Hari pertama puasa terlampaui dengan lancar. Hanya ada beberapa drama yang buat oleh Marwah. Mulai tidak mengindahkan perintah dari ibu sampai dirinya yang enggan untuk dimintai tolong menyuapi keponakannya sendiri. Padahal keponakanku adalah keponakannya juga dan tidak ubahnya seperti anak sendiri. Karena Marwah yang tidak mau menuruti kemauan Kiran. Maka gadis kecil itu pun merajuk dan mau makan makanan yang ada di piringnya. Dan ibu ku lah yang akhirnya membujuk dan menyuapinya makan sementara tangan dan matanya tetap fokus pada gadget dan asik memainkan gamenya.
"Sudah kelas tiga masih juga manja!"Telingaku ini masih menangkap gerutuan yang dilontarkan oleh Marwah.Memang benar Kiran saat ini duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar dan usianya pun sembilan tahun lebih. Tapi untuk urusan makan biasanya masih minta di suami sementara dirinya asik main game. Dan jika tidak dituruti maka anak itu tidak akan mau memakan makanannya sendiri.Kalau dibilang anak manja. Wajar juga karena namanya anak memang butuh perhatian dan ingin selalu dimanja.Adan magrib sudah berkumandang. Inilah waktunya berbuka puasa. Buka puasa bersama seperti jarang sekali kami lakukan karena masing-masing memiliki kesibukan tersendiri.Dimana kami sedang sibuk menyantap menu buka puasa dengan masakan yang sudah disiapkan oleh istriku. Sementara aku tidak melihat dimana keberadaan perempuan itu.Dasar memang. Susah sekali diajak ngumpul bareng. Padahal ada ibu, kakak dan adikku serta pasangannya. Sedangkan aku hanya sendiri entah kemana pasangan ku tadi.Tak bisa dipungkiri jika masakan istriku ini memang sangat nikmat. Oleh karena itu ibu mempercayainya untuk menjadi tukang masak ketika ada acara seperti ini. Mbak Nur tentu saja ia tidak diperkenankan oleh ibuku untuk membantu adik iparnya itu. Karena alasan berlibur dari penatnya rutinitas sehari-hari juga waktu bersama yang terbatas. Jadilah semua pekerjaan dapur dan rumah istriku lah yang mengerjakannya.Aku sangat bangga karena itulah tugas sebagai seorang istri dan menantu yang baik. Tidak hanya rajin tetapi harus tahu diri juga.Usai bersantap menu buka puasa aku dan lainnya beranjak dari ruang tengah rumah ibuku ini. Di ruangan inilah kami semua menyantap menu berbuka puasa yang di hidangkan oleh Marwah tanpa ada sisa. Semua masakannya enak dan sangat cocok di lidah kami. Semua meninggalkan ruangan ini pun dengan sisa bekas makan yang dibiarkan begitu saja. Toh nanti ada yang akan membereskan dan membersihkannya. Sementara yang lain bersiap karena kami akan pergi keluar jalan-jalan ke kota. Aku izin terlebih dahulu untuk menunaikan ibadah salat magrib.Saat aku memasuki kamar yang biasa aku tempati bersama dengan Marwah. Ternyata wanita ku itu masih khusuk dalam doanya.Aku juga tidak mempertanyakan perihal ia sudah berbuka atau belum. Itu jadi urusan dia sendiri. Toh Marwah itu sudah besar dan bukan anak-anak lagi. Kalau lapar dan sudah waktunya buka puasa harus dia menyegerakannya.Aku berjalan ke arah lemari baju yang ada di sebelah tempat Marwah menjalankan salatnya. Aku berniat mengambil baju ganti karena sekalian bersiap untuk pergi."Dek, aku dan yang lain mau pergi keluar dulu. Karena mobilnya Mbak Nur gak muat. Kamu sama Alina di rumah saja, ya. Sekalian jaga-jaga siapa tahu ada tamu atau ada maling yang lebih parahnya. Biasanya gitu kalau lagi bukan puasa apalagi pas orang -orang lagi salat taraweh."Tanpa menoleh ke arahnya karena fokusku mencari baju ganti yang tidak disiapkan oleh Marwah. Aku memberitahunya tentang rencana kami yang akan pergi jalan-jalan ke kota.Karena tak ada jawaban yang keluar dari bibirnya. Aku menoleh ke arahnya bersamaan dengan baju yang akan aku pakai sudah ku temukan dan menariknya dari tumpukan baju yang lain.Marwah hanya diam. Seolah mengabaikan ucapanku. Bergegas dia membereskan peralatan salat yang baru saja dipakainya.Tak berselang lama pun suara klakson dari mobil milik Mbak Nur terdengar. Aku bergegas mengerjakan salat. Sebelum mereka pergi meninggalkan aku. Tapi itu tidak mungkin. Karena rencana pergi ini juga ada aku yang andil di dalamnya. Karena janjiku yang akan mentraktir keluarga ku untuk membeli baju baru untuk di kenakan pada lebaran nanti.Suasana jalanan kota KDR ramai lalu-lalang pengendara. Di tambah hari Sabtu malam Minggu yang biasanya di habiskan untuk berkumpul atau sekedar jalan-jalan bersama keluarga seperti aku dan keluargaku saat ini. Kawasan pertokoan di pusat kota yang menjadi tujuan pertama kali. Di mana berjajar toko -toko besar yang menjajakan dagangannya. Tidak hanya toko besar permanen. Tetapi warung tenda semi permanen juga ikut menghiasi padatnya lalu lintas yang ada di kota ini.Setelah memastikan toko pakaian yang akan kami tuju. Mobil terlebih dahu di parkirkan pada bahu jalan dengan mengikuti arahan tukang parkir yang ada dan berjaga di depan toko.Segera kami semua turun. Toko yang akan kami masuki ini adalah salah satu toko yang paling terkenal dan juga koleksinya yang lengkap dan pastinya harganya yang juga sebanding diantara deretan toko yang lainnya. Sudah seperti langganan di toko ini.Kami masuk melalui pintu kaca. Dan semua berpencar menuju tujuannya masing-masing. Jika keluarga Mbak Nur memilih menuju lantai dua di mana pakaian anak dan wanita berada dan di pajang di sana dan diikuti pula oleh Reihan dan pasangannya. Sementara aku dan ibu lebih memilih menuju lantai satu ini. Milih baju untuk aku kenakan nanti dan juga ibuku. Semua memilih pilihannya masing-masing.Sementara menunggu yang lain selesai. Aku dan juga ibuku memutuskan untuk naik ke lantai dua. Dan saat berada di lantai tersebut mataku tertuju pada satu pajangan baju yang menempel pada rak dinding di bagian atas. Baju couple ibu dan anak seperti yang diinginkan Marwah. Sejenak pikiran itu melintas dan segera di sadarkan oleh ucapan Mbak Nur beberapa waktu yang lalu. "Marwah dan Alina sudah ada baju. Bajuku dan baju Karin dan Kiran masih bagus. Masih bisa dipakai Alina. Gak usah kamu buang-buang duit. Cari duit itu susah." Karena ucapan itu aku tersadar. Dan ku urungkan niatku untuk mengambil baju tersebut.Akhirnya aku meninggalkan tempat tersebut dan menyusul yang lainnya untuk turun ke lantai satu. Menuju meja kasir untuk membayar semua belanjaan kami. Hampir menguras gajiku satu bulan untuk total belanjaan semua keluarga ku ini. Tak masalah toh uang dan rezeki masih bisa di cari. Sedangkan kebahagiaan keluarga itu jauh lebih penting.Usai dari toko ini lanjut kami menuju tempat makan. Setelah hampir satu jam berkeliling toko. Rasanya menguras tenaga juga. Perut pun ikut keroncongan. Kami mampir ke pasar malam yang berada di sisi dari monumen yang terkenal dan menjadi ikon di kota ini. Warung bakso dan kelapa muda menjadi tujuan kami. Dan semua memesan masing-masing satu porsi bakso dan juga es nya. Kali ini ibuku yang giliran mentraktir anak-anaknya. Niatku yang ingin membungkus dua porsi untuk Marwah dan Alina ku urungkan ketika ibu ku mengingatkan. "Di rumah banyak makanan, Han. Gak usah pakai bungkusin yang di rumah."Iya, memang di rumah banyak makanan yang dimasak oleh Marwah---istriku. Tapi bukannya makanan tadi juga habis semua oleh kami. Atau ibu sengaja menyisihkan dan menyimpannya untuk Marwah. Iya pasti. Tidak mungkin juga ibuku tega dan melupakan anak Istriku.Sakit tapi tak berdarah. Sudah sangat jelas jika keberadaan ku di rumah ini memang tidak pernah dianggap. Entah apa alasannya. Aku yang sibuk. Mereka yang asik menikmati. Buka puasa pun lupa dengan siapa yang menyiapkan semua hingga mereka bisa kenyang tanpa harus bersusah-susah dan keluar tenaga. Mereka tidak mengingat ku atau sengaja tak pernah menganggap ku ada. Untung saja meski semua olahan masakan ku telah habis oleh mereka, aku masih menyimpannya untuk diri ku sendiri dan juga putriku. Kalau bukan aku yang berinisiatif. Mana mungkin suamiku masih ingat anak istrinya ketika berkumpul dengan keluarganya.Aku sengaja membatalkan puasaku hanya dengan segelas air putih. Lanjut aku menunaikan salat magrib sebelum makan besar.Ketika aku baru saja selesai menjalankan kewajiban tiga rakaat tersebut. Mas Farhan tiba-tiba muncul dari balik pintu dan menuju lemari baju yang berada tepat dan samping tempatku salat. Tanpa menoleh kearah ku, pria bergelar suami itu berkata. "Dek, aku dan ya
Setelah lelah berkeliling dan keluar masuk toko untuk mencari pakaian baru. Aku dan keluargaku akhirnya memutuskan untuk makan malam di luar karena rasa lapar yang kembali mendera. Hingga tanpa sadar waktu telah menunjukkan pukul 22.00 rombongan keluarga ku baru sampai di rumah. Tentunya setelah kami mengantarkan Reina pulang dan tak lupa membelikan oleh-oleh untuk orang di rumahnya. Tentunya dengan tujuan untuk menjaga nama baik adikku dan juga keluarga kami.Pintu rumah dibuka oleh istriku---Marwah tanpa kami mengetuk dulu pintunya. Aku kira istriku itu sudah tertidur. Ternyata dia masih juga menunggu kedatangan suaminya. Memang sudah seharusnya. Istri tidur ketika suami sudah sampai di rumahnya.Semua heboh ketika masuk rumah. Heboh dengan belanjaan masing-masing, sedangkan istriku hanya meliriknya saja dan setelahnya ia kembali masuk ke dalam kamarnya tanpa sepatah kata pun menyapa suaminya ini. Aneh juga kelakuannya si Marwah. Padahal sebagai suami aku tidak pernah memberikannya
Hati istri mana yang tidak sesak kala melihat suaminya hanya perhatian pada keluarganya sendiri tetapi mengabaikan istri dan anaknya.Hati ibu mana yang tidak perih melihat ayah dari putrinya melimpahkan kasih sayangnya melebihi kasihnya pada darah dagingnya sendiri. Seolah keponakannya adalah anaknya sendiri. Sedangkan putri kandungnya sendiri diperlakukan oleh nya seperti anak orang lain.Keberadaan ku benar-benar tidak ada artinya dan gunanya lagi selain sebagai pembantu gratisan yang keberadaannya hanya untuk melayani mereka.Harusnya sebagai seorang suami dan juga seorang ayah. Mas Farhan lebih memperhatikan anak istrinya. Tetapi apa yang ia lakukan malah justru kebalikannya. Andai saja aku bisa mendoakan yang buruk-buruk untuk keluarga ini pasti itu sudah aku lakukan jauh hari. Hanya saja diri ini takut. Takut jika doaku yang buruk itu nantinya berbalik pada diriku sendiri. Oleh karena itu tak pernah lelah dalam tiap sujudku. Selalu meminta kepada-Nya agar segera membukakan mat
Perlahan namun pasti bayangan Marwah dan juga putriku sedikit teralihkan oleh hebohnya group di tempat kerjaku. Iya tepatnya hari ini adalah hari pertama bagi karyawan yang memenuhi persyaratan untuk bisa mengajukan diri mengikuti seleksi untuk bisa naik level. Dengan percaya diri aku mendatangi kantor pimpinan HRD. Setelah dipersilahkan masuk, aku langsung menghadap dan langsung mengutarakan maksud kedatanganku.Setelah sedikit berbasa-basi mengenai posisi yang akan di buka khusus untuk karyawan yang benar-benar masuk kriteria seperti aku ini.Namun setelah mendapatkan penjelasan dari kepala HRD perihal ijazah ku yang tidak sesuai kriteria. Aku pun di buat kaget. Bagaimana mungkin bisa. Aku jelas-jelas masih ingat jika ijazah yang aku ajukan adalah ijazahku yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi tempat aku pernah menimba ilmu dulu. Sedangkan data CV ku yang masuk di pabrik ini adalah hanya ijazah SMA saja. Luruh sudah harapan ku. Tubuhku terasa lemah seperti kehilangan tulang penyang
Aku ingin memastikan kondisi ibuku sebelum aku mencari Marwah di rumah orang tuanya.Sabtu pagi yang cerah. Usai melaksanakan salat subuh tadi. Aku segera bersiap untuk pulang ke rumah ibuku. Hingga tiga jam kurang lebih perjalanan yang aku tempuh. Akhirnya aku telah sampai di rumah masa kecilku."Pulang kamu, Han?" sapa mbak Rina tetangga depan rumah sekaligus anak dari kakak sepupu ibuku. Aku yang baru saja memasuki halaman rumah dan memarkir roda dua ku. Dan mbak Rina sendiri juga baru keluar dari rumah ibu."Iya, Mbak. Ibu sakit. Kemarin Reihan udah nelpon dan ngabarin kabar ibu.""Gimana sama kabar Marwah dan Alina? Sudah ketemu sama mereka?"Aku menggeleng. "Belum, Mbak."Aku tahu jika wanita yang seumuran dengan mbak Nur ini sangat menyayangi putriku---Alina melebihi budenya sendiri yang merupakan kakak kandungku.Limpahan kasih sayangnya kepada Alina melebihi kasih sayangku pada putriku sendiri. Itu mungkin karena diusianya yang sampai saat ini belum juga dikaruniai seorang a
Sudah satu Minggu lebih ini aku berada di rumah kedua orang tuaku. Dan selama itu pula tak ada kabar atau niatan dari suamiku untuk mencari anak dan istrinya.Bukan mengharap dia akan mengemis dan memohon kepada ku agar kembali lagi ke rumahnya. Tentu tidak. Dan tak akan pernah. Kecuali mas Farhan mau berjanji dan mau memenuhi persyaratan dari ku. Tapi rasanya itu mustahil untuknya. Bukankah keluarganya itu lebih penting dari apapun.Bulan puasa ini aku lalui tanpa suami. Meski sudah terbiasa berhubungan jarak jauh. Namun tetap saja seperti ada yang hilang. Ada yang kurang.Beberapa hari yang lalu mbak Rina dan juga suaminya datang menemui ku di rumah ini. Mereka kebetulan lewat di dekat tempat tinggal ku dan sekalian mampir. Tidak hanya itu. Mbak Rani bahkan memberikan ku sebuah ponsel. Meski bukan barang baru tentunya ponsel tersebut masih bisa di gunakan. Mbak Rani juga bilang dengan adanya ponsel ia akan lebih mudah menghubungi aku terutama ketika sedang merindukan putriku---Alina
Suasana ruang tamu mendadak hening kembali.Aku menoleh ke arah bapak dan ibu juga Alina yang sedang asik dengan mainan barunya yakni boneka barbie yang baru saja dibelikan sama Mbah dok atau mbak wedok(nenek) beberapa hari yang lalu di pasar malam. Pasar yang ramai ketika memasuki bulan puasa terlebih pada sore hingga malem hari. Tidak hanya kebutuhan dapur seperti sayur mayur dan kelengkapannya. Melainkan banyak juga penjual pakaian, sepatu sendal, makanan ringan hingga berat, takjil, mainan anak-anak hingga arena bermain anak yang di sewakan pun ada. Dan di buka mulai sore hari di halaman pasar yang memang luas tempatnya. Pasar daerah di tempatku.Sikap bapak dan ibu pun sudah tidak seperti biasanya. Berubah setelah apa yang sudah semua aku ceritakan pada mereka.Ekspresi dingin yang di tunjukan oleh keduanya. Mungkin inilah salah satu penyebabnya yang membuat mas Farhan serasa mati kutu di hadapan keluargaku. Jika sebelumnya ia datang ke rumah ini karena terpaksa mengantarkan aku
Akhirnya usahaku menjemput Marwah tidak sia-sia. Diwarnai dengan penuh drama dan meskipun harus menunggu dan tidak sebentar untuk itu. Akhirnya bisa luluh juga hati istriku itu.Kami tiba di rumah ketika salat tarawih telah usai. Karena kami berangkat dari rumah Marwah setelah sebelumnya melaksanakan salat magrib dan juga berbuka di rumah orang tua dari istriku.Sengaja harus menunggu Marwah menyelesaikan semua pesanan pelanggannya. Tak kusangka ternyata begitu kerja kerasnya istriku. Padahal sudah kewajiban ku sebagai seorang kepala keluarga untuk mencukupi kebutuhan istri dan anakku. Nyatanya selama ini aku sudah lalai karena dibutakan oleh jasa baik keluarga kakak kandungku sendiri. Entah bagaimana dengan reaksi ibuku ini, jika saja mengetahui kecurangan yang telah diperbuat oleh anak dan menantunya sendiri. Ingin aku bercerita pada Marwah. Namun masih ku tahan karena sikap dinginnya kepadaku."Assalamualaikum ...." Pintu rumah yang ternyata tidak terkunci. Tak ada jawaban. Aku d