Karena tidak ada yang mengolah makanan untuk makan malam. Aku sengaja mengajak Marwah serta Alina untuk mencari makan di luar dan rencananya juga aku akan membungkus di bawa pulang sebagai makan malam untuk ibu. Yang lainnya aku tidak mau ambil pusing, toh biasanya juga mereka sering lupa jika sedang senang-senangnya di luar sana. Masih ingat ketika awal ramadhan aku sengaja bersama keluarga ku makan malam di luar dan membiarkan anak Istriku makan sendiri di rumah. Itu pun makan yang susah payah diolah oleh Marwah dilahab habis sendiri oleh keluargaku tanpa mau mengingat dan menyisahkannya untuk istri dan anakku. Dan bodohnya aku juga mengikuti jejak mereka. Dan ketika aku mengingat anak istri ku dan berniat untuk membungkusnya sebagai oleh-oleh, justru keluarga ku juga yang memberikan larangan padaku. Teringat itu betapa kejamnya aku sebagai suami dan juga ayah. Bersenang-senang sendiri tanpa menghiraukan perasaan anak istri.Aku sengaja mengajak keluarga kecilku makan di warung soto
Hari adalah hari lamaran Reihan adikku dengan kekasihnya, Riana. Hari yang susah di sepakati oleh kedua belah pihak."Wah, masak apa hari ini?" tanya mbak Nur ketika aku akan pergi mengantar Marwah untuk ke pasar. Karena ini adalah permintaan dari ibu sendiri. Sebelumnya ibu yang menghendaki untuk mbak Nur saja yang berbelanja untuk keperluan makan kami tapi sudah bisa ditebak jika saudariku itu tidak akan mau. Takut nombok pakai uangnya jika dia yang harus pergi ke pasar."Masak sayur sup, mbak.""Kok sayur sup, sih. Anak-anak ku mana mau. Kenapa gak masak rendang daging atau semur daging saja?""Kalau mau makan menu seperti yang mbak Nur sebutkan tadi. Ya, mbak silahkan pergi belanja sendiri dan olah sendiri. Itu sudah perintah ibu," sahut ku. Aku yang sudah berada di atas motor dan bersiap untuk berangkat ke pasar. Kami sudah terbiasa bangun pagi dan juga mandi pagi. Alina nampak segar dan wangi karena minyak telon yang sengaja di balurkan di tubuhnya oleh ibunya. Berbeda halnya de
Sudah kuduga. Ujung-ujungnya aku juga yang kena getahnya."Han, kamu juga ikut nyumbang untuk acara adikmu."Ucapan ibu yang bernada sebuah titah yang harus dilaksanakan."Tapi, maaf, Bu. Farhan juga punya kebutuhan sendiri. Farhan ada keluarga, anak dan istri Farhan yang harus Farhan penuhi dulu kebutuhannya. Bukannya mengungkit. Bukannya tabungan Farhan hampir terkuras untuk biaya renovasi rumah ibu, dan ibu juga yang mengadang-ngadangkan jika rumah ini kelak akan jatuh pada Reihan," ucap ku pada ibu. Tidak bermaksud menyangkal hanya ingin mengingatkan mana yang merupakan kewajiban yang harus aku penuhi dan mana yang bukan.Mumpung semua keluarga sedang berkumpul di rumah ini. Agar tidak terjadi kesalahpahaman di kemudian hari."Jadi, artinya kamu gak mau ngeringanin beban aku, Mas!" sela Reihan dengan nada tinggi."Kamu juga kan sudah naik jabatan, Han." Mas Arif, suami mbak Nur ikut menimpali namun kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar seperti sebuah cibiran. Lebih tepatny
Pov. NirmalaNamaku Nurmala. Aku anak pertama dan perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara. Aku terlahir dari keluarga sederhana. Tidak kurang dan tidak juga berlebih. Cukupan. Aku seorang ibu rumah tangga dengan tiga orang anak. Satu laki-laki dan dua orang perempuan. Selain menjadi ibu rumah tangga. Aku juga merupakan karyawan sebuah pabrik yang tidak jauh dari daerah tempat tinggal ku yang merupakan kawasan industri yang cukup terkenal di Jawa timur. Bagaimana cerianya aku bisa sampai di tempat ini?Aku seorang anak yang ketika melihat bagaimana perjuangan orang tua merasa tergerak untuk bisa membalas budi pada mereka. Setidaknya bisa sedikit membantu untuk meringankan beban mereka. Cita-cita ku tidaklah terlalu tinggi, karena takut jika tidak bisa menggapainya. Usai lulus sekolah menengah atas. Aku berniat untuk bisa mencari kerja di kota yang memiliki upah minimum lebih tinggi dari pada daerah asal ku. Keinginan ku tersebut sempat mendapatkan tentangan dari kedua orang tua, pa
Hampir waktuku ku habiskan hanya untuk bekerja dan melakukan pekerjaan rumah ini. Belum juga ada anak tapi capeknya rasanya hingga merasuk kedalam tulang sumsum ku. Hampir saja aku tidak punya waktu untuk beristirahat. Bagaimana tidak, semua pekerjaan rumah mereka limpahkan pada menantunya ini. Tak ada seorang pun yang mau membantu memegang salah satu dari pekerjaan rumah. Mulai memasak, menyapu dan mengepel. Untung saja untuk mencuci di rumah ini sudah ada, kalau tidak bisa-bisa remuk sendiri tubuh ini. Anak gadis mereka manjakan, sedangkan anak orang lain mereka pekerjaan bagai pekerja rodi. Sudahlah kebutuhan aku cukupi, tapi masih belum cukup dan masih menambahkan beban atas urusan pekerjaan rumah.Pernah meminta pada mas Arif agar lebih baik kami hidup terpisah dari keluarganya. Hidup mandiri jauh lebih baik. Tapi jawaban apa yang aku dapatkan. Justru dia mengatakan jika aku hanya mau dengannya juga uangnya. Tetapi tidak mau menerima keluarganya. Repot sekali bukan. Apa mungkin
Empat tahun berlalu, banyak waktu ku yang terbuang untuk putraku. Bersama dengan kemapanan yang aku hasilnya dan juga suamiku. Akhirnya kami memutuskan untuk mengambil kembali putra kami. Aku dan juga mas Arif bersepakat untuk mencari seorang asisten rumah tangga sekaligus pengasuh untuk Kevin. Iya tahun ini aku berencana untuk memasukkannya di sekolah paud. Dan bersamaan dengan itu, Ibu meminta kami untuk membantu Farhan mencari pekerjaan di kawasan industri. Tentu saja aku pribadi tidak merasa keberatan akan hal tersebut, toh itu sebagai balas jasanya selama ini karena mau mengurus putra pertama kami sekaligus mengorbankan karirnya sendiri.Aku dan mas Arif memutuskan untuk membawa Farhan serta bersama kami juga berniat merekomendasikannya di pabrik tempat suamiku bekerja. Tidak ada yang mencurigakan, hingga pada suatu ketika aku menemukan ijazah atas nama Farhan di mana ijazah tersebut adalah ijazahnya usai lulus dari perguruan tinggi. Aku tentu saja dibuat terkejut, hingga aku sam
Waktu begitu cepat bergulir, hingga tanpa terasa sudah hampir satu tahun aku dan juga keluarga kecilku tinggal masih bersama dengan orang tuanya. Alhamdulillah atas kuasa Allah dengan sedikit demi sedikit kami mengumpulkan rezeki dari sebagian rezeki yang kami dapat dan sisihkan, akhirnya aku dan juga Marwah sudah memutuskan akan membangun sebuah rumah. Rencana awal aku akan mendirikan istrinya kecil itu bersebelahan dengan rumah orang tuaku. Namun niat itu aku urungkan karena beberapa alasan. Selain usaha Marwah yang memang sudah berkembang di sini selain itu juga, alasan karena hubungan ku dan keluarga yang sedikit renggang buntut dari acara pernikahan Reihan yang tidak berjalan sesuai dengan rencana mereka. Aku memang tidak memberikan uang sumbangan seperti apa yang ia dan juga ibuku minta. Dan mau tidak mau untuk tetap berjalan meski harus mencari jalan lain, jalan keluar dengan berhutang di bank dengan menjaminkan serifikat rumah ibu. Awalnya aku menentang, tapi apa daya aku kala
"Mbak, mana sarapannya?" seru Riana usai tangan dengan kuku panjangnya yang berwarna-warni itu membuka tuding saji yang ada di atas meja makan dapur ibu mertuanya. Menantu baru yang berada nyonya besar pemilik istana.Marwah, sang kakak ipar yang sedang mencuci pakaian keluarga kecilnya juga milik ibu mertua hanya melongok dari arah pintu belakang. "Belum masak." Jawaban singkat yang keluar dari mulut perempuan berperangai lembut namun sosok pekerja keras dan bukan pemalas seperti adik iparnya itu."Ini sudah siang lho, Mbak. Masa iya belum masak. Terus mbak dari tadi itu ngapain saja di rumah!" Tanpa malu dan seolah menunjukkan perangai buruknya perempuan yang baru satu tahunan tersebut berlagak seperti seolah majikan yang bisa seenaknya memerintah pada orang lain."Kamu nanya? Aku mau ngapain juga urusan ku. Lagian aku tamu di rumah ini tidak ada kewajiban ku untuk menjamu orang di rumah ini!" Marwah segera mengelap tangannya yang masih basah itu dengan menggunakan daster yang ia pa