Sebelum masuk waktu dhuhur semua pekerjaan telah kelar. Aku segera memberikan diri karena keringat dan bau dapur yang sudah sangat melekat di kulit ini.
Usai bersih-bersih badan rencanaku akan segera menjemput putriku---Alina di rumah mbak Rina. Tak lupa lauk yang tadi aku masak sekalian aku antar juga kesana sebagai tanda terimakasih ku.Sebelum keluar dari rumah ini. Aku pastikan dulu kondisi para penghuninya yang lain. Aku keluar dari kamar tak nampak satu orang pun di ruangan tersebut. Menuju ruang tamu pun sama. Kosong. Sedangkan kamar ibu mertua juga sudah tertutup pintunya. Motor Reihan yang biasa ia parkir di teras juga tidak kelihatan. Sepertinya sepasang sejoli itu memang sudah pergi entah ke mana.Tak perlu buang banyak waktu. Bergegas aku ke dapur untuk mengambil bungkusan yang sudah aku persiapkan. Melangkah santai agar tidak membuat curiga dengan pasti aku keluar rumah dan langsung menuju rumah yang berada tepat di depan rumah mertuaku ini.Usai mengantarkan makanan dan menjemput pulang Alina. Aku bergegas untuk kembali pulang ke rumah. Ingin sebenarnya berbasa-basi pada tetangga terlebih dahulu. Namun aku masih ingat bagaimana pandai nya mertua itu mengalah omongannya sehingga apapun yang ia ucapkan pada suamiku. Pasti mas Farhan akan langsung percaya begitu saja tanpa mau menyaring atau mencari tahu dulu kebenarannya. Aku tak mau menambah masalah lagi. Cukup tanpa mencari masalah. Masalah sudah datang diantar oleh keluarga siamiku. Niatku adalah ingin mengistirahatkan tubuh ini. Lelah sudah mendera sedari tadi.Entah berapa lama aku terlelap dengan Alina yang berada di dalam dekapanku. Gadis kecilku yang tidak pernah rewel dan menyusahkan ibunya. Seolah dirinya sudah mengerti dengan bagaimana kondisi ibunya.Aku terbangun sebelum masuk waktu asar. Setelah memberikan rumah serta peralatan bekas makan keluarga rasa majikan. Aku bergegas membersihkan Alina dan mendandaninya dengan pakaian yang masih layak. Aku sebut itu masih layak karena seumur hidupnya belum pernah ayah kandungnya sendiri membelikannya baju baru. Yang ada baju bekas keponakannya, baju yang mulai usang yang ia berikan tersebut. Alih-alih baju baru. Sekedar mengajak anak istrinya jalan -jalan pun itu tidak pernah. Alasannya ibu yang tidak memperbolehkannya. "Suami sudah capek kerja gak usah aneh-aneh minta jajan -jalan segala." Kalau sudah begitu. Sudah tidak bisa diganggu gugat lagi. Sudah tidak bisa ditawar lagi. Apalagi jika aku punya keinginan untuk menjenguk ke rumah orang tua. Pasti ada saja alasan yang dibuat oleh mertua ku itu untuk suamiku. Mulai dari berpura-pura sakit, suami capek gak usah digangguin, gak ada yang ngurus rumah kalau aku tinggal, sampai buang-buang duit juga pernah diungkapkan sebagai alasan untuk menghalangi niatku menjenguk orang tuaku sendiri.Selesai mandi aku bergegas mempersiapkan diri untuk salat asar begitu juga dengan Alina---putri ku, ia akan mengikuti setiap gerakan yang aku lakukan. Hingga pada rakaat yang terakhir. Aku dibuat terlonjak begitu saja karena suara hentakan dari daun pintu yang sengaja dibuka paksa. Aku tahu itu perbuatan mas Farhan setelah salam ku ucapkan.Apa aku akan menyambutnya dengan manis? Hatiku seolah masih belum bisa terima. Hanya menyambut uluran dan mencium tangannya. Begitu juga dengan Alina. Putriku lebih memilih ikut bersama ku setelah mencium tangan ayahnya. Ketimbang merengek hanya untuk minta duit gendong oleh ayahnya. Mungkin masih membekas di hati putri kecilku ini. Pernah suatu ketika ia menangis ingin minta di gendong oleh ayahnya sendiri. Namun dengan tiba-tiba ibu mertua keluar dari kamarnya. Membentak putriku yang masih juga rewel karena ayahnya belum juga menuruti keinginannya. Sakit. Tentu saja hatiku sangat sakit. Tidak hanya ibu mertua saja yang membentak putriku. Tetapi Reihan juga ikut membentak dan mengatai keponakannya sendiri."Han, itu Karin rewel. Coba kamu gendong dulu. Aku capek banget. Mas mu juga lagi rebahan pingin istirahat dulu."Tanpa melihat ke arahku. Mbak Nur seenaknya menyuruh suamiku untuk momong putrinya yang memang dasarnya manja dan cengeng. Aku tidak pernah membiarkan putriku bermain dengan anak dari iparku. Selain nakal dan cengeng. Bisa-bisa anakku yang akan jadi bulan -bulanan orang dewasa karena menyebabkan anak yang cengeng itu menangis. Lebih baik aku kurung di kamar dengan mainannya yang hanya seadanya saja.Tak ku pedulikan suami yang melihat ku seolah meminta persetujuan. Meski pun aku cegah toh percuma. Dia lebih mendengarkan keluarganya ketimbang aku."Wah, cepat kamu siapin makanannya Anak-anaknya pasti sudah lapar."Ibu mertua datang ke kamarku. Tanpa permisi pintu dibuka begitu saja. Memerintah tanpa ada embel-embel kata tolong. Setelah berucap demikian. Langsung nyelonong pergi begitu saja.Padahal ada ibunya. Tapi masih juga senang merepotkan orang lain. Dasar anak perempuannya saja yang pemalas. Dia yang punya anak. Orang lain yang di repotkan. Andai saja dia juga baik kepada Alina. Sudah pasti tanpa diminta pun aku pasti akan menyayangi anak-anaknya itu.Dengan perasaan yang sedikit tidak ikhlas. Aku segera menuju ke dapur menyiapkan makanan untuk anak-anak sekalian juga untuk persiapan buka puasa nanti.Aku mengajak Alina sekalian. Karena untuk menitipkan kepada mereka rasanya percuma. Pasti keberadaan putriku akan diabaikan. Sedangkan ayahnya sendiri pun sibuk dengan keponakan rewelnya itu."Dek, masak apa?"Tanya mas Farhan yang tiba-tiba sudah di belakang ku.Tak langsung ku jawab pertanyaannya tersebut. Hatiku semakin gondok ketika melihatnya masih mengendong keponakan nya itu. Sedangkan putrinya sendiri dibiarkan bermain sendiri di dapur sembari menunggu pekerjaan ibunya selesai.Aku masih memanaskan capcay dan juga ayam kecap yang aku masak tadi. Sembari menyendokkan nasi ke atas piring."Mas lihat saja," ucapku tanpa menoleh hanya menunjuk ke atas kompor yang sudah ada dua panci berisi masakan yang ku masak tadi.untuk ikan lele yang sudah aku marinasi tadi tinggal menggorengnya saja. Sedangkan untuk sambalnya juga sudah aku buat. Tinggal menyiapkan minuman saja. Satu piring berisi nasi dan satu potong paha ayam aku berikan pada mas Farhan untuk keponakannya. Dan dia piring lainnya aku antar ke ruang tengah.Aku meletakkan dua piring itu di depan dia anak Mbak Nur yang sedang asik bermain game."Tante suapin," pinta Kiran yang merengek agar aku mau menyuapinya sedangkan dia mau lanjut bermain game nya."Maaf Kiran. Tante masih banyak kerjaan. Kamu sudah besar harus belajar makan sendiri."Tak aku pedulikan permintaannya itu."Wah, sudah tahu Kiran nangis minta di suapi. Mbok jadi orang tua itu yang ngerti," tegur ibu mertua. Biarkan saja aku mau pura-pura tidak mendengarnya. Aku maklumi saja mata tuanya mungkin benar sudah mulai rabun. Tidak bisa membedakan mana orang sibuk mana yang enak-enakan."Sini, Ndok, maem sama Mbah uti saja. Tantemu itu memang malas. Gak sayang sama keponakan sendiri."Masih terdengar sindiran pedas yang keluar dari mulut tuanya. Sebenarnya yang ia bicarakan barusan adalah gambaran dari putrinya sendiri.Lebih baik aku segera ke dapur dan menyelesaikan semua pekerjaan ku sebelum masuk waktu adan magrib berkumandang.Hari pertama puasa terlampaui dengan lancar. Hanya ada beberapa drama yang buat oleh Marwah. Mulai tidak mengindahkan perintah dari ibu sampai dirinya yang enggan untuk dimintai tolong menyuapi keponakannya sendiri. Padahal keponakanku adalah keponakannya juga dan tidak ubahnya seperti anak sendiri. Karena Marwah yang tidak mau menuruti kemauan Kiran. Maka gadis kecil itu pun merajuk dan mau makan makanan yang ada di piringnya. Dan ibu ku lah yang akhirnya membujuk dan menyuapinya makan sementara tangan dan matanya tetap fokus pada gadget dan asik memainkan gamenya."Sudah kelas tiga masih juga manja!" Telingaku ini masih menangkap gerutuan yang dilontarkan oleh Marwah.Memang benar Kiran saat ini duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar dan usianya pun sembilan tahun lebih. Tapi untuk urusan makan biasanya masih minta di suami sementara dirinya asik main game. Dan jika tidak dituruti maka anak itu tidak akan mau memakan makanannya sendiri.Kalau dibilang anak manja. Wajar juga karen
Sakit tapi tak berdarah. Sudah sangat jelas jika keberadaan ku di rumah ini memang tidak pernah dianggap. Entah apa alasannya. Aku yang sibuk. Mereka yang asik menikmati. Buka puasa pun lupa dengan siapa yang menyiapkan semua hingga mereka bisa kenyang tanpa harus bersusah-susah dan keluar tenaga. Mereka tidak mengingat ku atau sengaja tak pernah menganggap ku ada. Untung saja meski semua olahan masakan ku telah habis oleh mereka, aku masih menyimpannya untuk diri ku sendiri dan juga putriku. Kalau bukan aku yang berinisiatif. Mana mungkin suamiku masih ingat anak istrinya ketika berkumpul dengan keluarganya.Aku sengaja membatalkan puasaku hanya dengan segelas air putih. Lanjut aku menunaikan salat magrib sebelum makan besar.Ketika aku baru saja selesai menjalankan kewajiban tiga rakaat tersebut. Mas Farhan tiba-tiba muncul dari balik pintu dan menuju lemari baju yang berada tepat dan samping tempatku salat. Tanpa menoleh kearah ku, pria bergelar suami itu berkata. "Dek, aku dan ya
Setelah lelah berkeliling dan keluar masuk toko untuk mencari pakaian baru. Aku dan keluargaku akhirnya memutuskan untuk makan malam di luar karena rasa lapar yang kembali mendera. Hingga tanpa sadar waktu telah menunjukkan pukul 22.00 rombongan keluarga ku baru sampai di rumah. Tentunya setelah kami mengantarkan Reina pulang dan tak lupa membelikan oleh-oleh untuk orang di rumahnya. Tentunya dengan tujuan untuk menjaga nama baik adikku dan juga keluarga kami.Pintu rumah dibuka oleh istriku---Marwah tanpa kami mengetuk dulu pintunya. Aku kira istriku itu sudah tertidur. Ternyata dia masih juga menunggu kedatangan suaminya. Memang sudah seharusnya. Istri tidur ketika suami sudah sampai di rumahnya.Semua heboh ketika masuk rumah. Heboh dengan belanjaan masing-masing, sedangkan istriku hanya meliriknya saja dan setelahnya ia kembali masuk ke dalam kamarnya tanpa sepatah kata pun menyapa suaminya ini. Aneh juga kelakuannya si Marwah. Padahal sebagai suami aku tidak pernah memberikannya
Hati istri mana yang tidak sesak kala melihat suaminya hanya perhatian pada keluarganya sendiri tetapi mengabaikan istri dan anaknya.Hati ibu mana yang tidak perih melihat ayah dari putrinya melimpahkan kasih sayangnya melebihi kasihnya pada darah dagingnya sendiri. Seolah keponakannya adalah anaknya sendiri. Sedangkan putri kandungnya sendiri diperlakukan oleh nya seperti anak orang lain.Keberadaan ku benar-benar tidak ada artinya dan gunanya lagi selain sebagai pembantu gratisan yang keberadaannya hanya untuk melayani mereka.Harusnya sebagai seorang suami dan juga seorang ayah. Mas Farhan lebih memperhatikan anak istrinya. Tetapi apa yang ia lakukan malah justru kebalikannya. Andai saja aku bisa mendoakan yang buruk-buruk untuk keluarga ini pasti itu sudah aku lakukan jauh hari. Hanya saja diri ini takut. Takut jika doaku yang buruk itu nantinya berbalik pada diriku sendiri. Oleh karena itu tak pernah lelah dalam tiap sujudku. Selalu meminta kepada-Nya agar segera membukakan mat
Perlahan namun pasti bayangan Marwah dan juga putriku sedikit teralihkan oleh hebohnya group di tempat kerjaku. Iya tepatnya hari ini adalah hari pertama bagi karyawan yang memenuhi persyaratan untuk bisa mengajukan diri mengikuti seleksi untuk bisa naik level. Dengan percaya diri aku mendatangi kantor pimpinan HRD. Setelah dipersilahkan masuk, aku langsung menghadap dan langsung mengutarakan maksud kedatanganku.Setelah sedikit berbasa-basi mengenai posisi yang akan di buka khusus untuk karyawan yang benar-benar masuk kriteria seperti aku ini.Namun setelah mendapatkan penjelasan dari kepala HRD perihal ijazah ku yang tidak sesuai kriteria. Aku pun di buat kaget. Bagaimana mungkin bisa. Aku jelas-jelas masih ingat jika ijazah yang aku ajukan adalah ijazahku yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi tempat aku pernah menimba ilmu dulu. Sedangkan data CV ku yang masuk di pabrik ini adalah hanya ijazah SMA saja. Luruh sudah harapan ku. Tubuhku terasa lemah seperti kehilangan tulang penyang
Aku ingin memastikan kondisi ibuku sebelum aku mencari Marwah di rumah orang tuanya.Sabtu pagi yang cerah. Usai melaksanakan salat subuh tadi. Aku segera bersiap untuk pulang ke rumah ibuku. Hingga tiga jam kurang lebih perjalanan yang aku tempuh. Akhirnya aku telah sampai di rumah masa kecilku."Pulang kamu, Han?" sapa mbak Rina tetangga depan rumah sekaligus anak dari kakak sepupu ibuku. Aku yang baru saja memasuki halaman rumah dan memarkir roda dua ku. Dan mbak Rina sendiri juga baru keluar dari rumah ibu."Iya, Mbak. Ibu sakit. Kemarin Reihan udah nelpon dan ngabarin kabar ibu.""Gimana sama kabar Marwah dan Alina? Sudah ketemu sama mereka?"Aku menggeleng. "Belum, Mbak."Aku tahu jika wanita yang seumuran dengan mbak Nur ini sangat menyayangi putriku---Alina melebihi budenya sendiri yang merupakan kakak kandungku.Limpahan kasih sayangnya kepada Alina melebihi kasih sayangku pada putriku sendiri. Itu mungkin karena diusianya yang sampai saat ini belum juga dikaruniai seorang a
Sudah satu Minggu lebih ini aku berada di rumah kedua orang tuaku. Dan selama itu pula tak ada kabar atau niatan dari suamiku untuk mencari anak dan istrinya.Bukan mengharap dia akan mengemis dan memohon kepada ku agar kembali lagi ke rumahnya. Tentu tidak. Dan tak akan pernah. Kecuali mas Farhan mau berjanji dan mau memenuhi persyaratan dari ku. Tapi rasanya itu mustahil untuknya. Bukankah keluarganya itu lebih penting dari apapun.Bulan puasa ini aku lalui tanpa suami. Meski sudah terbiasa berhubungan jarak jauh. Namun tetap saja seperti ada yang hilang. Ada yang kurang.Beberapa hari yang lalu mbak Rina dan juga suaminya datang menemui ku di rumah ini. Mereka kebetulan lewat di dekat tempat tinggal ku dan sekalian mampir. Tidak hanya itu. Mbak Rani bahkan memberikan ku sebuah ponsel. Meski bukan barang baru tentunya ponsel tersebut masih bisa di gunakan. Mbak Rani juga bilang dengan adanya ponsel ia akan lebih mudah menghubungi aku terutama ketika sedang merindukan putriku---Alina
Suasana ruang tamu mendadak hening kembali.Aku menoleh ke arah bapak dan ibu juga Alina yang sedang asik dengan mainan barunya yakni boneka barbie yang baru saja dibelikan sama Mbah dok atau mbak wedok(nenek) beberapa hari yang lalu di pasar malam. Pasar yang ramai ketika memasuki bulan puasa terlebih pada sore hingga malem hari. Tidak hanya kebutuhan dapur seperti sayur mayur dan kelengkapannya. Melainkan banyak juga penjual pakaian, sepatu sendal, makanan ringan hingga berat, takjil, mainan anak-anak hingga arena bermain anak yang di sewakan pun ada. Dan di buka mulai sore hari di halaman pasar yang memang luas tempatnya. Pasar daerah di tempatku.Sikap bapak dan ibu pun sudah tidak seperti biasanya. Berubah setelah apa yang sudah semua aku ceritakan pada mereka.Ekspresi dingin yang di tunjukan oleh keduanya. Mungkin inilah salah satu penyebabnya yang membuat mas Farhan serasa mati kutu di hadapan keluargaku. Jika sebelumnya ia datang ke rumah ini karena terpaksa mengantarkan aku