"Wanita? Siapa?"
"Zain nggak tahu, Bang. Yang pastinya dia sedang berhadapan dengan Abi dan Umi. Tampaknya suasana lagi tegang gitu."
"Oke, tunggu Abang ke sana."
Aku menutup panggilan lalu menyalakan meskin mobil. Mobil melaju perlahan meninggalkan pelantaran rumah Zaira.
*
Dua puluh menit berlalu, aku melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Tampak di depan pintu sepasang sepatu wanita. Siapa dia?"Assalamu'alaikum." Aku mengucapkan salam sambil berlalu. Tampak di ruang tamu Abi, Umi dan Zain sedang berkumpul menghadap ke arah tamu itu.
"Wa'alaikumussalam," jawabnya serentak.
Tamu yang sejak tadi menungguku, menoleh ke arahku.
Deg! Aku diam mematung di tempat.
"Anis?"
"Zafran," jawabnya sembari tersenyum.
Aku melangkah mendekat ke arah mereka.
"Ada apa, Nis?" tanyaku berusaha ramah.
Jangan tanya bagaimana perasaanku saat ini. Setelah b
"Ujian pranikah itu akan selalu ada. Entah penyebabnya karena ketidakcocokan dalam memilih persiapan nikah, atau bahkan hadirnya masa lalu dari salah satu pasangan. Tugas kita adalah menyelesaikannya dengan kepala dingin." Aku tersenyum kala membaca i***a story yang dibuat oleh salah satu akun pranikah di aplikasi i***agram. Banyak hal yang bisa aku jadikan pelajaran di sana sebagai bekal persiapan pranikah. Ujuan pranikah yang kami lewati sepertinya tidak ada. Aku dan Mas Zafran tidak pernah terjadi kesalahpahaman di antara kami. Persiapan nikah bukan hanya melibatkan kami berdua tapi.juga ke dua orang tua kami. Untuk masa lalu, rasanya juga bukan. Aku dan Mas Zafran tidak punya seseorang dari masa lalu. Saat kami masih mejalani proses ta'aruf dulu, aku sempat bertanya-tanya pada Mas Rayyan tanpa sepengetahuan dari Mas Zafran. Aku bertanya soal bagaimana sosok dari Mas Zafran termasuk masa lalunya. "Mas Rayyan, aku mau nanya, boleh?" tanyaku saat so
"Zafran pernah menyentuhku, Zaira."Tangisnya kembali pecah bersamaan dengan hancurnya hatiku mendengar pengakuannya.Aku sungguh tak percaya Mas Zafran akan sehina itu. Tubuhku melemah seketika, oksigen di dalam paru-paru seolah mulai menipis. Sakit, sesak dan entah kata-kata apalagi yang menggambarkan perasaanku saat ini. Aku hancur. Terluka. "Makanya aku datang ke sini, untuk memberitahumu, Zaira. Kamu adalah perempuan, pasti akan tahu perasaanku saat ini." Aku masih terdiam mendengar setiap ucapan wanita ini. Rasanya aku tak sanggup lagi untuk menerima kenyataan yang begitu pahit ini. "Zaira, aku mohon, lepaskan Zafran. Biar dia mempertanggungjawabkan perbuatannya padaku, Zaira. Dia.... Harus menikahiku." Aku belum merespon permohonannya. Rasanya ini sangat menggangguku. Begitu sangat menyakitkan untukku. Annisa kini berada di depanku kemudian berlutut seraya terus menangis. "Aku
"Aku ingin ketemu, Mas, penting!" Sebuah pesan masuk dari Zaira yang meninggalkan begitu tanda tanya besar. Selama ini, baru kali ini dia mengajakku untuk bertemu. Tanpa mengulur waktu, aku menghubunginya. Panggilan pertama terlewat begitu saja, hingga panggilan ke tiga barulah seseorang dari sana mengangkatnya. "Assalamu'alaikum," sapa Zaira di seberang. "Wa'alaikumussalam, Zaira." "Ada apa, Mas?" tanyanya. "Mas ingin tahu, Dek. Kita ketemuannya dimana?" "Di kantor Mas saja. Zaira harap, Rayyan juga ikut, Mas." "Rayyan?" "Iya, Mas. Bisa ya, Mas?" "Baiklah, Dek." Aku memutuskan sambungan telpon tanpa tahu apa sebenarnya terjadi. Pintu diketuk dari luar, sosok yang tengah dibahas Zaira muncul di balik pintu. "Rayyan, Zaira katanya mau ketemu." Rayyan mendudukkan dirinya di atas sofa dengan membawa dua cangkir teh. "Ya udah,
"Kita pernah melakukan dosa besar, Zafran!" Aku terbelakak mendengar penuturannya. Rayyan dan beberapa orang yang kebetulan ada di lantai dua ini menoleh ke arahku. "Dosa apa?" Sungguh kali ini dia keterlaluan. Aku tak tahu drama apa yang sedang dipermainkannya. "Lihat, Zaira! Bahkan untuk mengakuinya pun enggan. Padahal dia yang memulai. Dia yang....." Annisa menangis tergugu dengan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Anis!" bentakku. "Benar kan? Kita sudah melakukannya, Zafran!" "Ini fitnah!" balasku tak kalah sengit. Aku benar-benar merasa dipermalukan. "Waktu itu kami ada kegiatan kampus sampai malam hingga kami harus begadang. Aku yang sudah lelah, tertidur di kursi dengan posisi masih duduk. Dan Zafran...." Annisa kembali menangis. Tangisan yang kembali mengundang pasang mata serta bisikan-bisikan. "Zafran menodaiku!" pekik Annisa sambil menat
"Selamat atas pertunangan Bang Zafran dan pasangan otewe halalnya." tulis salah satu teman kampusku dulu Rayyan di grup w******p alumni fakultas kami. Sudah banyak komentar yang memberikan ucapan selamat dan do'a untuk mereka berdua. Ada pula yang memuji kecantikan calon istrinya. Aku yang sedang tersulut emosi dan dibakar api cemburu pun ikut berkomentar meskipin masih dengan santun. "Wah, masyaa Allah, kapan nih acaranya? Kok aku nggak tahu, ya? Aku nggak diundang?" "Kamu kan baru aja gabung disini, Nis. Ya, wajarlah kalau kamu nggak tahu," balas Bella. "Wah, ada yang cemburu, nih, Gaes!" celetuk Anya. "Ih, do'ain atuh, mantan terindahnya," balas Angga. Dan masih banyak lagi cibiran dari mereka yang membuat hati ini semakin tersulut api cemburu. Aku menutup aplimasi hijau itu dengan perasaan yang amat terluka. Dia Zafran Abdullah, sosok yang kukagumi semasa menjadi mahasisw
"Tapi, selama ini setahu kami Zafran tidak pernah memiliki kekasih," balas Uminya. "Aku sudah hadir di sini, Umi. Aku lah wanita yang beberapa tahun silam ingin dikenalkan ke Umi dan Abi." Abi langsung terdiam, sedangkan Umi matanya sudah berkaca-kaca. Aku tahu mereka tidak menyangka semua ini. "Zain, hubungi abangmu, suruh cepat balik ke sini!" Pria berwajah tampan yang kuyakini itu adalah adik Zafran mulai menghubungi abangnya. Aku tersenyum puas dalam hati. Hingga akhirnya Zafran datang dan malah mengelak semua. Hatiku sangat hancur kala mengetahui orang yang aku cinta selama ini telah mencintai orang lain. Padahal aku rela menjadi seorang janda agar aku bisa menikah dengannya. Apa yang kudapat tidak sesuai dengan harapanku. Bukan Annisa namanya jika cukup berhenti sampai di sini, aku lantas mencari tahu tentang tunangan Zafran melalui beberapa dari teman yang pernah hadir di prosesi lamaran itu. Sete
Sebuah taman berada tak jauh dari kediaman rumah Abi Husein dan Umi Aisyah tampak begitu indah setelah disulap sedemikian rupa. Taman ini dijadikan tempat dilangsungkannya akad nikah. Dengan tema berkebun dengan hiasan bunga-bunga berwarna putih dan pink. Beberapa kursi dengan warna putih sudah terisi oleh beberapa tamu. Tempat untuk ijab qabul pun sudah diisi oleh penghulu, pengantin pria dan beberapa saksi. Tante Sofi dan timnya tampak sibuk berlalu lalang di sekitaran taman untuk mengatur jalannya pernikahan keponakannya agar berjalan dengan baik. Hari ini Zafran memakai jubah berwarna putih dengan peci warna senada. Tampak raut gugup yang luar biasa dari Zafran. Momen sakral yang sudah lama dinantikan olehnya. Momen dimana dia akan mengucapkan sumpahnya bukan hanya di depan penghulu, para tamu dan keluarga Zaira, tetapi juga di hadapan Allah dan disaksikan oleh malaikat. Saat itu Zafran akan mengguncang Arsy'. Sebuah
"Apa sih, nyikut mulu. Malu ya, ketahuan?" goda Rayyan. Khadijah dan Zaira hanya bisa tertawa. Rayyan lantas naik ke atas panggung menyampaikan sesuatu yang membuat kedua pengantin terperangah. "Para hadirin karena ini hari spesial, kedua pengantin baru kita akan menyanyikan sebuah lagu untuk kita semua di sini. Kita sambut, Zafran dan Zaira." Zaira dan Zafran saling berpandangan. "Bukan ide, Mas, Dek." Rayyan menarik sepasang pengantin baru yang disambut riuh dari para tamu yang hadir. "Kita duet aja, ya?" tanya Zafran. "Adek nggak bisa nyanyi, Mas." "Kamu pasti bisa." Setelah memilih lagu, tatapan mereka kembali bertemu. Alunan musik mengiringi mereka. Tangan mereka terus saling menggenggam memberikan kekuatan satu sama lain. Mentari pagi tersenyum tenangkan hatiSebuah kisah akhirnya berakhir indahDoa rinduku terjawab karena hadirmuKita bersama mela