembunyi. Jia memperhatikannya dari balik tirai, jantungnya berdebar, bimbang antara rasa kagum dan kecewa. "Apakah dia lelaki sejati? Atau pria naif yang rela menunggu aku hingga berstatus janda?" bisiknya pada d
Hari-hari berlalu seperti kilat, tanpa terasa sudah tiga hari berlalu sejak Tamara pergi. Dari balik railing lantai atas, Jia mengamati Liam. Tangannya meremas-remas ujung bajunya, perasaan cemas bercampur iba menyelimuti. Wajah Liam yang murung terpampang jelas, seolah tiap detik kehilangan lebih berat sejak Tamara meninggal. Jia menarik napas dalam, menahan pilu yang membara.Rasa geram bercampur amarah melihat perubahan yang cukup besar bagi suaminya, dan selama itu pula Liam tidak mengucapkan sepatah katapun. Jia menengadahkan kepala, menatap langit-langit ruangan itu diiringi helaan nafas. “Wow Tamara, pengaruhmu begitu kuat. Liam seperti mayat hidup, ajaklah dia juga ke alam baka.” Jia menyalahkan Tamara, benar-benar di buat geleng kepala atas sikap suaminya yang berubah drastis. “Sampai sekarang dia tidak mencari keberadaan Leo. Bukan saja menjadi suami tidak baik, justru pria itu juga ayah yang buruk.” Jia menarik napas dalam-dalam dan perlahan melepaskannya, mencoba mer
Jia menarik Kevin dan Leo ke pelukannya, matanya berkaca-kaca saat melingkari tubuh keduanya. Kegembiraan tak terukur merasuki hatinya saat keduanya melekat di dada, kehangatan yang begitu berharga. Tapi ketika memandang Leo, kehangatan itu perlahan dipadukan dengan rasa bersalah yang mendalam. Menyadari bahwa merebut Leo dari pelukan ayahnya, Liam, bukan pilihan yang sepenuhnya benar. Namun, melihat betapa Liam telah lebih memilih Tamara daripada keluarga yang sudah dibangun bersama, memicu keputusan tegas di hati Jia. Bagi Jia, mengambil Leo bukan hanya melindungi putra kecilnya dari ketidakstabilan ayahnya, tetapi juga sebagai sanksi tegas untuk Liam, sebuah pembayaran untuk pengkhianatan yang menyakitkan itu.‘Liam, kamu merenggut kebahagiaanku. Aku pun begitu, merenggut anak kesayangmu!’ batin Jia sembari membelau wajah Leo dengan lembut sambil menarik sebelah sudut bibirnya ke atas. Jia melangkah dengan tenang, wajahnya tegar saat ia mengajak Leo dan Kevin ke sebuah tempat y
Mobil berhenti di sebuah halaman luas, terdapat bangunan mewah di tengah-tengah. Bangunan yang mirip seperti istana, memiliki arsitektur klasik eropa berwarna. Rumah yang berdiri kokoh membuat Jia terpana, hampir terbuai dengan pemandangan yang menakjubkan terbentang di hadapan mata. “Kenapa diam saja? Ayo masuk, anggap rumah sendiri.” Sean berjalan lebih dulu, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, tampak berkharisma seperti pemimpin sejati. “Tunggu dulu!” Suara Jia berhasil mencegat langkah Sean, dia menoleh dengan kening yang berkerut. “Ada apa?” Keraguan Jia pada Sean yang membawanya ke rumah mewah, pikirannya tidak akan tenang sebelum menemukan Leo. Dia menghampiri Sean, langkah cepat tak membutuhkan waktu lama. “Kenapa kita kesini? Bukankah kamu ingin mempertemukan aku dengan Leo?!” protes Jia sedikit kesal, tanpa mendengarkan maksud Sean, langsung menudingnya berbohong. Tatapan nyalang tak melepaskan Sean dari pandangannya, berkacak pinggang menentang untuk me
Liam melangkah tergesa-gesa memasuki lokasi yang sudah Jia sebutkan sebelumnya. Ketegangan terasa menggantung di udara. Dengan nafas yang tercekat, ia mendapati Tamara tergeletak bergelimang darah di tengah jalanan sepi, tubuhnya penuh luka dan darah yang bercucuran.Wajah Tamara pucat pasi, napasnya tersengal-sengal seakan tiap helaan adalah yang terakhir. Mata Liam memerah, dadanya bergemuruh kesal dan dada Tamara naik turun tak beraturan. Rasa panik menyelinap memenuhi isi pikiran dan hatinya, melihat kekasihnya tak berdaya. “Tamara … Tamara, apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini?” Liam meletakkan kepala Tamara di atas pangkuannya, sangat khawatir hingga lupa memanggil ambulans. Tamara terbaring lemah, tak mampu bergerak ataupun berbicara, tetapi matanya tajam menatap ke arah Jia yang berdiri di belkang Liam sambil menatapnya tanpa dosa. Kilatan kemarahan nyata terpancar dari sorot mata Tamara yang memerah, sementara tubuhnya hanya bisa terkulai tanpa daya di atas aspal pan