Share

Bab 7

Author: erma _roviko
last update Last Updated: 2024-07-10 22:51:00

Jia menggenggam erat tongkat di tangannya, ekspresi wajahnya memancarkan kemarahan yang tak tertahankan. Matanya menatap tajam ke arah Tamara yang tersenyum menikmati drama yang baru saja dimulai. Panas membakar pipinya karena tamparan Liam yang bahkan lebih menyakitkan dari pukulan tongkat yang sedang ia genggam. 

Dalam hati, Jia berkata. 'Pria asing malah membantuku, sementara Liam dengan seenaknya berselingkuh dengan pelayan pribadiku!' Dia merasakan ketidakadilan yang tak terukur, lalu merenungkan hukuman yang setimpal bagi kedua pengkhianat di hadapannya.

“Jawab Jia?!” bentak Liam. 

“Apa yang seharusnya aku jawab? Pria itu menolongku.” 

“Benarkah?” 

“Aku dengar di panti asuhan ini memiliki cctv. Kenapa tidak kamu cek saja, dan lihat kebenarannya.” 

Jia tak ingin terjebak dalam pertengkaran yang dipicu oleh kecemburuan suaminya. Dengan berat hati, ia melangkah pergi sambil menggenggam erat tongkat penuntun jalannya. Setiap langkah yang diambil, keluhan mengenai suaminya yang aneh terus terlontar dari bibirnya. 

Sementara itu, semua anak panti berkumpul di halaman, mata mereka mengikuti kepergian Jia dan keluarga yang baru saja memberikan hiburan serta bingkisan sebagai kenang-kenangan yang pasti amat berguna bagi mereka. Wajah anak-anak penuh dengan rasa terima kasih dan harapan sembari melambaikan tangan kepada Jia yang menjauh.

Jia merasa sedih ketika meninggalkan panti, mempertajam mata menyusuri pandangan melihat satu persatu anak-anak panti, pandangan tanpa nyawa membuat akting sebagai wanita buta berhasil. Pandangannya terhenti pada Kevin, bocah berponi itu melambaikan tangan diiringi senyuman ke arahnya. 

“Ayo kita masuk, Ma.” Leo menarik tangan Jia untuk ikut dengannya masuk ke dalam mobil, sedangkan Liam dan Tamara sudah menunggu. 

Jia mengangguk lalu menggenggam erat tangan Leo, bersiap untuk masuk ke dalam mobil. 

Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti ketika ia merasakan sepasang tangan kecil memeluk pinggangnya erat dari belakang. Isak tangis pelan terdengar, membuat Jia menoleh dan segera berjongkok. Dengan lembut, ia membelai rambut bocah yang ternyata bernama Kevin itu.

Sementara itu, Leo menatap kejadian itu dengan ekspresi cemberut penuh kesal. Rasa cemburu meluap-luap dari tatapan matanya, membuatnya seketika merasa tidak menyukai Kevin yang berani memeluk sang ibu.

"Bi, selamat sampai tujuan," ujar Kevin sambil memeluk Jia dengan erat. Kedua matanya berkaca-kaca, menunjukkan perpisahan yang entah kapan akan berakhir. Mereka berdua seolah tak ingin melepaskan pelukan itu, membuat hati Jia bimbang dan hampir terbuai oleh rasa haru. 

"Aku pulang dulu, ya. Jaga diri baik-baik!" seru Jia, mencoba menyembunyikan perasaan sedih yang menggelayut.

Meski berat, ia tahu ia harus pergi untuk membuktikan hasil tes DNA, dan berjanji pada dirinya untuk kembali menjemput Kevin jika hasilnya positif.

‘Hatiku mengatakan kalau anak ini adalah anak kandungku.’ Dengan cepat Jia menyeka air matanya.

Leo dengan marah menghempaskan tangan Kevin yang berani memeluk ibunya, segera menarik Jia berkali-kali agar segera masuk ke dalam mobil.

"Ayo, Ma! Cepat!" seru Leo kesal. 

Jia menelan ludah, dengan perasaan berat akhirnya melepaskan tangan Kevin yang masih mencengkeram ujung bajunya, kemudian melangkah masuk ke dalam mobil. 

Sepanjang perjalanan menuju rumah, pikiran Jia terus melayang pada sosok Kevin yang baru saja ditinggalkannya. Namun, aura kekesalan Leo begitu kental, tak bisa diabaikan. Dalam upaya menenangkan diri, Jia sengaja mengajak seorang bocah itu untuk duduk dipangkuannya, berusaha mengalihkan perhatiannya dari kejadian barusan dan membujuknya.

“Apa Leo-Ku masih marah?” goda Jia mencolek dagu Leo. 

Leo melipat kedua tangannya di depan dada, mengernyitkan dahi dengan kesal sambil mengingat Jia yang hanya tinggal bersama ibunya. Liam yang fokus menyetir, sekilas melirik perubahan ekspresi Leo dan merasa penasaran.

Namun, ia tersadar bahwa sebelumnya ia telah terbawa perasaan oleh provokasi Tamara yang tak henti-hentinya mencela Jia. Pikiran tentang perempuan buta di sebelahnya yang mungkin berselingkuh mulai menerpa, dan rasa takut pun bergelayut. Hatinya bergemuruh, perasaan bersalah dan menyesal kian menyiksa, akibat terjebak dalam perdebatan yang justru mengecilkan harga diri Jia.

Walau tampak ragu, Liam mencoba untuk membuka suara menengahi kesunyian. “Aku melihat anak laki-laki itu memelukmu, kalian tampak dekat ya!” 

Jia terdiam, tersadar bahwa memang benar, bocah bernama Kevin telah berhasil mencuri perhatiannya. Diam-diam ia merasa bersalah, tak menyangka bocah itu memiliki pesona yang kuat. Pertanyaan dari suaminya memiliki niat terselubung mencari arti, membuat Jia tergelak di dalam hati mengenai pernyaan tidak berguna. 

Tamara, yang menyadari hal itu, menyelak dengan ekspresi muka yang meresahkan. "Sampai-sampai nyonya sampai mengabaikan Leo," cibir Tamara dengan nada mencemooh, seolah hendak menciptakan api pertentangan antara sepasang suami istri yang tengah duduk di kursi depan.

Jia menelan ludah, berusaha menahan amarah yang berkobar di dalam. Tangannya sangat gatal ingin menampar pipi mulus pelakor dalam sekali hentakan saja, tapi Jia belum memiliki kesempatan itu, sungguh di sayangkan. 

Jia dengan sengaja memeluk Leo lebih erat, mencium pipi chubby bocah itu berkali-kali dalam dekapannya yang hangat. "Apa Leo masih marah sama Mama?" bujuk Jia, seraya mengulas senyum melengkung ke bawah, berharap sang anak laki-laki mau memaafkan kesalahannya. 

Leo dengan ekspresi kesal di wajahnya, sengaja membuang muka saat Jia hendak menatap matanya. "Bukan marah, Ma, tapi kesal aja," gumam Leo seraya mengepak-ngepakkan kedua tangannya di sisi tubuhnya.

“Bibi tidak suka mengatakan ini,” celetuk Tamara dengan nada mencemooh sambil mendelik ke arah Jia. “Bibi melihat kedekatan nyonya dengan bocah itu terasa aneh, tak biasa seperti ibu dan anak biasanya.” 

Seperti biasa, Tamara mencari-cari peluang untuk mengejek Jia dan menjatuhkannya di mata Leo, anak laki-laki kandungnya, serta jatuh dimata Liam, sang kekasih gelap yang belum juga memberikannya kepastian untuk melamarnya. 

 Jia menggertakkan giginya, menahan kemarahan yang berdesir di dadanya. Bibirnya bergetar, berusaha untuk tidak membalas umpatan Tamara. Seandainya bisa, ia ingin menyumpal mulut busuk Tamara yang setiap kali mencari kesempatan untuk menjatuhkannya.

Namun, ia memutuskan untuk tetap tenang, mengingat betapa pentingnya menjaga martabat di hadapan Leo dan orang-orang di sekitarnya.

Jia menoleh ke sumber suara, matanya yang nanar tertuju ke depan seolah tak melihat apapun, bagai wanita buta yang seakan-akan memainkan perasaannya. 

Pelayan pribadinya seketika merasa nyali-ciut mendengar hardikan Jia. 

"Apa kamu dibayar hanya untuk ikut campur urusan pribadi kami?" ucap Jia dengan penuh tekanan pada setiap kata-katanya, suaranya terdengar begitu serius namun tak cukup kuat untuk membuat pelayan pribadinya terdiam.

Pelayan pribadi itu hanya bisa menundukkan kepala, merasa ketakutan dan bingung, mencoba meraba suasana hati majikannya.

Jia kembali ke posisi semula, senyum tipis terukir di wajahnya tanpa ada yang menyadari. Secara tak sengaja, ia melihat lewat kaca spion, isyarat yang diberikan oleh Tamara kepada suaminya, Liam, yang menggeleng pelan untuk mengendalikan tindakannya.

 'Wanita buta itu mengingatkanku pada posisiku, nanti akan aku runtuhkan kesombongannya. Semua harta, kekayaan, dan posisi sebagai istri hanya milikku,' batin Tamara. 

Emosinya semakin memuncak, tangannya yang awalnya di atas pangkuan, kini menggenggam erat sisi kursi, menyalurkan kemarahannya. Apalagi Liam tidak membiarkannya membalas ucapan Jia yang menusuk hatinya.

Perjalanan yang panjang akhirnya berakhir saat mobil berhenti di halaman rumah. Leo, dengan penuh semangat, langsung menarik tangan Jia yang juga tampak antusias. 

Jia, sambil menahan tubuhnya agar tak terseret langkah, memberi perintah kepada Tamara tanpa menoleh. 

"Tamara, tolong ambilkan barang-barang di bagasi," ujarnya dengan tegas.

Tamara terasa tubuhnya teramat lelah setelah menyelesaikan tugasnya di panti, berharap bisa merasakan lembutnya kasur saat ia kembali ke rumah. 

Namun, begitu sampai di rumah, perintah tak terduga dari majikannya membuatnya terhenyak. Ekspresi Tamara tampak terkejut saat mendengar ucapan Jia yang begitu tegas menegaskan posisinya sebagai majikan.

"Kau harus melakukannya, Tamara," ujar Jia dengan tegas. "Jangan beri alasan apapun!" 

Tamara hanya bisa menelan ludah, menutup pintu kamar pelan, dan menyandarkan tubuhnya pada dinding sejenak, merenungkan beratnya beban yang harus dihadapi.

“Biar aku saja yang memindahkan semua barang-barangnya, kasihan Tamara … dia pasti capek.” Liam menawarkan diri setelah melirik kekasih gelapnya yang protes. 

“Baiklah,” kata singkat Jia membuat Tamara mengulas senyum.

Namun, detik berikutnya senyum Tamara memudar. Ia melihat Liam dengan sigap menyambut tubuh lemah Jia yang tiba-tiba pingsan. 

"Papa, bawa mama ke kamar!" ujar Leo dengan suara gemetar, mencoba menyembunyikan kecemasannya.

Wajah Liam yang dipenuhi kekhawatiran pun beralih langsung dari kebahagiaan sebelumnya, menunjukkan betapa mendalam rasa cintanya pada Jia.

“Tamara, pindahkan semua barang-barang di bagasi” titah Liam cemas yang kemudian berlari menggendong tubuh istrinya masuk ke dalam rumah. 

“Wanita buta itu pasti sengaja,” gumam Tamara sambil mengepalkan kedua tangannya, melihat punggung kekasih gelap dan juga anak kandungnya lebih memilih membantu wanita asing seperti Jia. 

“Minumlah!” Liam mengulurkan segelas air pada Jia, menunjukkan perhatiannya pada sang istri. 

Jia yang terbaring, perlahan mengangkat tubuhnya untuk duduk, tangannya meraih segelas air yang diberikan, lalu meneguknya. Suara langkah kaki di luar kamar pun menarik perhatian, melihat pelayan pribadinya tampak susah payah membawakan barang-barang dari bagasi mobil. 

Tidak seorang pun yang tahu bahwa Jia sebenarnya hanya pura-pura pingsan, semua ini agar Liam tak memiliki kesempatan untuk membantu Tamara. Wajah Jia tampak tersenyum licik saat menyaksikan pemandangan itu, Tamara seperti badut yang dapat menghiburnya.

“Aku sangat lapar, buatkan kami makanan!” perintah Jia sambil memegang perutnya.

Tamara terperangah, tak dapat mempercayai apa yang terjadi. "Aku benar-benar capek!" ungkapnya dengan terang, raut wajahnya menunjukkan keengganannya untuk menyerah walau dirinya sedang tertindas oleh Jia.

"Sayang, kenapa harus menyulitkan Tamara? Aku akan mengurus makanan," ujar Liam seraya melihat ke arah pelayan pribadi mereka.

Sementara Jia tersenyum sinis, menarik sudut bibirnya dengan sikap pura-pura peduli. "Kamu terlalu mengistimewakan pelayan pribadi kita, ya?" sindir Jia dengan nada licik, membuat Liam dan Tamara terdiam, merasa tersudut.

"Aku hanya merasa kasihan padanya, dia bukan robot," terang Liam membela.

"Kalau begitu, aku ingin menambah pelayan baru." Jia teringat pada Muni, yang akan menjadi kaki dan tangannya.

"Aku setuju," jawab cepat Liam membuat Jia senang.

Related chapters

  • Bangkitnya Istri Buta yang Dikhianati   Bab 8

    "Sayang, aku pernah membahas tentang Muni?" tanya Jia dengan penuh keingintahuan, wajahnya nampak serius. Liam mengerutkan kening, mencoba mengingat apakah pernah mendengar nama tersebut sebelumnya. Muni? Sepertinya mengingat nama yang sempat mereka bahas sebelumnya. Liam mulai merasa curiga. Jia ini kenal dari mana dengan Muni? Tetapi kemudian Liam berusaha mengalihkan pikiran itu. Baginya, yang penting adalah menyenangkan hati Tamara dan Jia bersamaan. "Muni?" tanyanya. "Oh, perkenalkan, dia itu temanku. Seorang wanita miskin yang tinggal di sekitar sini. Punya anak perempuan seusia Leo." Jia menjelaskan, berharap bisa meyakinkan Liam. Dia tahu, dalam perjuangan membalas dendam, Jia membutuhkan sekutu. Dan Muni mungkin bisa menjadi kunci kesuksesan dalam misi mereka. ‘Bagaimanapun caranya, Muni harus menjadi pelayan disini,’ batin Jia berharap Liam memberikan izin. “Sayang,” ucap Jia pelan sembari meyakinkan suaminya. “Di rumah sebesar ini, Tamara mengerjakan pekerjaan

    Last Updated : 2024-07-11
  • Bangkitnya Istri Buta yang Dikhianati   Bab 9

    Jia melangkah mondar-mandir di depan pintu rumah, rasa gelisah tak terbendung saat menunggu kurir yang akan menyerahkan hasil tes DNA."Seharusnya sudah datang," gumamnya dalam hati. Tiba-tiba bell pintu berbunyi, menandakan kedatangan seseorang. Dengan langkah sigap dan penuh semangat, Jia membuka pintu dan menemui orang suruhannya yang ditunggu-tunggu. Senyum sumringah merekah di wajah Jia saat melihat kurir tersebut datang sambil membawa kabar yang ditunggu.Jia merasa ada perasaan aneh yang terus mengganggu pikirannya, seperti ada magnet yang menarik dirinya kepada seorang bocah laki-laki di panti asuhan. Anak kecil berwajah polos yang kerap menghiasi mimpi-mimpinya. Ia percaya, intuisi seorang ibu adalah sesuatu yang luar biasa, punya kemampuan untuk menghubungkan hati seorang ibu dengan anak kandung.Perasaan ini terlalu kuat untuk diabaikan dan membuat Jia ingin membuktikannya. "Apakah dia memang anakku?" gumam Jia lirih, menatap wajah bocah tersebut dalam foto, yang diambiln

    Last Updated : 2024-07-12
  • Bangkitnya Istri Buta yang Dikhianati   Bab 10

    Jia merasa jantungnya berdegup kencang, menahan rasa panik yang mulai merayapi pikirannya. Hampir saja ia ketahuan oleh suaminya mengenai perihal tes DNA yang diam-diam ia jalani. Untungnya, hasil tes tersebut dikirim melalui pesan singkat khusus yang hanya bisa dibaca sekali, lalu menghilang tanpa meninggalkan jejak.Sambil mencoba mengendalikan perasaannya, Jia menoleh ke sumber suara yang datang dari suaminya. Ia tersenyum tipis, berusaha menutupi kegugupan yang tengah menghantui. Dengan mengayunkan tongkat menuntunnya, Jia bergerak perlahan menuju pintu kamar sambil meraba apa saja di sekitarannya. Hingga tiba-tiba, Liam menarik tangan Jia, mengajaknya datang lebih cepat dalam dekapannya yang hangat. “Sayang, aku mencarimu.” Liam memeluk istrinya beberapa detik, lalu melepaskannya. Menatap wajah, terutama fokusnya berpusat pada sepasang manik mata indah, yang sayangnya tidak bisa melihat. “Sedang apa di kamar?” tanyanya dengan nada curiga. Jia mengambil kesempatan itu kala melih

    Last Updated : 2024-07-12
  • Bangkitnya Istri Buta yang Dikhianati   Bab 11

    Jia diam-diam menghela nafas, mengecewakan hatinya. Lelaki yang berdiri di dekatnya bukanlah Liam seperti yang ia harapkan. Ia tersenyum paksa, berusaha menyembunyikan rasa kecewanya.Lelaki tersebut berdiri tegak, memegang sebelah tangan Kevin yang enggan dilepaskan, dan sebelah lainnya memegang tongkat penuntun jalan.Tatapan tajamnya seperti elang pemangsa menerawang ke arah Jia, membuat detak jantungnya semakin kencang. Merasa dicurigai seseorang, Jia pun semakin waspada, tangannya berkeringat dan kepala terasa berdenyut. 'Apakah dia akan tahu kalau aku tidak buta?' bisik Jia pelan dalam hati.Jia menggenggam erat tongkatnya, pandangan lurus kedepan yang kosong sekali lagi membuat penyamarannya sebagai wanita buta berhasil. "Pa-paman?" seru Kevin bersemangat, melepaskan pegangan tangan Jia dengan cepat, dan beralih pada pria berparas tampan di hadapan mereka. Kedua matanya bersinar penuh antusiasme. Jia terkesiap dengan aksi Kevin yang langsung akrab dengan pria yang disapa pama

    Last Updated : 2024-07-13
  • Bangkitnya Istri Buta yang Dikhianati   Bab 12

    “Muni, dimana Leo?” tanya Jia yang baru saja sampai, datang menghampiri tangan kanannya.“Dia berada di sebelah sana, bersama Cici.” Tunjuk Muni mengarahkan tangannya ke arah dua bocah yang duduk di kursi santai. Jia tersenyum tipis melihat Leo mulai akrab dengan Cici, seolah tak mau kehilangan sosok yang selama ini ada bersamanya. Dalam hati, ia merasa lega sekaligus berterima kasih pada Cici yang telah mengurangi beban pikiran akan keberadaannya. Secara perlahan, Jia mendekati Leo dan Cici, matanya berkaca-kaca. Dia pun dengan hati-hati memeluk erat tubuh beraroma segar itu dari belakang, lalu mengecup pipi Leo yang sedang merajuk. “Maaf, Mama datang terlambat.” Bisik Jia lembut, melepaskan pelukan dan memberikan mainan mobil-mobilan yang menggunakan remot kontrol sebagai ungkapan permintaan maafSungguh, walaupun Leo bukanlah anak kandungnya, tapi ikatan diantara mereka cukup memiliki pondasi yang kuat. “Mama kemana saja? Aku bosan menunggu!” Leo cemberut membuang wajah, enggan

    Last Updated : 2024-07-13
  • Bangkitnya Istri Buta yang Dikhianati   Bab 13

    "Beraninya mereka," umpat kesal Tamara, tangan bergetar saat ia membanting pintu kamar dengan keras, menciptakan gemuruh yang menggambarkan kemarahan memuncak di dalam dirinya. Dalam hati, dia mulai meragukan setiap perkataan manis yang pernah diucapkan Liam kepadanya. Menjadi pasangan Liam di ranjang ternyata tidak cukup membuat pria itu puas. Mata Tamara merah padam, air mata yang menggenang mulai turun perlahan melintasi pipi, menetes hingga ke dagu. Kesedihan dan amarah berbaur di benaknya saat ingat suara desahan kenikmatan yang terdengar dari mulut Jia tadi. Emosi yang bercampur aduk itu benar-benar sulit ditoleransi lagi. Dia bergumam dengan lirih. "Sampai kapan harus merasakan sakit hati seperti ini?"“Laki-laki pembohong!” pekik Tamara bergegas mengambil vas bunga dan melemparkannya tepat mengenai cermin rias, melampiaskan rasa yang menyesak di hati. Tak puas hanya dengan itu, Tamara kemudian melihat sebuah bantal yang tergeletak di atas ranjang. Bantal tersebut seolah-ola

    Last Updated : 2024-07-14
  • Bangkitnya Istri Buta yang Dikhianati   Bab 14

    Jia perlahan membuka matanya, pandangan matanya menyusuri sekeliling ruangan yang terasa asing baginya. Dia mengerang kesakitan di bagian punggung, sambil berusaha mengingat apa yang telah terjadi pada dirinya. Suatu ingatan muncul di benaknya, seseorang tiba-tiba menyerang dan memukul punggungnya dengan keras. Lalu, di tengah-tengah kabut kesadaran, ada orang yang datang bagaikan pahlawan kesiangan, berusaha menyelamatkan dari bahaya yang mengintai.“Sean.” Jia tersentak kaget setelah mengenali siapa penyelamatnya, seorang pria menyebalkan di panti asuhan. “Ah, akhirnya kamu bangun juga.” Suara familiar membuat jantung Jia berdegup kencang, dia terkejut dan berusaha untuk tidak menunjukkan kemampuannya melihat. Langkah sepatu yang baru saja memasuki bangsal, mendekatinya dengan membawa seikat bunga mawar putih.'Bunga mawar putih? Mungkin saja kebetulan,' gumam Jia dalam hati, melirik bunga kesukaannya dengan rasa haru. "Aku membawanya untukmu." Sean memberikan buket mawar putih d

    Last Updated : 2024-07-16
  • Bangkitnya Istri Buta yang Dikhianati   Bab 15

    “Aku sudah mengurus semuanya, dari kecil akulah yang membantu ibu panti mengurus Kevin.” Sean masih bersikeras dengan pendapatnya, sosok Kevin sangat berpengaruh dalam hidupnya. “Aku sangat berterima kasih, kalau kamu memberikan Kevin padaku.” Jia masih memohon pada Sean untuk melepaskan putra kandungnya yang sangat berarti di dalam hidup, tidak bisa dibayangkan hidup tanpa anak kandung. Beberapa rencana telah disusun, demi menciptakan momen indah yang selama 5 tahun tidak berada di sisinya. “Ibu macam apa kamu ini, membuang anakmu ke depan pintu panti asuhan dalam cuaca hujan badai. Terbuat dari apa hatimu, sampai tega membiarkannya hampir semalaman kedinginan dan menangis. Setelah membuangnya, kamu meminta hak asuh Kevin padaku. Ibu seperti apa kamu ini?!” Sean menyudutkan Jia, ikut merasakan sakit hati saat ibu panti meminta bantuannya memanggil dokter, saat menemukan bayi yang masih merah tergeletak di pintu panti dengan selimut tipis. Sean merasakan sudut matanya perih. A

    Last Updated : 2024-07-16

Latest chapter

  • Bangkitnya Istri Buta yang Dikhianati   Bab 49

    Jia merasakan tatapan yang tak nyaman dari salah seorang tamu, seakan mata itu berusaha menembus ruang personalnya. Dia tak tahan lagi. Dengan langkah berat, dia berdiri, menarik napas dalam-dalam seolah mengumpulkan keberanian. Jari-jarinya bergetar sedikit saat meletakkan sendok dan garpu dengan hati-hati di samping piring. "Maaf, saya harus segera pergi," ucapnya dengan suara rendah, mencoba menyembunyikan ketidaknyamanannya. Pesta makan malam itu kini terasa seperti sebuah medan pertempuran bagi Jia.“Aku sudah kenyang.” Jia berlalu pergi, mulai mengayunkan tongkat penuntun jalan menuju ke kamarnya. Senyum tipis menghiasi wajahnya saat mata Jia yang terkesan terburu-buru meninggalkan meja makan, dengan piringnya yang masih berisi setengah makanannya. Sean menatapnya penuh ketertarikan yang tak kunjung mendapat perhatian. "Aku sudah kenyang, saya ingin istirahat dulu!" ujarnya tegas, bangkit dari kursi dan berjalan dengan langkah sengaja memutar agar bisa bertemu dengan Jia di l

  • Bangkitnya Istri Buta yang Dikhianati   Bab 48

    Jia semakin resah akan keberadaan Sean di rumahnya, apalagi kakek Wijaya yang memberikan restu atas kehadiran pria itu. Setiap sudut rumah terasa sumpek, hatinya tidak bisa tenang karena merasa terusik. "Apa yang membuat kakek percaya padanya? Apakah dia lebih baik daripada orang lain yang pernah ada di hidupnya?" gumam Jia yang bermonolog.Di dapur, Jia bolak-balik memikirkan cara untuk mengusir Sean dari rumahnya. Tak tahan merasakan ketidaknyamanan ini. 'Aku harus mencari cara agar dia pergi, aku tidak ingin kehilangan kenyamanan hidupku sendiri gara-gara pria ini,' batin Jia dengan penuh keputusasaan. Tapi, di satu sisi, ada perasaan yang masih tertahan, karena ia tidak ingin mengecewakan kakek Wijaya. Harus ada jalan keluar yang dapat memuaskan semua pihak, termasuk hatinya sendiri yang penuh kebimbangan.Setelah sekian lama larut dalam lamunan, Jia memutuskan untuk pergi dari dapur dan memberi ruang bagi Murni untuk bekerja menyiapkan hidangan tamu nanti. "Ah, sudah cukup m

  • Bangkitnya Istri Buta yang Dikhianati   Bab 47

    Jia merasa tidak sanggup menerima keinginan kakek Wijaya yang mendesaknya untuk segera melahirkan seorang cicit.Dalam hatinya, dia bertanya-tanya mengapa Liam, sang suami, justru mendukung keputusan sang kakek yang membuatnya begitu terbebani. "Apa yang mereka pikirkan? Apakah mereka tidak memikirkan perasaanku sama sekali?" gumam Jia bermonolog, berperang antara pikiran dan juga hatinya. Perasaan jijik kembali muncul saat Jia mengingat bagaimana Liam telah mengkhianatinya dengan asisten rumah tangga. Bayang-bayang kenangan itu membuat hatinya semakin sulit menerima kenyataan bahwa dia harus berhubungan intim dengan pria yang telah merusak kepercayaannya itu."Bagaimana mungkin aku bisa melupakan pengkhianatan Liam? Apakah aku bisa menerima anak dari hubungan kami yang ternoda oleh pengkhianatan?" Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggelayuti pikiran Jia, membuatnya semakin terpuruk dalam keputusasaan.Jia berjalan mondar-mandir dalam ruangannya, langkah kakinya menggema rasa kece

  • Bangkitnya Istri Buta yang Dikhianati   Bab 46

    Jia segera menetralkan perasaannya, sengaja berdehem menutupi wajahnya yang merona seperti udang rebus. “Kembali ke pembahasan awal.”Sean kembali duduk di kursinya, raut wajahnya mengeras saat menyerap setiap kata yang dilontarkan Jia tentang kecurigaan yang menggantung di udara. Keningnya berkerut, mata menerawang mencoba memecahkan teka-teki sikap Liam terhadap Jia. Dua kemungkinan muncul, menggelitik benaknya. Liam, suami yang mencari pelabuhan akhir setelah dihempas badai, atau Liam yang memiliki rencana gelap tersembunyi, kemungkinan yang paling mengkhawatirkan adalah Jia telah membaca gerak-geriknya.“Aku belum bisa memastikannya, informasikan apapun mengenai tindakan pria itu setiap kali kamu curiga!”Jia menarik napas lega, perasaan cemas yang sempat merayapi pikirannya kini mulai mencair. Dalam keheningan ruangan, dia bisa mendengar detak jam tangannya yang seperti berbisik.'Waktunya aku pergi!'Sean, dengan ekspresi yang tegang, melirik jam tangan yang melilit pergelanga

  • Bangkitnya Istri Buta yang Dikhianati   Bab 45

    "Kamu gila ya?" teriak Jia, matanya membulat penuh kejutan melihat Sean bekerja dengan kecepatan yang tak terduga. Sean, dalam panik, segera menempatkan tangannya di mulut Jia, mata mereka saling berpandangan sejenak sebelum dia melirik ke sekitar, memastikan tak ada yang memperhatikan mereka.“Apa kamu ingin mengundang suamimu kesini?” bisik Sean. Jia terdiam, menganggukkan kepala diiringi panik takut mengundang perhatian dari Liam. Mulutnya yang dibungkam perlahan melonggar, terdengar helaan nafas lega saat semuanya masih di genggaman. “Aku begitu baik, menyiapkan surat perceraian mu. Jangan lupa ditandatangani surat itu?!” Sean tersenyum sinis sambil berlalu pergi, sosoknya yang tampan dan berkuasa itu terselip bayangan gelap saat menemui istri orang secara sembunyi-sembunyi. Jia memperhatikannya dari balik tirai, jantungnya berdebar, bimbang antara rasa kagum dan kecewa. "Apakah dia lelaki sejati? Atau pria naif yang rela menunggu aku hingga berstatus janda?" bisiknya pada d

  • Bangkitnya Istri Buta yang Dikhianati   Bab 44

    Hari-hari berlalu seperti kilat, tanpa terasa sudah tiga hari berlalu sejak Tamara pergi. Dari balik railing lantai atas, Jia mengamati Liam. Tangannya meremas-remas ujung bajunya, perasaan cemas bercampur iba menyelimuti. Wajah Liam yang murung terpampang jelas, seolah tiap detik kehilangan lebih berat sejak Tamara meninggal. Jia menarik napas dalam, menahan pilu yang membara.Rasa geram bercampur amarah melihat perubahan yang cukup besar bagi suaminya, dan selama itu pula Liam tidak mengucapkan sepatah katapun. Jia menengadahkan kepala, menatap langit-langit ruangan itu diiringi helaan nafas. “Wow Tamara, pengaruhmu begitu kuat. Liam seperti mayat hidup, ajaklah dia juga ke alam baka.” Jia menyalahkan Tamara, benar-benar di buat geleng kepala atas sikap suaminya yang berubah drastis. “Sampai sekarang dia tidak mencari keberadaan Leo. Bukan saja menjadi suami tidak baik, justru pria itu juga ayah yang buruk.” Jia menarik napas dalam-dalam dan perlahan melepaskannya, mencoba mer

  • Bangkitnya Istri Buta yang Dikhianati   Bab 43

    Jia menarik Kevin dan Leo ke pelukannya, matanya berkaca-kaca saat melingkari tubuh keduanya. Kegembiraan tak terukur merasuki hatinya saat keduanya melekat di dada, kehangatan yang begitu berharga. Tapi ketika memandang Leo, kehangatan itu perlahan dipadukan dengan rasa bersalah yang mendalam. Menyadari bahwa merebut Leo dari pelukan ayahnya, Liam, bukan pilihan yang sepenuhnya benar. Namun, melihat betapa Liam telah lebih memilih Tamara daripada keluarga yang sudah dibangun bersama, memicu keputusan tegas di hati Jia. Bagi Jia, mengambil Leo bukan hanya melindungi putra kecilnya dari ketidakstabilan ayahnya, tetapi juga sebagai sanksi tegas untuk Liam, sebuah pembayaran untuk pengkhianatan yang menyakitkan itu.‘Liam, kamu merenggut kebahagiaanku. Aku pun begitu, merenggut anak kesayangmu!’ batin Jia sembari membelau wajah Leo dengan lembut sambil menarik sebelah sudut bibirnya ke atas. Jia melangkah dengan tenang, wajahnya tegar saat ia mengajak Leo dan Kevin ke sebuah tempat y

  • Bangkitnya Istri Buta yang Dikhianati   Bab 42

    Mobil berhenti di sebuah halaman luas, terdapat bangunan mewah di tengah-tengah. Bangunan yang mirip seperti istana, memiliki arsitektur klasik eropa berwarna. Rumah yang berdiri kokoh membuat Jia terpana, hampir terbuai dengan pemandangan yang menakjubkan terbentang di hadapan mata. “Kenapa diam saja? Ayo masuk, anggap rumah sendiri.” Sean berjalan lebih dulu, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, tampak berkharisma seperti pemimpin sejati. “Tunggu dulu!” Suara Jia berhasil mencegat langkah Sean, dia menoleh dengan kening yang berkerut. “Ada apa?” Keraguan Jia pada Sean yang membawanya ke rumah mewah, pikirannya tidak akan tenang sebelum menemukan Leo. Dia menghampiri Sean, langkah cepat tak membutuhkan waktu lama. “Kenapa kita kesini? Bukankah kamu ingin mempertemukan aku dengan Leo?!” protes Jia sedikit kesal, tanpa mendengarkan maksud Sean, langsung menudingnya berbohong. Tatapan nyalang tak melepaskan Sean dari pandangannya, berkacak pinggang menentang untuk me

  • Bangkitnya Istri Buta yang Dikhianati   Bab 41

    Liam melangkah tergesa-gesa memasuki lokasi yang sudah Jia sebutkan sebelumnya. Ketegangan terasa menggantung di udara. Dengan nafas yang tercekat, ia mendapati Tamara tergeletak bergelimang darah di tengah jalanan sepi, tubuhnya penuh luka dan darah yang bercucuran.Wajah Tamara pucat pasi, napasnya tersengal-sengal seakan tiap helaan adalah yang terakhir. Mata Liam memerah, dadanya bergemuruh kesal dan dada Tamara naik turun tak beraturan. Rasa panik menyelinap memenuhi isi pikiran dan hatinya, melihat kekasihnya tak berdaya. “Tamara … Tamara, apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini?” Liam meletakkan kepala Tamara di atas pangkuannya, sangat khawatir hingga lupa memanggil ambulans. Tamara terbaring lemah, tak mampu bergerak ataupun berbicara, tetapi matanya tajam menatap ke arah Jia yang berdiri di belkang Liam sambil menatapnya tanpa dosa. Kilatan kemarahan nyata terpancar dari sorot mata Tamara yang memerah, sementara tubuhnya hanya bisa terkulai tanpa daya di atas aspal pan

DMCA.com Protection Status