Suasana ruang tamu mendadak hening kembali.Aku menoleh ke arah bapak dan ibu juga Alina yang sedang asik dengan mainan barunya yakni boneka barbie yang baru saja dibelikan sama Mbah dok atau mbak wedok(nenek) beberapa hari yang lalu di pasar malam. Pasar yang ramai ketika memasuki bulan puasa terlebih pada sore hingga malem hari. Tidak hanya kebutuhan dapur seperti sayur mayur dan kelengkapannya. Melainkan banyak juga penjual pakaian, sepatu sendal, makanan ringan hingga berat, takjil, mainan anak-anak hingga arena bermain anak yang di sewakan pun ada. Dan di buka mulai sore hari di halaman pasar yang memang luas tempatnya. Pasar daerah di tempatku.Sikap bapak dan ibu pun sudah tidak seperti biasanya. Berubah setelah apa yang sudah semua aku ceritakan pada mereka.Ekspresi dingin yang di tunjukan oleh keduanya. Mungkin inilah salah satu penyebabnya yang membuat mas Farhan serasa mati kutu di hadapan keluargaku. Jika sebelumnya ia datang ke rumah ini karena terpaksa mengantarkan aku
Akhirnya usahaku menjemput Marwah tidak sia-sia. Diwarnai dengan penuh drama dan meskipun harus menunggu dan tidak sebentar untuk itu. Akhirnya bisa luluh juga hati istriku itu.Kami tiba di rumah ketika salat tarawih telah usai. Karena kami berangkat dari rumah Marwah setelah sebelumnya melaksanakan salat magrib dan juga berbuka di rumah orang tua dari istriku.Sengaja harus menunggu Marwah menyelesaikan semua pesanan pelanggannya. Tak kusangka ternyata begitu kerja kerasnya istriku. Padahal sudah kewajiban ku sebagai seorang kepala keluarga untuk mencukupi kebutuhan istri dan anakku. Nyatanya selama ini aku sudah lalai karena dibutakan oleh jasa baik keluarga kakak kandungku sendiri. Entah bagaimana dengan reaksi ibuku ini, jika saja mengetahui kecurangan yang telah diperbuat oleh anak dan menantunya sendiri. Ingin aku bercerita pada Marwah. Namun masih ku tahan karena sikap dinginnya kepadaku."Assalamualaikum ...." Pintu rumah yang ternyata tidak terkunci. Tak ada jawaban. Aku d
Satu Minggu semenjak Marwah kembali ke rumah ini dan merawat ibu baik. Kondisi ibu semakin ke sini semakin membaik saja. Perlahan ibu sudah mulai bisa menggerakkan kaki dan tangannya. Ke kamar kecil pun sudah bisa sendiri asal ada yang mendampingi. Bicara pun sudah sedikit bisa di mengerti.Aku sengaja mengajukan cuti libur tanpa memberi tahu ibu atau Reihan seperti biasanya. Dan rencananya juga mbak Nur dan keluarganya juga akan datang berkunjung. Harusnya ketika ibu masih sakit agar dia juga merasakan rasanya merawat orang tua yang sakit bukan hanya Marwah yang seorang menantu yang selama sakitnya merawat orang tua kami satu-satunya ini.Prank!"Hei, mbak kamu bisa masak gak sih. Sayur apaan ini yang kamu masak! Sengaja kamu mau ngeracuni aku sama Riana, ya?"Motor segera aku parkir di teras dan terdengar suara lantang Reihan yang sedang menegur Marwah sepertinya.Tak ada jawaban. Tak terdengar sahutan suara Marwah.Aku segera masuk dan ternyata mereka semua ada di dapur. Nampak pan
"Enak sekali ya ... yang habis jalan-jalan," sindir mbak Nur ketika aku dan Marwah baru saja masuk rumah. Aku memasukkan motor ku di ruang tamu sementara Marwah masuk ke dalam kamar dengan mengendong Alina yang tertidur pulas karena kenyang dan juga ngantuk berat.Mengambil beberapa kantong belanja kami tadi yang aku taruh di cantolan motor yang ada di bawah spidometer."Banyak banget, Han belanjanya. Pasti kamu tekor karena dipalak istri dan anak kamu yang sok-sokan kabur dari rumah karena merajuk. Jangan dibiasakan, Han malah ngelunjak," cerocos mbak Nur yang sudah mirip sama rel kereta yang gak ada ujungnya."Ini kan pakai uang aku sendiri, Mbak. Gak minta juga sama kalian. Terus masalahnya ada di mana? Uangku berarti uang istri dan anakku. Kalau uangku habis untuk menyenangkan kalian saja. Itu baru aku yang b*doh, buang-buang duit gak ada guna dan gak menjamin pahala buat aku. Beda kalau uang ku habis untuk menyenangkan istri dan anakku. Selain pahala karena menyenangkan hati ana
Karena kesiangan dan selalu mengandalkan istri ku. Akhirnya mbak Nur dan keluarganya tidak ada yang makan sahur. Sudah keburu imsak dan masuk salat subuh. Tidak mau bergerak sendiri hanya perintah saja sukanya. Diktator tenyata saudariku itu dan payahnya aku baru menyadarinya sekarang setelah hasutan yang terus ia tanamkan dan hampir saja menghancurkan bahtera yang aku bangun bersama dengan Marwah.Siang ini rencananya mbak Nur sekeluarga akan balik. Dan aku sendiri memang sengaja masih di rumah, cuti dua hari sengaja aku ambil untuk hari Jumat dan Senin besok."Ayah, mau kue," rengek Alina dan terus menarik-narik tangan ku. Ia menunjuk ke arah meja kamar ibu karena posisi kami saat ini sedang berada di ruang tengah yang menghadap langsung ke kamar yang terbuka lebar daun pintunya."Mau kue apa?" tanyaku sambil menggiringnya masuk ke kamar ibu. Ibu baru saja selesai makan siang dan minum obat tentunya dengan bantuan Marwah sedangkan mbak Nur sedang sibuk berkemas karena bersiap untuk
Tanpa aku duga. Ternyata mas Farhan nekat juga datang menemui ku dan dengan tanpa rasa bersalah ia mengajak ku pulang hanya karena ibunya yang sakit dan tentunya mereka pasti membutuhkan orang yang bisa merawat ibunya. Malas sebenarnya, hanya karena aku masih berstatus sebagai istri dari laki-laki yang ibunya sedang sakit, maka dengan dalih jiwa kemanusiaan pada sesama aku mau mengikuti kemauannya. Dengan syarat mau menungguku hingga menyelesaikan tanggung jawab ku dan aku juga tidak mau selamanya tinggal di sana merawat ibunya hingga kondisinya bisa pulih seperti sediakala atau lebih baik paling tidak.Aku sampai di rumah mertua ketika orang-orang baru turun dari masjid usai melaksanakan salat Isak dan tarawih. Kondisi rumah gelap karena lampu belum dinyalakan sedangkan rumah di sekitarnya nampak terang dengan pencahayaan. Mas Farhan masuk terlebih dahulu usai memarkir motornya dan aku serta Alina mengekornya di belakang. Pintu tidak dikunci dan kondisi di dalam aku jauh berbeda deng
Hari Sabtu malam bakda Isak keluarga dari kakak iparku sampai di rumah mertua. Berdalih ingin melihat kondisi ibu mertua. Tapi aku tidak yakin, kalau pun punya itikad seperti harus harusnya dari beberapa waktu yang lalu ketika kondisi ibunya benar-benar masih down. Aku tidak ingin ber jumawa jika kondisi dari mertua lebih baik berkat diriku tetapi sebagai anak kandung harusnya mbak Nur memiliki hati nurani yang lebih peka terhadap ibunya. Nyatanya selama ini dari yang aku lihat justru berbeda seratus delapan puluh derajat. Ibu yang lebih melayani dirinya dan juga keluarganya. Datang berkunjung jika ada maunya dan juga menambah beban karena seringnya dia membuat orang lain repot. Benar-benar tidak ada hati dan pikiran, pikirku."Han, cepet sini kamu gendongin Karin dulu. Aku capek dari tadi rewel terus gak mau diem," teriak mbak Nur memanggil suamiku. Mungkin mas Farhan sudah pulang dari masjid pikirku karena aku ada di dalam rumah sedangkan sedari Adan berkumandang tadi mas Farhan ber
Sahur pagi ini di warnai dengan drama. Mas Farhan yang sengaja melarang ku menyiapkan makanan sahur untuk keluarganya. Aku dengan senangnya mengiyakan ucapan dari suamiku tersebut. Aku dan mas Farhan pun sahur dengan menu seadanya yang aku masak dadakan dan cukup untuk dimakan oleh kami berdua. Menu tumis sawi dan ceplok telur. Usai membereskan dan membersihkan bekas makan kami tadi. Sambil menunggu adan subuh. Aku melanjutkan pekerjaan rumah rutin-an yakni mencuci pakaian. Jika biasanya perlu waktu berjam-jam untuk menyelesaikan tugas tersebut karena pakaian milik seluruh keluarga suamiku yang harus aku kerjakan. Mas Farhan segera memisahkan pakaian kami dan milik ibu dari pakaian milik keluarga yang lain. Seenaknya saja menaruh pakaian kotor di atas keranjang pakaian yang biasa aku gunakan untuk menaruh pakaian yang akan aku cuci. Berharap pakaian mereka aku juga yang mencucinya. Jangan harap, karena saat ini mata hati dan nurani suamiku telah terbuka. Ia sudah bisa membedakan mana