"Aku minta jatah bulanan ku bulan ini, Mas!" Riana menodong suaminya."Hei, dasar gak punya malu, ya? Apa kamu gak salah minta uang sama adikku? Apa kamu inget sama tugasmu? I get gak sama anak kamu?"Riana sontak terlonjak mendapati suara kakak iparnya itu berada di belakangnya."Mbak Nur?" "Iya, kenapa? Kaget kamu? Kamu itu ya sudah di kasih enak, kamu sendiri kan yang nyari masalah. Terus mau lepas tangan gitu aja?"Seolah tidak pernah berkaca. Apa yang Nurmala ucapkan seolah itu adalah cerminan dari kekakuannya sendiri."Mbak Nur gak punya kaca di rumah? Nasehat itu buat aku apa buat mbak Nur sendiri. Mau enaknya giliran ada getahnya mau kabur nyari aman sendiri. Bukannya yang lepas tangan itu adalah mbak Nur, Ya. Kabur gitu aja padahal tahu ibunya sakit dan masuk rumah sakit. Takut dimintai iuran bayar rumah sakit?" Tamparan keras berbalik pada diri Nurmala sendiri. Tidak ada yang salah dari ucapan saudari iparnya tersebut. Sebuah fakta yang memang telah terungkap."Jangan lanc
Setelah mendapatkan apa yang ia inginkan meskipun tidak sepenuhnya. Nurmala beserta sang suami juga anaknya segera meninggalkan kediaman milik ibunya setelah berpamitan hanya pada ibunya saja tentunya."Jadi benar, adik kamu itu cuma ngasih dua juta saja?" Mereka dalam perjalanan pulang. Dan di dalam mobil tersebut, Arif kembali menanyakan perihal uang yang diberikan adik iparnya kepada sang istri sebagai pinjaman."Iya bener, Mas, cuma dua juta saja. Padahal aku maunya itu lebih.""Laganya saja jabatan sudah naik level. Istrinya juga punya usaha sendiri. Masa iya giliran ngasih pinjam sama kamu cuma dua juta. Sepertinya adikmu itu meragukan kita. Takut kali kita gak bisa bayar!" Arif sengaja baru menumpahkan kekesalannya pada sang ipar. Dirinya kesal karena merasa uang pinjaman yang iparnya berikan tersebut sangatlah bernilai kecil untuk keluarganya."Maklum biasa hidup susah. Jadi, dia nganggepnya uang segitu, itu besar. Padahal kalau untuk kita uang segitu gak ada apa-apanya," geru
"Mas gak ada kabar dari mbak Nur? Bukannya sudah dari beberapa bulan yang lalu kakak kamu sudah kembali bekerja." Marwah kembali menanyakan juga mengingatkan perihal uang yang sudah mereka pinjamkan pada keluarga Nurmala."Sudah aku hubungi lewat pesan WhatsApp. Cuma dibaca saja. Gak ada balasannya.""Mas, apa Mas gak ada kepikiran kalau mbak Nur sengaja buat gak respon pesan dari Mas? Maaf, bukannya aku mau berprasangka buruk sama kakak kamu. Mas tahu sendiri uang yang jauh lebih besar dari yang kita pinjamkan saja mbak Nur gak mau mempertangungjawabkan dan mengakui. Bagaimana dengan uang kita yang mungkin tidak seberapa di mata kakak kamu."Farhan mencerna ucapan dari istrinya yang memang benar adanya. Uang dari ibu dan adiknya saja yang jumlahnya jauh dari itu, tidak pernah diakui oleh kakak sulungnya itu. Apalagi uang yang tidak seberapa yang ia pinjamkan pada kakaknya tersebut..Di tempat lain. Nurmala yang dengan kondisi keuangannya saat ini."Kenapa, Ma?" Arif yang melihat per
"Kalau di dunia Mbak Nur masih bisa menghindar. Mbak berharap saja, semoga saja di alam kubur Mbak Nur masih bisa selamat!" Kesal sudah seorang Marwah karena ulah dari iparnya itu. Menyesal sudah dirinya kini karena niatnya yang tulus untuk memberikan pinjaman. Ternyata tidak mendapatkan respon dan juga kesan yang baik dari orang yang sudah ditolongnya."Kurang ajar sekali kamu berani nyumpahin aku!" gerutu Nurmala karena dibuat kesal oleh adik iparnya melalui pesan balasan yang baru saja ia kirimkan untuk sang ipar."Biarin aja, gak bakalan aku kembalikan itu uang. Toh benar juga kata mas Arif kalau uang dari Farhan adalah uangku juga karena aku dan Farhan ada hubungan darahnya." Nurmala percaya diri dengan ucapannya itu yang tidak lain merupakan hasutan dari suaminya sendiri. .Waktu terus bergulir. Detik yang berubah menjadi menit, dan hari pun telah berganti dengan bulan. Hubungan antara dua saudara itu masih terlihat renggang. Dengan berbagai caranya, antara keluarga Farhan dan
"Mas, Ibu barusan telpon." Riana menghampiri suaminya yang baru saja pulang dari pasar. Iya, Reihan sengaja membeli kebutuhan untuk warungnya itu sendiri. Tak ingin merepotkan sang istri dan yang terpenting tak ingin jika hal itu menjadi bahan untuk diungkit-ungkit oleh istrinya suatu saat nanti."Terus maksud kamu ngomong ke aku, itu apa? Mau minta duit ibu kamu, itu." Nada tidak senang sengaja diperdengarkan oleh Reihan pada istrinya itu. Masih teringat jelas bagaimana keluarga sang istri memperlakukannya kala itu. Tidak ingin membalas perbuatan keluarga istrinya itu. Nyatanya hati Reihan juga tidak bisa berbohong untuk tidak sakit hati."Kok kamu ngomongnya gitu, Mas. Kaya gak suka gitu. Ibu aku kan ibu kamu juga." Riana memprotes ucapan dari suaminya itu. Tentu saja dirinya tidak terima di perlakukan seperti demikian."Tapi benar kan kalai ibu kamu telpon cuma butuh duit.""Iya, benar buat bayar motor Ranti.""Terus apa hubungan dengan aku?" Reihan menatap tidak suka ke arah istri
"Kalau kamu mau bantu keluarga kamu. Aku gak akan pernah menghalangi. Tapi aku juga tidak akan mengeluarkan satu rupiah pun untuk sesuatu yang tidak menguntungkan." Setelah berkata demikian Reihan berlalu dari hadapan istrinya itu. Lebih baik ia segera menyiapkan dagangan untuk warungnya nanti. Di tempat baru Reihan, sengaja di sana dibangun dapur kecil di bagian belakang atau tepat di depan teras rumah ibunya. Dapur basah tempat ia biasa mengolah adonan untuk bahan gorengan yang ia jual. Sedangkan untuk menggoreng hingga menjadi makanan siap makan. Sudah Reihan siapkan gerobak dan juga etalase di depan warungnya itu. Ada satu karyawan yang biasanya membantu Reihan di sana. Siti, gadis yatim yang merupakan tetangganya sendiri. Siti biasanya membantu mulai warung buka hingga sampai pukul sembilan malam, selanjutnya Reihan sendiri yang akan bertugas untuk menjaga warung tersebut. Riana, wanita itu mana mungkin mau berkutat dengan pekerjaan di warung milik suaminya itu. Kalau pun diriny
Apa maksudnya ini, Ri? Jelaskan! Apa maksud bidan yang mengatakan kalau kamu hamil. Katakan anak siapa yang ada di perutmu itu?" Reihan mengeluarkan amarahnya. Setelah bidan dan juga Rina pergi dari rumah mereka tentunya. Pria yang masih say menjadi suami Riana itu dengan sedikit kasar menarik tangan istrinya. Setelah sampai mereka di dalam kamar segera Reihan menginterogasi atas apa yang telah dan pernah istrinya itu lakukan."Mas, itu gak seperti yang kamu bayangkan." Riana berusaha menggibah Berharap hari suaminya tidak mengeras. Perempuan dengan daster kekinian yang melekat di tubuhnya itu, memegangi tangan suaminya. Tak ingin apa yang ada dalam pikirannya itu menjadi nyata."Maksud kamu apa gak seperti yang aku bayangkan. Buktinya itu apa yang ada di perut kamu!" Semakin meninggi pula suara yang dikeluarkan oleh Reihan. Bu Sukesih yang mendengar itu pun dibuat kebingungan. Di sisi lain dirinya sebagai orang tua ingin menengahi. Tapi di sisi lain, ada anak kecil yang layak untuk
"Ma, kok bisa adikmu punya mobil lebih bagus dari punya kita." Acara makan malam bersama di keluarga istrinya itu telah usai beberapa waktu yang lalu. Kini keduanya tengah berada di dalam kamar milik sang istri, kamar yang mereka tempati setiap pulang ke rumah tersebut. Hanya anak bungsu mereka yang ikut serta di kamar tersebut. Sedangkan yang putra pertama dan putri kedua mereka berada satu kamar bersama dengan neneknya.Untuk acara makan malam tersebut. Bu Sukesih sengaja belum membicarakan perihal masalah rumah tangga dari anak bungsunya. Beliau tidak mau merusak acara yang sengaja diadakan secara mendadak lebih ke arah sebuah kejutan. Ia memutuskan untuk membicarakannya esok hari."Aku juga gak tahu, Mas. Kamu kan tahu sendiri aku sama mereka sudah tidak pernah akur lagi. Males juga nyari-nyari informasi dari mereka.""Benar juga. Paling juga itu mobil kreditan. Aku yakin itu. Pasti mereka mengunakan uang si Farhan buat bayar cicilan bulanan mobil itu. Sementara mereka makan dari