"Mas, lebaran nanti kita beli baju couple sama Alina juga, ya," rengek Marwah istriku dan ini bukan kali pertama dirinya merengek hanya untuk sebuah baju baru di hari lebaran. Tepatnya ini adalah tahun ketiga kami menikah dan juga kali ketiganya dirinya merengek menginginkan baju lebaran.
Aneh memang istriku ini. Dirinya sudah dewasa sudah menjadi seorang ibu juga. Tapi kelakuannya masih saja mirip anak kecil."Puasa saja belum, ini kamu malah susah siap-siap minta baju baru. Pakai acara couple-an atau apa itu seragaman? Sudah mirip anak panti saja," gerutu pada istri.Apakah aku mengiyakan keinginannya? Tentu saja tidak. Toh untuk lebaran tidak di wajibkan untuk memakai baju baru. Baju yang masih ada dan masih bagus juga banyak dan masih bisa dipakai. Buang-buang uang suami saja bisanya. Itu kalau istri gak tau suami cari uang itu susah.Setelah mendapatkan jawaban dari ku tadi. Sudah tak terdengar lagi suaranya. Muka yang sebelumnya nampak sumringah kini telah berubah bagai jemuran yang habis diperas airnya. Lecek karena ditekuk-tekuk. Merajuk? Sudah biasa toh nanti juga akan luluh lagi. Emang dia gak butuh lagi sama suaminya.Lebaran memang kebutuhan akan semakin bertambah. Aku sebagai suami yang bekerja sebagai karyawan sebuah pabrik harus pandai-pandai mengatur uang.Selain untuk kebutuhan bulanan di rumah. Aku juga mempunyai tanggungan uang kos yang harus aku bayar setiap bulannya. Aku tinggal terpisah dari keluarga. Aku bekerja di luar kota yang letaknya cukup jauh. Tiga setengah hingga empat jam perjalanan waktu yang harus aku tempuh. Untuk menyingkat jarak dan juga tenaga akhirnya aku putuskan untuk indekost. Dari tempat ku bekerja dengan tempat tinggal sementara hanya memakan waktu kurang lebih sepuluh menit.Marwah sengaja aku tinggalkan di rumah ibuku. Meski awalnya dirinya sempat menolak dengan alasan aku dan dia bisa tinggal di rumah orang tuanya yang jaraknya lebih dekat ke tempat aku bekerja. Dia juga beralasan ada adik laki-laki ku yang menurut pendapat dia ipar adalah maut. Dikiranya adikku itu pembunuh apa sampai tega-teganya mengatakan jika ipar adalah maut.Drama ini selalu saja terjadi. Entah kenapa istriku ini senang sekali menciptakan masalah untuk suaminya.Aku libur kerja dan pulang tujuanku agar bisa berkumpul dengan keluarga. Melepaskan penat selama lima hari bekerja. Padahal aku pulang satu Minggu dua hari. Yaitu hari Sabtu dan Minggu. Dan hari ini adalah kepulangan ku setelah dua Minggu kami terpisah ruang karena aku mendapatkan jatah lembur hari Sabtu dan Minggu. Lumayan untuk tambahan kebutuhan hari raya..Aku di kota tempat aku mengais rezeki tinggal satu atap dengan kakak kandungku. Meski demikian aku tetap dikenakan biaya tinggal di rumahnya. Dengan istilah nge-kos. Tidak hanya biaya bulanan yang dikenakan sebesar tiga ratus ribu. Tetapi juga biaya makan yang sebesar dua ratus ribu yang harus aku keluarkan. Meskipun aku jarang makan karena tidak sesuai dengan selera. Biaya tersebut tidak dapat di tangguhkan. Aku juga mengeluarkan uang lebih untuk ketiga keponakan ku yang tidak lain adalah anak-anak dari kakakku.Dari seluruh total gajiku yang sebesar tiga juta. Satu setengah juta untuk aku berikan pada ibuku, wanita yang telah melahirkan dan juga merawat ku sedari dalam kandungan hingga sampai aku bisa menjadi seperti ini. Berkat perjuangannya pula aku bisa mengenyam pendidikan hingga bisa meraih gelar sarjana. Lima ratus ribu aku sisihkan untuk biasa kos dan juga makan. Untuk istri dan anakku cukup Dua ratus ribu untuk kebutuhan susu anak kami toh makan mereka juga ditanggung oleh ibuku dan sisanya untuk pegangan ku. Untuk keperluan yang tidak terduga. Biasanya untuk keperluan ketiga keponakan ku seperti yang jajan dan lainnya. Selama aku tinggal bersama dengan kakakku. Akulah yang biasa memenuhi kebutuhan mereka seperti uang jajan, sepatu baru, baju baru, tas baru, termasuk juga baju ketika hari lebaran. Tidak hanya tiga keponakan ku. Kakak perempuan ku juga tiap kali lebaran selaku minta jatah bahkan sebelum adiknya ini menikah. Sebenarnya kakakku dan juga suaminya adalah sama-sama bekerja dan di rumah mereka juga memiliki seorang asisten rumah tangga. Aku yang juga ikut tinggal di rumah mereka. Mau tidak mau harus turut membantu keuangan di rumah mereka dan juga membantu menjaga ketiga keponakan ku ketika kedua orang tuanya pergi bekerja. Kebetulan kami berbeda tempat kerja. Dan di tempat kerjaku sendiri di terapkan sistem shift..Dua hari liburku ku habiskan untuk beristirahat di rumah. Besok subuh aku harus bersiap untuk kembali pergi mengais rezeki lagi.Meskipun tidak menampakkan wajah di tekuknya. Marwah sepertinya masih merajuk pada suaminya ini. Tidak ada pembicaraan di antara kami berdua selama aku berada di rumah kecuali aku yang memulai terlebih dahulu, itupun dia bakal dengan jawaban yang teramat sangat singkat. Padahal setahuku Marwah bukan tipe perempuan cerewet ataupun banyak bicara namun selalu membuka suaranya ketika aku berada di dekatnya.Pekatnya malam telah bergulir. Sang fajar pun telah menampakkan pesona. Aku sudah bangun dan berlomba dengan kokokan ayam jantan.Tak lagi ku dapati keberadaan Marwah di ranjang tempat tidur kami. Yang tersisa hanya aku dan Alina---putri kami yang masih terlelap dan terbuai dalam mimpinya.Aku segera beranjak dari ranjang kamarku ini. Meski rasa kantuk masih mendera dan mata pun belum seratus persen terbuka lebar.Aku segera keluar dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.Saat aku baru saja membuka daun pintu kamar ku ini. Bunyi spatula yang beradu dengan penggorengan terdengar jelas di telinga ini pun aroma masakan yang muncul dari pintu dapur telah hinggap di cuping hidung ku.Meskipun merajuk dengan suaminya. Marwah tetap mengingat dan menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri.Tidak hanya menyiapkan makanan untuk sarapan ku dan bekal yang akan aku bawa ketempat kerja. Baju dan sepatu pun sudah ia persiapkan sebelumnya. Semua sudah terlihat rapi dan sepatu juga sepertinya sudah disemir olehnya."Kamu masak apa hari ini, Dek?" sapaku. Aku mendekat ke arahnya yang memunggungi ku. Tangannya masih lincah menari-nari di atas penggorengan."Ayam kecap," jawaban singkat yang keluar dari mulutnya. Dan tanpa sedikitpun melirik atau melihat ke arah suaminya. Marwah masih terus melanjutkan pekerjaannya.Tak ingin mengganggunya. Aku beralih ke arah meja makan yang letaknya tidak jauh dari tempat istriku mengolah makan untuk penghuni rumah ini.Satu cangkir kopi sudah tersaji di atas meja berbahan kayu yang ditutupi selembar kain berwarna marun dan bermotifkan bunga berwarna-warni.Aku menarik satu buah kursi dari empat buah kursi kayu yang ada di samping meja. Mulai meraih cangkir kopi dan membuka tutupnya lalu ku sesap perlahan karena asapnya pun masih mengepul setelah penutupnya aku buka. Aku duduk tepat di belakang istriku yang posisinya masih memunggungi ku.Heran, betah sekali Marwah merajuk pada suaminya ini hanya karena masalah sepele. Masalah baju lebaran yang masih satu setengah bulan lebih.Tepat pukul 05.00 pagi aku sudah bersiap untuk kembali ke kita tempat aku mencari rezeki."Wah, jangan lupa ayam kecapnya kamu bungkus semua. Biar nanti Wildan kasih sama kakaknya. Itu kesenangan cucu-ku." Samar aku dengar suara ibu. Rupanya beliau sudah bangun. Sementara aku berada di teras untuk memanasi motor yang akan aku pakai kerja."Iya, Bu," jawab istriku patuh pada perintah ibuku. Memang dia harus bersikap seperti itu karena dia Istri ku maka otomatis ibuku adalah ibunya juga."Jangan lupa kamu panasi sayur yang kemarin. Itu nanti bisa buat kamu makan hari ini." Lagi terdengar suara ibu yang sedang berinteraksi dengan menantunya. Aku lega. Karena aku bisa membuktikan dan mematahkan ucapan orang yang selama ini selalu mengatakan bahwa jangan membawa istri untuk satu atap dengan mertua karena tidak akan pernah bisa akur. Mereka salah. Nyatanya istri dan juga ibuku hubungan mereka baik-baik saja. Pun dengan Marwah yang selalu patuh pada ibu mertuanya. Aku lega karena ketika aku
Hari ini adalah hari yang sangat aku nanti. Hari dimana suamiku akan pulang dari tempatnya bekerja. Suamiku kebetulan bekerja di luar kota. Di kabupaten yang berbeda. Sedangkan aku dan putri kami tinggal bersama satu atap dengan ibu mertua dan adik bungsu suamiku. Awalnya aku sempat menolak tinggal di sini. Bukan tanpa alasan. Karena ada adik suamiku yang kebetulan juga seorang laki-laki yang bukan mahram bagiku adalah salah satu alasan ku. Dan alasan lain adalah di mana biasanya menantu tidak akan pernah bisa akur ketika tinggal bersama dengan orang tua terutama ibu dari suaminya. Karena paksaan dari suamiku lah akhirnya aku menerima permintaannya tersebut.Tepat pukul 10.00 pagi tadi suami ku tiba di rumah ini. Aku dan juga Alina tentu saja menyambutnya dengan antusias. Alih-alih beberapa hari ini kami terpisah jarak dan waktu. Tentu saja rasa rindu yang akan merajai hati ini. "Mas, lebaran nanti kita beli baju couple sama Alina juga, ya," rengek ku pada mas Farhan suamiku. Kepa
Bulan ramadhan tahun ini begitu cepat datangnya. Tak terasa hari esok akan memasuki awal bulan puasa. Sudah biasa bagiku menjalankan ibadah puasa jauh dari keluarga, anak dan istri. Alat komunikasi jarak jauh antara aku dan Marwah pun tidak ada. Hanya ponsel yang aku punya dan untuk aku pergunakan secara pribadi dan satu ponsel lain di pegang oleh ibuku untuk kami berkomunikasi. Marwah tidak aku perkenankan untuk memegang ponsel. Aku tidak mau jika Marwah sampai melalaikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Itu lah pesan dari kakak ku yang di sampaikan melalui ibuku. Ponsel akan membuat siapapun malas mengerjakan kewajibannya. Toh Marwah sudah enak menumpang hidup pada keluarga kami. Dan sebagai gantinya ia harus dengan sadar diri mengikuti semua perintah kami. Keluarga ku tidak memperlakukannya sebagai pembantu seperti apa kata orang. Dia istriku dan sudah menjadi kewajiban baginya untuk patuh pada ibu dan juga keluarga ku. Jika keluarga ku menganggapnya sebagai pembantu pastilah ti
Kedatangan keluarga dari saudara suamiku adalah hal yang paling membahagiakan karena bisa berkumpul bersama. Itu jika saudaranya tersebut memang memiliki pikiran dan perasaan yang masih waras dan seperti kebanyakan orang.Tidak dengan kakak perempuan dari suamiku. Dengan adanya berita bahwa keluarga tersebut berkunjung ke rumah orang tuanya. Sama halnya, kabar buruk yang aku terima. Hari-hari burukku sudah menanti di depan mata. Bagaimana tidak. Tamu yang bagaimana ratu jika berkunjung di rumah ini. Semua pekerjaan rumah tak ada satupun dari mereka yang mau membantu. Aku sudah mirip dengan b*bu di rumah ini. Tapi aku berbeda. Jika pembantu mendapatkan gaji setiap bulannya. Maka yang aku dapatkan hanya rasa lelah. Lelah lahir dan batin. Nafkah lahir sebagai hak ku, tidak aku peroleh dengan sepantasnya. Tapi aku dituntut untuk melakukan semua kewajiban ku.Mungkin orang akan berpikir aku perempuan b*doh yang masih mau bertahan hidup dengan suami dan keluarga yang tidak punya hati dan m
Sebelum masuk waktu dhuhur semua pekerjaan telah kelar. Aku segera memberikan diri karena keringat dan bau dapur yang sudah sangat melekat di kulit ini. Usai bersih-bersih badan rencanaku akan segera menjemput putriku---Alina di rumah mbak Rina. Tak lupa lauk yang tadi aku masak sekalian aku antar juga kesana sebagai tanda terimakasih ku.Sebelum keluar dari rumah ini. Aku pastikan dulu kondisi para penghuninya yang lain. Aku keluar dari kamar tak nampak satu orang pun di ruangan tersebut. Menuju ruang tamu pun sama. Kosong. Sedangkan kamar ibu mertua juga sudah tertutup pintunya. Motor Reihan yang biasa ia parkir di teras juga tidak kelihatan. Sepertinya sepasang sejoli itu memang sudah pergi entah ke mana.Tak perlu buang banyak waktu. Bergegas aku ke dapur untuk mengambil bungkusan yang sudah aku persiapkan. Melangkah santai agar tidak membuat curiga dengan pasti aku keluar rumah dan langsung menuju rumah yang berada tepat di depan rumah mertuaku ini. Usai mengantarkan makanan da
Hari pertama puasa terlampaui dengan lancar. Hanya ada beberapa drama yang buat oleh Marwah. Mulai tidak mengindahkan perintah dari ibu sampai dirinya yang enggan untuk dimintai tolong menyuapi keponakannya sendiri. Padahal keponakanku adalah keponakannya juga dan tidak ubahnya seperti anak sendiri. Karena Marwah yang tidak mau menuruti kemauan Kiran. Maka gadis kecil itu pun merajuk dan mau makan makanan yang ada di piringnya. Dan ibu ku lah yang akhirnya membujuk dan menyuapinya makan sementara tangan dan matanya tetap fokus pada gadget dan asik memainkan gamenya."Sudah kelas tiga masih juga manja!" Telingaku ini masih menangkap gerutuan yang dilontarkan oleh Marwah.Memang benar Kiran saat ini duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar dan usianya pun sembilan tahun lebih. Tapi untuk urusan makan biasanya masih minta di suami sementara dirinya asik main game. Dan jika tidak dituruti maka anak itu tidak akan mau memakan makanannya sendiri.Kalau dibilang anak manja. Wajar juga karen
Sakit tapi tak berdarah. Sudah sangat jelas jika keberadaan ku di rumah ini memang tidak pernah dianggap. Entah apa alasannya. Aku yang sibuk. Mereka yang asik menikmati. Buka puasa pun lupa dengan siapa yang menyiapkan semua hingga mereka bisa kenyang tanpa harus bersusah-susah dan keluar tenaga. Mereka tidak mengingat ku atau sengaja tak pernah menganggap ku ada. Untung saja meski semua olahan masakan ku telah habis oleh mereka, aku masih menyimpannya untuk diri ku sendiri dan juga putriku. Kalau bukan aku yang berinisiatif. Mana mungkin suamiku masih ingat anak istrinya ketika berkumpul dengan keluarganya.Aku sengaja membatalkan puasaku hanya dengan segelas air putih. Lanjut aku menunaikan salat magrib sebelum makan besar.Ketika aku baru saja selesai menjalankan kewajiban tiga rakaat tersebut. Mas Farhan tiba-tiba muncul dari balik pintu dan menuju lemari baju yang berada tepat dan samping tempatku salat. Tanpa menoleh kearah ku, pria bergelar suami itu berkata. "Dek, aku dan ya
Setelah lelah berkeliling dan keluar masuk toko untuk mencari pakaian baru. Aku dan keluargaku akhirnya memutuskan untuk makan malam di luar karena rasa lapar yang kembali mendera. Hingga tanpa sadar waktu telah menunjukkan pukul 22.00 rombongan keluarga ku baru sampai di rumah. Tentunya setelah kami mengantarkan Reina pulang dan tak lupa membelikan oleh-oleh untuk orang di rumahnya. Tentunya dengan tujuan untuk menjaga nama baik adikku dan juga keluarga kami.Pintu rumah dibuka oleh istriku---Marwah tanpa kami mengetuk dulu pintunya. Aku kira istriku itu sudah tertidur. Ternyata dia masih juga menunggu kedatangan suaminya. Memang sudah seharusnya. Istri tidur ketika suami sudah sampai di rumahnya.Semua heboh ketika masuk rumah. Heboh dengan belanjaan masing-masing, sedangkan istriku hanya meliriknya saja dan setelahnya ia kembali masuk ke dalam kamarnya tanpa sepatah kata pun menyapa suaminya ini. Aneh juga kelakuannya si Marwah. Padahal sebagai suami aku tidak pernah memberikannya