Apa maksudnya ini, Ri? Jelaskan! Apa maksud bidan yang mengatakan kalau kamu hamil. Katakan anak siapa yang ada di perutmu itu?" Reihan mengeluarkan amarahnya. Setelah bidan dan juga Rina pergi dari rumah mereka tentunya. Pria yang masih say menjadi suami Riana itu dengan sedikit kasar menarik tangan istrinya. Setelah sampai mereka di dalam kamar segera Reihan menginterogasi atas apa yang telah dan pernah istrinya itu lakukan."Mas, itu gak seperti yang kamu bayangkan." Riana berusaha menggibah Berharap hari suaminya tidak mengeras. Perempuan dengan daster kekinian yang melekat di tubuhnya itu, memegangi tangan suaminya. Tak ingin apa yang ada dalam pikirannya itu menjadi nyata."Maksud kamu apa gak seperti yang aku bayangkan. Buktinya itu apa yang ada di perut kamu!" Semakin meninggi pula suara yang dikeluarkan oleh Reihan. Bu Sukesih yang mendengar itu pun dibuat kebingungan. Di sisi lain dirinya sebagai orang tua ingin menengahi. Tapi di sisi lain, ada anak kecil yang layak untuk
"Ma, kok bisa adikmu punya mobil lebih bagus dari punya kita." Acara makan malam bersama di keluarga istrinya itu telah usai beberapa waktu yang lalu. Kini keduanya tengah berada di dalam kamar milik sang istri, kamar yang mereka tempati setiap pulang ke rumah tersebut. Hanya anak bungsu mereka yang ikut serta di kamar tersebut. Sedangkan yang putra pertama dan putri kedua mereka berada satu kamar bersama dengan neneknya.Untuk acara makan malam tersebut. Bu Sukesih sengaja belum membicarakan perihal masalah rumah tangga dari anak bungsunya. Beliau tidak mau merusak acara yang sengaja diadakan secara mendadak lebih ke arah sebuah kejutan. Ia memutuskan untuk membicarakannya esok hari."Aku juga gak tahu, Mas. Kamu kan tahu sendiri aku sama mereka sudah tidak pernah akur lagi. Males juga nyari-nyari informasi dari mereka.""Benar juga. Paling juga itu mobil kreditan. Aku yakin itu. Pasti mereka mengunakan uang si Farhan buat bayar cicilan bulanan mobil itu. Sementara mereka makan dari
Kamu kok bisa-bisanya sampai kebobolan. Kalau gini siapa yang rugi. Bapak gak mau tahu. Pokoknya kamu harus minta pertanggung jawaban sama si Tomi. Kamu juga harus minta pembagian harga gana-gini sana suamimu itu sebagai sarat untuk kalian pisah." Usai keluarga dari mertuanya itu pulang. Bapak Riana baru sampai di rumahnya. Mereka selisih jalan. Akhirnya istrinya pun tidak mengulur waktu untuk menceritakan semua yang tengah menimpah pada putrinya."Bener, tuh dengerin apa kata bapak-mu. Jangan sampai kamu rugi. Kalau bisa kamu minta hak asuh anak kamu, itu. Itu bisa juga di jadikan jalan buat kamu tetep dapat jatah uang bulanan dari Reihan. Kamu perlu minta sepuluh juta perbulan untuk biaya hidup kalian. Jangan kamu nurut saja kata mereka. Biar dikata kamu yang salah. Kamu tetep jangan sampai yang nanggung ruginya." Imbuh ibunya Riana. Bukan memberikan nasihat yang baik, justru kedua orangtuanya berusaha menjerumuskan anaknya lebih dalam. Tidak belajar dari kesalahan, justru mencari k
"Gak mungkin! MAS ...!" Nurmala meraung histeris. "Semua gara-gara kamu sama adik kamu yang gak tahu diri ini!" Nurmala menunjuk dan menyalahkan suami serta adik iparnya."Kalau saja kamu gak seenaknya kasih pinjam mobil kita sana saudara kamu. Mobil kita gak bakalan hilang kaya gini. Pokoknya aku mau adik kamu ganti rugi. Adik kamu harus tanggung jawab! Kalau nggak aku akan melaporkan kasus ini sama polisi." Adi yang menjadi amukan Nurmala hanya bisa menunduk. Dirinya juga bingung harus berbuat apa."Mau tanggung jawab gimana, Mbak? Itu kan namanya musibah. Mana ada suamiku niat buat menghilangkan mobil punya kalian." Dian---istri dari Adi ikut bersuara untuk memberikan pembelaan pada suaminya."Itu harus. Pokoknya aku bawa ke jalur hukum. Makanya gak usah sok-sokan bergaya. Mobil modal pinjam sok-sokan kamu kasih pinjam sama temen kamu yang sama-sama brengseknya kaya suami mu itu. Kalian gak nyusahin saudara itu apa gak bisa tenang. Aku sudah cukup berdiam diri karena ulah dari sau
Ma ... serius kamu mau datang ke acaranya adik kamu itu?" Acara syukuran pembukaan tempat kos milik Farhan dan Marwah sengaja diadakan pada hari Minggu. Tak lupa keluarga dari Nurmala serta saudara ipar Nurmala dari adik-adik Arif juga turut diundang pada acara tersebut."Datang lah, Mas. Kan kita diundang." Nurmala yang usai saja keluar dari kamar mandi, ia menuju lemari tempat penyimpanan pakaian miliknya. Sebelumnya ia mempersiapkan ketiga anaknya juga untuk ikut menghadiri acara tersebut. Penasaran juga yang dirasakan oleh Nurmala. Dirinya tidak pernah menyangka jika sang adik bisa memiliki pencapaian yang tidak pernah ia duga seperti sekarang. Tidak hanya mobil baru. Tetapi tanah dan juga bangunan yang tentu saja harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk dimiliki sebagai properti pribadinya."Kamu gak bersiap, Mas? Gak ikut?" tanya Nurmala seraya menatap selidik ke arah suaminya berada. Lelaki berkaus oblong dan bercelana pendek tersebut merasa ogah-ogahan untuk menghadir
Sia-sia sudah rencananya. Meskipun berusaha mengiba juga menyakinkan. Nyatanya hati Farhan dan Marwah tak jua luluh. Tak ingin jatuh ke lubang yang sama. Watak seseorang tak akan begitu saja mudah untuk berubah. Walaupun Bu Sukesih membantu sang putri untuk membujuk Farhan. Nyatanya usaha ibunya itu juga tak membuahkan hasil. Menjaga kepercayaan dari orang lain jauh lebih sulit dari pada mendapatkannya."S ial, gagal aku membujuk mereka!" rutuk Nurmala setibanya ia di rumahnya sendiri. Tidak lah jauh jarak dari rumah mereka dengan tempat kos milik Farhan dan Marwah. Hanya berjarak kurang dari dua kilometer. Bersebelahan desa."Ini semua karena kecerobohan kamu, Mas! Kalau kamu gak kasih pinjam mobil kita sama adik kamu pasti kita sudah punya mobil baru dan gak bakalan malu ketemu sama mereka. Aku sudah rela merendahkan diri di depan mereka. Nyatanya usahaku ini gagal. Mau sampai kapan hidup kita seperti ini. Mau kemana-mana jadi sudah sendiri, Kan!" sungut Nurmala pada suaminya. Belum
"Han, keponakanmu butuh uang sepuluh juta untuk pendaftaran kuliahnya." Sebuah pesan masuk yang tidak lain adalah pesan dari Mbak Nur kepada Mas Farhan. Bukan ingin lancang, melainkan sudah kesepakatan antara aku dan juga suamiku untuk saling terbuka termasuk juga masalah ponsel yang sama sekali tidak ada yang akan kami sembunyikan satu sama lainya.Suamiku saat ini sudah tidak lagi bekerja di pabrik. Mas Farhan telah mengajukan pensiun dini dan memilih untuk membuka usaha sendiri.Usia kamu sudah tidak lagi muda dan oleh sebab itu aku dan juga Mas Farhan memikirkan untuk masa depan kamu termasuk keputusan suami yang tidak akan terus bergantung pada perusahaan tempat ia pernah mengabdi. Berbeda dengan kami pun juga dengan keluarga dari kakak iparku. Jika kehidupan ku semakin mapan justru sebaliknya dengan saudara dari suamiku itu.Dua tahun setelah kepindahan Mbak Nur ke kampung dan satu tahun setelahnya ibu mertua berpulang ke pangkuan Illahi. Musibah kembali datang menghampiri kel
"Mas, ini tadi Mbak Nur ada kirim pesan buat, Mas," kabar ku memberi tahu pada suami akan kiriman pesan yang sudah dikirim oleh kakak perempuannya.Aku sengaja memberi tahu seusai kami makan malam. "Memangnya Mbak Nur kirim pesan apa. Kok tumben-tumbenan kirim pesan. Biasanya ada maunya kalau Mbak Nur itu tiba-tiba kirim pesan ke kita." Tebakan suamiku sama sekali tidak meleset. kelakukan kakaknya itu memang bisa terbaca oleh siapa saja yang sudah tahu bagaimana wataknya."Mbak Nur itu minta kiriman uang lagi. Alasannya katanya untuk biaya masuk kuliah di Kiran. Mas kan tahu sendiri bagaimana dengan anak-anak Mbak Nur. Mereka semua itu gak ada yang minat untuk belajar ke jenjang yang lebih tinggi. Kakak mu itu saja yang terlalu gengsi dan memaksakan kehendaknya pada anaknya. Ujung-ujungnya kita ini yang rugi karena yang keluar biaya juga bukan dia tetapi kita. Aku mau Mas itu harus tegas sama mereka. Pokoknya kalau Mbak Nur itu masih maksa buat kuliahkan anaknya silahkan tetapi janga