"Lho, Mas, kamu ngapain?" Riana yang baru saja masuk ke kamarnya, di kejutkan dengan sang suami yang tiba-tiba saja sudah ada di kamar mereka. Padahal sebelumnya pamit untuk membeli bensin dari sisa uang yang di miliki oleh Reihan. Hampir setiap hari suaminya itu mengeluarkan uang pribadi untuk mengisi bensin. Motor miliknya sendiri namun tidak ikut mengendarai tapi harus menanggung uang bensin setiap harinya. Reihan hanya menoleh sekilas ke arah istrinya itu. Pria yang satu tahun lebih itu melanjutkan aktifitasnya. Iya, Reihan sengaja merapikan pakaiannya. Pakaian yang sedari awal kedatangannya ia bawah dari rumah ibunya itu, ia kemas dan masukkan ke dalam tas.Melihat gelagat yang tidak biasa dari suaminya itu. Riana tentu saja di buat bingung. Tidak biasanya ayah dari putrinya itu akan bersikap acuh dan mendiamkannya seperti itu.Riana berjalan semakin mendekat ke arah suaminya. "Ngapain kamu masukin semua baju kamu ke dalam tas, Mas? Mau pergi, kamu?""Iya, aku mau pergi dari sin
"Gimana Rei, jualannya hari ini?" tanya Bu Sukesih pada putra sulungnya itu. Iya, hari itu adalah tepat satu bulan Reihan melakoni usaha dagang gorengan. Dan sudah satu bulan itu semakin hari pelanggan yang datang semakin banyak dari biasanya di tambah dengan cuaca yang memang mendukung. Iya, bertepatan dengan musim penghujan. Reihan membuka dagangannya mulai dari jam 4 sore hingga sampai habis seluruh dagangannya itu. Baru lah warung semi permanen miliknya itu ia tutup. Tak jarang jika ramai pembeli jam 7 malam, seluruh gorengan yang ia buat ludes tidak bersisa. Ada beberapa macam gorengan yang dijual oleh Reihan di warungnya. Mulai dari bakwan sayur, tahu berontak, tahu mercon, pisang goreng, pisang coklat, ada juga singkong dan tak lupa ubi goreng. Semu itu Reihan persiapan sendiri sedari pagi untuk menu aneka tahu dan pisang coklat. Terkadang ibunya juga turut membantu jika sang anak sedang tidur atau tidak sedang rewel."Alhamdulillah, Bu, rame. Ini baru jam 6 lewat sudah pada ha
Ma, masak apa hari ini?" Arif yang baru saja pulang kerja langsung menghampiri istrinya yang sedang merebahkan diri di ruang keluarga. "Kamu lihat saja di dapur sana, Mas!" ucap Nurmala tanpa menoleh ke arah orang yang mengajaknya berbicara.Arif yang bisa membaca gelagat istrinya tersebut, tak mau banyak tanya lagi. Segera ia bergegas menuju meja makan tempat di mana istrinya tersebut menyimpan makanan yang telah diolah.Pria tiga anak tersebut langsung saja menuju lemari penyimpanan tempat makan. Piring dan sendok yang pertama ia ambil. Usainya, ia menuju tempat nasi, menyendok kan nasi ke atas piring. Dibukanya tuding saji yang tertelungkup di atas meja makan dapur itu. "Maa ...! Sayurnya kok masih sama?" teriak Arif yang ketika itu telah membuka tudung saji di atas meja.Nurmala yang sudah merasa kepayahan itu tidak lagi mendengarkan teriakan dari sang suami.Arif yang merasa tidak ada respon dari sang istri akhirnya memilih untuk menghampiri sang istri."Ma, sayurnya kok masih
"Aku minta jatah bulanan ku bulan ini, Mas!" Riana menodong suaminya."Hei, dasar gak punya malu, ya? Apa kamu gak salah minta uang sama adikku? Apa kamu inget sama tugasmu? I get gak sama anak kamu?"Riana sontak terlonjak mendapati suara kakak iparnya itu berada di belakangnya."Mbak Nur?" "Iya, kenapa? Kaget kamu? Kamu itu ya sudah di kasih enak, kamu sendiri kan yang nyari masalah. Terus mau lepas tangan gitu aja?"Seolah tidak pernah berkaca. Apa yang Nurmala ucapkan seolah itu adalah cerminan dari kekakuannya sendiri."Mbak Nur gak punya kaca di rumah? Nasehat itu buat aku apa buat mbak Nur sendiri. Mau enaknya giliran ada getahnya mau kabur nyari aman sendiri. Bukannya yang lepas tangan itu adalah mbak Nur, Ya. Kabur gitu aja padahal tahu ibunya sakit dan masuk rumah sakit. Takut dimintai iuran bayar rumah sakit?" Tamparan keras berbalik pada diri Nurmala sendiri. Tidak ada yang salah dari ucapan saudari iparnya tersebut. Sebuah fakta yang memang telah terungkap."Jangan lanc
Setelah mendapatkan apa yang ia inginkan meskipun tidak sepenuhnya. Nurmala beserta sang suami juga anaknya segera meninggalkan kediaman milik ibunya setelah berpamitan hanya pada ibunya saja tentunya."Jadi benar, adik kamu itu cuma ngasih dua juta saja?" Mereka dalam perjalanan pulang. Dan di dalam mobil tersebut, Arif kembali menanyakan perihal uang yang diberikan adik iparnya kepada sang istri sebagai pinjaman."Iya bener, Mas, cuma dua juta saja. Padahal aku maunya itu lebih.""Laganya saja jabatan sudah naik level. Istrinya juga punya usaha sendiri. Masa iya giliran ngasih pinjam sama kamu cuma dua juta. Sepertinya adikmu itu meragukan kita. Takut kali kita gak bisa bayar!" Arif sengaja baru menumpahkan kekesalannya pada sang ipar. Dirinya kesal karena merasa uang pinjaman yang iparnya berikan tersebut sangatlah bernilai kecil untuk keluarganya."Maklum biasa hidup susah. Jadi, dia nganggepnya uang segitu, itu besar. Padahal kalau untuk kita uang segitu gak ada apa-apanya," geru
"Mas gak ada kabar dari mbak Nur? Bukannya sudah dari beberapa bulan yang lalu kakak kamu sudah kembali bekerja." Marwah kembali menanyakan juga mengingatkan perihal uang yang sudah mereka pinjamkan pada keluarga Nurmala."Sudah aku hubungi lewat pesan WhatsApp. Cuma dibaca saja. Gak ada balasannya.""Mas, apa Mas gak ada kepikiran kalau mbak Nur sengaja buat gak respon pesan dari Mas? Maaf, bukannya aku mau berprasangka buruk sama kakak kamu. Mas tahu sendiri uang yang jauh lebih besar dari yang kita pinjamkan saja mbak Nur gak mau mempertangungjawabkan dan mengakui. Bagaimana dengan uang kita yang mungkin tidak seberapa di mata kakak kamu."Farhan mencerna ucapan dari istrinya yang memang benar adanya. Uang dari ibu dan adiknya saja yang jumlahnya jauh dari itu, tidak pernah diakui oleh kakak sulungnya itu. Apalagi uang yang tidak seberapa yang ia pinjamkan pada kakaknya tersebut..Di tempat lain. Nurmala yang dengan kondisi keuangannya saat ini."Kenapa, Ma?" Arif yang melihat per
"Kalau di dunia Mbak Nur masih bisa menghindar. Mbak berharap saja, semoga saja di alam kubur Mbak Nur masih bisa selamat!" Kesal sudah seorang Marwah karena ulah dari iparnya itu. Menyesal sudah dirinya kini karena niatnya yang tulus untuk memberikan pinjaman. Ternyata tidak mendapatkan respon dan juga kesan yang baik dari orang yang sudah ditolongnya."Kurang ajar sekali kamu berani nyumpahin aku!" gerutu Nurmala karena dibuat kesal oleh adik iparnya melalui pesan balasan yang baru saja ia kirimkan untuk sang ipar."Biarin aja, gak bakalan aku kembalikan itu uang. Toh benar juga kata mas Arif kalau uang dari Farhan adalah uangku juga karena aku dan Farhan ada hubungan darahnya." Nurmala percaya diri dengan ucapannya itu yang tidak lain merupakan hasutan dari suaminya sendiri. .Waktu terus bergulir. Detik yang berubah menjadi menit, dan hari pun telah berganti dengan bulan. Hubungan antara dua saudara itu masih terlihat renggang. Dengan berbagai caranya, antara keluarga Farhan dan
"Mas, Ibu barusan telpon." Riana menghampiri suaminya yang baru saja pulang dari pasar. Iya, Reihan sengaja membeli kebutuhan untuk warungnya itu sendiri. Tak ingin merepotkan sang istri dan yang terpenting tak ingin jika hal itu menjadi bahan untuk diungkit-ungkit oleh istrinya suatu saat nanti."Terus maksud kamu ngomong ke aku, itu apa? Mau minta duit ibu kamu, itu." Nada tidak senang sengaja diperdengarkan oleh Reihan pada istrinya itu. Masih teringat jelas bagaimana keluarga sang istri memperlakukannya kala itu. Tidak ingin membalas perbuatan keluarga istrinya itu. Nyatanya hati Reihan juga tidak bisa berbohong untuk tidak sakit hati."Kok kamu ngomongnya gitu, Mas. Kaya gak suka gitu. Ibu aku kan ibu kamu juga." Riana memprotes ucapan dari suaminya itu. Tentu saja dirinya tidak terima di perlakukan seperti demikian."Tapi benar kan kalai ibu kamu telpon cuma butuh duit.""Iya, benar buat bayar motor Ranti.""Terus apa hubungan dengan aku?" Reihan menatap tidak suka ke arah istri