Beranda / Romansa / BIDADARI SURGAKU / 6. ISTIKHARAH CINTA ( POV ZAFRAN)

Share

6. ISTIKHARAH CINTA ( POV ZAFRAN)

"Kenapa tuh muka? Kusut bener, kayak cucian belum disetrika," goda Rayyan.

Aku tak menggubris pertanyaan Rayyan kali ini. Mooodku benar-benar hancur.

Aku mendudukkan diri di sofa tepat di samping Rayyan.

"Kemarin-kemarin kamu nggak berhenti buat senyum. Sekarang kok gini?" tanya Rayyan lagi. 

Aku mengembuskan napas kasar. 

"Aku lagi galau."

Rayyan menyemburkan teh yang sempat dia minum lalu tertawa terbahak. 

"Sejak kapan  kamu kenal istilah galau?"

"Tadi."

"Kenapa? Kamu habis ditolak sama Zaira?"

Aku menggeleng lemah. "Lebih dari itu."

"Dia udah ada yang punya?"

"Aku dijodohkan."

Rayyan berdiri tepat di depanku. 

"Serius? Sama siapa? Kapan? Kamu setuju? Terus si Zaira gimana?"

Pertanyaan dari Rayyan justru membuatlu semakin merasa bersalah. 

"Abi menjodohkanku tanpa sepengetahuanku. Tau-tau udah jadi aja"

Aku sedikit memberi jeda. 

"Jangankan minta pendapat, buat bahas perjodohan aja nggak pernah."

"Zaira?"

Aku menutup wajah dengan kedua telalak tangan yang bertumpu pada kedua pahaku.

"Aku juga bingung."

"Abi tahu soal Zaira?" Aku mengangguk. 

"Lalu."

Aku menyandarkan badan ini ke kepala sofa.

"Sudah nggak bisa. Perjodohan tetap dilaksanakan."

Rayyan berjalan mundur lalu bersender pada tembok.

"Aku pikir Abi bukan type yang suka menjodoh-jodohkan anaknya."

"Aku yang salah. Terlalu mengulur waktu sampai akhirnya Abi sudah menemukan wanita pilihannya."

"Kamu baru ngomong sama Abi?" Aku mengangguk lemah. 

"Kamu yang salah. Hal baik itu disegerakan. Menyesal kan jadinya?"

Aku mengembuskan napas kasar. Kenapa penyesalan selalu datang di belakang? Kenapa Abi tak sedikitpun memberikan kesempatan untukku? 

"Jadi apa rencanamu selanjutnya?" tanya Rayyan yang kini duduk di smapingku. 

"Aku tak tahu." 

"Temui Zaira, sampaikan semuanya dan minta untuk tidak berharap."

"Zaira bahkan belum merespon. Jadi, mana aku tahu, dia berharap atau tidak sama sekali." 

"Bukan waktu yang salah, tapi kamu. Selama hampir dua minggu ini kamu ngapain aja?"

"Aku tunggu waktu yang tepat, biar jadi kejutan."

"Nyatanya kamu kan yang dapat kejutan?"

Aku terdiam. Benar, aku yang salah. Bisa kah aku bilang ini adalah penyesalan terbesarku?

Rayyan menepuk pundakku, memberikan kekuatan. 

"Aku tahu kamu harus ngapain."

Aku menoleh, Rayyan tersenyum.

"Shalat istikharah. Minta petunjuk."

"Buat apa? Aku sedang tidak dilema untuk memilih. Ini sudah jadi keputusan Abi yang tidak boleh diganggu gugat lagi."

"Hey, apa kamu lupa? Istikharah itu bukan hanya untuk memilih dua pilihan. Apakah si A yang kamu terima atau si B. Minta putunjuk sama Allah."

Aku bergeming belum mengerti arah pembicaraannya.

"Kamu butuh itu. Minta petunjuk sama Allah. Kalau wanita itu lebih baik, maka sekuat apapun kamu mencoba menghindar akan terjadi juga. Sebaliknya, jika Zaira yang terbaik, maka akan ada jawabannya. Entah besok kamu bakal nikah sama orang lain kalau Zaira jodohmu, ya nggak akan terjadi."

Aku mentapnya lama.

"Percaya lah. Tinggal kamu meyakinkan diri. Serahkan semua sama Allah. Jodoh nggak akan kemana."

Aku menarik napas dalam. Menyenderkan kembali badan ini ke kepala sofa. Menerawang  setiap kejadian yang terjadi. Bayangan Zaira yangnl sedang tersenyum kembali muncul. 

"Setelah kamu mendapat jawaban dan ternyata pilihan Abi adalah yang terbaik, maka tugasmu selanjutnya adalah ikhlas."

Ikhlas? Suatu ilmu yang sangat tinggi. Sedangkan hati ini selalu condong ke Zaira. Bagaimana aku nanti membangun rumah tangga yang sakinah mawaddah dan warahma jika rasa itu tak ada? Jika jiwa dan pikiran ini ada pada Zaira?

"Istighfar. Jangan sampai iblis memanfaatkan kelemahan imanmu saat ini. Shalat taubatlah. Memohon ampun pada Allah."

Rayyan berdiri kemudian berlalu meninggalkan aku seorang diri. Merenungi kisahku. Takdir yang sedang kujalani. 

*

Hari ini keadaan seperti tak berpihak padaku. Aku berkali-kali tidak komsen dalam bekerja sehingga ada beberapa kesalahan yang ditimbulkan olehku sendiri. Untung saja ada Rayyan yang sigap menggantikanku. 

Berkali-kali Rayyan mengingatkanku untuk istirahat sejenak, namun selalu kutolak. Aku tidak ingin masalah pribadiku justru berimbas pada orang lain.

"Istirahat aja dulu. Jangan menyiksa diri," nasehat Rayyan saat membawa laporan mingguan ke ruanganku. 

Aku hanya mengancungkan jempol sambil terus memeriksa beberapa dokumen. 

Mata terlalu fokus memeriksa setiap laporan hingga beberapa kali aku memijit pelipis. Bukan. Bukan karena kesalahan laporan, tapi bayangan masalah yang kualami silih berganti bermunculan. Konsentrasiku buyar. 

Aku bangkit untuk mengambil wudhu kemudian melaksanakan shalat dua rakaat. Berharap ketenangan segera kudapat setelah mengiba dan mengadu pada Sang pemilik jiwa ini. 

Selesai mengiba dan mengadu pada Allah, tangan ini perlahan meraih mushaf yang berdiam manis di atas meja kerjaku. 

Aku mulai membaca setiap ayat pada Surah Ar-Rahman, hingga air mata ini menetes pada ayat '

Fabiayyi alai rabbikuma tukaththibani'

yang artinya, Maka nikmat Tuhan manakah kau dustakan.

Betapa aku tidak bersyukur atas nikmat yang Allah beri untukku. Keluarga yang harmonis, usaha yang terus maju, sahabat yang selalu ada untukku, ilmu yang kudapat. Lalu, saat takdir yang mungkin inilah yang terbaik, aku berani menolak?

"Astaghfirullah." Aku terus beristigfar atas segala keangkuhan pada diri ini.

Rayyan benar, harusnya aku terus memohon kepada Allah apa yang terbaik untukku, bukan terus Merayu-Nya untuk disatukan dengan seseorang yang belum tentu dia yang terbaik untukku. 

Apakah aku si sombong itu? Yang meragukan atas kasih sayang Allah untukku? Bukankah Allah Maha Penyayang? Tidak mungkin Allah menakdirkan sesuatu yang sangat buruk kepada Hamba-Nya. Kecuali Hamba-Nya yang durhaka. 

"Bismillah." 

Aku merapikan mushaf kembali pada tempatnya, melipat sajadah lalu bergegas kembali memeriksa laporan yang semakin menumpuk. 

*

Rasa lelah luar biasa kurasakan hari ini. Langkahku gontai membuka handle pintu. Aku berjalan terus menuju kamar. Di dalam ruangan persegi ini, aku membaringkan tubuh utnuk melepas penat sejenak sebelum membersihkan diri. 

Suasana rumah begitu sepi. Mungkin Abi dan Umi ada urusan, sedagkan Zain entah kemana dia. 

Tak terasa mataku semakin memberat hingga terlelap.

*

Aku tersentak saat ketukan terus terdengar di balik pintu. Mataku mengerjap, mengumpulkan kesadaran sebelum melangkah menemui si pengentuk pintu.

Aku melirik jam di atas nakas. Sudah jam lima lewat tiga puluh menit. Sudah sangat sore. Ketukan maaih terdengar. Dengan langkah gontai, aku membuka handel pintu yang menampakkan sosok di baliknya. Zain. 

"Ada apa?"tanyaku dengan suara lemah. 

"Apa abang tahu? Selasa nanti kita akan bertamu di rumah wanita itu. Abang sudah siap belum?" godanya. 

"Dapat kabar dari mana?"

"Abi. Tadi aku dengar lagi telponan sama seseorang. Aku sih yakin calon mertua abang."

Aku berpindah kembali terduduk di tepu ranjang. Tanpa permisi Zain mengekoriku dan kini dia duduk di sofa yang sengaja aku letakkan di ujung kamar.

"Abang udah ikhlas belum?" tanynya lagi. 

Aku hanya mengangkat bahu. Dia mendengus kasar.

"Cinta itu diperjuangkan, Bang."

"Sok tahu kamu."

"Emang iya kan? Abang udah bilang loh sama dia bakal nunggu dia selesai. Lalu Abang malah batalin sepihak. Abang bukan pejuang."

"Jangan ngajarin Abang jadi anak durhaka."

"Nggak lah, Bang. Cuman Zain ngasih tahu aja. Ingetin Abang, kali aja Abang lupa sama janji."

"Abang harus gimana, Dek? Abang udah jelaskan, tapi Abi tetap kekeuh," ucapku putus asa.

"Umi?"

"Umi mana mau bantah Abi. Kan udah tau sendiri, Dek." 

"Ya udah, wanita pilihan Abang sama Zain aja. Adil kan?" ucapnya sambil terkekeh. 

Aku mendelik tajam. "Nyiksa Abang itu namanya."

"Loh, nggak loh. Kan biar Abang bisa lihat setiap hari."

Anak ini....

Aku menarik napas dalam, "Abang mau istirahat. Kamu keluar dulu ya, Dek."

Zain bangkit lalu melenggang sambil terus menggoda. 

"Abang udah setuju, ya? Giliran Zain yang minta dijodohin sama pilihan Abang. Eh, calon Abang," ejeknya. 

Aku mendelik tajam, "Zain...."

*

Selesai makan malam, kami kembali berkumpul di ruang keluarga. Seperti biasa Abi akan mempertanyakan soal kesiapanku. 

"Bagaimana? Kamu sudah siap kan?"

"Beri Zafran waktu, Abi," pintaku. 

"Selasa depan kita rencanya kesana untuk bertamu, sekalian mempertemukan kalian."

Aku menahan gemuruh di dalam dadanya.

"Zafran mohon, Bi."

"Baiklah, Abi tunggu jawabannya. Senin lusa, Abi harap sudah dapat kabar baik."

Aku mengangguk patuh. 

Obrolan kali ini begitu menegangkan. Tak ada canda dan tawa seperti malam sebelumnya. 

Zain yang biasanya akan banyak bercerita soal kegiatannya, kini hanya diam. Memilih jadi penyimak obrol orang dewasa. Begitupun dengan Umi.

*

Tepat jam tiga dini hari, aku terbangun seperti biasanya untuk menunaikan shalat malam. Menghadap kepada Sang Pemilik alam semesta. 

Di sujud terakhirku, di sepertiga malam ini, aku bersimpuh, merendahkan diri serendah-rendahnya. Kubisikkan setiap kegundahan hati, serta permohonan ampun atas segala kesombongan yang melekat pada diri ini. 

Air mata terus membanjiri pipi ini mengingat betapa aku hanyalah Hamba-Nya yang berlumuran dosa. Akulah hamba yang lemah imannya. Lemah dan tak berdaya. 

"Asfagfirullah...."

Istigfar terus terucap. Kubaca dengan penuh rasa berdosa.

Aku sadar, mungkin inilah yang terbaik untukku. Kita sebagai hamba tidak akan pernah tahu jalan takdir yang akan kita lalui. 

Betapa tak tahu dirinya aku sebagai seorang hamba, berani terus mendikte Allah. Terus memaksa untuk disatukan dengan dia, pilihanku. Seharusnya aku hanya bisa meminta yang terbaik di antara keduanya.

Kuraih mushaf yang ada di sampingku, lalu membaca setiap huruf yang di dalamnya. Ketenangan di dalam jiwa menyapa saat tiga ayat terlewati. 

*

Hari-hari kulalui seperti biasa. Bekerja, mengisi pengajian dan mendengarkan setoran hafalan dari para remaja mesjid. Waktu berlalu begitu cepat. Kesibukan melanda hingga aku tak begitu memikirkan soal perjodohan ini.

Bismillah, aku ikhlas. Itulah kalimat yang sering kuucapkan. Memberikan kekuatan untuk diri sendiri.

Sore ini kulihat Abi dan Umi sedang memanen sayuran yang ditanam di belakang rumah. Mereka begitu bahagia. Saling melempar candaan, dan sekali-sekali Umi akan merajuk akibat ulah Abi. Terbersit pertanyaan di dalam hati, tega kah aku menyakiti mereka? 

Padahal Abi sudah mencarikan yang terbaik untukku. Jika saja Abi yang selama ini tak mempersoalkan tentang dengan siapa aku nantinya, tiba-tiba beliau berubah. Itu semua demi orang yang dicintainya. Umi. 

Aku berdiri tegap memandang kedua orang tuaku. Senyum terukir di bibir saat mereka terus tertawa bahagia. Sampai akhirnya Abi menyadari kehadiranku. 

"Sudah pulang, Nak?" tanya Umi.

Aku mendekati mereka kemudian mencium punggung tangannya. 

"Dari tadi, Umi."

Aku memilih ikut berjongkok di sebelah mereka, mencabuti sayuran yang siap panen. 

Aku mengatur napas sejenak, aku harus memberitahu ke mereka.

"Abi, Umi." Mereka berdua menoleh. 

"Aku....aku sudah siap."

Ada sebyum bahagia yang tercipta. Apalagi Umi. Saking bahagianya sampai-sampai Umi memelukku. 

"Alhamdulillah. Terimakasih ya, Sayang, Umi bahagia," ucapnya haru. Aku terseyum simpul. Ada yang menetes dibalik pelupuk mata.

Abi menepuk punggunggu seraya tersenyum.

"Abi tahu, kamu bisa diandalkan."

Umi terus membelai rambutku, rasa bahagia terus terpancar dari wajahnya. 

'Ya, Allah.... Mudahkanlah.'

*

Minggu pagi adalah moment berkumpul keluarga. Suasana rumah kembali sehangat kemarin. Tak ada raut wajah tegang, yang ada adalah keluarga yang harmonis. 

Saat kami sedang bercengkerama tiba-tiba Rayyan muncul di antara kami. Abi merangkulnya kemudian menyuruhnya bergabung. 

"Senin nanti kami akan bertandang di rumah calon Zafran..kamu harus ikut, ya," ucap Abi ke Rayyan. 

Rayyan yang tak tahu apa-apa melihat ke arahku meminta penjelasan. Aku mengangguk kepadanya. Memberi kode agar dia memenuhi permintaan Abi.

Setelah kami duduk berdua, Rayyan kembali meminta penjelasan. 

"Aku sudah menyetujui perjodohan ini."

"Zaira?"

"Aku akan menjelaskan sama dia. Aku akan meminta maaf."

"Aku harap keputusanmu adalah jalan terbaik. Aku cuman nggak mau kamu dan Zaira terluka. Itu saja. Dia gadis yang baik."

Aku mengangguk seraya tersenyum. 

"Kamu mau ikut kan?"

Rayyan mengendikkan bahu.

"Mau gimana lagi, Abi yang ngajak kok."

Aku terkekeh.

Aku sudah tahu, Rayyan tidak mungkin berani menolak permintaan Abi. Bukan Abi memaksa, bagi Rayyan, Abi adalah orang tuanya juga yang harus dihormati. 

Sejak kecil kami bersahabat. Berbagi suka dan duka bersama. Abi dan Umi menyayangi Rayyan layanknya anak kandungnya sendiri. Begitupun sebaliknya.

"Aku mau ngasih tau sesuatu sama kamu."

"Apa?"

"Jujur, aku punya rencana. Kalau kamu jadi nikah sama Zaira, maka aku juga akan melamar Khadijah. Jadinya persahabatan akan tetap utuh kan?"

"Lalu?"

"Ya, sayangnya semua di luar dugaan. Kamu malah jadinya dengan wanita lain."

"Itulah jalan takdir, Ray. Kita hanya bisa berencana, biar Allah saja yang memilih mana yang terbaik untuk Hamba-Nya."

"Yup, Abang benar, Bang Ray."

Kamu spontan bersamaan menoleh ke belakang.

"Kalau Abang tetap mau sama Khadijah yang katanya sahabat wanita pilihan Abang Zafran, ya udah nanti biar sama Zain aja."

Aku dan Rayyan saling melempar pandangan.

"Kenapa? Kan Abang jadinya sama pilihan Abi. Dari pada mimpinya Abang Rayyan nggak terwujud karena Abang memilih wanita lain, ya sudah, sama Zain aja."

"Kamu masih kecil," cibir Rayyan. 

"Sebentar lagi aku wisuda."

"Kamu belum kerja. Mau ngasih apa anak orang?"

Zain menautkan dua jarinya membentuk love. 

"Cinta."

Rayyan mendelik malas. 

"Mana cukup cinta sebagai modal."

"Cukuplah. Dari pada nikah nggak pake cinta?" balas Zain lalu melirik ke arahku.

Rayyan yang tak terima terus berdebat dengan Zain.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status