"Apa sih, nyikut mulu. Malu ya, ketahuan?" goda Rayyan. Khadijah dan Zaira hanya bisa tertawa.
Rayyan lantas naik ke atas panggung menyampaikan sesuatu yang membuat kedua pengantin terperangah.
"Para hadirin karena ini hari spesial, kedua pengantin baru kita akan menyanyikan sebuah lagu untuk kita semua di sini. Kita sambut, Zafran dan Zaira."
Zaira dan Zafran saling berpandangan.
"Bukan ide, Mas, Dek."
Rayyan menarik sepasang pengantin baru yang disambut riuh dari para tamu yang hadir.
"Kita duet aja, ya?" tanya Zafran.
"Adek nggak bisa nyanyi, Mas."
"Kamu pasti bisa."
Setelah memilih lagu, tatapan mereka kembali bertemu.
Alunan musik mengiringi mereka. Tangan mereka terus saling menggenggam memberikan kekuatan satu sama lain.
Mentari pagi tersenyum tenangkan hatiSebuah kisah akhirnya berakhir indahDoa rinduku terjawab karena hadirmuKita bersama melaAdzan subuh berkumandang, setelah menyelesaikan kegiatan mengaji bersama, Mas Zafran berlalu ke luar kamar untuk mengambil wudhu. Gegas aku menyiapkan sajadah yang akan dipakainya. Mas Zafran kemudian meraih sajadah yang telah kusiapkan. "Dek, Mas ke mesjid dulu ya," Aku mengangguk sembari tersenyum kemudian mengantarnya ke luar. Di luar kamar, tampak Abi dan Zain tengah menunggu Mas Zafran. Ekor mataku menangkap sosok Zain yang menoleh sebentar padaku kemudian berlalu mengikuti Abi dan Mas Zafran. Setelah selesai melaksanakan shalat subuh, aku membersihkan kamar tidur kami kemudian beranjak ke dapur untuk membantu Umi menyiapkan sarapan. "Ada yang bisa Zaira bantu, Umi?" Umi yang sedang sibuk memotong sayuran menoleh sebentar. "Boleh, Sayang. Tolong Umi memasak nasi dulu ya. Dispenser berasnya ada di dekat lemari es." Aku mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjukkan Umi. Gegas aku mengam
Selepas makan malam seperti kebiasaan sebelumya kami akan berkumpul di ruang keluarga membahas tentang hari ini, esok dan nanti. Malam ini Mas Zafran rencananya akan menyampaikan rencana kami untuk hidup mandiri. "Abi, Umi, Zafran mau bicara." Ami dan Umi yang sejak tadi sibuk membahas tentang usaha yang dirintisnya mulai fokus memperhatikan kami. "Abi, Umi, Zafran dan Zaira minta ijin ke Abi dan Umi, kami mau pindah ke rumah kami besok." Abi dan Umi saling berpandangan. Zain yang sejak tadi sibuk dengan laptopnya juga menatap kami. "Kok, cepat?" tanya Abi. "Zaira nggak nyaman di sini?" tanya Umi. "Bukan Abi, Umi. Justru Zafran yang minta ke Zaira." "Umi, biarkan mereka hidup mandiri. Umi sama Abi juga kan langsung mandiri." Umi berdiri lalu memelukku. "Umi percaya sama kamu untuk tetal menyayangi Zafran, Nak." Aku mengerti bagaimana beratnya hati Umi melepaskan kami. Tampak dar
Adzan subuh berkumandang, setelah menyelesaikan kegiatan mengaji bersama, aku berlalu ke luar kamar untuk mengambil wudhu. Di dalam kamar mandi, aku masih tak menyangka, kini aku benar-benar telah menjadi suaminya. Dari balik pintu, aku melihat bagaimana Zairaku dengan cekatan membersihkan tempat tidur kami. Wajah cantiknya yang selalu membuatku jatuh cinta setiap saat. Aku kemudian meraih sajadah yang telah Zaira siapkan. "Dek, Mas ke mesjid dulu ya," pamitku lalu keluar yang diikuti olehny. Di luar kamar, tampak Abi dan Zain tengah menungguku. Di perjalanan tidak seperti biasanya, Zain lebih banyak diam. Apa karena cemburu? Hingga.kami pulang dari shalat subuh, Zain tak.banyak bicara, hanya menjawab seadanya. Pintu kuketuk, tak lama menampakkan sosok bidadariku. "Assalamu'alaikum," ucap mereka bersamaan. "Wa'alaikumussalam." Zaira meraih tangan Abi dan tanganku, menciu
"Bersejarah kenapa, Mas?" "Iya, ini kemeja yang mas pakai waktu kali pertama ketemu dengan pujaan hati mas," jawabku sembari tersenyum. Raut wajah Zaira tiba-tiba berubag, senyumnya memudar seketika bahkan Zaira membelakangiku. "Sayang, bantuin Mas lipat lengan baju dong." Zaira mendekatiku sembari membantunya melipat lengan baju. Tak ada sepatah katapun darinya. Wajahnya tampak cemberut. Aku yang menyadari perubahannya perlahan memengang dagunya sedikit terangkat. Tatapan kami lalu bertemu. "Kenapa, Dek?" Zaira diam. Air matanya luruh begitu saja. Akundengan penuh sayang membersihkan jejak air mata itu. "Ada apa, Sayang? Kok nangis?" "Adek cemburu." "Sama siapa?" "Pujaan hati Mas. Katanya tadi ini baju bersejarah, karena Mas ketemu dia pas pakai baju ini. Adek cemburu." Kutahan tawa yang siap menyembur itu. Aku membawanya ke dalam pelukan. Tanganku mengelus lembut kepalanya. Zaira malah
Hari-hari bahagia kita lalui bersama sebagai sepaasang suami istri. Aku melakukan peranku sebagai istri dengan terus membaktikan diri ini untuknya. Aku selalu berusaha agar suamiku tetap bersamaku, nyaman denganku. Satu minggu setelah pernikahan aku menjalani sidang akhir dengan hasil memuaskan. Itu semua berkat dorongan dan do'a dari keluarga terutama suamiku. Suamiku yang selalu setia mendampingiku mengerjakan tugas akhir. Menemaniku begadang dan selalu siaga memijit badanku saat aku merasa lelah. Menjadi penyemangatku saat aku mulai menyerah. "Alhamdulillah, Sayangku, atas keberhasilannya hingga akhir. Semoga gelar barunya diberi keberkahan oleh Allah ya, Sayang," ucapnya sambil memberikanku buket bunga yang begitu besar. Hari ini aku diwisuda dan lulus dengan predikat cumlaude. Rasa syukur tiada terkira dan terus terucap dari lisanku. "Aamiin, Mas. Makasih, ya, Mas. Ini semua berkat do'a dan dukunganmu, Sayang."
"Aku bakal melamar Khadijah minggu depan," ucapnya dengan antusias sambil duduk di atas sofa, menyenderkan badannya ke kepala sofa. "Alhandulillah," ucapku bersamaan dengan Mas Zafran. "Akhirnya anak orang nggak digantungin lama juga." Mas Rayyan mendelik. "Kita beda lah, kamu kaya dari sono, punya usaha sendiri. Lah aku? Orang dari keluarga sederhana, dan bersyukur malah kerja sama kamu." "Ah, kamu biasa aja! Keluarga sederhana gimana? Kamu aja yang nggak mau nurut sama orang tua buat kerja di perusahaannya." "Abisnya, aku nggak mau langsung punya jabatan tinggi. Aku maunya merangkak dari bawah. Biar punya pengalaman dulu." "Masyaa Allah keren, Mas." "Datang ya, kalian," ucapnya seraya berlalu. *Tak terasa satu tahun lebih berlalu, kini kami hadir di acara tujuh bulanan Khadijah. Aku dan Mas Zafran duduk di bagian depan berbaur dengan yang lain. Ada rasa sedih sekaligus iri dari da
“Mas, adek ingin dimadu.” Bagai disambar petir di siang bolong, aku tersentak kaget mendengar permintaan istriku. Aku menatap lekat matanya yang mulai berembun. Wajahnya tertunduk saat aku mengembuskan napas kasar. Bagaimana mungkin aku melakukannya? Sama saja aku telah menyakiti orang yang sangat aku cintai. Aku pun juga tidak mungkin mengingkari janji suci kami. “Dek, ada apa?” tanyaku lembut berusaha meredam hati yang bergemuruh, menahan sesak di dada. Dia hanya bisa terdiam. Menangis sesenggukan. Kuraih tubuh mungilnya lalu mendekapnya dengan penuh sayang. Berkali-kali kuhadiahi kecupan lembut di ubun-ubunnya yang tertutup khimar. Pelukannya begitu erat, kepalanya ia benamkan di dada bidangku. Terdengar isak tangis yang begitu menyesakkan dada. Dia Zaira Khazanah. Perempuan cerdas, penyayang, dan berhati mulia. Sesuai namanya, bagiku dia adalah bunga yang sangat berharga. Dialah satu-satu
Hari ini dilalui terasa berat. Senyum yang selama ini Zaira tampilkan sudah jarang terlihat digantikan oleh wajah mendungnya. Aku tahu ini berat baginya, karena selama lima tahun pernikahan kami, sudah berapa puluh test pack dengan hasil negatif. Giliran kedua mertuaku yang berkunjung ke rumah, memberikan dukungan dan petuah-petuah untuk kami, terkhusus Zaira. "Ada apa, Nak?" tanya Umi lembut. Zaira justru hanya terdiam. "Zaira selalu merasa gagal menjadi istriku, Umi. Belum lengkap rasanya di pernikahan kami jika belum dikaruniai anak. Itu katanya." Abi menarik napas sejenak. "Zaira, Abi mau bertanya dan kamu jawab yang jujur, ya, Nak?" Zaira mengangguk lemah. "Kamu sangat menkhawatirkan soal keturunan?" Zaira mengangguk. "Kenapa? Bukankah Rejeki, jodoh, hidup dan mati kita ada di tangan Allah?" "Zaira belum sempurna menjadi seorang istri, Abi." Aku terdiam membiarkan Zaira mengeluarkan uneg-unegnya