Langkahku terus menyusuri jalanan Ibu Kota. Dering ponsel tak berhenti sejak tadi. Ini salahku. Aku terlalu fokus mengejar deadline tugas kuliah sampai lupa kalau hari ini ada sesi sharing dengan seorang ustaz muda yang sedang hangat diperbincangkan.
Jujur, aku belum terlalu mengenalnya. Mas Taufik hanya menyebutkan namanya. Ustaz Zafran Abdullah. Ustaz muda berusia dua puluh delapan tahun.
Dering ponsel kembali terdengar. Gegas aku mengangkatnya sebelum Mas Taufik berceloteh.
"Assalamu'alaikum, Mas. Aku udah di depan, Mas."
Langkah kupercepat menaiki tangga hingga menampakkan Khadijah yang tengah mempersiapkan semuanya.
"Assalamu'alaikum," sapaku ngos-ngosan.
"W*'alaikumussalam."
"Mas Taufik mana?" tanyaku sambil celingukan.
"Ada kok di dalam," ucapannya sambil mengarahkan pandangannya ke ruang perekaman.
Gegas aku melangkah masuk ke ruangan yang menampakkan sosok tubuh tegap.
Sosok pria yang sudah satu setengah tahun aku mengenalnya. Sosok idaman para wanita di luar sana. Tapi entah kenapa tak satupun dia tanggapi.
"Eh, kamu udah sampai?" tanyanya saat dia melihatku.
"Orangnya sudah menuju ke sini, Mas?" tanyaku saat tak kudapatkan orang lain di kantor ini.
"Sebentar ya, Mas mau telepon kembali."
Aku terdiam mengamati dia sibuk mengotak-atik ponselnya.
"Assalamu'alaikum, Ustaz. Oh, tiga puluh menit lagi ya, Ustadz?" Matanya melirik jam dipergelangan tangannya.
"Baik, Ustaz, kami tunggu." Panggilan terputus setelah mwngucapkan salam.
Pandangannya kini beralih kepadaku.
"Zaira, kamu siap-siap, ya. Beliau tiba setengah jam lagi."
Aku mengangguk kemudian gegas mempersiapkan diri.
Tiga puluh menit berlalu, sosok yang kami tunggu akhirnya menampakkan batang hidungnya.
"Assalamu'alaikum, Ustaz Zafran," sapa Mas Taufik.
"W*'alaikumussalam, Mas. Maaf kami telat," ucap sosok yang kuyakin itu adalah Ustadz Zafran sambil merangkul Mas Taufik.
Pandangannya kemudian tertuju padaku yang berdiri bersisian di samping Mas Taufik. Aku tersenyum simpul kepadanya.
"Assalamu'alaikum, Ustaz," sapaku sambil menangkupkan kedua telapak tangan di depan.
"W*'alaikumussalam," balasnya.
"Sudah bisa dimulai, Ustaz?" tanya Mas Taufik kemudian.
"Boleh."
"Silahkan masuk Ustaz. Lima menit lagi kita mulai, ya," ucap Mas Taufik.
Ustaz Zafran mengangguk kemudian mengikuti langkahnya.
Pandangannya kembali mengarah padaku. Aku kembali tersenyum simpul lalu dibalas dengan senyum pula.
Gegas aku mempersiapkan diri. Aku memasuki ruang ganti dan menelisik gamis, pashmina dan wajahku. Sedikit kurapikan letak pashmina dan sedikit touch up bagian wajah.
Setelah yakin sudah tak ada yang mengganggu pandangan, aku menuju pintu samping menuju ruangan rekaman dan menunggunya dengan perasaan gugup luar biasa.
Tak berselang lama sosoknya muncul dengan gagahnya. Kuperhatikan apa yang ada pada dirinya. Kulit bersih dan cerah, pakaian rapi, rambut dan pandangan teduh dan menenangkan.
Sejenak pandangan kami bertemu. Ada ketenangan saat memandang wajahnya.
Aku beristigfar dalam hati merutuki kesalahanku.
"Silakan duduk, Ustaz."
Aku kemudian mempersilakan beliau untuk duduk di depanku. Ya, tepat di depanku dan meja lah pembatas kami.
"Bisa kita mulai ya, Ustaz?" Ustaz Zafran menggangguk patuh. Ada dentuman dari dalam dada yang sedang berusaha aku kontrol.
Pandangan kualihkan ke arah sisi kanannya kemudian mengangkat jempol kanan.
"Bismillahirrohmanirrohim. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pertama - tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah subhanahu wata'ala yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kita dapat berkumpul pada hari ini dengan keadaan sehat wal'afiat.
Tak Lupa Sholawat serta salam tak henti - hentinya kita haturkan kepada Rasulullah salallahu 'alaihi wasallam, yang kita tunggu syafaatnya di hari kiamaat nanti. Semoga kita termasuk golongan umat yang mendapatkan syafa'atnya kelak. Aamiin Allahumma Aamiin."
"Sahabat MBI di mana pun berada, apa kabar hari ini? Semoga senatiasa dalam lindungan Allah Subhana W* Ta'ala. Aamiin. Seperti biasa hari ini Zaira Khazanah kembali menyapa sahabat fillah semua untuk berbagi kisah inspirasi dengan orang hebat."
"Alhamdulillah hari ini kita kedatangan tamu istimewa yang belakangan ini jadi pembicaraaan hangat akan sosoknya. Ustaz Zafran Abdullah. Pengusaha dengan busana muslim. Masya Allah."
Kembali pandangan ini mengarah padanya.
"Assalamu'alaikum, Ustaz""W*'alaikumussalam."
"Sebelumnya jazakallah khairan katsiran Ustaz sudah bersedia membagi waktunya di tengah kesibukan Ustaz untuk menjadi narasumber kami hari ini."
"W* jazakillah khair."
"Sebelumnya kita santai saja ya, Ustaz, agar sharing kita berjalan dengan mudah."
Aku berusaha seramah mungkin, semua ini demi menutup rasa gugup yang sejak tadi melanda.
"Baik."
"Sebelumnya, apa Ustaz bisa sedikit bercerita bagaimana kisah di balik kesuksesan Ustaz dalam mengelola usaha ini?"
"Awalnya itu bermula pada tiga tahun silam. Saat itu aku masih menempuh pendidikan di salah satu universitas ternama di kota ini. Di kampus kami itu ada suatu lembaga yang mengadakan kegiatan khusus sebagai wadah bagi mahasiswa beragama muslim untuk mengembangkan dakwah di kampus kami. Setiap hari jum'at sore kami akan mengadakan kajian rutinan yang dihadiri oleh beberapa petinggi universitas, staf dan juga mahasiswa."
Ustaz Zafran kini berkisah tentang bagaimana proses itu dimulai. Aku mendengarnya begitu seksama. Tidak, aku terlalu larut dan terus mengangumi setiap kisahnya.
Caranya menyampaikan begitu tenang. Jujur, aku terhipnotis olehnya. Dia memang pria idaman. Tapi, apakah dia masih sendiri?
"Masyaa Allah sangat inspiratif sekali yang berawal dari seorang aktifis dakwah di kampus, lalu sentuhan jahitan seorang ibu dan pastinya diselingi do'a sehingga bisa seperti ini ya, Ustaz?" Ucapku setelah mendengar setiap kisah yang dia ucapkan.
"Lalu untuk nama brandnya sendiri yaitu An-Nur Barokah itu terinspirasi dari mana, Ustaz?"
"Untuk nama brandnya seperti artinya adalah cahaya berkah. Berharap apa yang saya lakukan senantiasa mendapatkan limpahan cahaya keberkahan di dalamnya."
"Masyaa Allah berarti sebuah do'a ya, Ustaz?" Aku mengangguk kembali.
Lalu pertanyaan terus terlontar dariku. Sebenarnya bukan hanya untuk kepentingan konten, tapi juga untuk mengenalnya lebih jauh lagi.
Seperti kata pepatah kuno, "Sambil menyelam minum air."
Satu jam telah berlalu, obrolan ringan yang sedikit diselingi canda di antara kami. Aku suka caranya yang begitu bersahaja dan tidak pelit akan ilmu.
"Alhamdulillah sharing pada hari ini berjalan dengan lancar. Semoga ilmu yang disampaikan oleh narasumber kita pada hari ini bermanfaat untuk kita semua."
"Jazakallah khairan kepada Ustaz Zafran Abdullah yang telah menyampaikan sharing luar biasa pada hari ini. Semoga menjadi amal jariyah untuk Ustaz."
"Sebelum kami akhiri sharing hari ini, ada sedikit kenang - kenangan dari kami sebagai ucapan terimakasih."
Tanganku mengeluarkan sebuah plakat
sebagai tanda terimakasih dan telah bersedia membagi waktuku untuk berbagi di akun channel kami.*
"Masyaa Allah begitu menginspirasi cerita di balik suksesnya usaha Ustaz." Mas Taufik membuka obrolan.
Saat ini kami tengah terlibat obrolan ringan di ruang istirahat kami.
"Di luaran sana pasti masih banyak lagi inspirator hebat, Mas."
Masyaa Allah begitu tawadhunya, padahal saat ini Ustaz Zafran menjadi perbincangan hangat.
Kami tertawa ringan sambil menikmati kopi dan beberapa irisan kue bronis cokelat pandan.
"Oh, iya, ini dua rekan saya ustaz, yang satunya pasti ustaz sudah kenal tadi. Zaira Khazanah, dan sahabatnya Khadijah." Mas Taufik memperkenalkan kami kembali.
"Ini sahabat sekaligus partner saya dalam bisnis ini. Rayyan Habibullah." Ustaz Zafran memperkenalkan sosok yang sedari tadi mencuri pandang ke arah Khadijah.
Kami kemudian saling berkenalan. Bisa kutangkap sesekai Ustaz Zafran mencuri pandang kepadaku. Akupun begitu selalu tertangkap basah mencuri pandang ke arahnya. Saat mata kami bertemu, aku akan otomatis menunduk.
"Maaf, Ustaz, di kisahnya tadi ustadz belum pernah menyebut sosok wanita yang senantiasa mendampingi ustaz selain sosok umi. Apa sengaja tidak disebut, Ustaz?"
Khadijah mewakili pertanyaan yang sebenarnya ingin kutanyakan. Tapi ragu dan segan.
"Sayangnya sosok itu memang belum ada," jawabnya dengan sedikit terkekeh.
Ada rasa bahagia menyelinap dalam dada. Dia ternyata masih sendiri. Aku mengulum senyum.
"Jadi Ustaz masih sendiri ternyata. Saya pikir ustaz sudah ada yang punya," celetuk Mas Taufik.
"Apa Mas Taufik ada calon untuk Ustaz Zafran?" tanya Rayyan.
"Segan aku, Ustaz. Nanti ustaz sendiri yang memilih. Aku yakin pilihan ustaz paling terbaik," timpal Mas Taufik.
Tak terasa setengah jam berlalu. Ustaz memilih pamit harus kembali ke kantor. Katanya dia tidak bisa meninggalkan lebih lama lagi pekerjaan di sana.
Saat mereka berlalu, aku membersihkan bekas makanan dan minuman kami. Sejenak terdengar suara seseorang yang berdehem.
Aku membalikkan badan lalu menampakkan sosok yang sejak tadi mencuri perhatianku.
"Ada apa, Ustaz?" tanyaku.
"Eum, apa kamu ....nmasih sendiri?"
Aku sedikit tersentak saat pertanyaan itu terucap darinya. Apa maksudnya?
Aku tersenyum lantas menunduk.
"Masih, Ustaz."
"Alhamdulillah."
Aku mendongak dan mungkin tengah menampakkan wajah yang menghangat. Tampak jelas dia berusaha mengulum senyum.
"Zaira, jika kita ditakdirkan bertemu lagi, maka ijinkan aku untuk membawa namamu dalam do'aku."
Wajahku semakin menghangat dibuatnya. Apa maksud ustadz kali ini? Membawa namaku dalam do'a?
"Aku permisi. Assalamu'alaikum."
Dia pamait setelah mendapatkan balasan atas salam yang telah terucap. Meninggalkan aku yang masih mematung di tempat. Mencerna setiap kalimat yang barusan terucap.
"Hey, ngelamun aja kamu!" tegur Khadijah.
"En-enggak, kok," kilahku sambil kemblai melanjutkan aktifitasku.
"Ustaz Zafran kok segitunya baget dipelototin. Hi hi."
Aku melirik sekilas kemudian membawa gelas dan piring kotor ke dapur.
Khadijah mengekoriku di belakang. Aku pura-pura tidak melihat.
"Ustaz Zafran itu Masyaa Allah banget, ya?" tanya Khadijah sambil bersender di kulkas.
Aku tak menanggapi ocehannya. Aku lebih memilih sibuk membersihkan bekas kopi yang menempel.
"Sudahlah tampan, pengusaha sukses, ramah, single pula. Cocok banget jadi suami." Tanganku berhenti bergerak.
"Kira-kira calon istri idaman Ustaz seperti apa ya?" ucapnya dengan telunjuk dan ibu jari tangan menempel di dagu. Khas orang yang sedang berpikir keras.
"Zaira, kamu tahu nggak?"
Aku meliriknya sekilas. " Aku nggak tahu. Kan nggak nanya."
Kembali aku melanjutkan aktifitasku. Pertanyaan Khadijah membuatku sedikit terganggu.
"Harusnya kamu tanya dong tadi."
"Segan aku. Kenapa kamu nggak tanya aja sendiri?" tanyaku mulai sewot.
"Iya, ya. Harusnya tadi aku tanyakan. Siapa tahu, aku termasuk tipenya."
Aku tertegun. Khadijah juga suka?
Khadijah berlalu meninggalkanku dengan penuh tanya dalam diri. Ada rasa yang tak bisa kugambarkan saat Khadijah secara terang-terangan mengakuinya.
*
Selesai membersihkan pantry, aku berjalan keluar lalu mendapati Khadijah yang tengah berbincang dengan Mas Taufik. Langkahku gontai menghampiri mereka."Zaira, hari ini kamu nggak ngampus?" tanya Mas Taufik saat aku tengah duduk di antara mereka.
"Lagi free, Mas," lirihku.
"Kamu sakit? Kok lemes banget?" tanya Mas Taufik lagi dengan ekspresi khawatir.
"Nggak, kok, Mas. Aku....."
"Lagi mikirin Ustaz Zafran tuh dia," celetuk Khadijah. Aku melotot ke arahnya yang sedang tertawa cekikan.
"Zaira suka sama Ustadz Zafran?" tanya Mas Taufik.
Aku seperti tersangka yang sedang diintrogasi oleh penyidik. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Memilih jujur pun tak mungkin. Jelas-jelas Khadijah telah mengakui perasaannya.
"Nggak, kok, Mas."
"Aku bisa menangkap loh tatapanmu. Caramu saat berhadapan dengannya. Bagaimana kamu saat di dekatnya. Aku tahu loh, Zaira."
Aku bagai tersangka yang tertangkap basah. Mana mungkin?
"Aku nggak tertarik sama Ustaz Zafran. Buat kamu aja deh," ucapnya santai.
Aku semakin gelagapan. Mas Taufik yang sedari tadi diam memilih menjauh dari kami. Dapat kutangkap raut wajah tak suka darinya.
"Mas Taufik!" panggil Khadijah saat sadar Mas Taufik berpindah.
Mas Taufik menoleh sejenak.
"Mau kemana, Mas?"
"Shalat dhuhur," jawabnya sambil berlalu.
Aku dan Khadijah saling melempar pandangan.
"Shalat dhuhur? Bukannya ini baru jam sebelas ya?" tanya Khadijah keheranan. Aku mengangkat bahu tanda tak mengerti.
"Mas Taufik ngigau kali," jawabku asal.
"Ya, nggak mungkin lah."
"Mungkin maksud beliau shalat dhuha kali."
"Iya, kali ya. Eh, Rayyan temannya Ustaz cakep juga ya? Meskipun Ustaz lebih terlihat berwibawa sih." Khadijah terus berceloteh soal mereka berdua.
Aku terus memikirkan apa yang ustaz maksud tadi. Mau bertanya langsung kan nggak mungkin. Yang ada aku malu. Mau bertanya ke Khadijah takutnya dia bocorin ke Mas Taufik. Kan bahaya.
Mas Taufik itu dekat sama Abi. Katanya dia adalah anak dari teman lama Abi. Aku kerja dengannya sudah setahun ini tentunya atas rekomendasi Abi. Ya, hitung-hitung mengisi waktu luang. Sekalian berdakwah dengan cara yang berbeda.
"Kalian nanti akan ada projek besar. Dan tentunya itu outdoor."
Lamunanku buyar saat sosok Mas Taufik muncul.
"Di mana, Mas? Projek apa?" tanya Khadijah penasaran.
"Nantilah kalian lihat sendiri. Siap-siap aja kita kerjanya di luar gedung."
"Berat nggak, Mas?" tanyaku.
"Nggak juga."
"Lalu?"
Mas Taufik sejenak menarik napas. "Ini berhubungan dengan usaha Ustaz Zafran."
Aku mengerutkan kening. "Maksudnya?"
Mas Taufik yang sedari tadi berdiri kemudian kembali duduk di antara kami.
"Jadi, setelah aku pikir, kita baiknya nggak hanya sharing dengan beliau, tapi baiknya ikut meliput usaha dan kegiatan beliau. Jadi, yang belum mengenal, bisa jadi kenal. Ngerti kan maksud saya?"
Aku dan Khadijah mengangguk mantap.
Setelah kepergian Mas Taufik, Khadijah kembali beraksi.
"Zaira, ini kesempatan bagus untuk kamu tahu soal dia."
"Maksudnya?"
"Nggak perlu ta'arufan lagi. Soalnya secara nggak langsung kalian udh ta'aruf dengan cara yang berbeda," ucapnya antusias.
"Apaan, sih?" Aku berusaha mengulum senyum.
"Nggak usah sok bersembunyi gitu deh. Aku tahu kamu, loh, Zaira."
Aku berlalu meninggalkan Khadijah yang terus menggodaku.
Seminggu dari sejak pertemuan itu, kami kembali dipertemukan dalam acara yang sama. Namun, konsep kali ini berbeda. Kami tak harus lagi berada di dalam ruangan persegi. Konsep kali ini adalah tema outdoor. Di mana tim Muslimah Berbagi Inspirasi mendatangi usahaku dan meliput kegiatan kami di sana. Tentunya aku lah sebagai owner yang akan menjadi pemandu. Berkali-kali aku mematut diri di depan cermin. Menelisik setiap inci tubuh. Berulang kali aku mengganti setelan agar terlihat modis. Bukan. Aku bukan untuk menarik perhatian Zaira, aku hanya ingin menampilkan produk terbaikku. "Zafran, dari tadi kamu nggak berhenti mondar-mandir di depanku. Ganti satu baju ke baju yang lainnya. Putar kiri dan kanan di depan cermin. Seperti mau diajak kencan buta saja," cibir Rayyan yang tengah berdiri di dekat pintu sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. "Aku hanya ingin tampil lebih baik. Salah?" tanyaku ya
Zaira Khazanah. Nama yang sudah kubawa dalam sujud dan di do'a-do'a malamku. Nama yang senantiasa kubisikkan di setiap sujud terakhirku. Nama yang sudah aku perkenalkan pada Rabb-ku. Pada Sang pemilik diri. Selama ini aku belum pernah seyakin ini membawa nama seseorang untuk diadukan. Dia lah yang pertama. Sosok cantik, lembut, cerdas dan salihah. Sosok yang kucari selama ini. Pagi ini kusambut dengan senyum yang merekah. Rencananya aku akan memperkenalkan nama Zaira. Ya, aku harus lakukan secepatnya. Aku ingin melihat wajah bahagia Abi dan Umi. Perlahan aku menuruni tangga. Tampak Abi dan Umi sedang duduk di meja makan menikmati sarapan pagi. "Sini, Nak, sarapan dulu sebelum ngantor!" ajak Umi. Umi sibuk mengoleskan selai cokelat di atas roti tawar yang sudah dipanggang. Aku memilih duduk di samping Umi y
Semenjak Ustadz Zafran mengucapkan kalimat yang menggantung itu, pikiranku semakin kalut. Aku tak mengerti sebenarnya apa yang ingin dia sampaikan? Kalimat itu terus terngiang di telingaku. Kalimat yang meninggalkan tanda tanya besar. Apa dia menyukaiku? Hendak melamarku? Atau apa? Aku tak ingin berharap lebih. Aku takut kecewa. Setelah pertemuan itu, kami sudah tidak pernah bertemu lagi. Jangankan bertemu, sekedar saling menyapa pun tidak. Padahal, kontakku ada padanya. "Sudahlah, Zaira, kalau kamu kangen ya hubungi saja to?" ucap Khadijah. "Kita ini wanita, nggak baik nyosor duluan." "Dari pada kamu kayak gitu? Nggak konsen kerja, nggak konsen menyusun proposal?" Aku kembali terdiam. Pulpen yang ada di tanganku berkali-kali kuketukkan ke meja. "Zaira, kamu mengganggu konsentrasiku," gerutu Khadijah. Mas Taufik tiba-tiba muncul membawa dua buah minuman dalam kemasan dan beber
"Kenapa tuh muka? Kusut bener, kayak cucian belum disetrika," goda Rayyan. Aku tak menggubris pertanyaan Rayyan kali ini. Mooodku benar-benar hancur. Aku mendudukkan diri di sofa tepat di samping Rayyan. "Kemarin-kemarin kamu nggak berhenti buat senyum. Sekarang kok gini?" tanya Rayyan lagi. Aku mengembuskan napas kasar. "Aku lagi galau." Rayyan menyemburkan teh yang sempat dia minum lalu tertawa terbahak. "Sejak kapan kamu kenal istilah galau?" "Tadi." "Kenapa? Kamu habis ditolak sama Zaira?" Aku menggeleng lemah. "Lebih dari itu." "Dia udah ada yang punya?" "Aku dijodohkan." Rayyan berdiri tepat di depanku. "Serius? Sama siapa? Kapan? Kamu setuju? Terus si Zaira gimana?" Pertanyaan dari Rayyan justru membuatlu semakin merasa bersalah. "Abi menjodohkanku tanpa sepengetahuanku. Tau-tau udah jadi aja" Aku sedikit m
Sore itu Abi baru pulang dari pengajian, beliau membawa kabar gembira bukan hanya untuk mereka, juga untukku."Umi, tadi Abi ketemu sama Mas Abdullah. Tadi Abi sempat diajak ke rumahnya.""Mereka tinggal di mana sekarang, Bi?" tanya Umi. Aku hanya diam-diam menyimak. Berharap mereka akan membahas sosok Zafran."Di Bintaro." Ayah menyeruput teh yang sudah sejak tadi aku suguhkan."Alhamdulillah lumayan dekat. Kenapa nggak Abi ajak ke rumah. Umi sangat rindu sama Mba Fatimah.""Abi sudah ajak.""Kapan katanya mau ke rumah?" Abi hanya mengedikkan bahu.Mereka asyik mengobrol membahas tentang sahabat lamanya. Namun, tak satu pun dari mereka membahas soal Mas Zafran. Jujur, aku sedikit kecewa, aku ingin tahu apakah dia masih sendiri atau sudah beristri?Apakah sosok Zafran yang di poto itu adalah Ustadz Zafran?"Abi, apa Abi tadi sempat ketemu dengan Mas Zafran?" tanyaku ragu.Jujur aku harus meng
Sore itu sesuai titah Abi kami akan bertandang di rumah wanita pilihan Abi. Ya, rumah calon istriku. Aku dan Rayyan hari ini memilih lebih cepat pulang. Kami tengah berdebat di dalam kamarku. "Zafran, hari ini ketemu calonnya kudu bahagia dong, jangan pasang tampang kusam kayak gitu." Aku hanya diam menanggapi sambil terus memilih kemeja koko yang pas untuk malam ini. "Kasihan anak orang, kamu datang ke sana memperkenalkan diri, bukannya dibenerin moodnya malah kayak anak gadis yang dipaksa nikah," omelnya lagi. "Iya, tante Rayyan." Rayyan yang tak terima kemudian melemparkan kemeja koko yang ada di tangannya. "Enak aja disamain sama tante-tante!" "Ya, abisnya kamu cerewet terus dari tadi." Rayyan kembali bersungut. "Udah, bantuin milih kemeja yang pas. Kamu kayak gitu malah kayak anak gadis yang lagi ngambek sama pacarnya." "Hey, saya normal, ya." Tak kugubris lagi oceh
"Subhanallah, jadi kalian ternyata lebih dulu bertemu," timpal Umi Aisyah. "Lalu Zain?" tanya Abi. Tampak Zain berubah pias, tidak secerah tadi. Aku tak tahu apa yang terjadi sebenarnya. "Di-dia teman kuliah, Zain, Bi," jawab Zain terbata. Aku dan Rayyan saling berpandangan. Kalau hanya sebatas teman kuliah, tidak mungkin Zain berubah seperti ini. “Zafran?” tegur Abi saat melihatku sedari tadi mencoba menerka situasi ini. "Alhamdulillah kalau kalian sudah saling sama-sama kenal. Jadi tak perlu lagi perkenalannya," timpal Umi. Aku dan Zaira hanya melempar senyum. Bahagia terus kurasakan. Allah ternayata memberikan kejutan yang luar biasa. "Kalian itu sejak kecil sudah sama-sama kenal. Mungkin belum ingat, ya?" tanya Abi. “Waktu itu Zafira masih kecil. Ya, kan, Mba, Fatimah?” timpal Umi Aisyah. Aku dan Zaira masih diam menyimak obrolan kedua orang tua kami.
Semenjak pertemuan di rumah Zaira, sampai saat ini Zafran belum menemukan teka-teki apa yang sebenarnya terjadi. Zafran yang tengah disibukkan dengan pekerjaannya tampak tak bisa berkonsentrasi mengingat kejadian kemarin. Rayyan yang menyadari itu lantas segera menghibur sahabatnya. "Zafran, sudah dikirim proposal ta'arufnya?" tanya Rayyan sambil menenteng lembar laporan. Zafran menggeleng lemah sambil mengetuk keningnya dengan pulpen. Rayyan menghempaskan tubuhnya di sofa seraya menoleh ke arah sahabatnya. Rayyan tahu apa yang menjadi kendala proposal itu belum dikirimkan. "Mungkin hanya dugaan kita. Buatlah proposal itu. Bukankah itu yang kamu tunggu? Jangan mengorbankan orang-orang yang mengharapkan pernikahan kalian." "Bagaimana mungkin aku tega melanjutkan sedangkan adikku sepertinnya terluka dengan perjodohan kami?" Rayyan mengembuskan napas kasar. "Kalau begitu segera pastikan. Jangan membua
Tiga tahun berlalu, semenjak kepergian Zain suasana rumah Abi Abdullah semakin sepi. Sekali-sekali Zafran datang menjenguk membawa istri dan kedua bayi kembarnya.Zain yang bertugas tak seperti biasanya hanya pulang beberapa kali dalam setahun. Menjelajahi pulau satu ke pulau lainnya yang sulit diakses. Petualangannya bersama Arumi perlahan menumbuhkan rasa yang tak biasanya. Hingga akhirnya hari ini Zain resmi melamar Arumi sebagai pendamping hidupnya.Siapa yang akan menyangka, keduanya sama-sama pernah ditinggalkan oleh orang yang sangat dicintainya. Memiliki kisah cinta yang tak bisa terwujud lalu memilih ikhlas melepaskan meskipun sakit begitu dalam. Akhirnya, mereka dipertemukan.Hari ini secara resmi Zain mempersunting Arumi untuk dijadikan sebagai teman hidup. Perihal rasa yang pernah mengakar, akhirnya bisa juga hilang seiring berjalannya waktu.Arumi tampil begitu anggun dengan balutan kebaya syar'i berwarna peach s
Pov. Zain."Zain terpilih menjadi salah satu dokter yang bertugas di kapal rumah sakit, Abi. Zain pikir, lebih baik Zain terima." Kulihat mulai berembun."Kapan berangkatnya?" tanya Bang Zafran."Besok lusa, Bang," jawabku.Abi mengembuskan napasnya perlahan. Ditatapnya umi yang sudah mulai terisak. Aku mendekat lalu membawa tubuh orang yang telah melahirkanku ke dalam pelukan."Pasti lama. Kamu tega ya ninggalin, Umi?" Aku tersenyum."Ini bentuk pengabdian, Umi. Insya Allah, nanti Zain akan sekali-sekali pulang kok," bujukku berusaha menenangkan umi.Aku tahu perasaan umi saat ini. Umi pasti tak ingin melepaskanku. Tapi sumpah yang sudah terlanjur terucap untuk mengabdikan diri ini pada bangsa dan negara. Mataku tak sengaja mengarah pada sosok wanita yang kucintai. Segera kualihkan pandangan saat mata kami bertemu.'Maafkan Zain, Umi. Semua ini Zain lakukan demi abang. Rasa cinta ini b
Tepat empat puluh lima hari berlalu. Keluarga besar Zaira dan Zafran hari ini mengadakan tasyakuran aqiqah untuk kelahiran bayi kembar mereka. Segala persiapan telah dilaksanakan. Nuansa hijau dan putih menghiasi ruangan sesuai dengan permintaan Zaira.Banyak keluarga, sahabat, dan tetangga yang hadir di acara tersebut, tak terkecuali rekan bisnis serta para jama'ah tempat Zafran mengajarkan ilmu agama.Pemandu acara mulai membuka acara syukuran aqiqah."Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh bapak, ibu dan para tamu undangan yang kami hormati.Pertama – tama mari kita sampaikan puja dan puji syukur kehadirat Allah Subhanah Wa Ta'ala, atas rahmat dan hidayat yang dilimpahkan kepada kita semua, sehingga pada siang yang penuh dengan kebahagiaan ini kita bisa hadir memenuhi undangan dari Ustadz Zafran Abdullah sekeluarga dalam rangka syukuran akan lahirnya putra dan putri, buah hati dari pasangan Ustaz Zafran Abdullah dan ibu Zai
"Mas tolong!" pekik Zaira.Selepas isya suasana rumah menjadi ramai. Zaira tak berhenti menangis kala suhu tubuh kedua bayi kembarnya panas. Rasa panik menghampiri.Zafran yang tengah mengerjakan urusan kantor gegas menuju kamar. Dilihatnya Zaira duduk dengan ekspresi kebingungan di dekat bayi mereka.Zafran mendekat ke istrinya yang masih menangis sesegukan. "Ada apa, Sayang?""Ba-bayi kita, Mas.""Iya, mereka kenapa?" tanya Zafran."Bayi kita demam."Zafran mengecek keduanya. Ternyata benar, suhu badannya tinggi."Sebentar, Sayang, mas hubungi Zain dulu."Sementara Zafran menghubungi Zain, Mbok Siti datang terpongoh-pongoh di dekat Zaira."Ada apa, Bu?" tanyanya khawatir."Bayiku demam tinggi, Mbok," jawab Zaira dengan terisak.Diperiksanya kening bayi itu secara bergantian lalu Mbok Siti bergegas menuju dapur untuk mengambil air lalu tangannya meraih handuk
Hari minggu bahkan tak terasa satu bulan pun berlalu. Kehidupan Zaira dan Zafran terasa begitu indah dengan hadirnya bayi kembar mereka. Rasa lelah tak terasa bagi mereka. Justru mengurus kedua anaknya merupakan hal terindah yang belum pernah mereka rasakan.Bangun di tengah malam saat orang lain tengah menikmati istirahat, justru tidak bagi mereka. Mengganti popok, bangun menyusui atau bahkan melantunkan shalawat untuk si kembar. Hal yang sudah lumrah dirasakan oleh kebanyakan orang tua di luaran sana.Bagi Zafran berangkat ke kantor sudah terasa berbeda. Melihat kelucuan si kembar menjadi penyemangatnya. Begitpun saat pulang bekerja, Zafran akan disambut dengan suara dan harumnya bau tubuh si kembar."Anak ayah harum banget sih, bikin betah aja," ucap Zafran gemas."Ayahnya malah belum mandi, bau acem!" goda Zaira. Zafran tak menggubris godaan istrinya malah memeluk erat Zaira."Apaan sih, Mas," bisik Zaira lalu meli
Pov. ZafranBibirnya tak berhenti mengulas senyum kala istriku terus memandangi wajah kedua anak kami. Aku tahu, Zaira sangat bahagia saat ini. Begitu pun dengan aku.Kehadiran si bayi kembar mewarnai hidup kami. Hadirnya bagaikan oase di tengah padang pasir. Bagaimana tidak, mereka hadir di saat orang tuanya sudah pasrah akan takdir yang terus berjalan.Aku memandangi ketiganya dari balik pintu. Rasanya seperti mimpi melihat apa yang ada di depan mata saat ini. Keadaan yang begitu sangat kami rindukan, terlebih istriku."Sayang, belum tidur?" tanyaku sambil menuju lemari mengganti pakaian."Sayang, baju kaos biru navi mas di mana ya? Mas mau pakai itu, Dek."Lagi dan lagi tak ada jawaban. Pandanganku beralih padanya. Rupanya istriku tengah serius memandangi ajah mungil anak kami."Sayang, fokus banget pandangin si kembar, suami sendiri nggak digubris," protesku kala sudah duduk di pinggiran ranjang. 
Pov. Zaira.Bibir ini tak berhenti menyunggingkan senyum saat melihat wajah lucu dan menggemaskan si bayi kembar. Impian yang selama ini aku rindukan akhirnya terwujud juga.Rasa haru terus menyeruak di dalam dada kala mengingat bagaimana perjuangan kami berdua. Suka duka kita lewati bersama. Tak terhitung berapa tetes air mata yang mewakili perasaan ini.Kini, mereka hadir membantuku meraih mimpi yang sempat aku kubur dalam-dalam. Mereka hadir membangkitkan diri ini yang sempat jatuh hingga terpuruk lebih dalam."Sayang, fokus banget pandangin si kembar, suami sendiri nggak digubris."Aku terhenyak dari lamunanku, rupanya Mas Zafran sudah duduk di pinggiran ranjang. Sejak kapan dia ada di sini?"Maaf, Mas, adek nggak lihat. Mas sudah lama di sini?" tanyaku sambil berusaha bangun lalu menghambur ke tubuhnya.Mas Zafran memelukku dengan erat. "Sejak tadi, Dek. Mas panggilin malah nggak digubris. Mas cemburu sama
"Ingat pesan Om Dokter ya, Vio!" ucap Zain saat Vio sudah berada di dalam mobil."Siap, Om Dokter!" jawab Vio antusias."Apa coba kalau ingat?" tanya Zain memancing.Vio menarik napas lalu mulai menyebutkan pesan dari Zain."Jangan jajan sembarang, jangan makan es krim dulu dan makanan berlemak, tetap jaga kesehatan, jangan bawel. Nah, Vio udah benar kan, Dok?" Zain tersenyum seraya mengangkat kedua jempolnya. Vio bertepuk tangan riang."Dok, terimakasih ya. Suster Mawar, terimakasih sudah merawat Vio, sampaikan pada Dokter Roy dan perawat lainnya.""Iya sama-sama. Jaga Vio ya?" jawab Zain yang dibalas anggukan oleh Arumi."Kami permisi dulu, ya, Dok, Sus," pamit Arumi."Hati-hati," balas Zain.Arumi kemudian masuk dan duduk di samping kemudi. Bibir Arumi tak berhenti menyunggingkan senyum. Zain ikut tersenyum simpul. Mawar yang melihat itu merasa sangat cemburu.Maw
Mawar tak habis fikir dengannya dokter Zain bersikap biasa. Namun, dengan wanita itu, dokter Zain begitu bahagia hingga tertawa lepas. Siapa sebenarnya dia? Apakah dia wanita yang dimaksud Sinta? Pikirnya.Mawar memilih pergi ketimbang terus berdiri di sana melihat keakraban mereka. Wanita mana yang tidak merasa cemburu melihat orang yang dia kagumi tertawa lepas dengan wanita lain?Langkahnya terhenti tepat di depan toilet khusus staf ruangan. Gegas Mawar memilih masuk untuk menenangkan hatinya yang sedang dibakar api cemburu.Di depan cermin berukuran besar, Mawar menatap pantulan dirinya. Menelisik setiap inci yang ada pada dirinya. Baginya, dia tidak terlalu buruk dibanding wanita tadi. Lalu mengapa seolah-olah dokter Zain tak meliriknya?Mawar kemudian menempelkan tangan di dadanya."Ya, Allah. Apakah hamba akan kembali disakiti lagi? Bisakan hamba berharap ditakdirkan dengannya?" lirihnya.Setelah sekian t