Saat kuputuskan
Bertemu orang tuamuKuyakinkan diriKaulah yang terbaikDan saat kau memilih
Aku yang pantas untukmuHati ini berikrar'Tuk s'lalu menjagamuKuyakin kaulah jawaban
Di setiap pintakuWalauKu belum tahu namamuBisikkan di sujudku
Di sepertiga malamkuUntukKehadiranmu sempurnakan imankuHaa-aaSaat kau memilih
Aku yang pantas untukmuHati ini berikrar'Tuk s'lalu menjagamuKuyakin kaulah jawaban
Di setiap pintakuWalauKu belum tahu namamuBisikkan di sujudku
Di sepertiga malamkuUntukKehadiranmu sempurnakan imankuBuang cerita lama
Rangkai cerita baruMenua bersamaLagu itu terus terputar di daftar lagu ponselku. Semenjak Mas Zafran menyanyikan lagu itu, aku semakin merasa bahwa Mas Zafran begitu mencintaiku.
Pagi ini setelah lamaran kemarin aku beraktifitas seperti biasa. Saat ini aku sedang proses penelitian untuk ba
"Bang Zafran di mana?" tanyanya kemudian. "Mungkin dengan Mas Rayyan." Zain kemudian mendudukkan diri tepat di depanku. Sekali-sekali pandangan kami bertemu. Suasana begitu sepi, hanya detakan jam dinding yang memecah kesunyian. "Itu...." ekor matanya mengarah ke tumpukan berkas kuesionerku. "O-oh. Ini lembar kuesioner," jawabku gugup. Zain mengangguk dan lagi kami hanya terdiam. Ada rasa yang tak nyaman saat berdua dengannya di sini. Dia yang selama ini jail dan akan terus mengangguku, sekarang seperti orang asing. Bukan Zain yang selama ini kukenal. Baru kali ini aku menatap lekat wajahnya. Wajah pemilik sosok yang beberapa tahun terakhir tak berhenti untuk mengejarku. Tampan seperti kakaknya. Bulu mata lentik, kulit bersih, bibir tipis dan alis tebal. Aku bisa menelisik wajahnya ketika Zain sedang sibuk mengotak-atik ponselnya. Aku pun tak mengerti mengapa hati ini susah terb
"Zaira?" Bagai disambar petir di siang hari, aku yang saat ini ikut menemani Abang untuk bertemu dengan calon istri pilihan Abi harus menelan pil pahit. Wanita yang selama ini menjadi pengisi hatiku, telah dijodohkan dengan orang lain. Abangku sendiri. *Empat tahun yang lalu saat aku masih menjadi mahasiswa baru adalah kali pertama aku melihatnya. Saat itu aku yang tengah kebingungan mencari di mana perpustakaan tiba-tiba dibantu oleh seorang gadis cantik berpakaian syar'i. "Cari ap, Mas?" tanyanya lembut. "Perpustakaan di sebelah mana, ya, Mba?" "Oh, sebelah sana, Mas. Kebetulan aku juga mau kesana." "Aku ikut, boleh?" tanyaku ragu. "Yuk, Mas!" "Zain. Namaku Zain Abdullah." Aku mengulurkan tangan, sayangnya tak disambut. Kedua tangannya ditengkupkan di depan dada. "Aku, Zaira." Segera kutarik tangan yang sudah mengudara. Dia tetap terse
*Hari berlalu begitu cepat hingga pagi ini Abi menelfonku untuk segera pulang ke rumah. Aku penasaran sebenarnya ada apa? Tiba di rumah Abi kembali menyuruhku untuk bersiap-siap. "Mau kemana, Bi?" "Kita mau bertandang ke rumah Abi Husein." "Oh, yang calon mertua abang, ya, Bi?" "Iya, Sayang," sahut Umi. Gegas aku memuju kamar untuk membersihkan diri lalu berganti pakaian. *"Loh, Zain juga ikut?" tanya Bang Zafran saat kami tengah menunggunya. "Iya dong. Kenapa? Takut ya tuh cewek malah milih aku?" "Bukan. Ya, tumben aja mau ikut acara resmi." "Penasaran lihat calon kakak ipar," ledekku. Mas Rayyan mengulum senyumnya berusaha menahan tawa yang siap meledak. "Yuk, Abi kita berangkat! anak-anak udah siap." Kami berlima berjalan beriringan menuju mobil yang sudah terparkir di depan rumah. Setelah pintu dan gerbang kukunci , Abang melangkah masuk dibalik kemud
Hari berlalu kulalui dengan penuh luka yang menganga. Ikhlas? Bahkan memikirkan pun belum. Mengingat bagaimana aku selama ini berusaha merebut hatinya yang ternyata lebih mudah ditaklukkan oleh Abangku sendiri. Gontai aku melangkah memasuki pelantaran kampus tempat aku menuntut ilmu. Dari kejauhan kulihat Zaira bersama Khadijah tampak begitu bahagia. Bahagia kah dia saat ini? Semudah itu? Padahal aku lah yang selalu ada untuknya. Zaira, kamu bagaikan rembulan yang tidak dapat kuraih dan akulah Si pungguk yang merindukan Sang rembulan. *Hari-hari kulewati lebih berat dan lama seperti biasa. Aku sudah berusaha untuk mengikhlaskan segala takdir yang sedang berjalan. Susah, sangat susah. Tiga tahun lebih bukan waktu yang singkat untuk memendam gejolak rasa. Bunga yang kupelihara, kupupuk dengan penuh kasih sayang kini dipetik orang lain tanpa peduli akan perasaanku, tak peduli akan perjuanganku. Sepulangnya dari
*Prosesi lamaran telah usai, sekarang kami sudah kembali ke rumah. Tampak rumah kembali sunyi karena kerabat yang datang sudah kembali pulang. Aku yang tengah duduk diam menyendiri ditemani oleh lantunan lagu galau, tersentak saat sebuah pelukan hangat memelukku dari belakang. "Umi tahu, Sayang, kamu sangat terluka," bisiknya sambil tergugu. Aku masih terdiam menatap lurus ke depan. "Maafin, Umi, Nak. Bukannya Umi tidak memihak sama kamu, tapi perjodohan ini sudah terjadi. Umi mohon, Sayang, ikhlaskan Zaira." Air mata menetes, tanganku kembali mengepal. Rasanya saat ini pasokan oksigen di dalam paru-paruku mulai menipis. Pikiranku kalut, pandanganku nanar. Aku terisak dalam pelukan kasih sayang seorang ibu. Aku berbalik lalu memeluknya sangat erat. Menangis dan menumpahkan segala rasa yang sejak beberapa hari ini kupendam. Umi terus mengusap sayang kepalaku dan terus memelukku dengan erat
Hari pernikahan semakin dekat, masih ada beberapa yang perlu dipersiapkan. Setelah fitting baju pengantin, kali ini mereka memilih dekorasi yang akan dipasang nantinya. Mereka berdiskusi tentang tema apa yang diusung serta warna apa yang dipilih. Kecuali Zain. Dia lebih memilih duduk dan hanya menyimak tanpa ingin mau berpartisipasi. Baginya ikut berpartisipasi sama saja membuat luka baru untuknya. "Tan, Zain mau istirahat." Mereka yanh sedang serius berdiskusi kompak menoleh. "Masuk di kamar Tante aja, ya." Zain melangkah menuju ruangan yang ditunjuk. Di dalam kamar, Zain mengempaskan tubuhnya. Lengan kanannya berpindah tepat di atas keningnya. Dia berusaha untuk memejamkan mata tapi tak bisa. Sudah beberapa hari terakhir Zain tampak tak bergairah melakukan apapun. Tidur tak nyeyak, makan pun tak enak. Hingga tanpa disadari perubahan terjadi di fisiknya. Berat badannya menurun dan wajahnya tak seceria sebelumny
Di tempat yang berbeda sosok yang serupa dengan perasaan Zain saat ini. Mas Taufik. Sejak mengetahui bahwa gadis pujaannya dipinang oleh pria lain, sejak itu pula dia sering mengurung diri. Mas Taufik pun merasa kehilangan. Padahal rencananya setelah Zaira selesai kuliah, dia akan melamae gadis itu. Sayang, itu semua tinggal rencana. Mas Taufik mengembuskan napas kasar. Diraihnya ponsel yang sejak tadi berdiam manis di atas meja kerjanya. Jari jemarknya menari di atas ponsel, menarik ulur beranda di aplikasi i*******m. Matanya berfokus pada sebuah akun yang memberinya sedikit pencerahan. "Jika cinta, ungkapkan! Jangan biarkan cinta terus bersemi tanpa bertuan. Bukankah rasanya sesak jika terus dibiarkan tumbuh tanpa ada mentari yang menyinari?" Sejenak Mas Taufik terus memikirkan maksud dari kalimat itu. Apa yang harus diungkapkan? Sedangkan sang pemilik cinta itu telah bersama yang lain? Khadijah datang di saat yang
Hari pernikahan semakin dekat, segala persiapkan satu persatu sudah selesai. Tinggal mengajukan administrasi ke Kantor Urusan Agama. Hari ini aku akan mengantarkan berkas yang diperlukan bersama Zaira dan tentunya didampingi oleh Umi Aisyah. Setelah menjemput keduanya, kami mampir ke studio foto untuk mengambil gambar yang akan ditempelkan di buku nikah nantinya. Zaira begitu tampak cantik dengan gamis putih senada dengan warna khimarnya. Make up.minimalis menghiasi wajah cantiknya menambah keanggungannya. Latar biru sudah terpajang di belakang kami berdua. Dengan satu kali potret, kami telah selesai pengambilan foto untuk buku nikah. "Alhamdulillah, tinggal penyerahan berkas ke KUA," Ucap Umi saat kami menunggu proses pencetakan gambar. "Alhamdulillah, Umi. Semoga selalu diberi kelancaran," balasku menanggapi. Umi merangkul tubuh mungil Zaira dengan sayang. Pemandangan yang jarang terlihat.&nb