"Jadi apa maksud ibu mengumpulkan kita semua?" Nurmala yang sudah tidak ingin berlama-lama di rumah ibunya. Tidak seperti sebelumnya. Jika dulu ia sangat senang berada di sana karena semua serba tersaji dan tersedia. Tidak untuk beberapa waktu belakangan ini."Nur, kamu juga sudah tahu kan masalahnya. Ini tentang pinjaman yang dulu pernah ibu ambil untuk acara pesta pernikahan adikmu, bahkan kamu juga ikut menikmati uangnya.""Ya ampun, Bu cuma berapa sih uang yang kalian kasih ke aku dulu. Banyakan juga Reihan yang makainya.""Ya, tapi sama juga mbak itu ikut andil memakai uang pinjaman. Harusnya, mbak itu ikut nanggung cicilan bulanannya. Gak lepas tangan gitu saja." Riana yang juga mulai geram dengan tingkah iparnya itu ikut bersuara. Tak hanya ingin dirinya dan suami saya yang rugi yang harus menanggung biaya cicilan pinjaman yang jumlahnya tidak bisa dibilang kecil. Riana tidak mau rugi seperti apa yang sudah orang tuanya nasihatkan pada dirinya. Biaya pernikahan sudah selayaknya
Marwah sibuk dengan pikirannya sendiri. Saat ini mereka sudah berada di dalam kamar yang dulu pernah ia tempati selama tinggal di rumah tersebut.Hati dan pikiran Marwah was-was memendar permintaan ibu mertuanya pada suaminya.Iya, sebelum semua bubar. Bu Sukesih terang-terangan di hadapan semua anaknya meminta agar Farhan mau membantu dan sedikit berkorban untuk ibu dan juga adiknya, karena Bu Sukesih sudah tidak ada harapan lagi meminta bantuan pada putri sulungnya. Di tolak mentah-mentah permintaannya itu oleh Nurmala. Tak ingin anak kesayangan yakni Reihan hidup dengan tekanan, mau tidak mau Bu Sukesih harus membuang rasa malunya dan meminta agar putra sulungnya mau membantu membayarkan tunggakan cicilan hutang yang pernah di ambil oleh ibu dan adiknya. Bukan atas nama sebuah pinjaman melainkan bantuan sukarela yang ibu mertua Marwah minta pada suaminya.Marwah menidurkan putrinya dan dia juga ikut merebahkan diri di sebelahnya. Meskipun rasa kantuk sudah menghampiri, nyatanya mat
"Mas, kamu tega!" protes Riana karena mendapati bahwa kakak ipar satu-satunya yang diharapkan ternyata tidak mau juga untuk membatu mereka. Membantu membayarkan tunggakan cicilan pinjaman mereka.Lucu memang keluarga dari suami Marwah itu. Sudahlah tidak tahu-menahu tentang pinjaman yang sudah mereka ambil dengan menjaminkan sertifikat rumah orang tuanya. Tahu rupa apalagi ikut merasakan uang hasil pinjaman itu saja tidak. Tiba-tiba saja dirinya dikejutkan dengan permintaan yang lebih pada todongan agar ia mau membayangkan cicilan yang sudah tertunda beberapa kali pembayaran itu. Sementara ingin menyalahkan istri dari adiknya itu pun sungkan untuk Farhan lakukan. Meski nyata-nyatanya yang berandil besar dalam masalah tersebut tidak lain adalah adik iparnya tersebut."Jadi beneran, Mas, gak mau bantu, Aku?" tanya Reihan memastikan jika aka yang barusan ia dengar dari mulut kakaknya itu adalah tidak benar. Reihan yakin jika saudara laki-lakinya itu pasti akan dengan senang hati membatu
Beberapa hari tinggal bersama dengan putra sulungnya. Bu Sukesih bisa merasakan perbedaan yang cukup besar. Jika di rumah sendiri dia mengerjakan semua pekerjaan rumah meski ada seorang menantu. Nyatanya, menantu yabg sekarang berada dengan saat istri putra sulungnya ini tinggal bersama dirinya.Bu Sukesih hanya diminta untuk berdiam diri, lebih tepatnya menggunakan waktunya untuk banyak-banyak istirahat agar kondisinya cepak pulih kembali seperti sedia kala, walaupun terkadang rasa jenuh itu menghampiri dirinya. Lebih nyaman di rumah putra sulungnya ini. Itu lah yang saat ini di rasakan oleh Bu Sukesih.Terkadang besannya akan datang dan akan sesekali menghabiskan banyak waktu untuk menemani dirinya.Malu. Walau terkadang terbesit rasa malu, mengingat perlakuannya pada sang menantu. Nyatanya tak ada dendam sedikitpun dari sang besan bahkan perlakuan juga sorot matanya menunjukkan ketulusan.Duduk di teras sambil memandangi para pembeli yang berdatangan silih berganti di warung menan
"Sampai jumpa dilain kesempatan, Nur.""Iya, kalau ada waktu jangan lupa main ke rumah ya.""Nur, kapan-kapan kita jalan bareng, ya."Kalimat-kalimat tersebut hanya mampir begitu saja di telinga Nurmala tanpa ia meresponnya.Kalimat yang merupakan kata perpisahan dari teman satu tempat kerjanya. Iya, tidak ada angin dan tidak ada hujan. Berita yang ia pikir hanya kabar burung tersebut ternyata benar-benar menjadi nyata. Hari tersebut adalah menjadi hari terakhir dirinya berada di tempat kerja. Dan sore itu, setelah seluruh karyawan dikumpulkan dan bubar usai mendapatkan sambutan dari pihak pimpinan pabrik. Akhirnya dinyatakan bahwa pabrik tempat kerja Nurmala selama ini mengais rezeki resmi di tutup. Bukan karena gulung tikar. Melainkan pabrik tersebut pindah tempat operasionalnya dan berpindah ke kota lain.Meski telah ditetapkan besaran pesangon serta gaji terakhirnya. Raut muram tercetak jelas pada wajah perempuan berusia 34 tahun tersebut..Hingga sampai di rumahnya. Ia berpapa
Mendengar keributan dari arah luar. Bu Sukesih yang tengah beristirahat di kamarnya segera mencari sumber suara dan segera keluar dari kamarnya."Riana, Reihan!" Bu Sukesih yang baru saja keluar dari sekat pembatas antara ruang tengah dan ruang tamu pun tak kalah terkejutnya."Bu!" Reihan segera menoleh ketika mendengar suara ibunya. Pun demikian dengan istrinya."Lek." Rina dan suaminya berjalan mendekat dan kemudian menjabat tangan perempuan yang menjadi adik sepupu dari ibunya itu."Kenapa kalian tiba-tiba kesini?" tanya penasaran Bu Sukesih pada menanti juga putranya.Rina dan suami yang mendapatkan alasan yang tidak sama dari adik sepupunya pun saling menoleh. Pertanyaan yang sama dari keduanya. Kalau Reihan beralasan karena permintaan ibunya. Lalu kenapa Bu Sukesih masih mempertanyakan maksud kedatangan putra dan menantunya itu.Mendengar pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh ibunya itu, tentu saja membuat Reihan merasa tidak enak pada Rina juga suaminya."Maaf, Lek. Mereka
Satu Minggu sudah Riana dan Reihan tinggal di rumah Marwah. Selama itu juga, emosi dan kesabaran dari seorang Marwah sedang di uji. Seperti saat ini, tidak hanya dirinya tetapi juga ibunya yang sudah dibuat kesal oleh tingkah Riana. Mendapati itu. Bu Sukesih merasa sangat malu kepada besannya itu."Wah, kamu kok bisa-bisanya sabar sama ipar macam istri adik suamimu itu." "Sabar gak sabar, Bu, sebenarnya. Tapi Marwah dipaksa untuk sabar. Kita lihat saja nanti ke depannya gimana.""Kalau ibu yang jadi kamu. Sudah dari kemarin-kemarin ibu usir mereka dari sini. Tapi ibu masih punya perasaan dan otak, gak seperti mereka. Ibu juga masih sungkan sama ibu mertua mu dan juga suami mu si Farhan."Tanpa Marwah dan ibunya tahu, jika pembicaraan mereka juga terdengar di telinga orang lain. Iya, Bu Sukesih mendengar sendiri percakapan antara besan dan juga menantunya itu. Mendengar apa yang mereka bicarakan semakin membuat Bu Sukesih tidak enak hati berlama-lama berada di rumah anaknya sendiri. B
Riana merasa tidak asing dengan jalan mereka lalui. "Lho kok ke arah sini, Sih, Mas? Ini kan bukan jalan ke arah rumahnya mas Farhan?" Riana semakin di buat bingung. Sementara suaminya hanya manut saja, mengikuti sang pengemudi. Riana yang sibuk protes. Sementara suaminya asik dengan mimpinya. Sedari perjalan tadi, Reihan yang duduk di sebelah istrinya fokus dengan kantuknya. Semalam dirinya bergadang menunggui istrinya paska persalinan. Riana pun yang semakin rewel pada suaminya.Marwah sendiri tidak terlalu memperdulikan ocehan iparnya itu begitu pula dengan Farhan juga ibunya. Marwah fokus pada bayi dari iparnya. "Mas, ini kan jalan menuju rumah ibu. Maksudnya apa?" Riana masih protes karena jika benar mereka akan pulang ke rumah Farhan. Seharusnya sedari tadi mereka sudah sampai. Ingin rasanya ia merebahkan diri di atas kasur yang empuk. Pasalnya semalaman dirinya dibuat tidak bisa tidur nyenyak karena kamar rawatnya tepat bersebelahan dengan pasien anak kecil yang baru saja m