*
Prosesi lamaran telah usai, sekarang kami sudah kembali ke rumah. Tampak rumah kembali sunyi karena kerabat yang datang sudah kembali pulang.Aku yang tengah duduk diam menyendiri ditemani oleh lantunan lagu galau, tersentak saat sebuah pelukan hangat memelukku dari belakang.
"Umi tahu, Sayang, kamu sangat terluka," bisiknya sambil tergugu.
Aku masih terdiam menatap lurus ke depan.
"Maafin, Umi, Nak. Bukannya Umi tidak memihak sama kamu, tapi perjodohan ini sudah terjadi. Umi mohon, Sayang, ikhlaskan Zaira."
Air mata menetes, tanganku kembali mengepal. Rasanya saat ini pasokan oksigen di dalam paru-paruku mulai menipis. Pikiranku kalut, pandanganku nanar.
Aku terisak dalam pelukan kasih sayang seorang ibu. Aku berbalik lalu memeluknya sangat erat. Menangis dan menumpahkan segala rasa yang sejak beberapa hari ini kupendam.
Umi terus mengusap sayang kepalaku dan terus memelukku dengan erat
Hari pernikahan semakin dekat, masih ada beberapa yang perlu dipersiapkan. Setelah fitting baju pengantin, kali ini mereka memilih dekorasi yang akan dipasang nantinya. Mereka berdiskusi tentang tema apa yang diusung serta warna apa yang dipilih. Kecuali Zain. Dia lebih memilih duduk dan hanya menyimak tanpa ingin mau berpartisipasi. Baginya ikut berpartisipasi sama saja membuat luka baru untuknya. "Tan, Zain mau istirahat." Mereka yanh sedang serius berdiskusi kompak menoleh. "Masuk di kamar Tante aja, ya." Zain melangkah menuju ruangan yang ditunjuk. Di dalam kamar, Zain mengempaskan tubuhnya. Lengan kanannya berpindah tepat di atas keningnya. Dia berusaha untuk memejamkan mata tapi tak bisa. Sudah beberapa hari terakhir Zain tampak tak bergairah melakukan apapun. Tidur tak nyeyak, makan pun tak enak. Hingga tanpa disadari perubahan terjadi di fisiknya. Berat badannya menurun dan wajahnya tak seceria sebelumny
Di tempat yang berbeda sosok yang serupa dengan perasaan Zain saat ini. Mas Taufik. Sejak mengetahui bahwa gadis pujaannya dipinang oleh pria lain, sejak itu pula dia sering mengurung diri. Mas Taufik pun merasa kehilangan. Padahal rencananya setelah Zaira selesai kuliah, dia akan melamae gadis itu. Sayang, itu semua tinggal rencana. Mas Taufik mengembuskan napas kasar. Diraihnya ponsel yang sejak tadi berdiam manis di atas meja kerjanya. Jari jemarknya menari di atas ponsel, menarik ulur beranda di aplikasi i*******m. Matanya berfokus pada sebuah akun yang memberinya sedikit pencerahan. "Jika cinta, ungkapkan! Jangan biarkan cinta terus bersemi tanpa bertuan. Bukankah rasanya sesak jika terus dibiarkan tumbuh tanpa ada mentari yang menyinari?" Sejenak Mas Taufik terus memikirkan maksud dari kalimat itu. Apa yang harus diungkapkan? Sedangkan sang pemilik cinta itu telah bersama yang lain? Khadijah datang di saat yang
Hari pernikahan semakin dekat, segala persiapkan satu persatu sudah selesai. Tinggal mengajukan administrasi ke Kantor Urusan Agama. Hari ini aku akan mengantarkan berkas yang diperlukan bersama Zaira dan tentunya didampingi oleh Umi Aisyah. Setelah menjemput keduanya, kami mampir ke studio foto untuk mengambil gambar yang akan ditempelkan di buku nikah nantinya. Zaira begitu tampak cantik dengan gamis putih senada dengan warna khimarnya. Make up.minimalis menghiasi wajah cantiknya menambah keanggungannya. Latar biru sudah terpajang di belakang kami berdua. Dengan satu kali potret, kami telah selesai pengambilan foto untuk buku nikah. "Alhamdulillah, tinggal penyerahan berkas ke KUA," Ucap Umi saat kami menunggu proses pencetakan gambar. "Alhamdulillah, Umi. Semoga selalu diberi kelancaran," balasku menanggapi. Umi merangkul tubuh mungil Zaira dengan sayang. Pemandangan yang jarang terlihat.&nb
"Wanita? Siapa?" "Zain nggak tahu, Bang. Yang pastinya dia sedang berhadapan dengan Abi dan Umi. Tampaknya suasana lagi tegang gitu." "Oke, tunggu Abang ke sana." Aku menutup panggilan lalu menyalakan meskin mobil. Mobil melaju perlahan meninggalkan pelantaran rumah Zaira. *Dua puluh menit berlalu, aku melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Tampak di depan pintu sepasang sepatu wanita. Siapa dia? "Assalamu'alaikum." Aku mengucapkan salam sambil berlalu. Tampak di ruang tamu Abi, Umi dan Zain sedang berkumpul menghadap ke arah tamu itu. "Wa'alaikumussalam," jawabnya serentak. Tamu yang sejak tadi menungguku, menoleh ke arahku. Deg! Aku diam mematung di tempat. "Anis?" "Zafran," jawabnya sembari tersenyum. Aku melangkah mendekat ke arah mereka. "Ada apa, Nis?" tanyaku berusaha ramah. Jangan tanya bagaimana perasaanku saat ini. Setelah b
"Ujian pranikah itu akan selalu ada. Entah penyebabnya karena ketidakcocokan dalam memilih persiapan nikah, atau bahkan hadirnya masa lalu dari salah satu pasangan. Tugas kita adalah menyelesaikannya dengan kepala dingin." Aku tersenyum kala membaca i***a story yang dibuat oleh salah satu akun pranikah di aplikasi i***agram. Banyak hal yang bisa aku jadikan pelajaran di sana sebagai bekal persiapan pranikah. Ujuan pranikah yang kami lewati sepertinya tidak ada. Aku dan Mas Zafran tidak pernah terjadi kesalahpahaman di antara kami. Persiapan nikah bukan hanya melibatkan kami berdua tapi.juga ke dua orang tua kami. Untuk masa lalu, rasanya juga bukan. Aku dan Mas Zafran tidak punya seseorang dari masa lalu. Saat kami masih mejalani proses ta'aruf dulu, aku sempat bertanya-tanya pada Mas Rayyan tanpa sepengetahuan dari Mas Zafran. Aku bertanya soal bagaimana sosok dari Mas Zafran termasuk masa lalunya. "Mas Rayyan, aku mau nanya, boleh?" tanyaku saat so
"Zafran pernah menyentuhku, Zaira."Tangisnya kembali pecah bersamaan dengan hancurnya hatiku mendengar pengakuannya.Aku sungguh tak percaya Mas Zafran akan sehina itu. Tubuhku melemah seketika, oksigen di dalam paru-paru seolah mulai menipis. Sakit, sesak dan entah kata-kata apalagi yang menggambarkan perasaanku saat ini. Aku hancur. Terluka. "Makanya aku datang ke sini, untuk memberitahumu, Zaira. Kamu adalah perempuan, pasti akan tahu perasaanku saat ini." Aku masih terdiam mendengar setiap ucapan wanita ini. Rasanya aku tak sanggup lagi untuk menerima kenyataan yang begitu pahit ini. "Zaira, aku mohon, lepaskan Zafran. Biar dia mempertanggungjawabkan perbuatannya padaku, Zaira. Dia.... Harus menikahiku." Aku belum merespon permohonannya. Rasanya ini sangat menggangguku. Begitu sangat menyakitkan untukku. Annisa kini berada di depanku kemudian berlutut seraya terus menangis. "Aku
"Aku ingin ketemu, Mas, penting!" Sebuah pesan masuk dari Zaira yang meninggalkan begitu tanda tanya besar. Selama ini, baru kali ini dia mengajakku untuk bertemu. Tanpa mengulur waktu, aku menghubunginya. Panggilan pertama terlewat begitu saja, hingga panggilan ke tiga barulah seseorang dari sana mengangkatnya. "Assalamu'alaikum," sapa Zaira di seberang. "Wa'alaikumussalam, Zaira." "Ada apa, Mas?" tanyanya. "Mas ingin tahu, Dek. Kita ketemuannya dimana?" "Di kantor Mas saja. Zaira harap, Rayyan juga ikut, Mas." "Rayyan?" "Iya, Mas. Bisa ya, Mas?" "Baiklah, Dek." Aku memutuskan sambungan telpon tanpa tahu apa sebenarnya terjadi. Pintu diketuk dari luar, sosok yang tengah dibahas Zaira muncul di balik pintu. "Rayyan, Zaira katanya mau ketemu." Rayyan mendudukkan dirinya di atas sofa dengan membawa dua cangkir teh. "Ya udah,
"Kita pernah melakukan dosa besar, Zafran!" Aku terbelakak mendengar penuturannya. Rayyan dan beberapa orang yang kebetulan ada di lantai dua ini menoleh ke arahku. "Dosa apa?" Sungguh kali ini dia keterlaluan. Aku tak tahu drama apa yang sedang dipermainkannya. "Lihat, Zaira! Bahkan untuk mengakuinya pun enggan. Padahal dia yang memulai. Dia yang....." Annisa menangis tergugu dengan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Anis!" bentakku. "Benar kan? Kita sudah melakukannya, Zafran!" "Ini fitnah!" balasku tak kalah sengit. Aku benar-benar merasa dipermalukan. "Waktu itu kami ada kegiatan kampus sampai malam hingga kami harus begadang. Aku yang sudah lelah, tertidur di kursi dengan posisi masih duduk. Dan Zafran...." Annisa kembali menangis. Tangisan yang kembali mengundang pasang mata serta bisikan-bisikan. "Zafran menodaiku!" pekik Annisa sambil menat