Waktu begitu cepat bergulir, hingga tanpa terasa sudah hampir satu tahun aku dan juga keluarga kecilku tinggal masih bersama dengan orang tuanya. Alhamdulillah atas kuasa Allah dengan sedikit demi sedikit kami mengumpulkan rezeki dari sebagian rezeki yang kami dapat dan sisihkan, akhirnya aku dan juga Marwah sudah memutuskan akan membangun sebuah rumah. Rencana awal aku akan mendirikan istrinya kecil itu bersebelahan dengan rumah orang tuaku. Namun niat itu aku urungkan karena beberapa alasan. Selain usaha Marwah yang memang sudah berkembang di sini selain itu juga, alasan karena hubungan ku dan keluarga yang sedikit renggang buntut dari acara pernikahan Reihan yang tidak berjalan sesuai dengan rencana mereka. Aku memang tidak memberikan uang sumbangan seperti apa yang ia dan juga ibuku minta. Dan mau tidak mau untuk tetap berjalan meski harus mencari jalan lain, jalan keluar dengan berhutang di bank dengan menjaminkan serifikat rumah ibu. Awalnya aku menentang, tapi apa daya aku kala
"Mbak, mana sarapannya?" seru Riana usai tangan dengan kuku panjangnya yang berwarna-warni itu membuka tuding saji yang ada di atas meja makan dapur ibu mertuanya. Menantu baru yang berada nyonya besar pemilik istana.Marwah, sang kakak ipar yang sedang mencuci pakaian keluarga kecilnya juga milik ibu mertua hanya melongok dari arah pintu belakang. "Belum masak." Jawaban singkat yang keluar dari mulut perempuan berperangai lembut namun sosok pekerja keras dan bukan pemalas seperti adik iparnya itu."Ini sudah siang lho, Mbak. Masa iya belum masak. Terus mbak dari tadi itu ngapain saja di rumah!" Tanpa malu dan seolah menunjukkan perangai buruknya perempuan yang baru satu tahunan tersebut berlagak seperti seolah majikan yang bisa seenaknya memerintah pada orang lain."Kamu nanya? Aku mau ngapain juga urusan ku. Lagian aku tamu di rumah ini tidak ada kewajiban ku untuk menjamu orang di rumah ini!" Marwah segera mengelap tangannya yang masih basah itu dengan menggunakan daster yang ia pa
Jika bukan karena terpaksa, Marwah tidak akan pernah menyimpan nomer telepon dari iparnya itu. "Ngidamnya bumil." Sebuah tulisan yang menyertai gambar yang dibuat oleh adik iparnya itu singgah di laman story-nya. Mau tidak mau karena penasaran, Marwah pun membuka story' tersebut. Karena sebagian banyak pekerjaannya memang bergulat pada story' hijau dan biru miliknya sebagai sarana promosi juga berhubungan dengan para konsumennya.Tak ada niatan ingin membalas story' dari iparnya itu. Marwah memilih untuk menutup aplikasi hijau miliknya.Marwah lebih memilih untuk menyiapkan konsep untuk usaha barunya itu. Wanita dengan tampilan lembut tersebut memiliki kegemaran di bidang kuliner terutama makanan kekinian. Usai berhasil dengan usaha mie pedas, ayam geprek dan juga minuman kekinian. Kali ini ada ide yang terlintas untuknya untuk membuka stand makanan bakaran atau sejenis aneka olahan fishcake ala-ala Korea street food.Mengurusi hidup semacam adik iparnya itu tidak akan pernah ada uj
"Lho, Mas, kok tumben jam segini sudah pulang saja, Kamu. Biasanya juga pas jam makan siang," todong Riana pada suaminya. Reihan biasanya bekerja dari jam delapan pagi hingga pukul lima sore, hanya ketika akhir bulan atau waktu tutup buku saja Reihan biasanya pulang hingga malam sekitar jam tujuh dan paling lambat jam delapan.Dengan menampakkan raut kusutnya, Riana belum juga peka. Bukan membiarkan suami terlebih dahulu untuk masuk ke dalam rumah dan menyiapkan air minum. Justru sambutan yang terkesan dingin dan kesal yang ia tunjukkan.Reihan tidak langsung menjawab pertanyaan sambutan dari istrinya itu. Dengan langkah gontai dirinya berjalan masuk ke dalam rumah dengan meninggalkan istrinya yang masih penasaran dan masih berdiri di tempatnya.Karena merasa di abaikan oleh suaminya. Riana pun dibuat kesal oleh tingkah suaminya yang di rasa aneh tidak seperti biasanya.Riana segera menyusul ke arah suaminya berada. Dengan kesal, Riana membanting pintu kamar mereka yang mana di dalam
Tidak hanya kecewa yang Bu Sukesih rasakan pada putra bungsunya sekaligus putra kesayangannya itu. Bisa-bisanya apa yang sudah ibunya perjuangkan selama ini untuknya bisa berakhir sia-sia. Sia-sia karena pada akhirnya putranya itu harus kehilangan pekerjaannya.Sudah banyak biaya, pikiran, dan juga tenaga yang Bu Sukesih keluarkan demi putranya itu. Mulai dari kuliah yang dipaksakan demi sebuah gelar hingga mengulur waktu dari waktu normal jenjang pendidikan di tingkat perguruan tinggi khususnya program sarjana. Tidak sampai di sana, usai lulus dari program S1 nya itu Reihan tidak lantas langsung menggunakan kesempatan seraya ijazah yang ia dapatkan untuk mencari sebuah pekerjaan demi keberlangsungan masa depannya. Pemuda tersebut lebih memilih untuk santai tinggal di rumah orang tuanya. Pekerjaan yang bisa ia lakukan hanya makan dan tidur serta bermain gadget saja sepanjang harinya, dan itu terus berulang dan berlangsung hampir selama dua tahun. Untung saja Bu Sukesih memiliki kenaka
"Kita gak lagi salah dengar, kan, Ri? Apa urusannya motor aku sama ucapan kamu yang bilang kita ingat saudara?" "Ya, adalah lah, Mbak. Nggak usah berlagak bodoh, lah. Mbak itu emang gak punya hati. Saudara lagi kesusahan malah kesini niat pamer motor baru." Ucapan Riana semakin membuat orang di sekitarnya tidak mengerti. Dirinya merasa orang lain tidak peduli akan kesusahan yang sedang menghampiri dirinya juga suaminya. Sedangkan di waktu lain dirinya sedikit pun tidak mau melihat atau mendengar orang di sekitarnya apalagi menjaga hati juga perasaan orang lain. Lucu tetapi aneh tingkah dari iparnya itu.Perdebatan terjadi antar ipar."Kamu sudah ngaca?" Marwah membalik ucapan adik iparnya itu."Lagian masalah ini timbul juga karena kamu sendiri. Kamu yang sudah menciptakan sendiri masalah kalian itu. Jangan pernah melibatkan apalagi menyalahkan orang lain. Apa kalian ada mengajak aku berembuk masalah pinjaman itu. Dan satu lagi, suamimu itu sendiri yang juga ngeyel tidak mau mendenga
Berbanding terbalik dengan kondisi dari saudaranya yang lain. Kehidupan perekonomian Farhan dan keluarganya justru menanjak drastis. Rezeki datang dan mengalir dengan deras ketimbang sebelumnya. Kehidupan rumah tangganya pun adem ayem dan harmonis. Karir Farhan di tempat kerjanya juga terbilang cemerlang dan Marwah sendiri. Usaha yang dirintisnya dari bawah juga sudah menampakkan hasilnya. Mereka berhasil membangun rumah, mengembangkan usaha mereka dan juga bisa menambah moda transportasi meski kendaraan yang masih mampu mereka beli. Setidaknya kata kontan dan tidak kredit itu yang menjadi kepuasan tersendiri. Sedikit demi sedikit mereka mengumpulkan dan menyisihkan rizki mereka. Tidak hanya mementingkan kehidupan mereka sendiri. Farhan dan juga Marwah selalu mengingat akan kebutuhan orang tua mereka.."Mas, sampai kapan kita kaya gini terus? Lihat itu, Mas mu. Bisa punya rumah, motor baru, siapa tahu habis ini mereka bakal beli mobil." Riana yang sedang melihat beranda akun biru m
"Rei, ini tadi ada kurir yang ngantar surat buat kamu." Bu Sukesih menyerahkan amplop berwarna coklat pada putra bungsunya. Kertas berbentuk persegi panjang tersebut yang diperoleh dari seorang kurir yang mendatangi kediamannya pada pagi setengah siang tadi. Sementara menantunya pun sedang tidak ada di rumah. Entah kemana yang jelas Riana pergi berpamitan dengan alasan menjenguk ke dua orang tuanya yang berada di desa sebelah.Reihan baru saja pulang dari aktifitasnya mengumpulkan pundi-pundi rupiah di tempat baru dirinya mengais rezeki untuk keluarganya. Bukan, lebih tepatnya untuk dirinya, istrinya, dan juga orang tua dari Riana.Reihan mengambil amplop yang baru saja disodorkan oleh ibunya tersebut. Ia mengamati dengan membolak balikkan beranda berbahan kertas tersebut dari tangannya dengan membolak-balikkan untuk mencari alamat si pengirim dan memastikan apa hubungannya dengan dirinya."Surat apa itu, Rei?" tanya Bu Sukesih pada putranya karena dirinya sudah merasa penasaran namun