Sudah satu Minggu sejak kepindahan ku ke rumah mertua. Kehidupan ku jauh terasa lebih tenang dan juga damai, tentunya juga dengan istri dan anakku. Mengenai kondisi dari ibuku sendiri. Ternyata aku tidak menyangka jika ibu akan berniat seperti ini. Dari pengakuan Marwah sebetulnya sudah dari berhari-hari yang lalu kondisi ibu mulai membaik tetapi lebih tepatnya sudah baik. Tanpa sepengetahuan dari ibu, Marwah juga memergoki ibu yang sebenarnya sudah bisa berjalan sendiri bahkan untuk beraktivitas seperti biasanya ibu sudah bisa hanya saja Marwah ingin tahu apa alasan ibu melakukan hal ini, dengan berpura-pura sakit. Apakah karena menginginkan Marwah untuk kembali pulang ke rumahnya ataukah ada motif lain, itu yang masih aku cari tahu. Dari hubungan ku dengan mbak Rina juga aku bisa memantau bagaimana kondisi ibu di sana. Dan berkat mbak Rina pula aku bisa memperoleh informasi tentang ibuku, wanita yang berjasa pada hidupku.Tak terasa jika kami sudah berada di penghujung Ramadan tahu
Tak terasa jika kami sudah berada di penghujung ramadan. Hari raya sudah di depan mata. Dan rencanaku tahun ini adalah merayakan lebaran hari pertama di rumah mertua. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Aku yang sengaja memaksa Marwah untuk merayakan lebaran di rumah ibu dan baru di hari ketiga aku akan mengajak Marwah untuk berlebaran di rumah orang tuanya dan itupun tak pernah aku izinkan untuk menginap. Bukan aku yang tak mengizinkan, apa daya aku hanya ingin mematuhi ucapan ibuku sendiri untuk melarang Marwah agar tidak menginap di rumah orang tuanya. Begitu egoisnya kami tanpa ingin tahu bagaimana perasaan Marwah waktu itu. Dan kali ini aku benar-benar ingin menebus semua kesalahan ku padanya juga pada kedua orang tuanya. Aku yang dengan egois begitu membatasi interaksi antara anak dan orang tuanya. Ucapan ibu dan mbak Nur yang selaku saja berdengung di telingaku, bahwa seorang istri adalah milik suami dan keluarganya. Ia sudah terlepas dari keluarganya. Hari Minggu lalu aku s
Riuh tawa canda yang aku dengar dapati dari keluarga kakak sulungku nyatanya berbanding terbalik dengan air muka yang diperlihatkan oleh ibuku. Bagaimana tidak, kondisi rumah mulai dari ruang tamu hingga ke dapur ini sudah menyerupai bentuk kapal pecah yang tentu saja isinya akan terburai dan berhamburan tidak beraturan. Mulai dari kursi ruang tamu yang tidak beraturan tatanannya, toples yang berpindah tempat dari atas meja menjadi di atas lantai, taplak meja yang teronggok sembarangan di atas kursi, sisa makanan yang berserakan dan yang lebih parahnya lagi adalah di bagian belakang sini. Dapur berserakan, kuah sayur berceceran di atas meja hingga kelantai, piring kotor teronggok di atas wastafel serta cucian yang menumpuk di atas keranjang pakaian kotor. Sungguh hamparan pemandangan yang sangat tidak sedap untuk disaksikan.Mungkin ini adalah alasan kenapa ibuku menampakkan air muka yang masam. Aku jadi curiga, mungkin selama anak perempuannya pulang ke rumah ini, semua pekerjaan rum
Karena tidak ada yang mengolah makanan untuk makan malam. Aku sengaja mengajak Marwah serta Alina untuk mencari makan di luar dan rencananya juga aku akan membungkus di bawa pulang sebagai makan malam untuk ibu. Yang lainnya aku tidak mau ambil pusing, toh biasanya juga mereka sering lupa jika sedang senang-senangnya di luar sana. Masih ingat ketika awal ramadhan aku sengaja bersama keluarga ku makan malam di luar dan membiarkan anak Istriku makan sendiri di rumah. Itu pun makan yang susah payah diolah oleh Marwah dilahab habis sendiri oleh keluargaku tanpa mau mengingat dan menyisahkannya untuk istri dan anakku. Dan bodohnya aku juga mengikuti jejak mereka. Dan ketika aku mengingat anak istri ku dan berniat untuk membungkusnya sebagai oleh-oleh, justru keluarga ku juga yang memberikan larangan padaku. Teringat itu betapa kejamnya aku sebagai suami dan juga ayah. Bersenang-senang sendiri tanpa menghiraukan perasaan anak istri.Aku sengaja mengajak keluarga kecilku makan di warung soto
Hari adalah hari lamaran Reihan adikku dengan kekasihnya, Riana. Hari yang susah di sepakati oleh kedua belah pihak."Wah, masak apa hari ini?" tanya mbak Nur ketika aku akan pergi mengantar Marwah untuk ke pasar. Karena ini adalah permintaan dari ibu sendiri. Sebelumnya ibu yang menghendaki untuk mbak Nur saja yang berbelanja untuk keperluan makan kami tapi sudah bisa ditebak jika saudariku itu tidak akan mau. Takut nombok pakai uangnya jika dia yang harus pergi ke pasar."Masak sayur sup, mbak.""Kok sayur sup, sih. Anak-anak ku mana mau. Kenapa gak masak rendang daging atau semur daging saja?""Kalau mau makan menu seperti yang mbak Nur sebutkan tadi. Ya, mbak silahkan pergi belanja sendiri dan olah sendiri. Itu sudah perintah ibu," sahut ku. Aku yang sudah berada di atas motor dan bersiap untuk berangkat ke pasar. Kami sudah terbiasa bangun pagi dan juga mandi pagi. Alina nampak segar dan wangi karena minyak telon yang sengaja di balurkan di tubuhnya oleh ibunya. Berbeda halnya de
Sudah kuduga. Ujung-ujungnya aku juga yang kena getahnya."Han, kamu juga ikut nyumbang untuk acara adikmu."Ucapan ibu yang bernada sebuah titah yang harus dilaksanakan."Tapi, maaf, Bu. Farhan juga punya kebutuhan sendiri. Farhan ada keluarga, anak dan istri Farhan yang harus Farhan penuhi dulu kebutuhannya. Bukannya mengungkit. Bukannya tabungan Farhan hampir terkuras untuk biaya renovasi rumah ibu, dan ibu juga yang mengadang-ngadangkan jika rumah ini kelak akan jatuh pada Reihan," ucap ku pada ibu. Tidak bermaksud menyangkal hanya ingin mengingatkan mana yang merupakan kewajiban yang harus aku penuhi dan mana yang bukan.Mumpung semua keluarga sedang berkumpul di rumah ini. Agar tidak terjadi kesalahpahaman di kemudian hari."Jadi, artinya kamu gak mau ngeringanin beban aku, Mas!" sela Reihan dengan nada tinggi."Kamu juga kan sudah naik jabatan, Han." Mas Arif, suami mbak Nur ikut menimpali namun kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar seperti sebuah cibiran. Lebih tepatny
Pov. NirmalaNamaku Nurmala. Aku anak pertama dan perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara. Aku terlahir dari keluarga sederhana. Tidak kurang dan tidak juga berlebih. Cukupan. Aku seorang ibu rumah tangga dengan tiga orang anak. Satu laki-laki dan dua orang perempuan. Selain menjadi ibu rumah tangga. Aku juga merupakan karyawan sebuah pabrik yang tidak jauh dari daerah tempat tinggal ku yang merupakan kawasan industri yang cukup terkenal di Jawa timur. Bagaimana cerianya aku bisa sampai di tempat ini?Aku seorang anak yang ketika melihat bagaimana perjuangan orang tua merasa tergerak untuk bisa membalas budi pada mereka. Setidaknya bisa sedikit membantu untuk meringankan beban mereka. Cita-cita ku tidaklah terlalu tinggi, karena takut jika tidak bisa menggapainya. Usai lulus sekolah menengah atas. Aku berniat untuk bisa mencari kerja di kota yang memiliki upah minimum lebih tinggi dari pada daerah asal ku. Keinginan ku tersebut sempat mendapatkan tentangan dari kedua orang tua, pa
Hampir waktuku ku habiskan hanya untuk bekerja dan melakukan pekerjaan rumah ini. Belum juga ada anak tapi capeknya rasanya hingga merasuk kedalam tulang sumsum ku. Hampir saja aku tidak punya waktu untuk beristirahat. Bagaimana tidak, semua pekerjaan rumah mereka limpahkan pada menantunya ini. Tak ada seorang pun yang mau membantu memegang salah satu dari pekerjaan rumah. Mulai memasak, menyapu dan mengepel. Untung saja untuk mencuci di rumah ini sudah ada, kalau tidak bisa-bisa remuk sendiri tubuh ini. Anak gadis mereka manjakan, sedangkan anak orang lain mereka pekerjaan bagai pekerja rodi. Sudahlah kebutuhan aku cukupi, tapi masih belum cukup dan masih menambahkan beban atas urusan pekerjaan rumah.Pernah meminta pada mas Arif agar lebih baik kami hidup terpisah dari keluarganya. Hidup mandiri jauh lebih baik. Tapi jawaban apa yang aku dapatkan. Justru dia mengatakan jika aku hanya mau dengannya juga uangnya. Tetapi tidak mau menerima keluarganya. Repot sekali bukan. Apa mungkin