Semenjak pertemuan di rumah Zaira, sampai saat ini Zafran belum menemukan teka-teki apa yang sebenarnya terjadi.
Zafran yang tengah disibukkan dengan pekerjaannya tampak tak bisa berkonsentrasi mengingat kejadian kemarin. Rayyan yang menyadari itu lantas segera menghibur sahabatnya.
"Zafran, sudah dikirim proposal ta'arufnya?" tanya Rayyan sambil menenteng lembar laporan.
Zafran menggeleng lemah sambil mengetuk keningnya dengan pulpen. Rayyan menghempaskan tubuhnya di sofa seraya menoleh ke arah sahabatnya. Rayyan tahu apa yang menjadi kendala proposal itu belum dikirimkan.
"Mungkin hanya dugaan kita. Buatlah proposal itu. Bukankah itu yang kamu tunggu? Jangan mengorbankan orang-orang yang mengharapkan pernikahan kalian."
"Bagaimana mungkin aku tega melanjutkan sedangkan adikku sepertinnya terluka dengan perjodohan kami?"
Rayyan mengembuskan napas kasar.
"Kalau begitu segera pastikan. Jangan membua
"Zain mencintai Zaira, Abi." Ummi Fathimah yang mendengar itu sedikit tersentak. Bagaimana mungkin kedua anaknya menyukai wanita yang sama? "Di mana Zain?" "Biar Umi yang panggilkan." Umi Fathimah beranjak dari tempat duduknya lalu menemui anak bungsunya. Pintu kamar Zain diketuk, tapi tak ada sedikitpun jawaban. Perlahan Umi memutar handel pintu lalu mendorongnya pelam. Tampak jelas Zain hanya duduk termenung di kursi tempatnya belajar. Umi Fathimah kemidian masuk lalu berdiri tepat di belakang putranya. "Ada apa, Nak?" tanya Umi. Zain yang menyadari kehadiran Uminya lantas segera memeluk tubuh wanita yang melahirkannya. "Zain nggak pa-pa." Umi Fathimah tahu jika anaknya sedang berbohong. Dibelainya rambut tebal outranya dengan lembut. "Abi mencarimu, Nak. Ikut umi, yuk!" Zain berdiri lalu mengekor di belakang Umi. Tanpa sepatah kata pun. "Zain, Abi ingin kamu juj
"Assalamu'alaikum, Dek. Besok lusa, Mas dan keluarga akan datang untuk mengkhitbahmu." Zaira tersentak saat sebuah pesan masuk ke aplikasi hijaunya. Pesan cinta dari Mas Zafran. Pesan pertama yang selama ini dia tunggu. "Lusa? Apa Umi dan Abi sudah tahu." Gegas Zaira mencari orang tuanya. Setelah mencari dari ruang keluarga dan ke halamannya, rupanya Umi sedang berada di dapur. "Umi, abi dimana?" Umi yang sedang memotong tomat berbalik ke arah Zaira. "Paling di ruang kerjanya, Sayang. Ada apa?" "Mas Zafran tadi ngabarin Zaira, lusa mereka bakal datang lamaran." "Eh, kok mendadak? Maksudnya kenapa nggak ngabarin beberapa hari sebelum hari H?" Umi Fathimah gegas menemui Abi yang sedang berada di ruang kerjanya. "Abi." "Hm." "Kata Zafran, lusa mereka bakal datang lamaran, Bi. Abi udah tahu?" Abi Abdullah melepas kacamata yang sedari tadi bertemgger di hidung b
*Hari lamaran pun tiba. Zaira tak berhenti mematut diri di depan cermin. Kebaya berwarna silver dipadu padankan dengan khimar warna senada. Hari ini Zaira begitu tampak lebih cantik dengan polesan make-up minimalis. Rasa deg-degan luar biasa dirasakannya. Zaira benar-benar tidak menyangka akan secepat ini. Zaira hanya berharap semua berjalan dengan lancar. *Zafran tak berhenti mengucapkan asma-asma Allah untuk menenangkan hatinya yang sedang bergemuruh hebat. Hari ini, dia kan mempersunting wanita pujaannya. Di sisi lain, Zain terus berusaha untuk tetap tegar. Meskipun sulit, tapi dia harus bisa melakukannya. Zain harus berusaha tetap baik-baik saja ketika nanti menyaksikan Abangnya mempersunting wanita yang sangat dicintainya. *Dua keluarga berkumpul di dalam satu ruangan dan saling berhadapan. Tampak Zaira dan Zafran saling mencuri pandang dan sekali-sekali berusaha menetralkan degupan jantung yang terus bertalu tak ber
Saat kuputuskanBertemu orang tuamuKuyakinkan diriKaulah yang terbaik Dan saat kau memilihAku yang pantas untukmuHati ini berikrar'Tuk s'lalu menjagamu Kuyakin kaulah jawabanDi setiap pintakuWalauKu belum tahu namamu Bisikkan di sujudkuDi sepertiga malamkuUntukKehadiranmu sempurnakan imankuHaa-aa Saat kau memilihAku yang pantas untukmuHati ini berikrar'Tuk s'lalu menjagamu Kuyakin kaulah jawabanDi setiap pintakuWalauKu belum tahu namamu Bisikkan di sujudkuDi sepertiga malamkuUntukKehadiranmu sempurnakan imanku Buang cerita lamaRangkai cerita baruMenua bersama Lagu itu terus terputar di daftar lagu ponselku. Semenjak Mas Zafran menyanyikan lagu itu, aku semakin merasa bahwa Mas Zafran begitu mencintaiku. Pagi ini setelah lamaran kemarin aku beraktifitas seperti biasa. Saat ini aku sedang proses penelitian untuk ba
"Bang Zafran di mana?" tanyanya kemudian. "Mungkin dengan Mas Rayyan." Zain kemudian mendudukkan diri tepat di depanku. Sekali-sekali pandangan kami bertemu. Suasana begitu sepi, hanya detakan jam dinding yang memecah kesunyian. "Itu...." ekor matanya mengarah ke tumpukan berkas kuesionerku. "O-oh. Ini lembar kuesioner," jawabku gugup. Zain mengangguk dan lagi kami hanya terdiam. Ada rasa yang tak nyaman saat berdua dengannya di sini. Dia yang selama ini jail dan akan terus mengangguku, sekarang seperti orang asing. Bukan Zain yang selama ini kukenal. Baru kali ini aku menatap lekat wajahnya. Wajah pemilik sosok yang beberapa tahun terakhir tak berhenti untuk mengejarku. Tampan seperti kakaknya. Bulu mata lentik, kulit bersih, bibir tipis dan alis tebal. Aku bisa menelisik wajahnya ketika Zain sedang sibuk mengotak-atik ponselnya. Aku pun tak mengerti mengapa hati ini susah terb
"Zaira?" Bagai disambar petir di siang hari, aku yang saat ini ikut menemani Abang untuk bertemu dengan calon istri pilihan Abi harus menelan pil pahit. Wanita yang selama ini menjadi pengisi hatiku, telah dijodohkan dengan orang lain. Abangku sendiri. *Empat tahun yang lalu saat aku masih menjadi mahasiswa baru adalah kali pertama aku melihatnya. Saat itu aku yang tengah kebingungan mencari di mana perpustakaan tiba-tiba dibantu oleh seorang gadis cantik berpakaian syar'i. "Cari ap, Mas?" tanyanya lembut. "Perpustakaan di sebelah mana, ya, Mba?" "Oh, sebelah sana, Mas. Kebetulan aku juga mau kesana." "Aku ikut, boleh?" tanyaku ragu. "Yuk, Mas!" "Zain. Namaku Zain Abdullah." Aku mengulurkan tangan, sayangnya tak disambut. Kedua tangannya ditengkupkan di depan dada. "Aku, Zaira." Segera kutarik tangan yang sudah mengudara. Dia tetap terse
*Hari berlalu begitu cepat hingga pagi ini Abi menelfonku untuk segera pulang ke rumah. Aku penasaran sebenarnya ada apa? Tiba di rumah Abi kembali menyuruhku untuk bersiap-siap. "Mau kemana, Bi?" "Kita mau bertandang ke rumah Abi Husein." "Oh, yang calon mertua abang, ya, Bi?" "Iya, Sayang," sahut Umi. Gegas aku memuju kamar untuk membersihkan diri lalu berganti pakaian. *"Loh, Zain juga ikut?" tanya Bang Zafran saat kami tengah menunggunya. "Iya dong. Kenapa? Takut ya tuh cewek malah milih aku?" "Bukan. Ya, tumben aja mau ikut acara resmi." "Penasaran lihat calon kakak ipar," ledekku. Mas Rayyan mengulum senyumnya berusaha menahan tawa yang siap meledak. "Yuk, Abi kita berangkat! anak-anak udah siap." Kami berlima berjalan beriringan menuju mobil yang sudah terparkir di depan rumah. Setelah pintu dan gerbang kukunci , Abang melangkah masuk dibalik kemud
Hari berlalu kulalui dengan penuh luka yang menganga. Ikhlas? Bahkan memikirkan pun belum. Mengingat bagaimana aku selama ini berusaha merebut hatinya yang ternyata lebih mudah ditaklukkan oleh Abangku sendiri. Gontai aku melangkah memasuki pelantaran kampus tempat aku menuntut ilmu. Dari kejauhan kulihat Zaira bersama Khadijah tampak begitu bahagia. Bahagia kah dia saat ini? Semudah itu? Padahal aku lah yang selalu ada untuknya. Zaira, kamu bagaikan rembulan yang tidak dapat kuraih dan akulah Si pungguk yang merindukan Sang rembulan. *Hari-hari kulewati lebih berat dan lama seperti biasa. Aku sudah berusaha untuk mengikhlaskan segala takdir yang sedang berjalan. Susah, sangat susah. Tiga tahun lebih bukan waktu yang singkat untuk memendam gejolak rasa. Bunga yang kupelihara, kupupuk dengan penuh kasih sayang kini dipetik orang lain tanpa peduli akan perasaanku, tak peduli akan perjuanganku. Sepulangnya dari