Share

3. Sifat Istriku

Tepat pukul 05.00 pagi aku sudah bersiap untuk kembali ke kita tempat aku mencari rezeki.

"Wah, jangan lupa ayam kecapnya kamu bungkus semua. Biar nanti Wildan kasih sama kakaknya. Itu kesenangan cucu-ku." Samar aku dengar suara ibu. Rupanya beliau sudah bangun. Sementara aku berada di teras untuk memanasi motor yang akan aku pakai kerja.

"Iya, Bu," jawab istriku patuh pada perintah ibuku. Memang dia harus bersikap seperti itu karena dia Istri ku maka otomatis ibuku adalah ibunya juga.

"Jangan lupa kamu panasi sayur yang kemarin. Itu nanti bisa buat kamu makan hari ini." Lagi terdengar suara ibu yang sedang berinteraksi dengan menantunya.

Aku lega. Karena aku bisa membuktikan dan mematahkan ucapan orang yang selama ini selalu mengatakan bahwa jangan membawa istri untuk satu atap dengan mertua karena tidak akan pernah bisa akur. Mereka salah. Nyatanya istri dan juga ibuku hubungan mereka baik-baik saja. Pun dengan Marwah yang selalu patuh pada ibu mertuanya. Aku lega karena ketika aku tinggal mereka di rumah.

Meskipun masih merajuk kepada ku. Marwah masih bisa menempatkan posisinya. Dan bahkan di pagi buta dirinya sudah bersusah-susah menyiapkan makanan untuk kami dan saat ini aku juga membawa olahan yang tadi pagi istriku masak untuk aku bawa ke rumah kakakku---Mbak Nur.

Malah tidak cerewet dalam urusan makan. Apapun yang ada di rumah yang ia olah itulah yang ia makan. Aku tidak mau membiasakan istrimu itu untuk jajan di luar. Hanya buang-buang uang saja itu yang aku ingat dari ucapan ibuku.

Kakak perempuan ku juga sangat perhatian pada ku. Buktinya dia selalu menasehati ku bagaimana cara mendidik seorang istri. Jangan terlalu memanjakan istri agar istri tidak ngelunjak. Istri harus dididik untuk hidup sederhana dan mau menerima kondisi suami apa adanya. Itu yang selaku di ucapkan oleh Mbak Nur.

Setelah hampir tiga jam menempuh perjalanan. Akhirnya aku sampai di rumah kakakku---Mbak Nur. Kebetulan juga hari ini aku dan kakak perempuan ku ini kerja di waktu yang bersamaan hanya beda tempat namun masih satu kawasan industri. Kami sama-sama masuk shift 2 yaitu pukul 15.00 sampai dengan pukul 23.00.

Jika bekerja di waktu bersamaan seperti ini. Aku biasanya berangkat bersama dan pulangnya pun aku yang biasanya menjemput kakakku di tempat kerjanya.

Aku sampai kondisi rumah sudah sepi. Kakak ipar ku sudah berangkat bekerja tentunya. Dan kedua anak Mbak Nur yang pertama dan kedua tentunya sudah pergi ke sekolah masing-masing. Hanya tinggal kakakku dan anak bungsunya serta asisten rumah tangganya.

"Mbak, ini tadi titipan dari ibu."

Aku mengulurkan bungkusan yang aku bawa setelah memarkirkan motor ku di samping rumah. Lorong antara rumah milik kakakku dan juga rumah tetangganya. Tanpa ada pagar pembatas, namun tanah masih masuk milik tanah Mbak Nur. Lorong dengan lebar kurang dari satu setengah meter ini yang biasa di jadikan tempat untuk parkir dan menyimpan motor. Ada dua buah motor. Yakni motor milikku dan juga milik kakak ipar ku. Sedangkan mobil milik mereka. Sengaja di parkir di depan rumah.

Bungkusan dalam wadah bok plastik berwarna hijau di sambut oleh Mbak Nur dan segera ia bawa masuk ke dapur.

Aku sendiri segera masuk ke dalam kamar yang biasa aku tempati di rumah ini. Kamar yang berada di bagian belakang dan letaknya tidak jauh dari dapur. Ada empat buah kamar di rumah ini. 1 kamar utama, 1 kamar lagi di pakai oleh si sulung dan di tengah, dan dua kamar yang tersisa 1 aku tempati dan lainnya di tempati oleh Mbak Iyem---orang yang bekerja untuk keluarga kakakku.

Aku merebahkan diri di atas kasur lantai dengan setelah berbagi baju sebelumnya. Aku mengistirahatkan badanku terutama bagian punggung dan pantat yang terasa panas terlaku lama duduk di atas jok motor.

Baru beberapa menit mata ini terpejam karena rasa kantuk yang menguasai. Tiba-tiba terdengar bunyi kutukan yang berasal dari pintu kamar yang aku tempati.

"Han, kamu ngapain? Kamu tidur?" Tidak berselang lama suara Mbak Nur terdengar dari luar.

"Iya, Mbak aku mau istirahat. Capek habis perjalan jauh," sahutku tanpa ada niat beranjak dari tidurku.

"Gantian kamu temenin Karin. Tuh, ponakanmu rewel minta di ajak muter pake motor. Mbak Iyem lagi nyuci. Aku juga ngantuk mau istirahat nanti kan hari ini Mbak masuk kerjanya sore." Mbak Nur sengaja menganggu istirahat ku hanya karena putrinya rewel sedangkan dirinya ingin istirahat lebih cepat. Gak mau diganggu oleh putrinya yang rewel.

"Aku juga masuk kerja sore, Mbak. Aku aja masih ngantuk sama capek." Aku juga tidak mau kalah beralasan.

"Halah kamu itu. Barang jagain si Karin saja sudah amat. Pokoknya kamu jagain dia. Mbak mau tidur dulu."

Tanpa mau menunggu jawaban dariku. Mbak Nur sudah nyelonong pergi dan tidak berapa lama terdengar pintu kamar di tutup dan di kunci dari dalam.

Alamat gak bisa tidur karena momong bocah.

Kalau di rumah ibu. Boro-boro momong Alina yang putri kandungku. Barang sedikit saja gadis kecilku itu mendekati ayahnya sendiri. Ibu sudah jaga-jaga dan bakalan teriak dan memerintahkan Marwah untuk menjaga putrinya agar tidak menganggu aku yang ingin beristirahat.

Rewel ketika ingin di ajak jalan-jalan pun tidak akan berlangsung lama. Karena Marwah dengan cekatannya akan langsung menenangkan putri kami. Dia akan mengalihkan perhatian pada gadis kecil yang usianya belum juga genap satu tahun.

Akhirnya mau tidak mau aku mengabaikan rasa kantuk yang masih mendera. Segera menghampiri gadis kecil yang sedang menangis di depan teras sambil terus menunjuk ke arah tempat motor biasanya di parkir.

Usia Karin sebenarnya tidak beda jauh dengan Alina. Karin lebih tua dua tahun dari Alina. Harusnya gadis kecil sudah bisa di masukkan sekolah kelompok anak bermain atau KB karena sudah masuk usia paud. Hanya saja karena belum terlalu cakap untuk berbicara. Mbak Nur sengaja menunda untuk memasukkan putrinya di sekolah paud.

Melihat Karin aku jadi teringat dengan Alina. Bagaimana tidak. Dia yang jelas putri kandung ku justru tidak terlalu dekat hubungan dengan aku yang merupakan ayah kandungnya sendiri. Alina jauh lebih dekat dengan Marwah. Bahkan pada ibuku yang notabene adalah neneknya sendiri putri kecil ku itu seolah merasa takut berada di dekatnya. Bagiku itu wajar. Toh memang sifatnya anak kecil memang biasanya seperti itu. Ibu ku pun tidak pernah protes dengan tingkah dari cucunya itu. Mungkin ada baiknya juga. Karena sama artinya jika Marwah tidak akan bergantung pada ibuku untuk menjaga-kan atau menitipkan putrinya. Sudah menjadi tidak seorang ibu untuk menjaga putrinya sendiri bukan orang lain. Untuk kasus Mbak Nur berbeda lagi. Bedanya dia memang bekerja sedangkan istriku hanya ibu rumah tangga yang tidak memiliki kesibukan layaknya orang yang bekerja seperti kami.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status