Kedatangan keluarga dari saudara suamiku adalah hal yang paling membahagiakan karena bisa berkumpul bersama. Itu jika saudaranya tersebut memang memiliki pikiran dan perasaan yang masih waras dan seperti kebanyakan orang.
Tidak dengan kakak perempuan dari suamiku. Dengan adanya berita bahwa keluarga tersebut berkunjung ke rumah orang tuanya. Sama halnya, kabar buruk yang aku terima. Hari-hari burukku sudah menanti di depan mata. Bagaimana tidak. Tamu yang bagaimana ratu jika berkunjung di rumah ini. Semua pekerjaan rumah tak ada satupun dari mereka yang mau membantu.Aku sudah mirip dengan b*bu di rumah ini. Tapi aku berbeda. Jika pembantu mendapatkan gaji setiap bulannya. Maka yang aku dapatkan hanya rasa lelah. Lelah lahir dan batin. Nafkah lahir sebagai hak ku, tidak aku peroleh dengan sepantasnya. Tapi aku dituntut untuk melakukan semua kewajiban ku.Mungkin orang akan berpikir aku perempuan b*doh yang masih mau bertahan hidup dengan suami dan keluarga yang tidak punya hati dan mati perasaannya.Aku sesungguhnya sudah sangat muak. Tapi apa boleh dikata. Jalan ini yang sudah kupilih. Mungkin dengan cara ini Allah sedang mengujiku. Mengujiku sebagai seorang perempuan yang sebagaimana ia menjalankan kewajibannya. Sebagai istri yang harus bisa meluruskan dan mengingatkan ketika suami berada di persimpangan. Dan aku masih bertahan karena alasan tersebut. Mencoba bersabar dan berdoa agar hati suamiku bisa luluh dan terbuka untuk melihat dan bisa membedakan baik buruknya, dan benar atau salahnya. Mengharap petunjuk dari -Nya semoga ada jalan untukku. Jalan di mana aku harus menentukan. Apakah aku harus mundur atau tetap teguh melangkah maju dan siap menerima segala ujian yang pasti akan datang menghadang.Sedari pagi aku sudah berkutat dengan pekerjaan rumah dan merawat batita tanpa ada yang peduli.Belum juga satu pekerjaan kelar. Pekerjaan lain sudah di sodorkan tanpa mau melihat batas wajar tenaga manusia.Hanya air putih yang mengganjal perut ini sebagai menu sahur hari pertama ku di bulan puasa kali ini.Aku masih bisa menahan rasa lapar karena sudah terbiasa untuk puasa. Tapi tidak untuk anakku bayi yang usianya baru menginjak dua tahun. Untung saja usai aku mandikan tadi Alina di ambil dan di asuh oleh Mbak Rina, tetangga depan rumah yang menikah sudah lebih dari lima tahun tapi oleh Allah memang belum di beri kepercayaan untuk memiliki momongan sendiri.Mbak Rina adalah tetangga yang merupakan orang lain. Namun kasih sayangnya pada Alina lebih tulus dari nenek dan juga budenya sendiri."Wah, itu ada Riana sudah datang. Cepat kamu buatin minum!"Meski suara itu di perdengarkan dengan tidak kasar. Namun hati ini terasa panas dan perih mendengar itu keluar dari mulut mertua ku sendiri. Apa aku tidak salah. Apa iya perempuan itu tidak puasa. Ingin menjawab tetapi takut salah.Sedari pagi ini. Aku sudah lelah mengerjakan pekerjaan dapur. Apa lagi kalau bukan untuk mempersiapkan dan menyambut tamu agung.Berbagai macam menu masakan kesukaan keluarga Mbak Nur telah ibu mertuaku perintahkan untuk mengolahnya. Makanan yang dengan seluruh tenaga aku kerahkan untuk mengolahnya. Namun tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk mencicipinya.Ibu mertua mengawasi sebagai mandor. Hanya wira-wiri. Selebihnya ia enakkan selonjor di depan tv.Aku sebagai menantu tidak pernah di perhatikan. Justru perempuan lain yang belum tentu menjadi menantunya, sangat di ratu kan olehnya."Astaghfirullah hal adzim."Aku hanya bisa mengelus dada. Dengan rasa tidak ikhlas aku mengerjakan aja yang sudah diperintahkan oleh yang punya rumah."Ya Allah semoga hamba -Mu ini segera kau berikan kemampuan untuk memilih istana sendiri," doa ku, yang selalu aku panjatkan. Aku minta dan aku selipkan di setiap sujud ku."Semoga Engkau segera membukakan pintu hati suami hamba-Mu ini. Engkau luluhkan hatinya yang sekeras batu. Dan Engkau tunjukkan jalan yang terbaik untuk masa depan rumah tangga kami, Aamiin."Aku ingin segera keluar dari neraka yang berkedok rumah ini.Segera mengerjakan apa yang sudah mertuaku perintahkan. Telat sedikit saja. Anjing di depan sudah pasti akan mengonggong. Siapa lagi kalau bukan adik bungsu suamiku. Pria pemalas yang sok-sokan mau nikah. Semoga ada perempuan yang betah hidup dengan laki-laki seperti dia. Tapi jodoh adalah cerminan diri. Jika dia modelnya seperti itu. Sudah bisa ditebak perempuan model apa yang pantas bersanding dengannya. Satu buah es teh manis dan satu cangkir kopi segera aku antar sampai ruang tamu. Di sana sudah ada Reihan dan Riana.Riana, wanita yang digadang-gadang akan menjadi menantu bungsu di rumah ini.Perempuan dengan wajah yang tidak bersahabat kala berhadapan dengan ku, itu yang merasa dirinya paling cantik karena tidak punya cermin untuk berkaca.Andai aku sama seperti saat gadis dulu dan belum menjadi istri dari mas Farhan. Tentu tampilan ku tidak akan memperihatinkan seperti ini."Mbak, ambilin calon aku makan. Aku juga sekalian. Bawa sekalian ke mari," perintahnya sudah mengalahkan seorang majikan."Kami bisa suruh calonmu itu ambil sendiri, Rei. Kerjaan ku masih banyak. Apa kalian itu hari ini hari puasa. Emang kalian berdua gak puasa?"Tak perlu menunggu jawaban keluar dari mulut adik suamiku. Aku segera melangkah meninggalkan ruang tamu."A*@@##!"Umpatan keluar dari mulut Reihan. Bukan pertama kali. Dan aku juga kenyang dengan segala umpatan dari adik iparku itu. Semoga semua yang ia ucapkan berbalik pada dirinya sendiri.Mengadu pada suami. Itu sudah sering aku lakukan. Tak ada tanggapan aku hanya dianggap sebagai angin lalu. Hasutan dasi ibu dan kakaknya telah menutup mata hati suamiku. Di tambah ibunya yang selalu menutupi kekakuan busuk adiknya juga pandai memasang dua muka.Aku yakin Allah tidak pernah tidur dan pasti melihat semua perlakuan buruk yang aku terima dari keluarga suamiku. Bukan dia buruk yang selaku aku panjatkan untuk mereka. Melainkan doa agar apa yang aku terima ini semua berbalik pada mereka sendiri.Dari arah pintu dapur datang ibu mertua dan juga putra bungsunya yang masih terus mengumpat ke arahku."Wong ada tamu lho, Ndok. Mbok ya di ladenin. Gitu saja kamu males."Ibu mertua datang menghampiri. Dengan memasang muka cemberut. Ibu mertuaku sendiri yang akhirnya terpaksa melayani putra dan calon menantunya itu.Aku abaikan saja. Biar cemberut atau apa. Yang jelas aku sudah capek.Aku sengaja mendiamkan ibu mas Farhan dan memilih melanjutkan membersihkan peralatan masak yang aku gunakan tadi.Untung saja aku sudah sempat menyisihkan beberapa lauk untuk aku berbuka dan Alina nanti makan. Tak lupa juga sedikit lauk untuk aku kirimkan pada Mbak Rina yang sudah bermurah hati mau menjaga putri kecil ku, Alina.Sebelum masuk waktu dhuhur semua pekerjaan telah kelar. Aku segera memberikan diri karena keringat dan bau dapur yang sudah sangat melekat di kulit ini. Usai bersih-bersih badan rencanaku akan segera menjemput putriku---Alina di rumah mbak Rina. Tak lupa lauk yang tadi aku masak sekalian aku antar juga kesana sebagai tanda terimakasih ku.Sebelum keluar dari rumah ini. Aku pastikan dulu kondisi para penghuninya yang lain. Aku keluar dari kamar tak nampak satu orang pun di ruangan tersebut. Menuju ruang tamu pun sama. Kosong. Sedangkan kamar ibu mertua juga sudah tertutup pintunya. Motor Reihan yang biasa ia parkir di teras juga tidak kelihatan. Sepertinya sepasang sejoli itu memang sudah pergi entah ke mana.Tak perlu buang banyak waktu. Bergegas aku ke dapur untuk mengambil bungkusan yang sudah aku persiapkan. Melangkah santai agar tidak membuat curiga dengan pasti aku keluar rumah dan langsung menuju rumah yang berada tepat di depan rumah mertuaku ini. Usai mengantarkan makanan da
Hari pertama puasa terlampaui dengan lancar. Hanya ada beberapa drama yang buat oleh Marwah. Mulai tidak mengindahkan perintah dari ibu sampai dirinya yang enggan untuk dimintai tolong menyuapi keponakannya sendiri. Padahal keponakanku adalah keponakannya juga dan tidak ubahnya seperti anak sendiri. Karena Marwah yang tidak mau menuruti kemauan Kiran. Maka gadis kecil itu pun merajuk dan mau makan makanan yang ada di piringnya. Dan ibu ku lah yang akhirnya membujuk dan menyuapinya makan sementara tangan dan matanya tetap fokus pada gadget dan asik memainkan gamenya."Sudah kelas tiga masih juga manja!" Telingaku ini masih menangkap gerutuan yang dilontarkan oleh Marwah.Memang benar Kiran saat ini duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar dan usianya pun sembilan tahun lebih. Tapi untuk urusan makan biasanya masih minta di suami sementara dirinya asik main game. Dan jika tidak dituruti maka anak itu tidak akan mau memakan makanannya sendiri.Kalau dibilang anak manja. Wajar juga karen
Sakit tapi tak berdarah. Sudah sangat jelas jika keberadaan ku di rumah ini memang tidak pernah dianggap. Entah apa alasannya. Aku yang sibuk. Mereka yang asik menikmati. Buka puasa pun lupa dengan siapa yang menyiapkan semua hingga mereka bisa kenyang tanpa harus bersusah-susah dan keluar tenaga. Mereka tidak mengingat ku atau sengaja tak pernah menganggap ku ada. Untung saja meski semua olahan masakan ku telah habis oleh mereka, aku masih menyimpannya untuk diri ku sendiri dan juga putriku. Kalau bukan aku yang berinisiatif. Mana mungkin suamiku masih ingat anak istrinya ketika berkumpul dengan keluarganya.Aku sengaja membatalkan puasaku hanya dengan segelas air putih. Lanjut aku menunaikan salat magrib sebelum makan besar.Ketika aku baru saja selesai menjalankan kewajiban tiga rakaat tersebut. Mas Farhan tiba-tiba muncul dari balik pintu dan menuju lemari baju yang berada tepat dan samping tempatku salat. Tanpa menoleh kearah ku, pria bergelar suami itu berkata. "Dek, aku dan ya
Setelah lelah berkeliling dan keluar masuk toko untuk mencari pakaian baru. Aku dan keluargaku akhirnya memutuskan untuk makan malam di luar karena rasa lapar yang kembali mendera. Hingga tanpa sadar waktu telah menunjukkan pukul 22.00 rombongan keluarga ku baru sampai di rumah. Tentunya setelah kami mengantarkan Reina pulang dan tak lupa membelikan oleh-oleh untuk orang di rumahnya. Tentunya dengan tujuan untuk menjaga nama baik adikku dan juga keluarga kami.Pintu rumah dibuka oleh istriku---Marwah tanpa kami mengetuk dulu pintunya. Aku kira istriku itu sudah tertidur. Ternyata dia masih juga menunggu kedatangan suaminya. Memang sudah seharusnya. Istri tidur ketika suami sudah sampai di rumahnya.Semua heboh ketika masuk rumah. Heboh dengan belanjaan masing-masing, sedangkan istriku hanya meliriknya saja dan setelahnya ia kembali masuk ke dalam kamarnya tanpa sepatah kata pun menyapa suaminya ini. Aneh juga kelakuannya si Marwah. Padahal sebagai suami aku tidak pernah memberikannya
Hati istri mana yang tidak sesak kala melihat suaminya hanya perhatian pada keluarganya sendiri tetapi mengabaikan istri dan anaknya.Hati ibu mana yang tidak perih melihat ayah dari putrinya melimpahkan kasih sayangnya melebihi kasihnya pada darah dagingnya sendiri. Seolah keponakannya adalah anaknya sendiri. Sedangkan putri kandungnya sendiri diperlakukan oleh nya seperti anak orang lain.Keberadaan ku benar-benar tidak ada artinya dan gunanya lagi selain sebagai pembantu gratisan yang keberadaannya hanya untuk melayani mereka.Harusnya sebagai seorang suami dan juga seorang ayah. Mas Farhan lebih memperhatikan anak istrinya. Tetapi apa yang ia lakukan malah justru kebalikannya. Andai saja aku bisa mendoakan yang buruk-buruk untuk keluarga ini pasti itu sudah aku lakukan jauh hari. Hanya saja diri ini takut. Takut jika doaku yang buruk itu nantinya berbalik pada diriku sendiri. Oleh karena itu tak pernah lelah dalam tiap sujudku. Selalu meminta kepada-Nya agar segera membukakan mat
Perlahan namun pasti bayangan Marwah dan juga putriku sedikit teralihkan oleh hebohnya group di tempat kerjaku. Iya tepatnya hari ini adalah hari pertama bagi karyawan yang memenuhi persyaratan untuk bisa mengajukan diri mengikuti seleksi untuk bisa naik level. Dengan percaya diri aku mendatangi kantor pimpinan HRD. Setelah dipersilahkan masuk, aku langsung menghadap dan langsung mengutarakan maksud kedatanganku.Setelah sedikit berbasa-basi mengenai posisi yang akan di buka khusus untuk karyawan yang benar-benar masuk kriteria seperti aku ini.Namun setelah mendapatkan penjelasan dari kepala HRD perihal ijazah ku yang tidak sesuai kriteria. Aku pun di buat kaget. Bagaimana mungkin bisa. Aku jelas-jelas masih ingat jika ijazah yang aku ajukan adalah ijazahku yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi tempat aku pernah menimba ilmu dulu. Sedangkan data CV ku yang masuk di pabrik ini adalah hanya ijazah SMA saja. Luruh sudah harapan ku. Tubuhku terasa lemah seperti kehilangan tulang penyang
Aku ingin memastikan kondisi ibuku sebelum aku mencari Marwah di rumah orang tuanya.Sabtu pagi yang cerah. Usai melaksanakan salat subuh tadi. Aku segera bersiap untuk pulang ke rumah ibuku. Hingga tiga jam kurang lebih perjalanan yang aku tempuh. Akhirnya aku telah sampai di rumah masa kecilku."Pulang kamu, Han?" sapa mbak Rina tetangga depan rumah sekaligus anak dari kakak sepupu ibuku. Aku yang baru saja memasuki halaman rumah dan memarkir roda dua ku. Dan mbak Rina sendiri juga baru keluar dari rumah ibu."Iya, Mbak. Ibu sakit. Kemarin Reihan udah nelpon dan ngabarin kabar ibu.""Gimana sama kabar Marwah dan Alina? Sudah ketemu sama mereka?"Aku menggeleng. "Belum, Mbak."Aku tahu jika wanita yang seumuran dengan mbak Nur ini sangat menyayangi putriku---Alina melebihi budenya sendiri yang merupakan kakak kandungku.Limpahan kasih sayangnya kepada Alina melebihi kasih sayangku pada putriku sendiri. Itu mungkin karena diusianya yang sampai saat ini belum juga dikaruniai seorang a
Sudah satu Minggu lebih ini aku berada di rumah kedua orang tuaku. Dan selama itu pula tak ada kabar atau niatan dari suamiku untuk mencari anak dan istrinya.Bukan mengharap dia akan mengemis dan memohon kepada ku agar kembali lagi ke rumahnya. Tentu tidak. Dan tak akan pernah. Kecuali mas Farhan mau berjanji dan mau memenuhi persyaratan dari ku. Tapi rasanya itu mustahil untuknya. Bukankah keluarganya itu lebih penting dari apapun.Bulan puasa ini aku lalui tanpa suami. Meski sudah terbiasa berhubungan jarak jauh. Namun tetap saja seperti ada yang hilang. Ada yang kurang.Beberapa hari yang lalu mbak Rina dan juga suaminya datang menemui ku di rumah ini. Mereka kebetulan lewat di dekat tempat tinggal ku dan sekalian mampir. Tidak hanya itu. Mbak Rani bahkan memberikan ku sebuah ponsel. Meski bukan barang baru tentunya ponsel tersebut masih bisa di gunakan. Mbak Rani juga bilang dengan adanya ponsel ia akan lebih mudah menghubungi aku terutama ketika sedang merindukan putriku---Alina