"Selamat atas pertunangan Bang Zafran dan pasangan otewe halalnya." tulis salah satu teman kampusku dulu Rayyan di grup w******p alumni fakultas kami.
Sudah banyak komentar yang memberikan ucapan selamat dan do'a untuk mereka berdua. Ada pula yang memuji kecantikan calon istrinya.
Aku yang sedang tersulut emosi dan dibakar api cemburu pun ikut berkomentar meskipin masih dengan santun.
"Wah, masyaa Allah, kapan nih acaranya? Kok aku nggak tahu, ya? Aku nggak diundang?"
"Kamu kan baru aja gabung disini, Nis. Ya, wajarlah kalau kamu nggak tahu," balas Bella.
"Wah, ada yang cemburu, nih, Gaes!" celetuk Anya.
"Ih, do'ain atuh, mantan terindahnya," balas Angga.
Dan masih banyak lagi cibiran dari mereka yang membuat hati ini semakin tersulut api cemburu.
Aku menutup aplimasi hijau itu dengan perasaan yang amat terluka.
Dia Zafran Abdullah, sosok yang kukagumi semasa menjadi mahasisw
"Tapi, selama ini setahu kami Zafran tidak pernah memiliki kekasih," balas Uminya. "Aku sudah hadir di sini, Umi. Aku lah wanita yang beberapa tahun silam ingin dikenalkan ke Umi dan Abi." Abi langsung terdiam, sedangkan Umi matanya sudah berkaca-kaca. Aku tahu mereka tidak menyangka semua ini. "Zain, hubungi abangmu, suruh cepat balik ke sini!" Pria berwajah tampan yang kuyakini itu adalah adik Zafran mulai menghubungi abangnya. Aku tersenyum puas dalam hati. Hingga akhirnya Zafran datang dan malah mengelak semua. Hatiku sangat hancur kala mengetahui orang yang aku cinta selama ini telah mencintai orang lain. Padahal aku rela menjadi seorang janda agar aku bisa menikah dengannya. Apa yang kudapat tidak sesuai dengan harapanku. Bukan Annisa namanya jika cukup berhenti sampai di sini, aku lantas mencari tahu tentang tunangan Zafran melalui beberapa dari teman yang pernah hadir di prosesi lamaran itu. Sete
Sebuah taman berada tak jauh dari kediaman rumah Abi Husein dan Umi Aisyah tampak begitu indah setelah disulap sedemikian rupa. Taman ini dijadikan tempat dilangsungkannya akad nikah. Dengan tema berkebun dengan hiasan bunga-bunga berwarna putih dan pink. Beberapa kursi dengan warna putih sudah terisi oleh beberapa tamu. Tempat untuk ijab qabul pun sudah diisi oleh penghulu, pengantin pria dan beberapa saksi. Tante Sofi dan timnya tampak sibuk berlalu lalang di sekitaran taman untuk mengatur jalannya pernikahan keponakannya agar berjalan dengan baik. Hari ini Zafran memakai jubah berwarna putih dengan peci warna senada. Tampak raut gugup yang luar biasa dari Zafran. Momen sakral yang sudah lama dinantikan olehnya. Momen dimana dia akan mengucapkan sumpahnya bukan hanya di depan penghulu, para tamu dan keluarga Zaira, tetapi juga di hadapan Allah dan disaksikan oleh malaikat. Saat itu Zafran akan mengguncang Arsy'. Sebuah
"Apa sih, nyikut mulu. Malu ya, ketahuan?" goda Rayyan. Khadijah dan Zaira hanya bisa tertawa. Rayyan lantas naik ke atas panggung menyampaikan sesuatu yang membuat kedua pengantin terperangah. "Para hadirin karena ini hari spesial, kedua pengantin baru kita akan menyanyikan sebuah lagu untuk kita semua di sini. Kita sambut, Zafran dan Zaira." Zaira dan Zafran saling berpandangan. "Bukan ide, Mas, Dek." Rayyan menarik sepasang pengantin baru yang disambut riuh dari para tamu yang hadir. "Kita duet aja, ya?" tanya Zafran. "Adek nggak bisa nyanyi, Mas." "Kamu pasti bisa." Setelah memilih lagu, tatapan mereka kembali bertemu. Alunan musik mengiringi mereka. Tangan mereka terus saling menggenggam memberikan kekuatan satu sama lain. Mentari pagi tersenyum tenangkan hatiSebuah kisah akhirnya berakhir indahDoa rinduku terjawab karena hadirmuKita bersama mela
Adzan subuh berkumandang, setelah menyelesaikan kegiatan mengaji bersama, Mas Zafran berlalu ke luar kamar untuk mengambil wudhu. Gegas aku menyiapkan sajadah yang akan dipakainya. Mas Zafran kemudian meraih sajadah yang telah kusiapkan. "Dek, Mas ke mesjid dulu ya," Aku mengangguk sembari tersenyum kemudian mengantarnya ke luar. Di luar kamar, tampak Abi dan Zain tengah menunggu Mas Zafran. Ekor mataku menangkap sosok Zain yang menoleh sebentar padaku kemudian berlalu mengikuti Abi dan Mas Zafran. Setelah selesai melaksanakan shalat subuh, aku membersihkan kamar tidur kami kemudian beranjak ke dapur untuk membantu Umi menyiapkan sarapan. "Ada yang bisa Zaira bantu, Umi?" Umi yang sedang sibuk memotong sayuran menoleh sebentar. "Boleh, Sayang. Tolong Umi memasak nasi dulu ya. Dispenser berasnya ada di dekat lemari es." Aku mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjukkan Umi. Gegas aku mengam
Selepas makan malam seperti kebiasaan sebelumya kami akan berkumpul di ruang keluarga membahas tentang hari ini, esok dan nanti. Malam ini Mas Zafran rencananya akan menyampaikan rencana kami untuk hidup mandiri. "Abi, Umi, Zafran mau bicara." Ami dan Umi yang sejak tadi sibuk membahas tentang usaha yang dirintisnya mulai fokus memperhatikan kami. "Abi, Umi, Zafran dan Zaira minta ijin ke Abi dan Umi, kami mau pindah ke rumah kami besok." Abi dan Umi saling berpandangan. Zain yang sejak tadi sibuk dengan laptopnya juga menatap kami. "Kok, cepat?" tanya Abi. "Zaira nggak nyaman di sini?" tanya Umi. "Bukan Abi, Umi. Justru Zafran yang minta ke Zaira." "Umi, biarkan mereka hidup mandiri. Umi sama Abi juga kan langsung mandiri." Umi berdiri lalu memelukku. "Umi percaya sama kamu untuk tetal menyayangi Zafran, Nak." Aku mengerti bagaimana beratnya hati Umi melepaskan kami. Tampak dar
Adzan subuh berkumandang, setelah menyelesaikan kegiatan mengaji bersama, aku berlalu ke luar kamar untuk mengambil wudhu. Di dalam kamar mandi, aku masih tak menyangka, kini aku benar-benar telah menjadi suaminya. Dari balik pintu, aku melihat bagaimana Zairaku dengan cekatan membersihkan tempat tidur kami. Wajah cantiknya yang selalu membuatku jatuh cinta setiap saat. Aku kemudian meraih sajadah yang telah Zaira siapkan. "Dek, Mas ke mesjid dulu ya," pamitku lalu keluar yang diikuti olehny. Di luar kamar, tampak Abi dan Zain tengah menungguku. Di perjalanan tidak seperti biasanya, Zain lebih banyak diam. Apa karena cemburu? Hingga.kami pulang dari shalat subuh, Zain tak.banyak bicara, hanya menjawab seadanya. Pintu kuketuk, tak lama menampakkan sosok bidadariku. "Assalamu'alaikum," ucap mereka bersamaan. "Wa'alaikumussalam." Zaira meraih tangan Abi dan tanganku, menciu
"Bersejarah kenapa, Mas?" "Iya, ini kemeja yang mas pakai waktu kali pertama ketemu dengan pujaan hati mas," jawabku sembari tersenyum. Raut wajah Zaira tiba-tiba berubag, senyumnya memudar seketika bahkan Zaira membelakangiku. "Sayang, bantuin Mas lipat lengan baju dong." Zaira mendekatiku sembari membantunya melipat lengan baju. Tak ada sepatah katapun darinya. Wajahnya tampak cemberut. Aku yang menyadari perubahannya perlahan memengang dagunya sedikit terangkat. Tatapan kami lalu bertemu. "Kenapa, Dek?" Zaira diam. Air matanya luruh begitu saja. Akundengan penuh sayang membersihkan jejak air mata itu. "Ada apa, Sayang? Kok nangis?" "Adek cemburu." "Sama siapa?" "Pujaan hati Mas. Katanya tadi ini baju bersejarah, karena Mas ketemu dia pas pakai baju ini. Adek cemburu." Kutahan tawa yang siap menyembur itu. Aku membawanya ke dalam pelukan. Tanganku mengelus lembut kepalanya. Zaira malah
Hari-hari bahagia kita lalui bersama sebagai sepaasang suami istri. Aku melakukan peranku sebagai istri dengan terus membaktikan diri ini untuknya. Aku selalu berusaha agar suamiku tetap bersamaku, nyaman denganku. Satu minggu setelah pernikahan aku menjalani sidang akhir dengan hasil memuaskan. Itu semua berkat dorongan dan do'a dari keluarga terutama suamiku. Suamiku yang selalu setia mendampingiku mengerjakan tugas akhir. Menemaniku begadang dan selalu siaga memijit badanku saat aku merasa lelah. Menjadi penyemangatku saat aku mulai menyerah. "Alhamdulillah, Sayangku, atas keberhasilannya hingga akhir. Semoga gelar barunya diberi keberkahan oleh Allah ya, Sayang," ucapnya sambil memberikanku buket bunga yang begitu besar. Hari ini aku diwisuda dan lulus dengan predikat cumlaude. Rasa syukur tiada terkira dan terus terucap dari lisanku. "Aamiin, Mas. Makasih, ya, Mas. Ini semua berkat do'a dan dukunganmu, Sayang."