"Kalau di dunia Mbak Nur masih bisa menghindar. Mbak berharap saja, semoga saja di alam kubur Mbak Nur masih bisa selamat!" Kesal sudah seorang Marwah karena ulah dari iparnya itu. Menyesal sudah dirinya kini karena niatnya yang tulus untuk memberikan pinjaman. Ternyata tidak mendapatkan respon dan juga kesan yang baik dari orang yang sudah ditolongnya."Kurang ajar sekali kamu berani nyumpahin aku!" gerutu Nurmala karena dibuat kesal oleh adik iparnya melalui pesan balasan yang baru saja ia kirimkan untuk sang ipar."Biarin aja, gak bakalan aku kembalikan itu uang. Toh benar juga kata mas Arif kalau uang dari Farhan adalah uangku juga karena aku dan Farhan ada hubungan darahnya." Nurmala percaya diri dengan ucapannya itu yang tidak lain merupakan hasutan dari suaminya sendiri. .Waktu terus bergulir. Detik yang berubah menjadi menit, dan hari pun telah berganti dengan bulan. Hubungan antara dua saudara itu masih terlihat renggang. Dengan berbagai caranya, antara keluarga Farhan dan
"Mas, Ibu barusan telpon." Riana menghampiri suaminya yang baru saja pulang dari pasar. Iya, Reihan sengaja membeli kebutuhan untuk warungnya itu sendiri. Tak ingin merepotkan sang istri dan yang terpenting tak ingin jika hal itu menjadi bahan untuk diungkit-ungkit oleh istrinya suatu saat nanti."Terus maksud kamu ngomong ke aku, itu apa? Mau minta duit ibu kamu, itu." Nada tidak senang sengaja diperdengarkan oleh Reihan pada istrinya itu. Masih teringat jelas bagaimana keluarga sang istri memperlakukannya kala itu. Tidak ingin membalas perbuatan keluarga istrinya itu. Nyatanya hati Reihan juga tidak bisa berbohong untuk tidak sakit hati."Kok kamu ngomongnya gitu, Mas. Kaya gak suka gitu. Ibu aku kan ibu kamu juga." Riana memprotes ucapan dari suaminya itu. Tentu saja dirinya tidak terima di perlakukan seperti demikian."Tapi benar kan kalai ibu kamu telpon cuma butuh duit.""Iya, benar buat bayar motor Ranti.""Terus apa hubungan dengan aku?" Reihan menatap tidak suka ke arah istri
"Kalau kamu mau bantu keluarga kamu. Aku gak akan pernah menghalangi. Tapi aku juga tidak akan mengeluarkan satu rupiah pun untuk sesuatu yang tidak menguntungkan." Setelah berkata demikian Reihan berlalu dari hadapan istrinya itu. Lebih baik ia segera menyiapkan dagangan untuk warungnya nanti. Di tempat baru Reihan, sengaja di sana dibangun dapur kecil di bagian belakang atau tepat di depan teras rumah ibunya. Dapur basah tempat ia biasa mengolah adonan untuk bahan gorengan yang ia jual. Sedangkan untuk menggoreng hingga menjadi makanan siap makan. Sudah Reihan siapkan gerobak dan juga etalase di depan warungnya itu. Ada satu karyawan yang biasanya membantu Reihan di sana. Siti, gadis yatim yang merupakan tetangganya sendiri. Siti biasanya membantu mulai warung buka hingga sampai pukul sembilan malam, selanjutnya Reihan sendiri yang akan bertugas untuk menjaga warung tersebut. Riana, wanita itu mana mungkin mau berkutat dengan pekerjaan di warung milik suaminya itu. Kalau pun diriny
Apa maksudnya ini, Ri? Jelaskan! Apa maksud bidan yang mengatakan kalau kamu hamil. Katakan anak siapa yang ada di perutmu itu?" Reihan mengeluarkan amarahnya. Setelah bidan dan juga Rina pergi dari rumah mereka tentunya. Pria yang masih say menjadi suami Riana itu dengan sedikit kasar menarik tangan istrinya. Setelah sampai mereka di dalam kamar segera Reihan menginterogasi atas apa yang telah dan pernah istrinya itu lakukan."Mas, itu gak seperti yang kamu bayangkan." Riana berusaha menggibah Berharap hari suaminya tidak mengeras. Perempuan dengan daster kekinian yang melekat di tubuhnya itu, memegangi tangan suaminya. Tak ingin apa yang ada dalam pikirannya itu menjadi nyata."Maksud kamu apa gak seperti yang aku bayangkan. Buktinya itu apa yang ada di perut kamu!" Semakin meninggi pula suara yang dikeluarkan oleh Reihan. Bu Sukesih yang mendengar itu pun dibuat kebingungan. Di sisi lain dirinya sebagai orang tua ingin menengahi. Tapi di sisi lain, ada anak kecil yang layak untuk
"Ma, kok bisa adikmu punya mobil lebih bagus dari punya kita." Acara makan malam bersama di keluarga istrinya itu telah usai beberapa waktu yang lalu. Kini keduanya tengah berada di dalam kamar milik sang istri, kamar yang mereka tempati setiap pulang ke rumah tersebut. Hanya anak bungsu mereka yang ikut serta di kamar tersebut. Sedangkan yang putra pertama dan putri kedua mereka berada satu kamar bersama dengan neneknya.Untuk acara makan malam tersebut. Bu Sukesih sengaja belum membicarakan perihal masalah rumah tangga dari anak bungsunya. Beliau tidak mau merusak acara yang sengaja diadakan secara mendadak lebih ke arah sebuah kejutan. Ia memutuskan untuk membicarakannya esok hari."Aku juga gak tahu, Mas. Kamu kan tahu sendiri aku sama mereka sudah tidak pernah akur lagi. Males juga nyari-nyari informasi dari mereka.""Benar juga. Paling juga itu mobil kreditan. Aku yakin itu. Pasti mereka mengunakan uang si Farhan buat bayar cicilan bulanan mobil itu. Sementara mereka makan dari
Kamu kok bisa-bisanya sampai kebobolan. Kalau gini siapa yang rugi. Bapak gak mau tahu. Pokoknya kamu harus minta pertanggung jawaban sama si Tomi. Kamu juga harus minta pembagian harga gana-gini sana suamimu itu sebagai sarat untuk kalian pisah." Usai keluarga dari mertuanya itu pulang. Bapak Riana baru sampai di rumahnya. Mereka selisih jalan. Akhirnya istrinya pun tidak mengulur waktu untuk menceritakan semua yang tengah menimpah pada putrinya."Bener, tuh dengerin apa kata bapak-mu. Jangan sampai kamu rugi. Kalau bisa kamu minta hak asuh anak kamu, itu. Itu bisa juga di jadikan jalan buat kamu tetep dapat jatah uang bulanan dari Reihan. Kamu perlu minta sepuluh juta perbulan untuk biaya hidup kalian. Jangan kamu nurut saja kata mereka. Biar dikata kamu yang salah. Kamu tetep jangan sampai yang nanggung ruginya." Imbuh ibunya Riana. Bukan memberikan nasihat yang baik, justru kedua orangtuanya berusaha menjerumuskan anaknya lebih dalam. Tidak belajar dari kesalahan, justru mencari k
"Gak mungkin! MAS ...!" Nurmala meraung histeris. "Semua gara-gara kamu sama adik kamu yang gak tahu diri ini!" Nurmala menunjuk dan menyalahkan suami serta adik iparnya."Kalau saja kamu gak seenaknya kasih pinjam mobil kita sana saudara kamu. Mobil kita gak bakalan hilang kaya gini. Pokoknya aku mau adik kamu ganti rugi. Adik kamu harus tanggung jawab! Kalau nggak aku akan melaporkan kasus ini sama polisi." Adi yang menjadi amukan Nurmala hanya bisa menunduk. Dirinya juga bingung harus berbuat apa."Mau tanggung jawab gimana, Mbak? Itu kan namanya musibah. Mana ada suamiku niat buat menghilangkan mobil punya kalian." Dian---istri dari Adi ikut bersuara untuk memberikan pembelaan pada suaminya."Itu harus. Pokoknya aku bawa ke jalur hukum. Makanya gak usah sok-sokan bergaya. Mobil modal pinjam sok-sokan kamu kasih pinjam sama temen kamu yang sama-sama brengseknya kaya suami mu itu. Kalian gak nyusahin saudara itu apa gak bisa tenang. Aku sudah cukup berdiam diri karena ulah dari sau
Ma ... serius kamu mau datang ke acaranya adik kamu itu?" Acara syukuran pembukaan tempat kos milik Farhan dan Marwah sengaja diadakan pada hari Minggu. Tak lupa keluarga dari Nurmala serta saudara ipar Nurmala dari adik-adik Arif juga turut diundang pada acara tersebut."Datang lah, Mas. Kan kita diundang." Nurmala yang usai saja keluar dari kamar mandi, ia menuju lemari tempat penyimpanan pakaian miliknya. Sebelumnya ia mempersiapkan ketiga anaknya juga untuk ikut menghadiri acara tersebut. Penasaran juga yang dirasakan oleh Nurmala. Dirinya tidak pernah menyangka jika sang adik bisa memiliki pencapaian yang tidak pernah ia duga seperti sekarang. Tidak hanya mobil baru. Tetapi tanah dan juga bangunan yang tentu saja harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk dimiliki sebagai properti pribadinya."Kamu gak bersiap, Mas? Gak ikut?" tanya Nurmala seraya menatap selidik ke arah suaminya berada. Lelaki berkaus oblong dan bercelana pendek tersebut merasa ogah-ogahan untuk menghadir