Jia menggenggam erat tongkat di tangannya, ekspresi wajahnya memancarkan kemarahan yang tak tertahankan. Matanya menatap tajam ke arah Tamara yang tersenyum menikmati drama yang baru saja dimulai. Panas membakar pipinya karena tamparan Liam yang bahkan lebih menyakitkan dari pukulan tongkat yang sedang ia genggam.
Dalam hati, Jia berkata. 'Pria asing malah membantuku, sementara Liam dengan seenaknya berselingkuh dengan pelayan pribadiku!' Dia merasakan ketidakadilan yang tak terukur, lalu merenungkan hukuman yang setimpal bagi kedua pengkhianat di hadapannya. “Jawab Jia?!” bentak Liam. “Apa yang seharusnya aku jawab? Pria itu menolongku.” “Benarkah?” “Aku dengar di panti asuhan ini memiliki cctv. Kenapa tidak kamu cek saja, dan lihat kebenarannya.” Jia tak ingin terjebak dalam pertengkaran yang dipicu oleh kecemburuan suaminya. Dengan berat hati, ia melangkah pergi sambil menggenggam erat tongkat penuntun jalannya. Setiap langkah yang diambil, keluhan mengenai suaminya yang aneh terus terlontar dari bibirnya. Sementara itu, semua anak panti berkumpul di halaman, mata mereka mengikuti kepergian Jia dan keluarga yang baru saja memberikan hiburan serta bingkisan sebagai kenang-kenangan yang pasti amat berguna bagi mereka. Wajah anak-anak penuh dengan rasa terima kasih dan harapan sembari melambaikan tangan kepada Jia yang menjauh. Jia merasa sedih ketika meninggalkan panti, mempertajam mata menyusuri pandangan melihat satu persatu anak-anak panti, pandangan tanpa nyawa membuat akting sebagai wanita buta berhasil. Pandangannya terhenti pada Kevin, bocah berponi itu melambaikan tangan diiringi senyuman ke arahnya. “Ayo kita masuk, Ma.” Leo menarik tangan Jia untuk ikut dengannya masuk ke dalam mobil, sedangkan Liam dan Tamara sudah menunggu. Jia mengangguk lalu menggenggam erat tangan Leo, bersiap untuk masuk ke dalam mobil. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti ketika ia merasakan sepasang tangan kecil memeluk pinggangnya erat dari belakang. Isak tangis pelan terdengar, membuat Jia menoleh dan segera berjongkok. Dengan lembut, ia membelai rambut bocah yang ternyata bernama Kevin itu. Sementara itu, Leo menatap kejadian itu dengan ekspresi cemberut penuh kesal. Rasa cemburu meluap-luap dari tatapan matanya, membuatnya seketika merasa tidak menyukai Kevin yang berani memeluk sang ibu. "Bi, selamat sampai tujuan," ujar Kevin sambil memeluk Jia dengan erat. Kedua matanya berkaca-kaca, menunjukkan perpisahan yang entah kapan akan berakhir. Mereka berdua seolah tak ingin melepaskan pelukan itu, membuat hati Jia bimbang dan hampir terbuai oleh rasa haru. "Aku pulang dulu, ya. Jaga diri baik-baik!" seru Jia, mencoba menyembunyikan perasaan sedih yang menggelayut. Meski berat, ia tahu ia harus pergi untuk membuktikan hasil tes DNA, dan berjanji pada dirinya untuk kembali menjemput Kevin jika hasilnya positif. ‘Hatiku mengatakan kalau anak ini adalah anak kandungku.’ Dengan cepat Jia menyeka air matanya. Leo dengan marah menghempaskan tangan Kevin yang berani memeluk ibunya, segera menarik Jia berkali-kali agar segera masuk ke dalam mobil. "Ayo, Ma! Cepat!" seru Leo kesal. Jia menelan ludah, dengan perasaan berat akhirnya melepaskan tangan Kevin yang masih mencengkeram ujung bajunya, kemudian melangkah masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan menuju rumah, pikiran Jia terus melayang pada sosok Kevin yang baru saja ditinggalkannya. Namun, aura kekesalan Leo begitu kental, tak bisa diabaikan. Dalam upaya menenangkan diri, Jia sengaja mengajak seorang bocah itu untuk duduk dipangkuannya, berusaha mengalihkan perhatiannya dari kejadian barusan dan membujuknya. “Apa Leo-Ku masih marah?” goda Jia mencolek dagu Leo. Leo melipat kedua tangannya di depan dada, mengernyitkan dahi dengan kesal sambil mengingat Jia yang hanya tinggal bersama ibunya. Liam yang fokus menyetir, sekilas melirik perubahan ekspresi Leo dan merasa penasaran. Namun, ia tersadar bahwa sebelumnya ia telah terbawa perasaan oleh provokasi Tamara yang tak henti-hentinya mencela Jia. Pikiran tentang perempuan buta di sebelahnya yang mungkin berselingkuh mulai menerpa, dan rasa takut pun bergelayut. Hatinya bergemuruh, perasaan bersalah dan menyesal kian menyiksa, akibat terjebak dalam perdebatan yang justru mengecilkan harga diri Jia. Walau tampak ragu, Liam mencoba untuk membuka suara menengahi kesunyian. “Aku melihat anak laki-laki itu memelukmu, kalian tampak dekat ya!” Jia terdiam, tersadar bahwa memang benar, bocah bernama Kevin telah berhasil mencuri perhatiannya. Diam-diam ia merasa bersalah, tak menyangka bocah itu memiliki pesona yang kuat. Pertanyaan dari suaminya memiliki niat terselubung mencari arti, membuat Jia tergelak di dalam hati mengenai pernyaan tidak berguna. Tamara, yang menyadari hal itu, menyelak dengan ekspresi muka yang meresahkan. "Sampai-sampai nyonya sampai mengabaikan Leo," cibir Tamara dengan nada mencemooh, seolah hendak menciptakan api pertentangan antara sepasang suami istri yang tengah duduk di kursi depan. Jia menelan ludah, berusaha menahan amarah yang berkobar di dalam. Tangannya sangat gatal ingin menampar pipi mulus pelakor dalam sekali hentakan saja, tapi Jia belum memiliki kesempatan itu, sungguh di sayangkan. Jia dengan sengaja memeluk Leo lebih erat, mencium pipi chubby bocah itu berkali-kali dalam dekapannya yang hangat. "Apa Leo masih marah sama Mama?" bujuk Jia, seraya mengulas senyum melengkung ke bawah, berharap sang anak laki-laki mau memaafkan kesalahannya. Leo dengan ekspresi kesal di wajahnya, sengaja membuang muka saat Jia hendak menatap matanya. "Bukan marah, Ma, tapi kesal aja," gumam Leo seraya mengepak-ngepakkan kedua tangannya di sisi tubuhnya. “Bibi tidak suka mengatakan ini,” celetuk Tamara dengan nada mencemooh sambil mendelik ke arah Jia. “Bibi melihat kedekatan nyonya dengan bocah itu terasa aneh, tak biasa seperti ibu dan anak biasanya.” Seperti biasa, Tamara mencari-cari peluang untuk mengejek Jia dan menjatuhkannya di mata Leo, anak laki-laki kandungnya, serta jatuh dimata Liam, sang kekasih gelap yang belum juga memberikannya kepastian untuk melamarnya. Jia menggertakkan giginya, menahan kemarahan yang berdesir di dadanya. Bibirnya bergetar, berusaha untuk tidak membalas umpatan Tamara. Seandainya bisa, ia ingin menyumpal mulut busuk Tamara yang setiap kali mencari kesempatan untuk menjatuhkannya. Namun, ia memutuskan untuk tetap tenang, mengingat betapa pentingnya menjaga martabat di hadapan Leo dan orang-orang di sekitarnya. Jia menoleh ke sumber suara, matanya yang nanar tertuju ke depan seolah tak melihat apapun, bagai wanita buta yang seakan-akan memainkan perasaannya. Pelayan pribadinya seketika merasa nyali-ciut mendengar hardikan Jia. "Apa kamu dibayar hanya untuk ikut campur urusan pribadi kami?" ucap Jia dengan penuh tekanan pada setiap kata-katanya, suaranya terdengar begitu serius namun tak cukup kuat untuk membuat pelayan pribadinya terdiam. Pelayan pribadi itu hanya bisa menundukkan kepala, merasa ketakutan dan bingung, mencoba meraba suasana hati majikannya. Jia kembali ke posisi semula, senyum tipis terukir di wajahnya tanpa ada yang menyadari. Secara tak sengaja, ia melihat lewat kaca spion, isyarat yang diberikan oleh Tamara kepada suaminya, Liam, yang menggeleng pelan untuk mengendalikan tindakannya. 'Wanita buta itu mengingatkanku pada posisiku, nanti akan aku runtuhkan kesombongannya. Semua harta, kekayaan, dan posisi sebagai istri hanya milikku,' batin Tamara. Emosinya semakin memuncak, tangannya yang awalnya di atas pangkuan, kini menggenggam erat sisi kursi, menyalurkan kemarahannya. Apalagi Liam tidak membiarkannya membalas ucapan Jia yang menusuk hatinya. Perjalanan yang panjang akhirnya berakhir saat mobil berhenti di halaman rumah. Leo, dengan penuh semangat, langsung menarik tangan Jia yang juga tampak antusias. Jia, sambil menahan tubuhnya agar tak terseret langkah, memberi perintah kepada Tamara tanpa menoleh. "Tamara, tolong ambilkan barang-barang di bagasi," ujarnya dengan tegas. Tamara terasa tubuhnya teramat lelah setelah menyelesaikan tugasnya di panti, berharap bisa merasakan lembutnya kasur saat ia kembali ke rumah. Namun, begitu sampai di rumah, perintah tak terduga dari majikannya membuatnya terhenyak. Ekspresi Tamara tampak terkejut saat mendengar ucapan Jia yang begitu tegas menegaskan posisinya sebagai majikan. "Kau harus melakukannya, Tamara," ujar Jia dengan tegas. "Jangan beri alasan apapun!" Tamara hanya bisa menelan ludah, menutup pintu kamar pelan, dan menyandarkan tubuhnya pada dinding sejenak, merenungkan beratnya beban yang harus dihadapi. “Biar aku saja yang memindahkan semua barang-barangnya, kasihan Tamara … dia pasti capek.” Liam menawarkan diri setelah melirik kekasih gelapnya yang protes. “Baiklah,” kata singkat Jia membuat Tamara mengulas senyum. Namun, detik berikutnya senyum Tamara memudar. Ia melihat Liam dengan sigap menyambut tubuh lemah Jia yang tiba-tiba pingsan. "Papa, bawa mama ke kamar!" ujar Leo dengan suara gemetar, mencoba menyembunyikan kecemasannya. Wajah Liam yang dipenuhi kekhawatiran pun beralih langsung dari kebahagiaan sebelumnya, menunjukkan betapa mendalam rasa cintanya pada Jia. “Tamara, pindahkan semua barang-barang di bagasi” titah Liam cemas yang kemudian berlari menggendong tubuh istrinya masuk ke dalam rumah. “Wanita buta itu pasti sengaja,” gumam Tamara sambil mengepalkan kedua tangannya, melihat punggung kekasih gelap dan juga anak kandungnya lebih memilih membantu wanita asing seperti Jia. “Minumlah!” Liam mengulurkan segelas air pada Jia, menunjukkan perhatiannya pada sang istri. Jia yang terbaring, perlahan mengangkat tubuhnya untuk duduk, tangannya meraih segelas air yang diberikan, lalu meneguknya. Suara langkah kaki di luar kamar pun menarik perhatian, melihat pelayan pribadinya tampak susah payah membawakan barang-barang dari bagasi mobil. Tidak seorang pun yang tahu bahwa Jia sebenarnya hanya pura-pura pingsan, semua ini agar Liam tak memiliki kesempatan untuk membantu Tamara. Wajah Jia tampak tersenyum licik saat menyaksikan pemandangan itu, Tamara seperti badut yang dapat menghiburnya. “Aku sangat lapar, buatkan kami makanan!” perintah Jia sambil memegang perutnya. Tamara terperangah, tak dapat mempercayai apa yang terjadi. "Aku benar-benar capek!" ungkapnya dengan terang, raut wajahnya menunjukkan keengganannya untuk menyerah walau dirinya sedang tertindas oleh Jia. "Sayang, kenapa harus menyulitkan Tamara? Aku akan mengurus makanan," ujar Liam seraya melihat ke arah pelayan pribadi mereka. Sementara Jia tersenyum sinis, menarik sudut bibirnya dengan sikap pura-pura peduli. "Kamu terlalu mengistimewakan pelayan pribadi kita, ya?" sindir Jia dengan nada licik, membuat Liam dan Tamara terdiam, merasa tersudut. "Aku hanya merasa kasihan padanya, dia bukan robot," terang Liam membela. "Kalau begitu, aku ingin menambah pelayan baru." Jia teringat pada Muni, yang akan menjadi kaki dan tangannya. "Aku setuju," jawab cepat Liam membuat Jia senang."Sayang, aku pernah membahas tentang Muni?" tanya Jia dengan penuh keingintahuan, wajahnya nampak serius. Liam mengerutkan kening, mencoba mengingat apakah pernah mendengar nama tersebut sebelumnya. Muni? Sepertinya mengingat nama yang sempat mereka bahas sebelumnya. Liam mulai merasa curiga. Jia ini kenal dari mana dengan Muni? Tetapi kemudian Liam berusaha mengalihkan pikiran itu. Baginya, yang penting adalah menyenangkan hati Tamara dan Jia bersamaan. "Muni?" tanyanya. "Oh, perkenalkan, dia itu temanku. Seorang wanita miskin yang tinggal di sekitar sini. Punya anak perempuan seusia Leo." Jia menjelaskan, berharap bisa meyakinkan Liam. Dia tahu, dalam perjuangan membalas dendam, Jia membutuhkan sekutu. Dan Muni mungkin bisa menjadi kunci kesuksesan dalam misi mereka. ‘Bagaimanapun caranya, Muni harus menjadi pelayan disini,’ batin Jia berharap Liam memberikan izin. “Sayang,” ucap Jia pelan sembari meyakinkan suaminya. “Di rumah sebesar ini, Tamara mengerjakan pekerjaan
Jia melangkah mondar-mandir di depan pintu rumah, rasa gelisah tak terbendung saat menunggu kurir yang akan menyerahkan hasil tes DNA."Seharusnya sudah datang," gumamnya dalam hati. Tiba-tiba bell pintu berbunyi, menandakan kedatangan seseorang. Dengan langkah sigap dan penuh semangat, Jia membuka pintu dan menemui orang suruhannya yang ditunggu-tunggu. Senyum sumringah merekah di wajah Jia saat melihat kurir tersebut datang sambil membawa kabar yang ditunggu.Jia merasa ada perasaan aneh yang terus mengganggu pikirannya, seperti ada magnet yang menarik dirinya kepada seorang bocah laki-laki di panti asuhan. Anak kecil berwajah polos yang kerap menghiasi mimpi-mimpinya. Ia percaya, intuisi seorang ibu adalah sesuatu yang luar biasa, punya kemampuan untuk menghubungkan hati seorang ibu dengan anak kandung.Perasaan ini terlalu kuat untuk diabaikan dan membuat Jia ingin membuktikannya. "Apakah dia memang anakku?" gumam Jia lirih, menatap wajah bocah tersebut dalam foto, yang diambiln
Jia merasa jantungnya berdegup kencang, menahan rasa panik yang mulai merayapi pikirannya. Hampir saja ia ketahuan oleh suaminya mengenai perihal tes DNA yang diam-diam ia jalani. Untungnya, hasil tes tersebut dikirim melalui pesan singkat khusus yang hanya bisa dibaca sekali, lalu menghilang tanpa meninggalkan jejak.Sambil mencoba mengendalikan perasaannya, Jia menoleh ke sumber suara yang datang dari suaminya. Ia tersenyum tipis, berusaha menutupi kegugupan yang tengah menghantui. Dengan mengayunkan tongkat menuntunnya, Jia bergerak perlahan menuju pintu kamar sambil meraba apa saja di sekitarannya. Hingga tiba-tiba, Liam menarik tangan Jia, mengajaknya datang lebih cepat dalam dekapannya yang hangat. “Sayang, aku mencarimu.” Liam memeluk istrinya beberapa detik, lalu melepaskannya. Menatap wajah, terutama fokusnya berpusat pada sepasang manik mata indah, yang sayangnya tidak bisa melihat. “Sedang apa di kamar?” tanyanya dengan nada curiga. Jia mengambil kesempatan itu kala melih
Jia diam-diam menghela nafas, mengecewakan hatinya. Lelaki yang berdiri di dekatnya bukanlah Liam seperti yang ia harapkan. Ia tersenyum paksa, berusaha menyembunyikan rasa kecewanya.Lelaki tersebut berdiri tegak, memegang sebelah tangan Kevin yang enggan dilepaskan, dan sebelah lainnya memegang tongkat penuntun jalan.Tatapan tajamnya seperti elang pemangsa menerawang ke arah Jia, membuat detak jantungnya semakin kencang. Merasa dicurigai seseorang, Jia pun semakin waspada, tangannya berkeringat dan kepala terasa berdenyut. 'Apakah dia akan tahu kalau aku tidak buta?' bisik Jia pelan dalam hati.Jia menggenggam erat tongkatnya, pandangan lurus kedepan yang kosong sekali lagi membuat penyamarannya sebagai wanita buta berhasil. "Pa-paman?" seru Kevin bersemangat, melepaskan pegangan tangan Jia dengan cepat, dan beralih pada pria berparas tampan di hadapan mereka. Kedua matanya bersinar penuh antusiasme. Jia terkesiap dengan aksi Kevin yang langsung akrab dengan pria yang disapa pama
“Muni, dimana Leo?” tanya Jia yang baru saja sampai, datang menghampiri tangan kanannya.“Dia berada di sebelah sana, bersama Cici.” Tunjuk Muni mengarahkan tangannya ke arah dua bocah yang duduk di kursi santai. Jia tersenyum tipis melihat Leo mulai akrab dengan Cici, seolah tak mau kehilangan sosok yang selama ini ada bersamanya. Dalam hati, ia merasa lega sekaligus berterima kasih pada Cici yang telah mengurangi beban pikiran akan keberadaannya. Secara perlahan, Jia mendekati Leo dan Cici, matanya berkaca-kaca. Dia pun dengan hati-hati memeluk erat tubuh beraroma segar itu dari belakang, lalu mengecup pipi Leo yang sedang merajuk. “Maaf, Mama datang terlambat.” Bisik Jia lembut, melepaskan pelukan dan memberikan mainan mobil-mobilan yang menggunakan remot kontrol sebagai ungkapan permintaan maafSungguh, walaupun Leo bukanlah anak kandungnya, tapi ikatan diantara mereka cukup memiliki pondasi yang kuat. “Mama kemana saja? Aku bosan menunggu!” Leo cemberut membuang wajah, enggan
"Beraninya mereka," umpat kesal Tamara, tangan bergetar saat ia membanting pintu kamar dengan keras, menciptakan gemuruh yang menggambarkan kemarahan memuncak di dalam dirinya. Dalam hati, dia mulai meragukan setiap perkataan manis yang pernah diucapkan Liam kepadanya. Menjadi pasangan Liam di ranjang ternyata tidak cukup membuat pria itu puas. Mata Tamara merah padam, air mata yang menggenang mulai turun perlahan melintasi pipi, menetes hingga ke dagu. Kesedihan dan amarah berbaur di benaknya saat ingat suara desahan kenikmatan yang terdengar dari mulut Jia tadi. Emosi yang bercampur aduk itu benar-benar sulit ditoleransi lagi. Dia bergumam dengan lirih. "Sampai kapan harus merasakan sakit hati seperti ini?"“Laki-laki pembohong!” pekik Tamara bergegas mengambil vas bunga dan melemparkannya tepat mengenai cermin rias, melampiaskan rasa yang menyesak di hati. Tak puas hanya dengan itu, Tamara kemudian melihat sebuah bantal yang tergeletak di atas ranjang. Bantal tersebut seolah-ola
Jia perlahan membuka matanya, pandangan matanya menyusuri sekeliling ruangan yang terasa asing baginya. Dia mengerang kesakitan di bagian punggung, sambil berusaha mengingat apa yang telah terjadi pada dirinya. Suatu ingatan muncul di benaknya, seseorang tiba-tiba menyerang dan memukul punggungnya dengan keras. Lalu, di tengah-tengah kabut kesadaran, ada orang yang datang bagaikan pahlawan kesiangan, berusaha menyelamatkan dari bahaya yang mengintai.“Sean.” Jia tersentak kaget setelah mengenali siapa penyelamatnya, seorang pria menyebalkan di panti asuhan. “Ah, akhirnya kamu bangun juga.” Suara familiar membuat jantung Jia berdegup kencang, dia terkejut dan berusaha untuk tidak menunjukkan kemampuannya melihat. Langkah sepatu yang baru saja memasuki bangsal, mendekatinya dengan membawa seikat bunga mawar putih.'Bunga mawar putih? Mungkin saja kebetulan,' gumam Jia dalam hati, melirik bunga kesukaannya dengan rasa haru. "Aku membawanya untukmu." Sean memberikan buket mawar putih d
“Aku sudah mengurus semuanya, dari kecil akulah yang membantu ibu panti mengurus Kevin.” Sean masih bersikeras dengan pendapatnya, sosok Kevin sangat berpengaruh dalam hidupnya. “Aku sangat berterima kasih, kalau kamu memberikan Kevin padaku.” Jia masih memohon pada Sean untuk melepaskan putra kandungnya yang sangat berarti di dalam hidup, tidak bisa dibayangkan hidup tanpa anak kandung. Beberapa rencana telah disusun, demi menciptakan momen indah yang selama 5 tahun tidak berada di sisinya. “Ibu macam apa kamu ini, membuang anakmu ke depan pintu panti asuhan dalam cuaca hujan badai. Terbuat dari apa hatimu, sampai tega membiarkannya hampir semalaman kedinginan dan menangis. Setelah membuangnya, kamu meminta hak asuh Kevin padaku. Ibu seperti apa kamu ini?!” Sean menyudutkan Jia, ikut merasakan sakit hati saat ibu panti meminta bantuannya memanggil dokter, saat menemukan bayi yang masih merah tergeletak di pintu panti dengan selimut tipis. Sean merasakan sudut matanya perih. A