"Enak sekali ya ... yang habis jalan-jalan," sindir mbak Nur ketika aku dan Marwah baru saja masuk rumah. Aku memasukkan motor ku di ruang tamu sementara Marwah masuk ke dalam kamar dengan mengendong Alina yang tertidur pulas karena kenyang dan juga ngantuk berat.Mengambil beberapa kantong belanja kami tadi yang aku taruh di cantolan motor yang ada di bawah spidometer."Banyak banget, Han belanjanya. Pasti kamu tekor karena dipalak istri dan anak kamu yang sok-sokan kabur dari rumah karena merajuk. Jangan dibiasakan, Han malah ngelunjak," cerocos mbak Nur yang sudah mirip sama rel kereta yang gak ada ujungnya."Ini kan pakai uang aku sendiri, Mbak. Gak minta juga sama kalian. Terus masalahnya ada di mana? Uangku berarti uang istri dan anakku. Kalau uangku habis untuk menyenangkan kalian saja. Itu baru aku yang b*doh, buang-buang duit gak ada guna dan gak menjamin pahala buat aku. Beda kalau uang ku habis untuk menyenangkan istri dan anakku. Selain pahala karena menyenangkan hati ana
Karena kesiangan dan selalu mengandalkan istri ku. Akhirnya mbak Nur dan keluarganya tidak ada yang makan sahur. Sudah keburu imsak dan masuk salat subuh. Tidak mau bergerak sendiri hanya perintah saja sukanya. Diktator tenyata saudariku itu dan payahnya aku baru menyadarinya sekarang setelah hasutan yang terus ia tanamkan dan hampir saja menghancurkan bahtera yang aku bangun bersama dengan Marwah.Siang ini rencananya mbak Nur sekeluarga akan balik. Dan aku sendiri memang sengaja masih di rumah, cuti dua hari sengaja aku ambil untuk hari Jumat dan Senin besok."Ayah, mau kue," rengek Alina dan terus menarik-narik tangan ku. Ia menunjuk ke arah meja kamar ibu karena posisi kami saat ini sedang berada di ruang tengah yang menghadap langsung ke kamar yang terbuka lebar daun pintunya."Mau kue apa?" tanyaku sambil menggiringnya masuk ke kamar ibu. Ibu baru saja selesai makan siang dan minum obat tentunya dengan bantuan Marwah sedangkan mbak Nur sedang sibuk berkemas karena bersiap untuk
Tanpa aku duga. Ternyata mas Farhan nekat juga datang menemui ku dan dengan tanpa rasa bersalah ia mengajak ku pulang hanya karena ibunya yang sakit dan tentunya mereka pasti membutuhkan orang yang bisa merawat ibunya. Malas sebenarnya, hanya karena aku masih berstatus sebagai istri dari laki-laki yang ibunya sedang sakit, maka dengan dalih jiwa kemanusiaan pada sesama aku mau mengikuti kemauannya. Dengan syarat mau menungguku hingga menyelesaikan tanggung jawab ku dan aku juga tidak mau selamanya tinggal di sana merawat ibunya hingga kondisinya bisa pulih seperti sediakala atau lebih baik paling tidak.Aku sampai di rumah mertua ketika orang-orang baru turun dari masjid usai melaksanakan salat Isak dan tarawih. Kondisi rumah gelap karena lampu belum dinyalakan sedangkan rumah di sekitarnya nampak terang dengan pencahayaan. Mas Farhan masuk terlebih dahulu usai memarkir motornya dan aku serta Alina mengekornya di belakang. Pintu tidak dikunci dan kondisi di dalam aku jauh berbeda deng
Hari Sabtu malam bakda Isak keluarga dari kakak iparku sampai di rumah mertua. Berdalih ingin melihat kondisi ibu mertua. Tapi aku tidak yakin, kalau pun punya itikad seperti harus harusnya dari beberapa waktu yang lalu ketika kondisi ibunya benar-benar masih down. Aku tidak ingin ber jumawa jika kondisi dari mertua lebih baik berkat diriku tetapi sebagai anak kandung harusnya mbak Nur memiliki hati nurani yang lebih peka terhadap ibunya. Nyatanya selama ini dari yang aku lihat justru berbeda seratus delapan puluh derajat. Ibu yang lebih melayani dirinya dan juga keluarganya. Datang berkunjung jika ada maunya dan juga menambah beban karena seringnya dia membuat orang lain repot. Benar-benar tidak ada hati dan pikiran, pikirku."Han, cepet sini kamu gendongin Karin dulu. Aku capek dari tadi rewel terus gak mau diem," teriak mbak Nur memanggil suamiku. Mungkin mas Farhan sudah pulang dari masjid pikirku karena aku ada di dalam rumah sedangkan sedari Adan berkumandang tadi mas Farhan ber
Sahur pagi ini di warnai dengan drama. Mas Farhan yang sengaja melarang ku menyiapkan makanan sahur untuk keluarganya. Aku dengan senangnya mengiyakan ucapan dari suamiku tersebut. Aku dan mas Farhan pun sahur dengan menu seadanya yang aku masak dadakan dan cukup untuk dimakan oleh kami berdua. Menu tumis sawi dan ceplok telur. Usai membereskan dan membersihkan bekas makan kami tadi. Sambil menunggu adan subuh. Aku melanjutkan pekerjaan rumah rutin-an yakni mencuci pakaian. Jika biasanya perlu waktu berjam-jam untuk menyelesaikan tugas tersebut karena pakaian milik seluruh keluarga suamiku yang harus aku kerjakan. Mas Farhan segera memisahkan pakaian kami dan milik ibu dari pakaian milik keluarga yang lain. Seenaknya saja menaruh pakaian kotor di atas keranjang pakaian yang biasa aku gunakan untuk menaruh pakaian yang akan aku cuci. Berharap pakaian mereka aku juga yang mencucinya. Jangan harap, karena saat ini mata hati dan nurani suamiku telah terbuka. Ia sudah bisa membedakan mana
Sudah satu Minggu sejak kepindahan ku ke rumah mertua. Kehidupan ku jauh terasa lebih tenang dan juga damai, tentunya juga dengan istri dan anakku. Mengenai kondisi dari ibuku sendiri. Ternyata aku tidak menyangka jika ibu akan berniat seperti ini. Dari pengakuan Marwah sebetulnya sudah dari berhari-hari yang lalu kondisi ibu mulai membaik tetapi lebih tepatnya sudah baik. Tanpa sepengetahuan dari ibu, Marwah juga memergoki ibu yang sebenarnya sudah bisa berjalan sendiri bahkan untuk beraktivitas seperti biasanya ibu sudah bisa hanya saja Marwah ingin tahu apa alasan ibu melakukan hal ini, dengan berpura-pura sakit. Apakah karena menginginkan Marwah untuk kembali pulang ke rumahnya ataukah ada motif lain, itu yang masih aku cari tahu. Dari hubungan ku dengan mbak Rina juga aku bisa memantau bagaimana kondisi ibu di sana. Dan berkat mbak Rina pula aku bisa memperoleh informasi tentang ibuku, wanita yang berjasa pada hidupku.Tak terasa jika kami sudah berada di penghujung Ramadan tahu
Tak terasa jika kami sudah berada di penghujung ramadan. Hari raya sudah di depan mata. Dan rencanaku tahun ini adalah merayakan lebaran hari pertama di rumah mertua. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Aku yang sengaja memaksa Marwah untuk merayakan lebaran di rumah ibu dan baru di hari ketiga aku akan mengajak Marwah untuk berlebaran di rumah orang tuanya dan itupun tak pernah aku izinkan untuk menginap. Bukan aku yang tak mengizinkan, apa daya aku hanya ingin mematuhi ucapan ibuku sendiri untuk melarang Marwah agar tidak menginap di rumah orang tuanya. Begitu egoisnya kami tanpa ingin tahu bagaimana perasaan Marwah waktu itu. Dan kali ini aku benar-benar ingin menebus semua kesalahan ku padanya juga pada kedua orang tuanya. Aku yang dengan egois begitu membatasi interaksi antara anak dan orang tuanya. Ucapan ibu dan mbak Nur yang selaku saja berdengung di telingaku, bahwa seorang istri adalah milik suami dan keluarganya. Ia sudah terlepas dari keluarganya. Hari Minggu lalu aku s
Riuh tawa canda yang aku dengar dapati dari keluarga kakak sulungku nyatanya berbanding terbalik dengan air muka yang diperlihatkan oleh ibuku. Bagaimana tidak, kondisi rumah mulai dari ruang tamu hingga ke dapur ini sudah menyerupai bentuk kapal pecah yang tentu saja isinya akan terburai dan berhamburan tidak beraturan. Mulai dari kursi ruang tamu yang tidak beraturan tatanannya, toples yang berpindah tempat dari atas meja menjadi di atas lantai, taplak meja yang teronggok sembarangan di atas kursi, sisa makanan yang berserakan dan yang lebih parahnya lagi adalah di bagian belakang sini. Dapur berserakan, kuah sayur berceceran di atas meja hingga kelantai, piring kotor teronggok di atas wastafel serta cucian yang menumpuk di atas keranjang pakaian kotor. Sungguh hamparan pemandangan yang sangat tidak sedap untuk disaksikan.Mungkin ini adalah alasan kenapa ibuku menampakkan air muka yang masam. Aku jadi curiga, mungkin selama anak perempuannya pulang ke rumah ini, semua pekerjaan rum