Bulan ramadhan tahun ini begitu cepat datangnya. Tak terasa hari esok akan memasuki awal bulan puasa.
Sudah biasa bagiku menjalankan ibadah puasa jauh dari keluarga, anak dan istri. Alat komunikasi jarak jauh antara aku dan Marwah pun tidak ada. Hanya ponsel yang aku punya dan untuk aku pergunakan secara pribadi dan satu ponsel lain di pegang oleh ibuku untuk kami berkomunikasi. Marwah tidak aku perkenankan untuk memegang ponsel. Aku tidak mau jika Marwah sampai melalaikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Itu lah pesan dari kakak ku yang di sampaikan melalui ibuku. Ponsel akan membuat siapapun malas mengerjakan kewajibannya. Toh Marwah sudah enak menumpang hidup pada keluarga kami. Dan sebagai gantinya ia harus dengan sadar diri mengikuti semua perintah kami. Keluarga ku tidak memperlakukannya sebagai pembantu seperti apa kata orang. Dia istriku dan sudah menjadi kewajiban baginya untuk patuh pada ibu dan juga keluarga ku. Jika keluarga ku menganggapnya sebagai pembantu pastilah tiap bulan kami akan mengeluarkan biaya lebih untuk menggajinya. Jelas itu lah perbedaannya.Pernah istriku itu memiliki ponsel sendiri hasil dari gajinya saat bekerja jauh sebelum kami menikah. Hingga pada suatu hari aku mendapati sebuah pesan yang masuk pada inbox akun sosmed istriku dari beberapa akun milik laki-laki. Mulai dari mengajak kenalan, hingga ada yang serius mengajaknya menikah. Aku akui paras istriku memang tidak buruk. Kulitnya pun terawat karena ada uang gaji yang sengaja ia sisihkan untuk membeli perlengkapan sebagai penunjang penampilannya.Aku sengaja membuka ponsel tanpa kunci tersebut tanpa sepengetahuan istriku dan itu adalah telat satu bulan kami menikah.Aku yang terbakar api cemburu tanpa meminta penjelasan dari istriku. Ponsel yang ada di tangan aku lempar dengan keras hingga membentur lantai dan hancur menjadi beberapa bagian. Meskipun pesan tersebut jauh sebelum kami menikah dan tak ada respon yang berarti dari istri ku. Nyatanya aku tidak terima itu dan jelas melukai hati ini. Sejak itulah Marwah tidak pernah lagi memegang ponsel."Han jangan lupa, jatah baju baru untuk Mbak dan untuk ponakanmu. Oh iya, Alina sama Marwah gak usah kamu belikan baju baru. Punya Kania dan Kiran masih pada bagus. Itu kamu kasih saja sama anakmu. Sayang kalau gak kepakai. Bilang juga sama Marwah, aku mau kasih dia baju."Usai bersantap makan sahur. Aku tidak langsung pergi begitu saja apalagi lanjut tidur lagi seperti yang biasa dilakukan oleh suami kakakku.Gak ada masalah yang tidak ada jalan keluarnya. Buktinya masalah Marwah yang masih bersikap dingin kepadaku akan segera tercairkan. Aku akan memberikannya kejutan. Jadi dia tidak perlu mempermasalahkan lagi soal baju lebaran nanti. Pun dengan Alina. Keduanya akan keturutan memakai baju baru lebaran bulan depan."Iya, Mbak. Makasih juga atas perhatiannya sama istri dan anakku."Aku segera memberikan ucapan terimakasih pada kakak perempuan ku. Jika dan di luar sana banyak saudara kandung yang tidak akur dengan iparnya. Maka berbeda dengan saudaraku. Buktinya kakakku masih perhatian juga dengan istri dan anakku.Semoga bulan-bulan ini pesanan untuk pabrik tempatku bekerja semakin ramai. Jika itu terjadi. Itu tandanya akan ada penambahan jam kerja yang otomatis akan menambah pula gaji yang akan aku terima. Belum termasuk dengan uang THR yang biasa di bagikan pertengahan bulan puasa atau satu Minggu sebelum hari raya.Aku harus mulai mengira-ngira pengeluaran yang akan aku keluarkan untuk bulan ini dan juga lebaran nanti. Mulai jatah untuk ibu, baju baru untuk ibu, adik, kakak, dan juga tidak keponakan ku. Di tambah lagi. Reihan yang meminta jatah tambahan untuk calon istrinya. Lebih tepatnya kekasihnya karena diantara keduanya belum ada ikatan resmi. Untuk Marwah dan juga Alina itu tidak terlalu aku pikirkan. Sudah ada jatah dari Mbak Nur juga. Orang tua Marwah dan juga keponakan dan adiknya, aku tidak mau ambil pusing bukan tanggung jawabku sebab aku hanya menantu. Yang penting ada niat tulusku untuk bertandang dan bersilahturahmi ke rumah mereka.Sabtu besok rencananya aku akan pulang bareng dengan keluarga Mbak Nur. Rombongan naik roda empat milik kakak perempuan ku dan juga suaminya. Semoga suatu saat aku juga bisa memiliki kendaraan roda empat sendiri, yang tentunya lebih bagus dari mobil milik kakakku ini. Aamiin. Semoga kerja keras yang ku sertai dengan doa ini segera diijabah oleh Allah..Waktu kian berlalu. Hari ini aku dan keluarga kakakku bersiap untuk pulang ke kampung halaman kami. Waktu dua hari libur kami pergunakan untuk mengunjungi orang tua dan juga akan membahas acara lamaran adik bungsu kami dengan kekasihnya yang bernama Riana.Perjalanan yang menekan waktu kurang lebih tiga jam lebih lama karena jalanan yang macet ketika hari Sabtu malam Minggu seperti ini.Tepat pukul 15.00 sore mobil yang kami tumpangi telah sampai di rumah masa kecilku. Rumah yang dua bulan lalu selesai kami renovasi. Ibu khusus memintaku untuk membenahi rumah ini agar terlihat lebih baik untuk menyambut kedatangan keluarga dari calon menantu barunya.Hampir seluruh tabungan yang aku kumpulkan selama beberapa tahun bekerja telah terkuras habis. Padahal rencana ku sebelumnya ingin mempergunakan uang tersebut untuk membangun rumahku sendiri. Rumah yang akan aku bangun di atas tanah peninggalan dari bapakku yang terletak di samping kiri rumah ini. Namun rencana ku ini harus aku tunda dan pendam terlebih dahulu. Aku harus lebih giat bekerja lagi untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah demi terwujudnya impianku memiliki rumah sendiri.Kedatangan kami di sambut dengan hangat oleh ibuku. Tentu saja pasti rasa rindu pada anak cucunya bisa terobati dengan kedatangan kami hari ini. Hanya ibu dan Reihan juga calonnya--- Reina yang menyambut kami. Hanya Marwah dan juga Alina yang tidak nampak menyambut kedatangan suami dan keluarga saudaranya ini."Bu, Marwah dan Alina mana?" tanyaku setelah aku menjabat dan mencium tangan yang mulai mengeriput itu.Air muka ibu langsung berubah."Ada di kamarnya," balas ibu dan dilanjutkan menciumi satu-persatu cucunya dari anak tertuanya.Marwah juga. Tahu suaminya pulang bukan menyambut justru malah enak-enakan berada di dalam kamar. Mau jadi ratu di rumah ini dia.Aku segera beranjak masuk kedalam rumah. Aku menuju kamar yang biasa aku tempati bersama dengan istri dan juga putriku.Dengan kasar kutarik handle pada daun pintu hingga membuat terlonjak orang yang berada di dalam bilik ini.Marwah ternyata sedang menunaikan salat ashar dan diikuti dari belakang oleh putrinya.Hampir saja aku berburuk sangka di buatnya.Kedatangan keluarga dari saudara suamiku adalah hal yang paling membahagiakan karena bisa berkumpul bersama. Itu jika saudaranya tersebut memang memiliki pikiran dan perasaan yang masih waras dan seperti kebanyakan orang.Tidak dengan kakak perempuan dari suamiku. Dengan adanya berita bahwa keluarga tersebut berkunjung ke rumah orang tuanya. Sama halnya, kabar buruk yang aku terima. Hari-hari burukku sudah menanti di depan mata. Bagaimana tidak. Tamu yang bagaimana ratu jika berkunjung di rumah ini. Semua pekerjaan rumah tak ada satupun dari mereka yang mau membantu. Aku sudah mirip dengan b*bu di rumah ini. Tapi aku berbeda. Jika pembantu mendapatkan gaji setiap bulannya. Maka yang aku dapatkan hanya rasa lelah. Lelah lahir dan batin. Nafkah lahir sebagai hak ku, tidak aku peroleh dengan sepantasnya. Tapi aku dituntut untuk melakukan semua kewajiban ku.Mungkin orang akan berpikir aku perempuan b*doh yang masih mau bertahan hidup dengan suami dan keluarga yang tidak punya hati dan m
Sebelum masuk waktu dhuhur semua pekerjaan telah kelar. Aku segera memberikan diri karena keringat dan bau dapur yang sudah sangat melekat di kulit ini. Usai bersih-bersih badan rencanaku akan segera menjemput putriku---Alina di rumah mbak Rina. Tak lupa lauk yang tadi aku masak sekalian aku antar juga kesana sebagai tanda terimakasih ku.Sebelum keluar dari rumah ini. Aku pastikan dulu kondisi para penghuninya yang lain. Aku keluar dari kamar tak nampak satu orang pun di ruangan tersebut. Menuju ruang tamu pun sama. Kosong. Sedangkan kamar ibu mertua juga sudah tertutup pintunya. Motor Reihan yang biasa ia parkir di teras juga tidak kelihatan. Sepertinya sepasang sejoli itu memang sudah pergi entah ke mana.Tak perlu buang banyak waktu. Bergegas aku ke dapur untuk mengambil bungkusan yang sudah aku persiapkan. Melangkah santai agar tidak membuat curiga dengan pasti aku keluar rumah dan langsung menuju rumah yang berada tepat di depan rumah mertuaku ini. Usai mengantarkan makanan da
Hari pertama puasa terlampaui dengan lancar. Hanya ada beberapa drama yang buat oleh Marwah. Mulai tidak mengindahkan perintah dari ibu sampai dirinya yang enggan untuk dimintai tolong menyuapi keponakannya sendiri. Padahal keponakanku adalah keponakannya juga dan tidak ubahnya seperti anak sendiri. Karena Marwah yang tidak mau menuruti kemauan Kiran. Maka gadis kecil itu pun merajuk dan mau makan makanan yang ada di piringnya. Dan ibu ku lah yang akhirnya membujuk dan menyuapinya makan sementara tangan dan matanya tetap fokus pada gadget dan asik memainkan gamenya."Sudah kelas tiga masih juga manja!" Telingaku ini masih menangkap gerutuan yang dilontarkan oleh Marwah.Memang benar Kiran saat ini duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar dan usianya pun sembilan tahun lebih. Tapi untuk urusan makan biasanya masih minta di suami sementara dirinya asik main game. Dan jika tidak dituruti maka anak itu tidak akan mau memakan makanannya sendiri.Kalau dibilang anak manja. Wajar juga karen
Sakit tapi tak berdarah. Sudah sangat jelas jika keberadaan ku di rumah ini memang tidak pernah dianggap. Entah apa alasannya. Aku yang sibuk. Mereka yang asik menikmati. Buka puasa pun lupa dengan siapa yang menyiapkan semua hingga mereka bisa kenyang tanpa harus bersusah-susah dan keluar tenaga. Mereka tidak mengingat ku atau sengaja tak pernah menganggap ku ada. Untung saja meski semua olahan masakan ku telah habis oleh mereka, aku masih menyimpannya untuk diri ku sendiri dan juga putriku. Kalau bukan aku yang berinisiatif. Mana mungkin suamiku masih ingat anak istrinya ketika berkumpul dengan keluarganya.Aku sengaja membatalkan puasaku hanya dengan segelas air putih. Lanjut aku menunaikan salat magrib sebelum makan besar.Ketika aku baru saja selesai menjalankan kewajiban tiga rakaat tersebut. Mas Farhan tiba-tiba muncul dari balik pintu dan menuju lemari baju yang berada tepat dan samping tempatku salat. Tanpa menoleh kearah ku, pria bergelar suami itu berkata. "Dek, aku dan ya
Setelah lelah berkeliling dan keluar masuk toko untuk mencari pakaian baru. Aku dan keluargaku akhirnya memutuskan untuk makan malam di luar karena rasa lapar yang kembali mendera. Hingga tanpa sadar waktu telah menunjukkan pukul 22.00 rombongan keluarga ku baru sampai di rumah. Tentunya setelah kami mengantarkan Reina pulang dan tak lupa membelikan oleh-oleh untuk orang di rumahnya. Tentunya dengan tujuan untuk menjaga nama baik adikku dan juga keluarga kami.Pintu rumah dibuka oleh istriku---Marwah tanpa kami mengetuk dulu pintunya. Aku kira istriku itu sudah tertidur. Ternyata dia masih juga menunggu kedatangan suaminya. Memang sudah seharusnya. Istri tidur ketika suami sudah sampai di rumahnya.Semua heboh ketika masuk rumah. Heboh dengan belanjaan masing-masing, sedangkan istriku hanya meliriknya saja dan setelahnya ia kembali masuk ke dalam kamarnya tanpa sepatah kata pun menyapa suaminya ini. Aneh juga kelakuannya si Marwah. Padahal sebagai suami aku tidak pernah memberikannya
Hati istri mana yang tidak sesak kala melihat suaminya hanya perhatian pada keluarganya sendiri tetapi mengabaikan istri dan anaknya.Hati ibu mana yang tidak perih melihat ayah dari putrinya melimpahkan kasih sayangnya melebihi kasihnya pada darah dagingnya sendiri. Seolah keponakannya adalah anaknya sendiri. Sedangkan putri kandungnya sendiri diperlakukan oleh nya seperti anak orang lain.Keberadaan ku benar-benar tidak ada artinya dan gunanya lagi selain sebagai pembantu gratisan yang keberadaannya hanya untuk melayani mereka.Harusnya sebagai seorang suami dan juga seorang ayah. Mas Farhan lebih memperhatikan anak istrinya. Tetapi apa yang ia lakukan malah justru kebalikannya. Andai saja aku bisa mendoakan yang buruk-buruk untuk keluarga ini pasti itu sudah aku lakukan jauh hari. Hanya saja diri ini takut. Takut jika doaku yang buruk itu nantinya berbalik pada diriku sendiri. Oleh karena itu tak pernah lelah dalam tiap sujudku. Selalu meminta kepada-Nya agar segera membukakan mat
Perlahan namun pasti bayangan Marwah dan juga putriku sedikit teralihkan oleh hebohnya group di tempat kerjaku. Iya tepatnya hari ini adalah hari pertama bagi karyawan yang memenuhi persyaratan untuk bisa mengajukan diri mengikuti seleksi untuk bisa naik level. Dengan percaya diri aku mendatangi kantor pimpinan HRD. Setelah dipersilahkan masuk, aku langsung menghadap dan langsung mengutarakan maksud kedatanganku.Setelah sedikit berbasa-basi mengenai posisi yang akan di buka khusus untuk karyawan yang benar-benar masuk kriteria seperti aku ini.Namun setelah mendapatkan penjelasan dari kepala HRD perihal ijazah ku yang tidak sesuai kriteria. Aku pun di buat kaget. Bagaimana mungkin bisa. Aku jelas-jelas masih ingat jika ijazah yang aku ajukan adalah ijazahku yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi tempat aku pernah menimba ilmu dulu. Sedangkan data CV ku yang masuk di pabrik ini adalah hanya ijazah SMA saja. Luruh sudah harapan ku. Tubuhku terasa lemah seperti kehilangan tulang penyang
Aku ingin memastikan kondisi ibuku sebelum aku mencari Marwah di rumah orang tuanya.Sabtu pagi yang cerah. Usai melaksanakan salat subuh tadi. Aku segera bersiap untuk pulang ke rumah ibuku. Hingga tiga jam kurang lebih perjalanan yang aku tempuh. Akhirnya aku telah sampai di rumah masa kecilku."Pulang kamu, Han?" sapa mbak Rina tetangga depan rumah sekaligus anak dari kakak sepupu ibuku. Aku yang baru saja memasuki halaman rumah dan memarkir roda dua ku. Dan mbak Rina sendiri juga baru keluar dari rumah ibu."Iya, Mbak. Ibu sakit. Kemarin Reihan udah nelpon dan ngabarin kabar ibu.""Gimana sama kabar Marwah dan Alina? Sudah ketemu sama mereka?"Aku menggeleng. "Belum, Mbak."Aku tahu jika wanita yang seumuran dengan mbak Nur ini sangat menyayangi putriku---Alina melebihi budenya sendiri yang merupakan kakak kandungku.Limpahan kasih sayangnya kepada Alina melebihi kasih sayangku pada putriku sendiri. Itu mungkin karena diusianya yang sampai saat ini belum juga dikaruniai seorang a