Share

Bangkitnya Istri Buta yang Dikhianati
Bangkitnya Istri Buta yang Dikhianati
Penulis: erma _roviko

Bab 1

Seorang wanita berjalan pelan menuju bathub sambil meraba sekitarnya, ingin sekali dia menikmati waktu berendam menyenangkan.

Lantai kamar mandi terlalu licin, perempuan sudah membalut tubuhnya dengan handuk itu pun tergelincir, mengakibatkan benturan kepala di bibir bathtub.

Dia mengerang kesakitan sambil memegangi sisi kepala. Akan tetapi, rintihan itu terhenti begitu saja, ketika dia merasakan adanya cahaya masuk dalam penglihatan.

“A—astaga, mataku … mataku sudah bisa melihat?” ujarnya tak percaya, mengedipkan mata berulang. “I—ini sebuah keajaiban!”

Jia menatap langit, matanya menerawang ke masa lalu yang kelam. Perlahan, ia menggenggam erat tangan kanannya, seolah mencoba meraih ingatan itu kembali. Bayangan kejadian naas 7 tahun silam mulai menghantui pikirannya, rasa sakit dan kehilangan bercampur menjadi satu. Bibirnya menggigil, mencoba menahan getir yang muncul dari dalam hatinya.

Di saat mobilnya melaju kencang membelah jalanan sepi, Jia tak menyadari bahaya yang mengintai. Tiba-tiba, mobil lain muncul dari arah berlawanan, membuat matanya terbelalak dan jantung berdegup kencang.

Sinar lampu sorot mobil yang datang itu menusuk matanya, menyilaukan pandangannya. Dengan refleks cepat, Jia mengelak, menghindari tabrakan yang hampir saja merenggut nyawanya. Detik itu juga, rasa terkejut dan takut bercampur jadi satu dalam dadanya.

Jia menarik nafas lega setelah berhasil menghindari kecelakaan yang hampir saja merenggut nyawanya. Namun, rasa lega itu seketika buyar saat dia menyadari bahwa rem mobilnya blong.

Berulang kali kakinya menginjak pedal rem, tapi sama sekali tak berfungsi. Rasa panik mulai mengepung pikirannya, membuat Jia benar-benar merasa terancam. "Apa-apaan ini? Kenapa rem mobil blong?!" jerit Jia ketakutan sambil berusaha mengontrol kendaraannya yang semakin mempercepat.

Dia mengingat dengan jelas, mobil yang baru saja dikemudikannya telah diservis beberapa hari lalu. Namun, tiba-tiba rem blong, sebuah kejadian yang membuatnya merasa sangat terganjal. Kekhawatiran yang mendalam mulai mendominasi pikirannya, memunculkan perasaan panik yang meluap-luap. Takut akan kemungkinan buruk yang mungkin terjadi, perasaan itu merayap begitu cepat dalam dirinya.

“Apa yang harus aku lakukan?” monolognya mencari jalan keluar, hingga menemukan ponselnya yang tergeletak di kursi sebelah dan menyambar. Menghubungi Liam berulang kali, namun panggilannya di abaikan.

Seakan Jia mendapatkan jalan buntu, memaki Liam karena tidak ada di saat dia membutuhkan. Dia kehilangan kontrol mengemudi mobil dan banting setir saat keluar jalur, menyebabkan mobilnya menabrak pohon besar di pinggir jalan.

Tabrakan itu terjadi begitu cepat. Kepala Jia terhempas ke setir mobil, lalu alarm keras mendadak menyayat telinga. Sedikit demi sedikit, darah segar mulai mengalir dari keningnya. Dalam keadaan pusing dan cemas, dia berusaha melepaskan sabuk pengaman dan keluar dari mobil. Namun semakin lama, pernapasannya terengah-engah dan indera terasa kabur. Tak lama kemudian, Jia kehilangan kesadaran dan tidak mengingat apapun yang terjadi sesaat setelah insiden itu.

Jia berhasil selamat, tapi kehilangan penglihatan. Dia merasa tidak berguna, frustasi, sampai berteriak dan menyalahkan takdir. Namun, suara familiar yang khas itu berhasil menenangkan, sahabat kakeknya datang memberikan dukungan serta meminta kekasihnya, Liam, untuk tetap melanjutkan pernikahan mereka.

“Tenanglah, Liam pasti bersedia menikahimu.” Pria tua itu menyambar tangan lembut Jia menggenggamnya memberikan janji. Sekilas, kemudian beralih mengusap rambut Jia.

Jia hampir kehilangan rasa percaya diri, tadinya dia ingin membatalkan pernikahan tapi mendengar ucapan dari kakek Wijaya merubah keputusannya.

“Apa itu mungkin?” Jia tersenyum mendapatkan pelukan hangat dari kekasihnya, memberikannya janji manis hingga sekarang masih di pegang.

Jia sangat beruntung memiliki Liam disisinya dan kakek Wijaya, menjadi penyemangat untuk bangkit dari keterpurukan dan melangsungkan pernikahan dengan meriah dan megah.

Perempuan bernama Jia itu terlihat senang, dia lekas menuntaskan acara mandinya sebelum sang suami kembali bekerja. Jia ingin cepat-cepat menyampaikan kabar bahagia yang menyapa hidupnya.

Jia bergegas mengganti pakaian dan menyambut suami tercinta. Dia memilih untuk berpura-pura buta, agar bisa mengejutkan belahan jiwanya.

Suara langkah kaki mengisi telinga Jia, senyum segera di pahat olehnya. Namun, itu tidak berlangsung lama. Senyum Jia memudar, tatkala dia menemukan kebersamaan sang suami bersama asisten rumah tangga mereka.

‘A—ada apa ini? Kenapa mereka bisa bersama?’ batin Jia gagu, jantungnya berdetak sangat cepat.

Jia berusaha tetap tenang, walau isi kepala sudah dipenuhi banyak tanya. Hati terasa sesak pun, coba dikendalikan oleh perempuan yang masih ingin menyaksikan kebersamaan dua orang di depannya.

Alangkah terkejutnya Jia, saat suami juga pelayannya bermesraan. Sekujur tubuh Jia bergetar, air mata rasanya ingin ditumpahkan bersama urutan sumpah serapah.

‘Mereka mengkhianatiku?’ batin Jia, menahan sekuat tenaga agar air mata tidak tumpah.

Jia mengayun-ayunkan tongkat, menghancurkan kemesraan yang semakin memanas. “Sayang, kamu sudah pulang?” tegurnya sengaja.

Kedua insan tengah sama-sama berhasrat itu menoleh, kemudian saling tatap. Asisten rumah tangga bernama Tamara itu merapikan kancing bajunya, sebelum dia mendekati Jia dan melambai-lambaikan tangan.

Tamara memastikan bahwa Jia benar-benar buta, hingga tidak menyaksikan perbuatannya. Kehadiran Jia selalu saja menjadi ancaman baginya juga Liam, meski selama ini mereka selalu berhasil memanfaatkan situasi.

“Ah, aku sudah pulang.” Liam memeluk Jia erat. “Bagaimana bisa kamu tahu hal itu?”

Hati Jia mendidih mendengar suara lembut suaminya, bahkan pelukan pun ingin dilepaskan paksa olehnya, kemudian menampar dan memaki pria tidak memiliki nurani tersebut.

“Aku memang buta, tapi indera pendengaran lebih tajam.” Jia terpaksa membalas pelukan, menahan sumpah serapahnya dalam tenggorokan tercekat.

“Baiklah. Kalau begitu, ayo kita ke kamar.” Lian membimbing langkah istrinya.

Lian tersenyum menatap wajah Jia yang memang sangat cantik. Namun, dia juga tidak bisa menyingkirkan kekurangan yang dimiliki oleh perempuan yang sudah dijodohkan dengan dirinya.

‘Kenapa aku harus dijodohkan dengan wanita tidak berguna sepertinya?’ batin Lian mengutuk.

Kutukan itu selalu saja diurai oleh Lian setiap waktu. Jika bukan karena warisan serta ancaman dicoret dari ahli waris, mungkin dia tidak akan pernah mau menikah dengan perempuan tunanetra layaknya Jia.

***

Malam hari, Jia merasa tenggorokan kering kerontang. Dia melihat teko di atas nakas sudah kosong, Jia memutuskan pergi ke dapur.

Jia berjalan seorang diri, karena suaminya tidak ditemukan di atas ranjang bersamanya.

Perlahan dia menyisir lantai, melalui kamar-kamar di dalam rumah. Langkah terhenti sesaat mendengar suara dari salah satu kamar, Jia melebarkan telinga untuk mendengarkan saksama.

Mata Jia melebar, tatkala suara yang menari dalam telinganya begitu familier. Jia mendekati kamar telah tercipta kegaduhan, pintu itu tidak tertutup sempurna dan Jia mampu menyajikan apa yang terjadi di dalam.

Jia menutup mulut dengan telapak tangan, menyaksikan jelas suaminya bermadu kasih dengan Tamara. Suara-suara mereka pun seolah berubah menjadi pisau paling tajam, menusuk telinga Jia tanpa perasaan.

“Kamu memang nakal, sangat pintar merayuku.” Lian terengah, menyaksikan ulah perempuan di atasnya sungguh membuat gairahnya memuncak.

“Benarkah? Lebih hebat mana, aku atau si buta itu?” Tamara mendekatkan wajah Liam, memasang paras menggoda.

“Tentu saja, kamu yang terbaik. Aku sama sekali tidak berselera dengannya, dia tidak pernah membuatku tertarik.” Liam menjawab. “Aku hanya terpaksa menikahinya demi kekayaan keluarga.”

Tamara tersenyum puas, bibir bawah digigitnya genit dan membelai tengah dada Liam. Keduanya melanjutkan kegilaan yang semakin memanas, tanpa peduli apakah dinding rumah itu memiliki telinga atau tidak.

Jia terpukul, hatinya terluka parah. Air mata tidak mampu dibendung lagi olehnya, setelah melihat pengkhianatan terang-terangan yang dilakukan suami juga asisten rumah tangganya.

Lemas kaki Jia beralih dari depan kamar, tidak sanggup lagi dia melihat serta mendengar kenikmatan suaminya bersama perempuan lain.

Tenggorokan kering diabaikan oleh Jia, dia kembali ke kamarnya, menangisi nasib hidupnya yang tak berbeda dari badut bagi Liam juga Tamara.

“Cinta, kasih sayang, perhatian yang dia berikan, semuanya palsu. Liam mengkhianatiku, dia sudah membohongiku selama ini.” Jia mengurai air mata, duduk tertunduk di sudut kamar.

Rasanya, Jia sudah putus asa dan hampir gila. Bagaimana mungkin, lelaki yang dianggapnya baik dan menerima dirinya tanpa menatap kekurangan, justru memiliki sisi lain yang mengerikan.

“Tidak. Aku tidak akan pernah menangisi lelaki brengsek sepertinya!” ujar Jia menyeka air mata.

Hati terluka, berubah memanas seketika mata terbayang aksi menjijikan suaminya.

“Aku tidak boleh seperti ini, atau mereka akan bahagia melihatku hancur. Aku harus bangkit, dan membalas semua rasa sakit hatiku!”

***

Pagi hari, seperti biasa Jia akan menikmati teh yang dibuatkan oleh Tamara. Jia duduk memasang tatapan lurus ke depan, Tamara hadir membawakan secangkir teh untuknya.

‘Dasar perempuan buta tidak berguna! Aku sangat membencimu!’ batin Tamara, menyodorkan secangkir teh.

“Silahkan diminum, Nyonya. Mumpung masih hangat,” imbuhnya memaksa santun.

Jia meraba cangkir, itu terasa sangat panas. Jelas, teh dibuatkan oleh pelayan pribadinya itu menggunakan air mendidih, bukan campuran seperti biasa.

Jia bertingkah biasa, memegang gagang cangkir dan bersiap meminum. Tamara tersenyum licik, namun tak lama di menjerit kesakitan akibat teh mengguyur pergelangan tangannya.

“Aduh, apa yang kamu lakukan?!” erang Tamara memegangi pergelangan tangan memanas. ‘Dasar perempuan bodoh!’ makinya dalam hati, ingin sekali menampar wajah majikannya.

“Ma—maaf, aku tidak sengaja menumpahkannya.” Jia mengurai gurat bersalah dan penyesalan. “Tapi, tenang saja. Tanganmu tidak akan melepuh dengan teh hangat, kecuali yang kamu berikan adalah teh dengan air mendidih.”

Jantung Tamara berhenti berdetak, dia menelisik biji mata Jia yang terarah lurus ke depan.

‘Dia bisa melihat?’ batin Tamara, melambaikan tangan tepat di depan wajah Jia dan tidak menemukan reaksi berkedip atau apapun.

Tamara bingung, karena peristiwa barusan terasa seperti disengaja. Jia bangkit dari sofa, mengentak tongkatnya di lantai.

“Buatkan aku jus buah naga,” titah Jia.

Tamara bersungut-sungut, melihat kepergian Jia. “Aku akan membuatkanmu jus terenak di dunia!” ucapnya tersenyum jahat.

Tamara pergi ke dapur sembari memegangi pergelangan terasa panas. Dia membuat jus seperti diminta, dan sengaja mempercepat waktu agar bisa membalas Jia.

“Liam hanya akan menikahiku, bukan perempuan buta jelek sepertinya!” bengis Tamara, mengangkat segelas jus dan menemui Jia.

Tamara menyerahkan segelas tinggi jus buah naga, penciuman Jia menangkap aroma tidak sedap. Busuk. Itulah yang menusuk hidung mancung Jia.

“Minumlah, Nyonya. Ini pasti sangat enak saat masih segar,” ungkap Tamara mengusung senyum tipis.

Jia meraba-raba untuk menemukan gelas, sengaja dia menyenggol agar jus itu jatuh. Lagi-lagi, Tamara berhasil dibuat menjerit karena ketumpahan, dan kali ini pakaiannya yang kotor.

“Ada apa ini?!” seru Liam, berlari menuju sumber suara setelah mendengar gelas pecah.

Jia tidak menggubris, dia berlalu dan sengaja menabrak dada bidang suaminya. Liam menoleh mengamati, lalu berpusat perhatian pada Tamara serta pergelangannya.

“Kenapa dengan tanganmu? Siapa yang melakukan ini?” cemas Liam melihat kulit melepuh kekasihnya.

“Siapa lagi? Istrimu yang tidak benar-benar buta!” tekan Tamara.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
MarscyaPada
Bagus jia jangan mau di tindas..kalau bisa sekalian bikin mereka hidup seperti di neraka
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status