Hari ini adalah hari yang sangat aku nanti. Hari dimana suamiku akan pulang dari tempatnya bekerja. Suamiku kebetulan bekerja di luar kota. Di kabupaten yang berbeda. Sedangkan aku dan putri kami tinggal bersama satu atap dengan ibu mertua dan adik bungsu suamiku. Awalnya aku sempat menolak tinggal di sini. Bukan tanpa alasan. Karena ada adik suamiku yang kebetulan juga seorang laki-laki yang bukan mahram bagiku adalah salah satu alasan ku. Dan alasan lain adalah di mana biasanya menantu tidak akan pernah bisa akur ketika tinggal bersama dengan orang tua terutama ibu dari suaminya.
Karena paksaan dari suamiku lah akhirnya aku menerima permintaannya tersebut.Tepat pukul 10.00 pagi tadi suami ku tiba di rumah ini.Aku dan juga Alina tentu saja menyambutnya dengan antusias. Alih-alih beberapa hari ini kami terpisah jarak dan waktu. Tentu saja rasa rindu yang akan merajai hati ini."Mas, lebaran nanti kita beli baju couple sama Alina juga, ya," rengek ku pada mas Farhan suamiku.Kepada siapa lagi aku mengutarakan keinginan ku jika bukan pada suamiku sendiri. Keinginan akan sepotong baju baru untuk ku dan juga putri semata wayang kami. Tak perlu mahal ataupun bermerk asalkan baju itu adalah hasil dari rezekinya, dari hasil keringatnya bekerja mencari nafkah. Bukan baju bekas milik dari kakak perempuannya yang sudah tidak terpakai.Aku kembali mencoba mengutarakan niatku ini meski sebelumnya pun kegagalan yang aku dapatkan darinya. Permintaan ku ini adalah kali ketiganya selama menjadi pasangannya. Jika sebelumnya aku bisa membeli sendiri semua kebutuhan ku dari hasil kerjaku sebagai buruh di sebuah pabrik yang letaknya berada satu kabupaten dengan tempat tinggal orang tuaku.Dua kali permintaan ku yang sebelumnya tidak pernah di wujudkan oleh suamiku. Semoga kali ini dan di lebaran tahun ini aku dan putriku bisa merasakan mengenakan baju baru layaknya keluarga kakak perempuannya dan juga para keponakannya."Puasa saja belum, ini kamu malah susah siap-siap minta baju baru. Pakai acara couple-an atau apa itu seragaman? Sudah mirip anak panti saja," sungut mas Farhan. Tak kusangka jawaban menyakitkan yang kembali aku terima. Mungkin nasibku menjadi istri dan juga bagian dari keluarganya.Aku hanya wanita biasa yang memiliki sebuah keinginan. Aku mengutarakan niatku tersebut karena aku pun yakin suamiku bisa memenuhinya dengan gaji yang ia peroleh dari tempatnya bekerja di luar kota. Meskipun aku tidak pernah tahu berapa besar gaji yang selama ini diperoleh oleh mas Farhan. Lucu memang sebagi seorang istri tetapi tidak pernah tahu berapa besaran gaji yang dimilikinya. Bahkan untuk menikmati gajiku saja aku tidak pernah rasakan. Apalagi mengetahui jumlah besaran yang di perolehnya tiap bulan.Bukannya tidak ingin tahu atau tidak pernah bertanya kepadanya.Aku sudah beberapa kali bertanya namun apa yang akhirnya aku dapat hanya gertakan yang menyakitkan hati yang akan aku dapat. Cukup dua ratus ribu tiap bulan yang aku terima dari gajinya untuk membeli susu Alina putri kami. Selebihnya hanya dirinya, Ibunya, dan juga saudaranya saja yang tahu. Aku hanya istri yang bagi mereka tidak lebih orang lain yang dipersatukan oleh ikatan pernikahan.Aku terima semua perlakuan mereka. Aku serahkan semua balasan atas sikap mereka pada yang di Atas.Lebih baik aku diam. Aku bungkam dari pada rasa sakit ku semakin bertambah. Bukan hanya sakit hati tapi juga sakit telinga karena mendengar gerutuhannya.Aku mendiamkan suamiku namun aku masih tetap menjalankan semua kewajiban ku. Seperti pagi ini. Di saat semua orang di rumah ini masih terlelap dalam buaian mimpi mereka. Aku sudah terlebih dulu bangun dan berjibaku dengan pekerjaan rumah terutama dapur. Berlomba dengan ayam jago sudah biasa bagiku semenjak menginjakkan kaki di rumah ini. Jangan berharap bisa bersantai hidup di rumah ini. Dalam angan pun mustahil itu akan terjadi. Ada saja alasan agar diri ini tidak terlihat menganggur.Tiap kali suamiku pulang. Setiap kali itu juga drama dimulai.Aku yang hari-hari hanya masak cukup untuk dua orang tidak lebih. Setiap hari Sabtu dan Minggu selaku memasak tiga kali lipatnya. Bukan tanpa alasan. Pengiritan yang menjadi pedoman hidup untuk bisa bertahan di ini. Jika ibu mertua dan adik bungsunya makan masakan baru yang aku buat. Maka aku yang kebagian jatah untuk menghabiskan makanan sisa kemarin yang sudah dihangatkan. Bisa makan enak jika suami ada di rumah. Ingin merasakan masakan warung saja itu hanya ada dalam mimpiku. Tak akan pernah mereka biarkan orang lain yang dinikahi putra keluarga ini ikut menikmati rezeki dari hasil kerja kerasnya mencari nafkah.Aku sudah seperti hidup dalam panggung sandiwara yang diciptakan oleh keluarga laki-laki yang menjadikan aku sebagai makmumnya.Berdoa dan bersabar itu yang selalu aku tanamkan dalam hatiku. Semoga kesabaran ku ini berbuah manis di kemudian hari. Doaku di setiap sujud ku semoga di dengar oleh Rabb-ku dan di jadikannya nyata suatu hari nanti. Semoga suamiku mendapatkan pencerahan untuk hari dan pikirannya. Dan semoga hati dan pikirannya tersebut segera di sadarkan akan tanggung jawabnya sebagai seorang kepala rumah tangga. Aku tidak ingin menyerah karena sebenarnya suami adalah tipe pria yang baik dan juga penyayang. Buktinya tak pernah sekalipun ia ringan tangan kepada istri ataupun anaknya. Hanya saja pengaruh buruk itu di tanamkan oleh keluarganya sendiri. Dan tugasku sebagai seorang istri adalah membawa kembali suamiku menuju jalan yang lurus. Jalan yang seharusnya ia lalui bukan begitu saja ia lewati."Wah, jangan lupa ayam kecapnya kamu bungkus semua. Biar nanti Wildan kasih sama kakaknya. Itu kesenangan cucu-ku." Ibu mertua tiba-tiba ada di belakang ku dan berujar agar aku segera mengemas masakan yang sudah aku olah atas perintahnya sebelumnya.Iya, aku masih ingat pembicaraan ibu mertua via telpon dengan kakak perempuan suamiku. Tepatnya dua hari sebelum suamiku pulang. Saudara iparku yang menurut ku adalah tipe perempuan pemalas itu meminta pada ibunya agar menyuruhku untuk memasak masakan kesukaan keluarganya. Mbak Nur tahu jika masakan adik iparnya ini memang tidak bisa diragukan lagi. Oleh sebab itu dia memanfaatkan aku melalui ibu mertua. Bukan hanya sekali atau dua kali. Bahkan setiap suamiku balik ke rumah ini ada saja yang ia perintahkan untuk aku kerjakan.Ingin protes pun percuma toh semua yang ada di sini seolah mendukung.Ibu mertua sendiri tidak pernah jahat. Tetapi beliau juga tidak pernah baik. Selalu bersikap acuh dan hanya menunjukan sikap baiknya jika ada suami di rumah ini. Selebihnya aku hanya orang lain yang kebetulan keberadaannya bisa di manfaatkan untuk meringankan pekerjaan mereka.Cucu pun Alina selaku di bedakan dari tiga cucunya yang lain. Hanya ketiga anak Mbak Nur selalu di limpahi kasih sayang olehnya.Bulan ramadhan tahun ini begitu cepat datangnya. Tak terasa hari esok akan memasuki awal bulan puasa. Sudah biasa bagiku menjalankan ibadah puasa jauh dari keluarga, anak dan istri. Alat komunikasi jarak jauh antara aku dan Marwah pun tidak ada. Hanya ponsel yang aku punya dan untuk aku pergunakan secara pribadi dan satu ponsel lain di pegang oleh ibuku untuk kami berkomunikasi. Marwah tidak aku perkenankan untuk memegang ponsel. Aku tidak mau jika Marwah sampai melalaikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Itu lah pesan dari kakak ku yang di sampaikan melalui ibuku. Ponsel akan membuat siapapun malas mengerjakan kewajibannya. Toh Marwah sudah enak menumpang hidup pada keluarga kami. Dan sebagai gantinya ia harus dengan sadar diri mengikuti semua perintah kami. Keluarga ku tidak memperlakukannya sebagai pembantu seperti apa kata orang. Dia istriku dan sudah menjadi kewajiban baginya untuk patuh pada ibu dan juga keluarga ku. Jika keluarga ku menganggapnya sebagai pembantu pastilah ti
Kedatangan keluarga dari saudara suamiku adalah hal yang paling membahagiakan karena bisa berkumpul bersama. Itu jika saudaranya tersebut memang memiliki pikiran dan perasaan yang masih waras dan seperti kebanyakan orang.Tidak dengan kakak perempuan dari suamiku. Dengan adanya berita bahwa keluarga tersebut berkunjung ke rumah orang tuanya. Sama halnya, kabar buruk yang aku terima. Hari-hari burukku sudah menanti di depan mata. Bagaimana tidak. Tamu yang bagaimana ratu jika berkunjung di rumah ini. Semua pekerjaan rumah tak ada satupun dari mereka yang mau membantu. Aku sudah mirip dengan b*bu di rumah ini. Tapi aku berbeda. Jika pembantu mendapatkan gaji setiap bulannya. Maka yang aku dapatkan hanya rasa lelah. Lelah lahir dan batin. Nafkah lahir sebagai hak ku, tidak aku peroleh dengan sepantasnya. Tapi aku dituntut untuk melakukan semua kewajiban ku.Mungkin orang akan berpikir aku perempuan b*doh yang masih mau bertahan hidup dengan suami dan keluarga yang tidak punya hati dan m
Sebelum masuk waktu dhuhur semua pekerjaan telah kelar. Aku segera memberikan diri karena keringat dan bau dapur yang sudah sangat melekat di kulit ini. Usai bersih-bersih badan rencanaku akan segera menjemput putriku---Alina di rumah mbak Rina. Tak lupa lauk yang tadi aku masak sekalian aku antar juga kesana sebagai tanda terimakasih ku.Sebelum keluar dari rumah ini. Aku pastikan dulu kondisi para penghuninya yang lain. Aku keluar dari kamar tak nampak satu orang pun di ruangan tersebut. Menuju ruang tamu pun sama. Kosong. Sedangkan kamar ibu mertua juga sudah tertutup pintunya. Motor Reihan yang biasa ia parkir di teras juga tidak kelihatan. Sepertinya sepasang sejoli itu memang sudah pergi entah ke mana.Tak perlu buang banyak waktu. Bergegas aku ke dapur untuk mengambil bungkusan yang sudah aku persiapkan. Melangkah santai agar tidak membuat curiga dengan pasti aku keluar rumah dan langsung menuju rumah yang berada tepat di depan rumah mertuaku ini. Usai mengantarkan makanan da
Hari pertama puasa terlampaui dengan lancar. Hanya ada beberapa drama yang buat oleh Marwah. Mulai tidak mengindahkan perintah dari ibu sampai dirinya yang enggan untuk dimintai tolong menyuapi keponakannya sendiri. Padahal keponakanku adalah keponakannya juga dan tidak ubahnya seperti anak sendiri. Karena Marwah yang tidak mau menuruti kemauan Kiran. Maka gadis kecil itu pun merajuk dan mau makan makanan yang ada di piringnya. Dan ibu ku lah yang akhirnya membujuk dan menyuapinya makan sementara tangan dan matanya tetap fokus pada gadget dan asik memainkan gamenya."Sudah kelas tiga masih juga manja!" Telingaku ini masih menangkap gerutuan yang dilontarkan oleh Marwah.Memang benar Kiran saat ini duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar dan usianya pun sembilan tahun lebih. Tapi untuk urusan makan biasanya masih minta di suami sementara dirinya asik main game. Dan jika tidak dituruti maka anak itu tidak akan mau memakan makanannya sendiri.Kalau dibilang anak manja. Wajar juga karen
Sakit tapi tak berdarah. Sudah sangat jelas jika keberadaan ku di rumah ini memang tidak pernah dianggap. Entah apa alasannya. Aku yang sibuk. Mereka yang asik menikmati. Buka puasa pun lupa dengan siapa yang menyiapkan semua hingga mereka bisa kenyang tanpa harus bersusah-susah dan keluar tenaga. Mereka tidak mengingat ku atau sengaja tak pernah menganggap ku ada. Untung saja meski semua olahan masakan ku telah habis oleh mereka, aku masih menyimpannya untuk diri ku sendiri dan juga putriku. Kalau bukan aku yang berinisiatif. Mana mungkin suamiku masih ingat anak istrinya ketika berkumpul dengan keluarganya.Aku sengaja membatalkan puasaku hanya dengan segelas air putih. Lanjut aku menunaikan salat magrib sebelum makan besar.Ketika aku baru saja selesai menjalankan kewajiban tiga rakaat tersebut. Mas Farhan tiba-tiba muncul dari balik pintu dan menuju lemari baju yang berada tepat dan samping tempatku salat. Tanpa menoleh kearah ku, pria bergelar suami itu berkata. "Dek, aku dan ya
Setelah lelah berkeliling dan keluar masuk toko untuk mencari pakaian baru. Aku dan keluargaku akhirnya memutuskan untuk makan malam di luar karena rasa lapar yang kembali mendera. Hingga tanpa sadar waktu telah menunjukkan pukul 22.00 rombongan keluarga ku baru sampai di rumah. Tentunya setelah kami mengantarkan Reina pulang dan tak lupa membelikan oleh-oleh untuk orang di rumahnya. Tentunya dengan tujuan untuk menjaga nama baik adikku dan juga keluarga kami.Pintu rumah dibuka oleh istriku---Marwah tanpa kami mengetuk dulu pintunya. Aku kira istriku itu sudah tertidur. Ternyata dia masih juga menunggu kedatangan suaminya. Memang sudah seharusnya. Istri tidur ketika suami sudah sampai di rumahnya.Semua heboh ketika masuk rumah. Heboh dengan belanjaan masing-masing, sedangkan istriku hanya meliriknya saja dan setelahnya ia kembali masuk ke dalam kamarnya tanpa sepatah kata pun menyapa suaminya ini. Aneh juga kelakuannya si Marwah. Padahal sebagai suami aku tidak pernah memberikannya
Hati istri mana yang tidak sesak kala melihat suaminya hanya perhatian pada keluarganya sendiri tetapi mengabaikan istri dan anaknya.Hati ibu mana yang tidak perih melihat ayah dari putrinya melimpahkan kasih sayangnya melebihi kasihnya pada darah dagingnya sendiri. Seolah keponakannya adalah anaknya sendiri. Sedangkan putri kandungnya sendiri diperlakukan oleh nya seperti anak orang lain.Keberadaan ku benar-benar tidak ada artinya dan gunanya lagi selain sebagai pembantu gratisan yang keberadaannya hanya untuk melayani mereka.Harusnya sebagai seorang suami dan juga seorang ayah. Mas Farhan lebih memperhatikan anak istrinya. Tetapi apa yang ia lakukan malah justru kebalikannya. Andai saja aku bisa mendoakan yang buruk-buruk untuk keluarga ini pasti itu sudah aku lakukan jauh hari. Hanya saja diri ini takut. Takut jika doaku yang buruk itu nantinya berbalik pada diriku sendiri. Oleh karena itu tak pernah lelah dalam tiap sujudku. Selalu meminta kepada-Nya agar segera membukakan mat
Perlahan namun pasti bayangan Marwah dan juga putriku sedikit teralihkan oleh hebohnya group di tempat kerjaku. Iya tepatnya hari ini adalah hari pertama bagi karyawan yang memenuhi persyaratan untuk bisa mengajukan diri mengikuti seleksi untuk bisa naik level. Dengan percaya diri aku mendatangi kantor pimpinan HRD. Setelah dipersilahkan masuk, aku langsung menghadap dan langsung mengutarakan maksud kedatanganku.Setelah sedikit berbasa-basi mengenai posisi yang akan di buka khusus untuk karyawan yang benar-benar masuk kriteria seperti aku ini.Namun setelah mendapatkan penjelasan dari kepala HRD perihal ijazah ku yang tidak sesuai kriteria. Aku pun di buat kaget. Bagaimana mungkin bisa. Aku jelas-jelas masih ingat jika ijazah yang aku ajukan adalah ijazahku yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi tempat aku pernah menimba ilmu dulu. Sedangkan data CV ku yang masuk di pabrik ini adalah hanya ijazah SMA saja. Luruh sudah harapan ku. Tubuhku terasa lemah seperti kehilangan tulang penyang