Setelah lelah berkeliling dan keluar masuk toko untuk mencari pakaian baru. Aku dan keluargaku akhirnya memutuskan untuk makan malam di luar karena rasa lapar yang kembali mendera. Hingga tanpa sadar waktu telah menunjukkan pukul 22.00 rombongan keluarga ku baru sampai di rumah. Tentunya setelah kami mengantarkan Reina pulang dan tak lupa membelikan oleh-oleh untuk orang di rumahnya. Tentunya dengan tujuan untuk menjaga nama baik adikku dan juga keluarga kami.Pintu rumah dibuka oleh istriku---Marwah tanpa kami mengetuk dulu pintunya. Aku kira istriku itu sudah tertidur. Ternyata dia masih juga menunggu kedatangan suaminya. Memang sudah seharusnya. Istri tidur ketika suami sudah sampai di rumahnya.Semua heboh ketika masuk rumah. Heboh dengan belanjaan masing-masing, sedangkan istriku hanya meliriknya saja dan setelahnya ia kembali masuk ke dalam kamarnya tanpa sepatah kata pun menyapa suaminya ini. Aneh juga kelakuannya si Marwah. Padahal sebagai suami aku tidak pernah memberikannya
Hati istri mana yang tidak sesak kala melihat suaminya hanya perhatian pada keluarganya sendiri tetapi mengabaikan istri dan anaknya.Hati ibu mana yang tidak perih melihat ayah dari putrinya melimpahkan kasih sayangnya melebihi kasihnya pada darah dagingnya sendiri. Seolah keponakannya adalah anaknya sendiri. Sedangkan putri kandungnya sendiri diperlakukan oleh nya seperti anak orang lain.Keberadaan ku benar-benar tidak ada artinya dan gunanya lagi selain sebagai pembantu gratisan yang keberadaannya hanya untuk melayani mereka.Harusnya sebagai seorang suami dan juga seorang ayah. Mas Farhan lebih memperhatikan anak istrinya. Tetapi apa yang ia lakukan malah justru kebalikannya. Andai saja aku bisa mendoakan yang buruk-buruk untuk keluarga ini pasti itu sudah aku lakukan jauh hari. Hanya saja diri ini takut. Takut jika doaku yang buruk itu nantinya berbalik pada diriku sendiri. Oleh karena itu tak pernah lelah dalam tiap sujudku. Selalu meminta kepada-Nya agar segera membukakan mat
Perlahan namun pasti bayangan Marwah dan juga putriku sedikit teralihkan oleh hebohnya group di tempat kerjaku. Iya tepatnya hari ini adalah hari pertama bagi karyawan yang memenuhi persyaratan untuk bisa mengajukan diri mengikuti seleksi untuk bisa naik level. Dengan percaya diri aku mendatangi kantor pimpinan HRD. Setelah dipersilahkan masuk, aku langsung menghadap dan langsung mengutarakan maksud kedatanganku.Setelah sedikit berbasa-basi mengenai posisi yang akan di buka khusus untuk karyawan yang benar-benar masuk kriteria seperti aku ini.Namun setelah mendapatkan penjelasan dari kepala HRD perihal ijazah ku yang tidak sesuai kriteria. Aku pun di buat kaget. Bagaimana mungkin bisa. Aku jelas-jelas masih ingat jika ijazah yang aku ajukan adalah ijazahku yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi tempat aku pernah menimba ilmu dulu. Sedangkan data CV ku yang masuk di pabrik ini adalah hanya ijazah SMA saja. Luruh sudah harapan ku. Tubuhku terasa lemah seperti kehilangan tulang penyang
Aku ingin memastikan kondisi ibuku sebelum aku mencari Marwah di rumah orang tuanya.Sabtu pagi yang cerah. Usai melaksanakan salat subuh tadi. Aku segera bersiap untuk pulang ke rumah ibuku. Hingga tiga jam kurang lebih perjalanan yang aku tempuh. Akhirnya aku telah sampai di rumah masa kecilku."Pulang kamu, Han?" sapa mbak Rina tetangga depan rumah sekaligus anak dari kakak sepupu ibuku. Aku yang baru saja memasuki halaman rumah dan memarkir roda dua ku. Dan mbak Rina sendiri juga baru keluar dari rumah ibu."Iya, Mbak. Ibu sakit. Kemarin Reihan udah nelpon dan ngabarin kabar ibu.""Gimana sama kabar Marwah dan Alina? Sudah ketemu sama mereka?"Aku menggeleng. "Belum, Mbak."Aku tahu jika wanita yang seumuran dengan mbak Nur ini sangat menyayangi putriku---Alina melebihi budenya sendiri yang merupakan kakak kandungku.Limpahan kasih sayangnya kepada Alina melebihi kasih sayangku pada putriku sendiri. Itu mungkin karena diusianya yang sampai saat ini belum juga dikaruniai seorang a
Sudah satu Minggu lebih ini aku berada di rumah kedua orang tuaku. Dan selama itu pula tak ada kabar atau niatan dari suamiku untuk mencari anak dan istrinya.Bukan mengharap dia akan mengemis dan memohon kepada ku agar kembali lagi ke rumahnya. Tentu tidak. Dan tak akan pernah. Kecuali mas Farhan mau berjanji dan mau memenuhi persyaratan dari ku. Tapi rasanya itu mustahil untuknya. Bukankah keluarganya itu lebih penting dari apapun.Bulan puasa ini aku lalui tanpa suami. Meski sudah terbiasa berhubungan jarak jauh. Namun tetap saja seperti ada yang hilang. Ada yang kurang.Beberapa hari yang lalu mbak Rina dan juga suaminya datang menemui ku di rumah ini. Mereka kebetulan lewat di dekat tempat tinggal ku dan sekalian mampir. Tidak hanya itu. Mbak Rani bahkan memberikan ku sebuah ponsel. Meski bukan barang baru tentunya ponsel tersebut masih bisa di gunakan. Mbak Rani juga bilang dengan adanya ponsel ia akan lebih mudah menghubungi aku terutama ketika sedang merindukan putriku---Alina
Suasana ruang tamu mendadak hening kembali.Aku menoleh ke arah bapak dan ibu juga Alina yang sedang asik dengan mainan barunya yakni boneka barbie yang baru saja dibelikan sama Mbah dok atau mbak wedok(nenek) beberapa hari yang lalu di pasar malam. Pasar yang ramai ketika memasuki bulan puasa terlebih pada sore hingga malem hari. Tidak hanya kebutuhan dapur seperti sayur mayur dan kelengkapannya. Melainkan banyak juga penjual pakaian, sepatu sendal, makanan ringan hingga berat, takjil, mainan anak-anak hingga arena bermain anak yang di sewakan pun ada. Dan di buka mulai sore hari di halaman pasar yang memang luas tempatnya. Pasar daerah di tempatku.Sikap bapak dan ibu pun sudah tidak seperti biasanya. Berubah setelah apa yang sudah semua aku ceritakan pada mereka.Ekspresi dingin yang di tunjukan oleh keduanya. Mungkin inilah salah satu penyebabnya yang membuat mas Farhan serasa mati kutu di hadapan keluargaku. Jika sebelumnya ia datang ke rumah ini karena terpaksa mengantarkan aku
Akhirnya usahaku menjemput Marwah tidak sia-sia. Diwarnai dengan penuh drama dan meskipun harus menunggu dan tidak sebentar untuk itu. Akhirnya bisa luluh juga hati istriku itu.Kami tiba di rumah ketika salat tarawih telah usai. Karena kami berangkat dari rumah Marwah setelah sebelumnya melaksanakan salat magrib dan juga berbuka di rumah orang tua dari istriku.Sengaja harus menunggu Marwah menyelesaikan semua pesanan pelanggannya. Tak kusangka ternyata begitu kerja kerasnya istriku. Padahal sudah kewajiban ku sebagai seorang kepala keluarga untuk mencukupi kebutuhan istri dan anakku. Nyatanya selama ini aku sudah lalai karena dibutakan oleh jasa baik keluarga kakak kandungku sendiri. Entah bagaimana dengan reaksi ibuku ini, jika saja mengetahui kecurangan yang telah diperbuat oleh anak dan menantunya sendiri. Ingin aku bercerita pada Marwah. Namun masih ku tahan karena sikap dinginnya kepadaku."Assalamualaikum ...." Pintu rumah yang ternyata tidak terkunci. Tak ada jawaban. Aku d
Satu Minggu semenjak Marwah kembali ke rumah ini dan merawat ibu baik. Kondisi ibu semakin ke sini semakin membaik saja. Perlahan ibu sudah mulai bisa menggerakkan kaki dan tangannya. Ke kamar kecil pun sudah bisa sendiri asal ada yang mendampingi. Bicara pun sudah sedikit bisa di mengerti.Aku sengaja mengajukan cuti libur tanpa memberi tahu ibu atau Reihan seperti biasanya. Dan rencananya juga mbak Nur dan keluarganya juga akan datang berkunjung. Harusnya ketika ibu masih sakit agar dia juga merasakan rasanya merawat orang tua yang sakit bukan hanya Marwah yang seorang menantu yang selama sakitnya merawat orang tua kami satu-satunya ini.Prank!"Hei, mbak kamu bisa masak gak sih. Sayur apaan ini yang kamu masak! Sengaja kamu mau ngeracuni aku sama Riana, ya?"Motor segera aku parkir di teras dan terdengar suara lantang Reihan yang sedang menegur Marwah sepertinya.Tak ada jawaban. Tak terdengar sahutan suara Marwah.Aku segera masuk dan ternyata mereka semua ada di dapur. Nampak pan