"Lho, Mas, kok tumben jam segini sudah pulang saja, Kamu. Biasanya juga pas jam makan siang," todong Riana pada suaminya. Reihan biasanya bekerja dari jam delapan pagi hingga pukul lima sore, hanya ketika akhir bulan atau waktu tutup buku saja Reihan biasanya pulang hingga malam sekitar jam tujuh dan paling lambat jam delapan.Dengan menampakkan raut kusutnya, Riana belum juga peka. Bukan membiarkan suami terlebih dahulu untuk masuk ke dalam rumah dan menyiapkan air minum. Justru sambutan yang terkesan dingin dan kesal yang ia tunjukkan.Reihan tidak langsung menjawab pertanyaan sambutan dari istrinya itu. Dengan langkah gontai dirinya berjalan masuk ke dalam rumah dengan meninggalkan istrinya yang masih penasaran dan masih berdiri di tempatnya.Karena merasa di abaikan oleh suaminya. Riana pun dibuat kesal oleh tingkah suaminya yang di rasa aneh tidak seperti biasanya.Riana segera menyusul ke arah suaminya berada. Dengan kesal, Riana membanting pintu kamar mereka yang mana di dalam
Tidak hanya kecewa yang Bu Sukesih rasakan pada putra bungsunya sekaligus putra kesayangannya itu. Bisa-bisanya apa yang sudah ibunya perjuangkan selama ini untuknya bisa berakhir sia-sia. Sia-sia karena pada akhirnya putranya itu harus kehilangan pekerjaannya.Sudah banyak biaya, pikiran, dan juga tenaga yang Bu Sukesih keluarkan demi putranya itu. Mulai dari kuliah yang dipaksakan demi sebuah gelar hingga mengulur waktu dari waktu normal jenjang pendidikan di tingkat perguruan tinggi khususnya program sarjana. Tidak sampai di sana, usai lulus dari program S1 nya itu Reihan tidak lantas langsung menggunakan kesempatan seraya ijazah yang ia dapatkan untuk mencari sebuah pekerjaan demi keberlangsungan masa depannya. Pemuda tersebut lebih memilih untuk santai tinggal di rumah orang tuanya. Pekerjaan yang bisa ia lakukan hanya makan dan tidur serta bermain gadget saja sepanjang harinya, dan itu terus berulang dan berlangsung hampir selama dua tahun. Untung saja Bu Sukesih memiliki kenaka
"Kita gak lagi salah dengar, kan, Ri? Apa urusannya motor aku sama ucapan kamu yang bilang kita ingat saudara?" "Ya, adalah lah, Mbak. Nggak usah berlagak bodoh, lah. Mbak itu emang gak punya hati. Saudara lagi kesusahan malah kesini niat pamer motor baru." Ucapan Riana semakin membuat orang di sekitarnya tidak mengerti. Dirinya merasa orang lain tidak peduli akan kesusahan yang sedang menghampiri dirinya juga suaminya. Sedangkan di waktu lain dirinya sedikit pun tidak mau melihat atau mendengar orang di sekitarnya apalagi menjaga hati juga perasaan orang lain. Lucu tetapi aneh tingkah dari iparnya itu.Perdebatan terjadi antar ipar."Kamu sudah ngaca?" Marwah membalik ucapan adik iparnya itu."Lagian masalah ini timbul juga karena kamu sendiri. Kamu yang sudah menciptakan sendiri masalah kalian itu. Jangan pernah melibatkan apalagi menyalahkan orang lain. Apa kalian ada mengajak aku berembuk masalah pinjaman itu. Dan satu lagi, suamimu itu sendiri yang juga ngeyel tidak mau mendenga
Berbanding terbalik dengan kondisi dari saudaranya yang lain. Kehidupan perekonomian Farhan dan keluarganya justru menanjak drastis. Rezeki datang dan mengalir dengan deras ketimbang sebelumnya. Kehidupan rumah tangganya pun adem ayem dan harmonis. Karir Farhan di tempat kerjanya juga terbilang cemerlang dan Marwah sendiri. Usaha yang dirintisnya dari bawah juga sudah menampakkan hasilnya. Mereka berhasil membangun rumah, mengembangkan usaha mereka dan juga bisa menambah moda transportasi meski kendaraan yang masih mampu mereka beli. Setidaknya kata kontan dan tidak kredit itu yang menjadi kepuasan tersendiri. Sedikit demi sedikit mereka mengumpulkan dan menyisihkan rizki mereka. Tidak hanya mementingkan kehidupan mereka sendiri. Farhan dan juga Marwah selalu mengingat akan kebutuhan orang tua mereka.."Mas, sampai kapan kita kaya gini terus? Lihat itu, Mas mu. Bisa punya rumah, motor baru, siapa tahu habis ini mereka bakal beli mobil." Riana yang sedang melihat beranda akun biru m
"Rei, ini tadi ada kurir yang ngantar surat buat kamu." Bu Sukesih menyerahkan amplop berwarna coklat pada putra bungsunya. Kertas berbentuk persegi panjang tersebut yang diperoleh dari seorang kurir yang mendatangi kediamannya pada pagi setengah siang tadi. Sementara menantunya pun sedang tidak ada di rumah. Entah kemana yang jelas Riana pergi berpamitan dengan alasan menjenguk ke dua orang tuanya yang berada di desa sebelah.Reihan baru saja pulang dari aktifitasnya mengumpulkan pundi-pundi rupiah di tempat baru dirinya mengais rezeki untuk keluarganya. Bukan, lebih tepatnya untuk dirinya, istrinya, dan juga orang tua dari Riana.Reihan mengambil amplop yang baru saja disodorkan oleh ibunya tersebut. Ia mengamati dengan membolak balikkan beranda berbahan kertas tersebut dari tangannya dengan membolak-balikkan untuk mencari alamat si pengirim dan memastikan apa hubungannya dengan dirinya."Surat apa itu, Rei?" tanya Bu Sukesih pada putranya karena dirinya sudah merasa penasaran namun
Ketika hari Jumat sore, Bu Sukesih meminta pada putra bungsunya untuk segera menghubungi dua saudaranya yang lain. Bu Sukesih bermaksud mengumpulkan seluruh anak dan menantunya, tentunya dengan tujuan pembahasan masalah yang sedang melanda di rumahnya dan lebih tepatnya ada masalah dari putra bungsunya."Rei, cepat kamu hubungi kakak kamu. Minta sama mereka agar Minggu besok bisa kumpul semua di rumah!" perintah Bu Sukesih pada putranya yang seharian itu berada di rumah. Reihan sengaja mengambil izin dari tempatnya kerja untuk tidak masuk kerja pada hari itu.Pikiran sudah kadung penuh dengan permasalahan yang ia sadari, dirinya sendiri lah yang menciptakan dan mendatangkan masalah tersebut. Tidak pernah ia pikirkan jangka panjangnya sebelum mengambil sebuah keputusan yang akhirnya berdampak pada dirinya dan juga saudaranya yang lain tentunya. Egois. Memang Reihan tipe seorang yang egois yang tidak mau mendengarkan pendapat orang lain dan baru sadar ketika ada masalah yang datang atas
"Jadi apa maksud ibu mengumpulkan kita semua?" Nurmala yang sudah tidak ingin berlama-lama di rumah ibunya. Tidak seperti sebelumnya. Jika dulu ia sangat senang berada di sana karena semua serba tersaji dan tersedia. Tidak untuk beberapa waktu belakangan ini."Nur, kamu juga sudah tahu kan masalahnya. Ini tentang pinjaman yang dulu pernah ibu ambil untuk acara pesta pernikahan adikmu, bahkan kamu juga ikut menikmati uangnya.""Ya ampun, Bu cuma berapa sih uang yang kalian kasih ke aku dulu. Banyakan juga Reihan yang makainya.""Ya, tapi sama juga mbak itu ikut andil memakai uang pinjaman. Harusnya, mbak itu ikut nanggung cicilan bulanannya. Gak lepas tangan gitu saja." Riana yang juga mulai geram dengan tingkah iparnya itu ikut bersuara. Tak hanya ingin dirinya dan suami saya yang rugi yang harus menanggung biaya cicilan pinjaman yang jumlahnya tidak bisa dibilang kecil. Riana tidak mau rugi seperti apa yang sudah orang tuanya nasihatkan pada dirinya. Biaya pernikahan sudah selayaknya
Marwah sibuk dengan pikirannya sendiri. Saat ini mereka sudah berada di dalam kamar yang dulu pernah ia tempati selama tinggal di rumah tersebut.Hati dan pikiran Marwah was-was memendar permintaan ibu mertuanya pada suaminya.Iya, sebelum semua bubar. Bu Sukesih terang-terangan di hadapan semua anaknya meminta agar Farhan mau membantu dan sedikit berkorban untuk ibu dan juga adiknya, karena Bu Sukesih sudah tidak ada harapan lagi meminta bantuan pada putri sulungnya. Di tolak mentah-mentah permintaannya itu oleh Nurmala. Tak ingin anak kesayangan yakni Reihan hidup dengan tekanan, mau tidak mau Bu Sukesih harus membuang rasa malunya dan meminta agar putra sulungnya mau membantu membayarkan tunggakan cicilan hutang yang pernah di ambil oleh ibu dan adiknya. Bukan atas nama sebuah pinjaman melainkan bantuan sukarela yang ibu mertua Marwah minta pada suaminya.Marwah menidurkan putrinya dan dia juga ikut merebahkan diri di sebelahnya. Meskipun rasa kantuk sudah menghampiri, nyatanya mat