Tepat pukul 05.00 pagi aku sudah bersiap untuk kembali ke kita tempat aku mencari rezeki.
"Wah, jangan lupa ayam kecapnya kamu bungkus semua. Biar nanti Wildan kasih sama kakaknya. Itu kesenangan cucu-ku." Samar aku dengar suara ibu. Rupanya beliau sudah bangun. Sementara aku berada di teras untuk memanasi motor yang akan aku pakai kerja."Iya, Bu," jawab istriku patuh pada perintah ibuku. Memang dia harus bersikap seperti itu karena dia Istri ku maka otomatis ibuku adalah ibunya juga."Jangan lupa kamu panasi sayur yang kemarin. Itu nanti bisa buat kamu makan hari ini." Lagi terdengar suara ibu yang sedang berinteraksi dengan menantunya.Aku lega. Karena aku bisa membuktikan dan mematahkan ucapan orang yang selama ini selalu mengatakan bahwa jangan membawa istri untuk satu atap dengan mertua karena tidak akan pernah bisa akur. Mereka salah. Nyatanya istri dan juga ibuku hubungan mereka baik-baik saja. Pun dengan Marwah yang selalu patuh pada ibu mertuanya. Aku lega karena ketika aku tinggal mereka di rumah. Meskipun masih merajuk kepada ku. Marwah masih bisa menempatkan posisinya. Dan bahkan di pagi buta dirinya sudah bersusah-susah menyiapkan makanan untuk kami dan saat ini aku juga membawa olahan yang tadi pagi istriku masak untuk aku bawa ke rumah kakakku---Mbak Nur.Malah tidak cerewet dalam urusan makan. Apapun yang ada di rumah yang ia olah itulah yang ia makan. Aku tidak mau membiasakan istrimu itu untuk jajan di luar. Hanya buang-buang uang saja itu yang aku ingat dari ucapan ibuku.Kakak perempuan ku juga sangat perhatian pada ku. Buktinya dia selalu menasehati ku bagaimana cara mendidik seorang istri. Jangan terlalu memanjakan istri agar istri tidak ngelunjak. Istri harus dididik untuk hidup sederhana dan mau menerima kondisi suami apa adanya. Itu yang selaku di ucapkan oleh Mbak Nur.Setelah hampir tiga jam menempuh perjalanan. Akhirnya aku sampai di rumah kakakku---Mbak Nur. Kebetulan juga hari ini aku dan kakak perempuan ku ini kerja di waktu yang bersamaan hanya beda tempat namun masih satu kawasan industri. Kami sama-sama masuk shift 2 yaitu pukul 15.00 sampai dengan pukul 23.00.Jika bekerja di waktu bersamaan seperti ini. Aku biasanya berangkat bersama dan pulangnya pun aku yang biasanya menjemput kakakku di tempat kerjanya.Aku sampai kondisi rumah sudah sepi. Kakak ipar ku sudah berangkat bekerja tentunya. Dan kedua anak Mbak Nur yang pertama dan kedua tentunya sudah pergi ke sekolah masing-masing. Hanya tinggal kakakku dan anak bungsunya serta asisten rumah tangganya."Mbak, ini tadi titipan dari ibu."Aku mengulurkan bungkusan yang aku bawa setelah memarkirkan motor ku di samping rumah. Lorong antara rumah milik kakakku dan juga rumah tetangganya. Tanpa ada pagar pembatas, namun tanah masih masuk milik tanah Mbak Nur. Lorong dengan lebar kurang dari satu setengah meter ini yang biasa di jadikan tempat untuk parkir dan menyimpan motor. Ada dua buah motor. Yakni motor milikku dan juga milik kakak ipar ku. Sedangkan mobil milik mereka. Sengaja di parkir di depan rumah.Bungkusan dalam wadah bok plastik berwarna hijau di sambut oleh Mbak Nur dan segera ia bawa masuk ke dapur.Aku sendiri segera masuk ke dalam kamar yang biasa aku tempati di rumah ini. Kamar yang berada di bagian belakang dan letaknya tidak jauh dari dapur. Ada empat buah kamar di rumah ini. 1 kamar utama, 1 kamar lagi di pakai oleh si sulung dan di tengah, dan dua kamar yang tersisa 1 aku tempati dan lainnya di tempati oleh Mbak Iyem---orang yang bekerja untuk keluarga kakakku.Aku merebahkan diri di atas kasur lantai dengan setelah berbagi baju sebelumnya. Aku mengistirahatkan badanku terutama bagian punggung dan pantat yang terasa panas terlaku lama duduk di atas jok motor.Baru beberapa menit mata ini terpejam karena rasa kantuk yang menguasai. Tiba-tiba terdengar bunyi kutukan yang berasal dari pintu kamar yang aku tempati."Han, kamu ngapain? Kamu tidur?" Tidak berselang lama suara Mbak Nur terdengar dari luar."Iya, Mbak aku mau istirahat. Capek habis perjalan jauh," sahutku tanpa ada niat beranjak dari tidurku."Gantian kamu temenin Karin. Tuh, ponakanmu rewel minta di ajak muter pake motor. Mbak Iyem lagi nyuci. Aku juga ngantuk mau istirahat nanti kan hari ini Mbak masuk kerjanya sore." Mbak Nur sengaja menganggu istirahat ku hanya karena putrinya rewel sedangkan dirinya ingin istirahat lebih cepat. Gak mau diganggu oleh putrinya yang rewel."Aku juga masuk kerja sore, Mbak. Aku aja masih ngantuk sama capek." Aku juga tidak mau kalah beralasan."Halah kamu itu. Barang jagain si Karin saja sudah amat. Pokoknya kamu jagain dia. Mbak mau tidur dulu."Tanpa mau menunggu jawaban dariku. Mbak Nur sudah nyelonong pergi dan tidak berapa lama terdengar pintu kamar di tutup dan di kunci dari dalam.Alamat gak bisa tidur karena momong bocah.Kalau di rumah ibu. Boro-boro momong Alina yang putri kandungku. Barang sedikit saja gadis kecilku itu mendekati ayahnya sendiri. Ibu sudah jaga-jaga dan bakalan teriak dan memerintahkan Marwah untuk menjaga putrinya agar tidak menganggu aku yang ingin beristirahat.Rewel ketika ingin di ajak jalan-jalan pun tidak akan berlangsung lama. Karena Marwah dengan cekatannya akan langsung menenangkan putri kami. Dia akan mengalihkan perhatian pada gadis kecil yang usianya belum juga genap satu tahun.Akhirnya mau tidak mau aku mengabaikan rasa kantuk yang masih mendera. Segera menghampiri gadis kecil yang sedang menangis di depan teras sambil terus menunjuk ke arah tempat motor biasanya di parkir.Usia Karin sebenarnya tidak beda jauh dengan Alina. Karin lebih tua dua tahun dari Alina. Harusnya gadis kecil sudah bisa di masukkan sekolah kelompok anak bermain atau KB karena sudah masuk usia paud. Hanya saja karena belum terlalu cakap untuk berbicara. Mbak Nur sengaja menunda untuk memasukkan putrinya di sekolah paud.Melihat Karin aku jadi teringat dengan Alina. Bagaimana tidak. Dia yang jelas putri kandung ku justru tidak terlalu dekat hubungan dengan aku yang merupakan ayah kandungnya sendiri. Alina jauh lebih dekat dengan Marwah. Bahkan pada ibuku yang notabene adalah neneknya sendiri putri kecil ku itu seolah merasa takut berada di dekatnya. Bagiku itu wajar. Toh memang sifatnya anak kecil memang biasanya seperti itu. Ibu ku pun tidak pernah protes dengan tingkah dari cucunya itu. Mungkin ada baiknya juga. Karena sama artinya jika Marwah tidak akan bergantung pada ibuku untuk menjaga-kan atau menitipkan putrinya. Sudah menjadi tidak seorang ibu untuk menjaga putrinya sendiri bukan orang lain. Untuk kasus Mbak Nur berbeda lagi. Bedanya dia memang bekerja sedangkan istriku hanya ibu rumah tangga yang tidak memiliki kesibukan layaknya orang yang bekerja seperti kami.Hari ini adalah hari yang sangat aku nanti. Hari dimana suamiku akan pulang dari tempatnya bekerja. Suamiku kebetulan bekerja di luar kota. Di kabupaten yang berbeda. Sedangkan aku dan putri kami tinggal bersama satu atap dengan ibu mertua dan adik bungsu suamiku. Awalnya aku sempat menolak tinggal di sini. Bukan tanpa alasan. Karena ada adik suamiku yang kebetulan juga seorang laki-laki yang bukan mahram bagiku adalah salah satu alasan ku. Dan alasan lain adalah di mana biasanya menantu tidak akan pernah bisa akur ketika tinggal bersama dengan orang tua terutama ibu dari suaminya. Karena paksaan dari suamiku lah akhirnya aku menerima permintaannya tersebut.Tepat pukul 10.00 pagi tadi suami ku tiba di rumah ini. Aku dan juga Alina tentu saja menyambutnya dengan antusias. Alih-alih beberapa hari ini kami terpisah jarak dan waktu. Tentu saja rasa rindu yang akan merajai hati ini. "Mas, lebaran nanti kita beli baju couple sama Alina juga, ya," rengek ku pada mas Farhan suamiku. Kepa
Bulan ramadhan tahun ini begitu cepat datangnya. Tak terasa hari esok akan memasuki awal bulan puasa. Sudah biasa bagiku menjalankan ibadah puasa jauh dari keluarga, anak dan istri. Alat komunikasi jarak jauh antara aku dan Marwah pun tidak ada. Hanya ponsel yang aku punya dan untuk aku pergunakan secara pribadi dan satu ponsel lain di pegang oleh ibuku untuk kami berkomunikasi. Marwah tidak aku perkenankan untuk memegang ponsel. Aku tidak mau jika Marwah sampai melalaikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Itu lah pesan dari kakak ku yang di sampaikan melalui ibuku. Ponsel akan membuat siapapun malas mengerjakan kewajibannya. Toh Marwah sudah enak menumpang hidup pada keluarga kami. Dan sebagai gantinya ia harus dengan sadar diri mengikuti semua perintah kami. Keluarga ku tidak memperlakukannya sebagai pembantu seperti apa kata orang. Dia istriku dan sudah menjadi kewajiban baginya untuk patuh pada ibu dan juga keluarga ku. Jika keluarga ku menganggapnya sebagai pembantu pastilah ti
Kedatangan keluarga dari saudara suamiku adalah hal yang paling membahagiakan karena bisa berkumpul bersama. Itu jika saudaranya tersebut memang memiliki pikiran dan perasaan yang masih waras dan seperti kebanyakan orang.Tidak dengan kakak perempuan dari suamiku. Dengan adanya berita bahwa keluarga tersebut berkunjung ke rumah orang tuanya. Sama halnya, kabar buruk yang aku terima. Hari-hari burukku sudah menanti di depan mata. Bagaimana tidak. Tamu yang bagaimana ratu jika berkunjung di rumah ini. Semua pekerjaan rumah tak ada satupun dari mereka yang mau membantu. Aku sudah mirip dengan b*bu di rumah ini. Tapi aku berbeda. Jika pembantu mendapatkan gaji setiap bulannya. Maka yang aku dapatkan hanya rasa lelah. Lelah lahir dan batin. Nafkah lahir sebagai hak ku, tidak aku peroleh dengan sepantasnya. Tapi aku dituntut untuk melakukan semua kewajiban ku.Mungkin orang akan berpikir aku perempuan b*doh yang masih mau bertahan hidup dengan suami dan keluarga yang tidak punya hati dan m
Sebelum masuk waktu dhuhur semua pekerjaan telah kelar. Aku segera memberikan diri karena keringat dan bau dapur yang sudah sangat melekat di kulit ini. Usai bersih-bersih badan rencanaku akan segera menjemput putriku---Alina di rumah mbak Rina. Tak lupa lauk yang tadi aku masak sekalian aku antar juga kesana sebagai tanda terimakasih ku.Sebelum keluar dari rumah ini. Aku pastikan dulu kondisi para penghuninya yang lain. Aku keluar dari kamar tak nampak satu orang pun di ruangan tersebut. Menuju ruang tamu pun sama. Kosong. Sedangkan kamar ibu mertua juga sudah tertutup pintunya. Motor Reihan yang biasa ia parkir di teras juga tidak kelihatan. Sepertinya sepasang sejoli itu memang sudah pergi entah ke mana.Tak perlu buang banyak waktu. Bergegas aku ke dapur untuk mengambil bungkusan yang sudah aku persiapkan. Melangkah santai agar tidak membuat curiga dengan pasti aku keluar rumah dan langsung menuju rumah yang berada tepat di depan rumah mertuaku ini. Usai mengantarkan makanan da
Hari pertama puasa terlampaui dengan lancar. Hanya ada beberapa drama yang buat oleh Marwah. Mulai tidak mengindahkan perintah dari ibu sampai dirinya yang enggan untuk dimintai tolong menyuapi keponakannya sendiri. Padahal keponakanku adalah keponakannya juga dan tidak ubahnya seperti anak sendiri. Karena Marwah yang tidak mau menuruti kemauan Kiran. Maka gadis kecil itu pun merajuk dan mau makan makanan yang ada di piringnya. Dan ibu ku lah yang akhirnya membujuk dan menyuapinya makan sementara tangan dan matanya tetap fokus pada gadget dan asik memainkan gamenya."Sudah kelas tiga masih juga manja!" Telingaku ini masih menangkap gerutuan yang dilontarkan oleh Marwah.Memang benar Kiran saat ini duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar dan usianya pun sembilan tahun lebih. Tapi untuk urusan makan biasanya masih minta di suami sementara dirinya asik main game. Dan jika tidak dituruti maka anak itu tidak akan mau memakan makanannya sendiri.Kalau dibilang anak manja. Wajar juga karen
Sakit tapi tak berdarah. Sudah sangat jelas jika keberadaan ku di rumah ini memang tidak pernah dianggap. Entah apa alasannya. Aku yang sibuk. Mereka yang asik menikmati. Buka puasa pun lupa dengan siapa yang menyiapkan semua hingga mereka bisa kenyang tanpa harus bersusah-susah dan keluar tenaga. Mereka tidak mengingat ku atau sengaja tak pernah menganggap ku ada. Untung saja meski semua olahan masakan ku telah habis oleh mereka, aku masih menyimpannya untuk diri ku sendiri dan juga putriku. Kalau bukan aku yang berinisiatif. Mana mungkin suamiku masih ingat anak istrinya ketika berkumpul dengan keluarganya.Aku sengaja membatalkan puasaku hanya dengan segelas air putih. Lanjut aku menunaikan salat magrib sebelum makan besar.Ketika aku baru saja selesai menjalankan kewajiban tiga rakaat tersebut. Mas Farhan tiba-tiba muncul dari balik pintu dan menuju lemari baju yang berada tepat dan samping tempatku salat. Tanpa menoleh kearah ku, pria bergelar suami itu berkata. "Dek, aku dan ya
Setelah lelah berkeliling dan keluar masuk toko untuk mencari pakaian baru. Aku dan keluargaku akhirnya memutuskan untuk makan malam di luar karena rasa lapar yang kembali mendera. Hingga tanpa sadar waktu telah menunjukkan pukul 22.00 rombongan keluarga ku baru sampai di rumah. Tentunya setelah kami mengantarkan Reina pulang dan tak lupa membelikan oleh-oleh untuk orang di rumahnya. Tentunya dengan tujuan untuk menjaga nama baik adikku dan juga keluarga kami.Pintu rumah dibuka oleh istriku---Marwah tanpa kami mengetuk dulu pintunya. Aku kira istriku itu sudah tertidur. Ternyata dia masih juga menunggu kedatangan suaminya. Memang sudah seharusnya. Istri tidur ketika suami sudah sampai di rumahnya.Semua heboh ketika masuk rumah. Heboh dengan belanjaan masing-masing, sedangkan istriku hanya meliriknya saja dan setelahnya ia kembali masuk ke dalam kamarnya tanpa sepatah kata pun menyapa suaminya ini. Aneh juga kelakuannya si Marwah. Padahal sebagai suami aku tidak pernah memberikannya
Hati istri mana yang tidak sesak kala melihat suaminya hanya perhatian pada keluarganya sendiri tetapi mengabaikan istri dan anaknya.Hati ibu mana yang tidak perih melihat ayah dari putrinya melimpahkan kasih sayangnya melebihi kasihnya pada darah dagingnya sendiri. Seolah keponakannya adalah anaknya sendiri. Sedangkan putri kandungnya sendiri diperlakukan oleh nya seperti anak orang lain.Keberadaan ku benar-benar tidak ada artinya dan gunanya lagi selain sebagai pembantu gratisan yang keberadaannya hanya untuk melayani mereka.Harusnya sebagai seorang suami dan juga seorang ayah. Mas Farhan lebih memperhatikan anak istrinya. Tetapi apa yang ia lakukan malah justru kebalikannya. Andai saja aku bisa mendoakan yang buruk-buruk untuk keluarga ini pasti itu sudah aku lakukan jauh hari. Hanya saja diri ini takut. Takut jika doaku yang buruk itu nantinya berbalik pada diriku sendiri. Oleh karena itu tak pernah lelah dalam tiap sujudku. Selalu meminta kepada-Nya agar segera membukakan mat