"Sampai jumpa dilain kesempatan, Nur.""Iya, kalau ada waktu jangan lupa main ke rumah ya.""Nur, kapan-kapan kita jalan bareng, ya."Kalimat-kalimat tersebut hanya mampir begitu saja di telinga Nurmala tanpa ia meresponnya.Kalimat yang merupakan kata perpisahan dari teman satu tempat kerjanya. Iya, tidak ada angin dan tidak ada hujan. Berita yang ia pikir hanya kabar burung tersebut ternyata benar-benar menjadi nyata. Hari tersebut adalah menjadi hari terakhir dirinya berada di tempat kerja. Dan sore itu, setelah seluruh karyawan dikumpulkan dan bubar usai mendapatkan sambutan dari pihak pimpinan pabrik. Akhirnya dinyatakan bahwa pabrik tempat kerja Nurmala selama ini mengais rezeki resmi di tutup. Bukan karena gulung tikar. Melainkan pabrik tersebut pindah tempat operasionalnya dan berpindah ke kota lain.Meski telah ditetapkan besaran pesangon serta gaji terakhirnya. Raut muram tercetak jelas pada wajah perempuan berusia 34 tahun tersebut..Hingga sampai di rumahnya. Ia berpapa
Mendengar keributan dari arah luar. Bu Sukesih yang tengah beristirahat di kamarnya segera mencari sumber suara dan segera keluar dari kamarnya."Riana, Reihan!" Bu Sukesih yang baru saja keluar dari sekat pembatas antara ruang tengah dan ruang tamu pun tak kalah terkejutnya."Bu!" Reihan segera menoleh ketika mendengar suara ibunya. Pun demikian dengan istrinya."Lek." Rina dan suaminya berjalan mendekat dan kemudian menjabat tangan perempuan yang menjadi adik sepupu dari ibunya itu."Kenapa kalian tiba-tiba kesini?" tanya penasaran Bu Sukesih pada menanti juga putranya.Rina dan suami yang mendapatkan alasan yang tidak sama dari adik sepupunya pun saling menoleh. Pertanyaan yang sama dari keduanya. Kalau Reihan beralasan karena permintaan ibunya. Lalu kenapa Bu Sukesih masih mempertanyakan maksud kedatangan putra dan menantunya itu.Mendengar pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh ibunya itu, tentu saja membuat Reihan merasa tidak enak pada Rina juga suaminya."Maaf, Lek. Mereka
Satu Minggu sudah Riana dan Reihan tinggal di rumah Marwah. Selama itu juga, emosi dan kesabaran dari seorang Marwah sedang di uji. Seperti saat ini, tidak hanya dirinya tetapi juga ibunya yang sudah dibuat kesal oleh tingkah Riana. Mendapati itu. Bu Sukesih merasa sangat malu kepada besannya itu."Wah, kamu kok bisa-bisanya sabar sama ipar macam istri adik suamimu itu." "Sabar gak sabar, Bu, sebenarnya. Tapi Marwah dipaksa untuk sabar. Kita lihat saja nanti ke depannya gimana.""Kalau ibu yang jadi kamu. Sudah dari kemarin-kemarin ibu usir mereka dari sini. Tapi ibu masih punya perasaan dan otak, gak seperti mereka. Ibu juga masih sungkan sama ibu mertua mu dan juga suami mu si Farhan."Tanpa Marwah dan ibunya tahu, jika pembicaraan mereka juga terdengar di telinga orang lain. Iya, Bu Sukesih mendengar sendiri percakapan antara besan dan juga menantunya itu. Mendengar apa yang mereka bicarakan semakin membuat Bu Sukesih tidak enak hati berlama-lama berada di rumah anaknya sendiri. B
Riana merasa tidak asing dengan jalan mereka lalui. "Lho kok ke arah sini, Sih, Mas? Ini kan bukan jalan ke arah rumahnya mas Farhan?" Riana semakin di buat bingung. Sementara suaminya hanya manut saja, mengikuti sang pengemudi. Riana yang sibuk protes. Sementara suaminya asik dengan mimpinya. Sedari perjalan tadi, Reihan yang duduk di sebelah istrinya fokus dengan kantuknya. Semalam dirinya bergadang menunggui istrinya paska persalinan. Riana pun yang semakin rewel pada suaminya.Marwah sendiri tidak terlalu memperdulikan ocehan iparnya itu begitu pula dengan Farhan juga ibunya. Marwah fokus pada bayi dari iparnya. "Mas, ini kan jalan menuju rumah ibu. Maksudnya apa?" Riana masih protes karena jika benar mereka akan pulang ke rumah Farhan. Seharusnya sedari tadi mereka sudah sampai. Ingin rasanya ia merebahkan diri di atas kasur yang empuk. Pasalnya semalaman dirinya dibuat tidak bisa tidur nyenyak karena kamar rawatnya tepat bersebelahan dengan pasien anak kecil yang baru saja m
Usai perdebatan di rumah orang tua Riana.Farhan berserta istri dan ibunya segera pergi meninggalkan rumah tersebut.Andai bisa berkata langsung tanpa memikirkan perasaan orang lain. Terlebih orang tersebut usianya tidak jauh berbeda dengan orang tua sendiri. Sudah pasti Farhan berkata tegas pada orang tua dari adik iparnya tersebut."Ternyata buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Ternyata sifat Riana tidak jauh berbeda dengan ibunya." Marwah yang berada di di samping ibu mertuanya membuka percakapan. "Kasihan adikmu, Han." Hati Bu Sukesih mulai dilanda dilema."Bagaimana dengan nasib adikmu di sana? Menghadapi Riana saja sudah makan hati, bagaimana di rumah itu yang ada ibunya Riana." Hati seorang ibu tentu saja akan memikirkan bagaimana dengan nasib anaknya, meskipun anaknya telah cukup umur dan sudah memilih jalan sendiri. Hati ibu tetaplah akan menganggap anaknya itu seperti anak kecil yang pernah di asuhnya dulu."Ibu yang sabar, kita doain yang baik-baik buat mereka. Anggap saja i
"Lho, Mas, kamu ngapain?" Riana yang baru saja masuk ke kamarnya, di kejutkan dengan sang suami yang tiba-tiba saja sudah ada di kamar mereka. Padahal sebelumnya pamit untuk membeli bensin dari sisa uang yang di miliki oleh Reihan. Hampir setiap hari suaminya itu mengeluarkan uang pribadi untuk mengisi bensin. Motor miliknya sendiri namun tidak ikut mengendarai tapi harus menanggung uang bensin setiap harinya. Reihan hanya menoleh sekilas ke arah istrinya itu. Pria yang satu tahun lebih itu melanjutkan aktifitasnya. Iya, Reihan sengaja merapikan pakaiannya. Pakaian yang sedari awal kedatangannya ia bawah dari rumah ibunya itu, ia kemas dan masukkan ke dalam tas.Melihat gelagat yang tidak biasa dari suaminya itu. Riana tentu saja di buat bingung. Tidak biasanya ayah dari putrinya itu akan bersikap acuh dan mendiamkannya seperti itu.Riana berjalan semakin mendekat ke arah suaminya. "Ngapain kamu masukin semua baju kamu ke dalam tas, Mas? Mau pergi, kamu?""Iya, aku mau pergi dari sin
"Gimana Rei, jualannya hari ini?" tanya Bu Sukesih pada putra sulungnya itu. Iya, hari itu adalah tepat satu bulan Reihan melakoni usaha dagang gorengan. Dan sudah satu bulan itu semakin hari pelanggan yang datang semakin banyak dari biasanya di tambah dengan cuaca yang memang mendukung. Iya, bertepatan dengan musim penghujan. Reihan membuka dagangannya mulai dari jam 4 sore hingga sampai habis seluruh dagangannya itu. Baru lah warung semi permanen miliknya itu ia tutup. Tak jarang jika ramai pembeli jam 7 malam, seluruh gorengan yang ia buat ludes tidak bersisa. Ada beberapa macam gorengan yang dijual oleh Reihan di warungnya. Mulai dari bakwan sayur, tahu berontak, tahu mercon, pisang goreng, pisang coklat, ada juga singkong dan tak lupa ubi goreng. Semu itu Reihan persiapan sendiri sedari pagi untuk menu aneka tahu dan pisang coklat. Terkadang ibunya juga turut membantu jika sang anak sedang tidur atau tidak sedang rewel."Alhamdulillah, Bu, rame. Ini baru jam 6 lewat sudah pada ha
Ma, masak apa hari ini?" Arif yang baru saja pulang kerja langsung menghampiri istrinya yang sedang merebahkan diri di ruang keluarga. "Kamu lihat saja di dapur sana, Mas!" ucap Nurmala tanpa menoleh ke arah orang yang mengajaknya berbicara.Arif yang bisa membaca gelagat istrinya tersebut, tak mau banyak tanya lagi. Segera ia bergegas menuju meja makan tempat di mana istrinya tersebut menyimpan makanan yang telah diolah.Pria tiga anak tersebut langsung saja menuju lemari penyimpanan tempat makan. Piring dan sendok yang pertama ia ambil. Usainya, ia menuju tempat nasi, menyendok kan nasi ke atas piring. Dibukanya tuding saji yang tertelungkup di atas meja makan dapur itu. "Maa ...! Sayurnya kok masih sama?" teriak Arif yang ketika itu telah membuka tudung saji di atas meja.Nurmala yang sudah merasa kepayahan itu tidak lagi mendengarkan teriakan dari sang suami.Arif yang merasa tidak ada respon dari sang istri akhirnya memilih untuk menghampiri sang istri."Ma, sayurnya kok masih