Riana merasa tidak asing dengan jalan mereka lalui. "Lho kok ke arah sini, Sih, Mas? Ini kan bukan jalan ke arah rumahnya mas Farhan?" Riana semakin di buat bingung. Sementara suaminya hanya manut saja, mengikuti sang pengemudi. Riana yang sibuk protes. Sementara suaminya asik dengan mimpinya. Sedari perjalan tadi, Reihan yang duduk di sebelah istrinya fokus dengan kantuknya. Semalam dirinya bergadang menunggui istrinya paska persalinan. Riana pun yang semakin rewel pada suaminya.Marwah sendiri tidak terlalu memperdulikan ocehan iparnya itu begitu pula dengan Farhan juga ibunya. Marwah fokus pada bayi dari iparnya. "Mas, ini kan jalan menuju rumah ibu. Maksudnya apa?" Riana masih protes karena jika benar mereka akan pulang ke rumah Farhan. Seharusnya sedari tadi mereka sudah sampai. Ingin rasanya ia merebahkan diri di atas kasur yang empuk. Pasalnya semalaman dirinya dibuat tidak bisa tidur nyenyak karena kamar rawatnya tepat bersebelahan dengan pasien anak kecil yang baru saja m
Usai perdebatan di rumah orang tua Riana.Farhan berserta istri dan ibunya segera pergi meninggalkan rumah tersebut.Andai bisa berkata langsung tanpa memikirkan perasaan orang lain. Terlebih orang tersebut usianya tidak jauh berbeda dengan orang tua sendiri. Sudah pasti Farhan berkata tegas pada orang tua dari adik iparnya tersebut."Ternyata buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Ternyata sifat Riana tidak jauh berbeda dengan ibunya." Marwah yang berada di di samping ibu mertuanya membuka percakapan. "Kasihan adikmu, Han." Hati Bu Sukesih mulai dilanda dilema."Bagaimana dengan nasib adikmu di sana? Menghadapi Riana saja sudah makan hati, bagaimana di rumah itu yang ada ibunya Riana." Hati seorang ibu tentu saja akan memikirkan bagaimana dengan nasib anaknya, meskipun anaknya telah cukup umur dan sudah memilih jalan sendiri. Hati ibu tetaplah akan menganggap anaknya itu seperti anak kecil yang pernah di asuhnya dulu."Ibu yang sabar, kita doain yang baik-baik buat mereka. Anggap saja i
"Lho, Mas, kamu ngapain?" Riana yang baru saja masuk ke kamarnya, di kejutkan dengan sang suami yang tiba-tiba saja sudah ada di kamar mereka. Padahal sebelumnya pamit untuk membeli bensin dari sisa uang yang di miliki oleh Reihan. Hampir setiap hari suaminya itu mengeluarkan uang pribadi untuk mengisi bensin. Motor miliknya sendiri namun tidak ikut mengendarai tapi harus menanggung uang bensin setiap harinya. Reihan hanya menoleh sekilas ke arah istrinya itu. Pria yang satu tahun lebih itu melanjutkan aktifitasnya. Iya, Reihan sengaja merapikan pakaiannya. Pakaian yang sedari awal kedatangannya ia bawah dari rumah ibunya itu, ia kemas dan masukkan ke dalam tas.Melihat gelagat yang tidak biasa dari suaminya itu. Riana tentu saja di buat bingung. Tidak biasanya ayah dari putrinya itu akan bersikap acuh dan mendiamkannya seperti itu.Riana berjalan semakin mendekat ke arah suaminya. "Ngapain kamu masukin semua baju kamu ke dalam tas, Mas? Mau pergi, kamu?""Iya, aku mau pergi dari sin
"Gimana Rei, jualannya hari ini?" tanya Bu Sukesih pada putra sulungnya itu. Iya, hari itu adalah tepat satu bulan Reihan melakoni usaha dagang gorengan. Dan sudah satu bulan itu semakin hari pelanggan yang datang semakin banyak dari biasanya di tambah dengan cuaca yang memang mendukung. Iya, bertepatan dengan musim penghujan. Reihan membuka dagangannya mulai dari jam 4 sore hingga sampai habis seluruh dagangannya itu. Baru lah warung semi permanen miliknya itu ia tutup. Tak jarang jika ramai pembeli jam 7 malam, seluruh gorengan yang ia buat ludes tidak bersisa. Ada beberapa macam gorengan yang dijual oleh Reihan di warungnya. Mulai dari bakwan sayur, tahu berontak, tahu mercon, pisang goreng, pisang coklat, ada juga singkong dan tak lupa ubi goreng. Semu itu Reihan persiapan sendiri sedari pagi untuk menu aneka tahu dan pisang coklat. Terkadang ibunya juga turut membantu jika sang anak sedang tidur atau tidak sedang rewel."Alhamdulillah, Bu, rame. Ini baru jam 6 lewat sudah pada ha
Ma, masak apa hari ini?" Arif yang baru saja pulang kerja langsung menghampiri istrinya yang sedang merebahkan diri di ruang keluarga. "Kamu lihat saja di dapur sana, Mas!" ucap Nurmala tanpa menoleh ke arah orang yang mengajaknya berbicara.Arif yang bisa membaca gelagat istrinya tersebut, tak mau banyak tanya lagi. Segera ia bergegas menuju meja makan tempat di mana istrinya tersebut menyimpan makanan yang telah diolah.Pria tiga anak tersebut langsung saja menuju lemari penyimpanan tempat makan. Piring dan sendok yang pertama ia ambil. Usainya, ia menuju tempat nasi, menyendok kan nasi ke atas piring. Dibukanya tuding saji yang tertelungkup di atas meja makan dapur itu. "Maa ...! Sayurnya kok masih sama?" teriak Arif yang ketika itu telah membuka tudung saji di atas meja.Nurmala yang sudah merasa kepayahan itu tidak lagi mendengarkan teriakan dari sang suami.Arif yang merasa tidak ada respon dari sang istri akhirnya memilih untuk menghampiri sang istri."Ma, sayurnya kok masih
"Aku minta jatah bulanan ku bulan ini, Mas!" Riana menodong suaminya."Hei, dasar gak punya malu, ya? Apa kamu gak salah minta uang sama adikku? Apa kamu inget sama tugasmu? I get gak sama anak kamu?"Riana sontak terlonjak mendapati suara kakak iparnya itu berada di belakangnya."Mbak Nur?" "Iya, kenapa? Kaget kamu? Kamu itu ya sudah di kasih enak, kamu sendiri kan yang nyari masalah. Terus mau lepas tangan gitu aja?"Seolah tidak pernah berkaca. Apa yang Nurmala ucapkan seolah itu adalah cerminan dari kekakuannya sendiri."Mbak Nur gak punya kaca di rumah? Nasehat itu buat aku apa buat mbak Nur sendiri. Mau enaknya giliran ada getahnya mau kabur nyari aman sendiri. Bukannya yang lepas tangan itu adalah mbak Nur, Ya. Kabur gitu aja padahal tahu ibunya sakit dan masuk rumah sakit. Takut dimintai iuran bayar rumah sakit?" Tamparan keras berbalik pada diri Nurmala sendiri. Tidak ada yang salah dari ucapan saudari iparnya tersebut. Sebuah fakta yang memang telah terungkap."Jangan lanc
Setelah mendapatkan apa yang ia inginkan meskipun tidak sepenuhnya. Nurmala beserta sang suami juga anaknya segera meninggalkan kediaman milik ibunya setelah berpamitan hanya pada ibunya saja tentunya."Jadi benar, adik kamu itu cuma ngasih dua juta saja?" Mereka dalam perjalanan pulang. Dan di dalam mobil tersebut, Arif kembali menanyakan perihal uang yang diberikan adik iparnya kepada sang istri sebagai pinjaman."Iya bener, Mas, cuma dua juta saja. Padahal aku maunya itu lebih.""Laganya saja jabatan sudah naik level. Istrinya juga punya usaha sendiri. Masa iya giliran ngasih pinjam sama kamu cuma dua juta. Sepertinya adikmu itu meragukan kita. Takut kali kita gak bisa bayar!" Arif sengaja baru menumpahkan kekesalannya pada sang ipar. Dirinya kesal karena merasa uang pinjaman yang iparnya berikan tersebut sangatlah bernilai kecil untuk keluarganya."Maklum biasa hidup susah. Jadi, dia nganggepnya uang segitu, itu besar. Padahal kalau untuk kita uang segitu gak ada apa-apanya," geru
"Mas gak ada kabar dari mbak Nur? Bukannya sudah dari beberapa bulan yang lalu kakak kamu sudah kembali bekerja." Marwah kembali menanyakan juga mengingatkan perihal uang yang sudah mereka pinjamkan pada keluarga Nurmala."Sudah aku hubungi lewat pesan WhatsApp. Cuma dibaca saja. Gak ada balasannya.""Mas, apa Mas gak ada kepikiran kalau mbak Nur sengaja buat gak respon pesan dari Mas? Maaf, bukannya aku mau berprasangka buruk sama kakak kamu. Mas tahu sendiri uang yang jauh lebih besar dari yang kita pinjamkan saja mbak Nur gak mau mempertangungjawabkan dan mengakui. Bagaimana dengan uang kita yang mungkin tidak seberapa di mata kakak kamu."Farhan mencerna ucapan dari istrinya yang memang benar adanya. Uang dari ibu dan adiknya saja yang jumlahnya jauh dari itu, tidak pernah diakui oleh kakak sulungnya itu. Apalagi uang yang tidak seberapa yang ia pinjamkan pada kakaknya tersebut..Di tempat lain. Nurmala yang dengan kondisi keuangannya saat ini."Kenapa, Ma?" Arif yang melihat per