Tiga tahun berlalu, semenjak kepergian Zain suasana rumah Abi Abdullah semakin sepi. Sekali-sekali Zafran datang menjenguk membawa istri dan kedua bayi kembarnya.
Zain yang bertugas tak seperti biasanya hanya pulang beberapa kali dalam setahun. Menjelajahi pulau satu ke pulau lainnya yang sulit diakses. Petualangannya bersama Arumi perlahan menumbuhkan rasa yang tak biasanya. Hingga akhirnya hari ini Zain resmi melamar Arumi sebagai pendamping hidupnya.
Siapa yang akan menyangka, keduanya sama-sama pernah ditinggalkan oleh orang yang sangat dicintainya. Memiliki kisah cinta yang tak bisa terwujud lalu memilih ikhlas melepaskan meskipun sakit begitu dalam. Akhirnya, mereka dipertemukan.
Hari ini secara resmi Zain mempersunting Arumi untuk dijadikan sebagai teman hidup. Perihal rasa yang pernah mengakar, akhirnya bisa juga hilang seiring berjalannya waktu.
Arumi tampil begitu anggun dengan balutan kebaya syar'i berwarna peach s
Senin pagi seperti biasa aktifitas padat dimulai. Jalanan Ibu Kota akan dipenuhi oleh kendaraan yang lalu lalang. Saat fajar datang menyapa, kebanyakan dari para pengais rejeki akan memulai aktifitasnya. Sama seperti diriku yang memilih berangkat setelah shalat subuh kutunaikan agar aku bisa menghirup udara segar di pagi hari, juga menghindari macet yang menjadi ikon kota ini. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat puluh lima menit, aku tiba di pelantaran sebuah bangunan tempatku mengais rejeki. Bangunan tiga lantai berdiri tegak atas hasil keringat sendiri. Suasananya masih sepi. Tentu saja. Aku lebih suka datang lebih awal agar aku bisa berehat sejenak sebelum memulai aktifitasku. Menghambakan kepada Sang Pemilik diri ini untuk memohon keberkahan atas segala usahaku hari ini.
Langkahku terus menyusuri jalanan Ibu Kota. Dering ponsel tak berhenti sejak tadi. Ini salahku. Aku terlalu fokus mengejar deadline tugas kuliah sampai lupa kalau hari ini ada sesi sharing dengan seorang ustaz muda yang sedang hangat diperbincangkan. Jujur, aku belum terlalu mengenalnya. Mas Taufik hanya menyebutkan namanya. Ustaz Zafran Abdullah. Ustaz muda berusia dua puluh delapan tahun. Dering ponsel kembali terdengar. Gegas aku mengangkatnya sebelum Mas Taufik berceloteh. "Assalamu'alaikum, Mas. Aku udah di depan, Mas." Langkah kupercepat menaiki tangga hingga menampakkan Khadijah yang tengah mempersiapkan semuanya. "Assalamu'alaikum," sapaku ngos-ngosan. "W*'alaikumussalam." "Mas Taufik mana?" tanyaku sambil celingukan. "Ada kok di dalam," ucapannya sambil meng
Seminggu dari sejak pertemuan itu, kami kembali dipertemukan dalam acara yang sama. Namun, konsep kali ini berbeda. Kami tak harus lagi berada di dalam ruangan persegi. Konsep kali ini adalah tema outdoor. Di mana tim Muslimah Berbagi Inspirasi mendatangi usahaku dan meliput kegiatan kami di sana. Tentunya aku lah sebagai owner yang akan menjadi pemandu. Berkali-kali aku mematut diri di depan cermin. Menelisik setiap inci tubuh. Berulang kali aku mengganti setelan agar terlihat modis. Bukan. Aku bukan untuk menarik perhatian Zaira, aku hanya ingin menampilkan produk terbaikku. "Zafran, dari tadi kamu nggak berhenti mondar-mandir di depanku. Ganti satu baju ke baju yang lainnya. Putar kiri dan kanan di depan cermin. Seperti mau diajak kencan buta saja," cibir Rayyan yang tengah berdiri di dekat pintu sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. "Aku hanya ingin tampil lebih baik. Salah?" tanyaku ya
Zaira Khazanah. Nama yang sudah kubawa dalam sujud dan di do'a-do'a malamku. Nama yang senantiasa kubisikkan di setiap sujud terakhirku. Nama yang sudah aku perkenalkan pada Rabb-ku. Pada Sang pemilik diri. Selama ini aku belum pernah seyakin ini membawa nama seseorang untuk diadukan. Dia lah yang pertama. Sosok cantik, lembut, cerdas dan salihah. Sosok yang kucari selama ini. Pagi ini kusambut dengan senyum yang merekah. Rencananya aku akan memperkenalkan nama Zaira. Ya, aku harus lakukan secepatnya. Aku ingin melihat wajah bahagia Abi dan Umi. Perlahan aku menuruni tangga. Tampak Abi dan Umi sedang duduk di meja makan menikmati sarapan pagi. "Sini, Nak, sarapan dulu sebelum ngantor!" ajak Umi. Umi sibuk mengoleskan selai cokelat di atas roti tawar yang sudah dipanggang. Aku memilih duduk di samping Umi y
Semenjak Ustadz Zafran mengucapkan kalimat yang menggantung itu, pikiranku semakin kalut. Aku tak mengerti sebenarnya apa yang ingin dia sampaikan? Kalimat itu terus terngiang di telingaku. Kalimat yang meninggalkan tanda tanya besar. Apa dia menyukaiku? Hendak melamarku? Atau apa? Aku tak ingin berharap lebih. Aku takut kecewa. Setelah pertemuan itu, kami sudah tidak pernah bertemu lagi. Jangankan bertemu, sekedar saling menyapa pun tidak. Padahal, kontakku ada padanya. "Sudahlah, Zaira, kalau kamu kangen ya hubungi saja to?" ucap Khadijah. "Kita ini wanita, nggak baik nyosor duluan." "Dari pada kamu kayak gitu? Nggak konsen kerja, nggak konsen menyusun proposal?" Aku kembali terdiam. Pulpen yang ada di tanganku berkali-kali kuketukkan ke meja. "Zaira, kamu mengganggu konsentrasiku," gerutu Khadijah. Mas Taufik tiba-tiba muncul membawa dua buah minuman dalam kemasan dan beber
"Kenapa tuh muka? Kusut bener, kayak cucian belum disetrika," goda Rayyan. Aku tak menggubris pertanyaan Rayyan kali ini. Mooodku benar-benar hancur. Aku mendudukkan diri di sofa tepat di samping Rayyan. "Kemarin-kemarin kamu nggak berhenti buat senyum. Sekarang kok gini?" tanya Rayyan lagi. Aku mengembuskan napas kasar. "Aku lagi galau." Rayyan menyemburkan teh yang sempat dia minum lalu tertawa terbahak. "Sejak kapan kamu kenal istilah galau?" "Tadi." "Kenapa? Kamu habis ditolak sama Zaira?" Aku menggeleng lemah. "Lebih dari itu." "Dia udah ada yang punya?" "Aku dijodohkan." Rayyan berdiri tepat di depanku. "Serius? Sama siapa? Kapan? Kamu setuju? Terus si Zaira gimana?" Pertanyaan dari Rayyan justru membuatlu semakin merasa bersalah. "Abi menjodohkanku tanpa sepengetahuanku. Tau-tau udah jadi aja" Aku sedikit m
Sore itu Abi baru pulang dari pengajian, beliau membawa kabar gembira bukan hanya untuk mereka, juga untukku."Umi, tadi Abi ketemu sama Mas Abdullah. Tadi Abi sempat diajak ke rumahnya.""Mereka tinggal di mana sekarang, Bi?" tanya Umi. Aku hanya diam-diam menyimak. Berharap mereka akan membahas sosok Zafran."Di Bintaro." Ayah menyeruput teh yang sudah sejak tadi aku suguhkan."Alhamdulillah lumayan dekat. Kenapa nggak Abi ajak ke rumah. Umi sangat rindu sama Mba Fatimah.""Abi sudah ajak.""Kapan katanya mau ke rumah?" Abi hanya mengedikkan bahu.Mereka asyik mengobrol membahas tentang sahabat lamanya. Namun, tak satu pun dari mereka membahas soal Mas Zafran. Jujur, aku sedikit kecewa, aku ingin tahu apakah dia masih sendiri atau sudah beristri?Apakah sosok Zafran yang di poto itu adalah Ustadz Zafran?"Abi, apa Abi tadi sempat ketemu dengan Mas Zafran?" tanyaku ragu.Jujur aku harus meng
Sore itu sesuai titah Abi kami akan bertandang di rumah wanita pilihan Abi. Ya, rumah calon istriku. Aku dan Rayyan hari ini memilih lebih cepat pulang. Kami tengah berdebat di dalam kamarku. "Zafran, hari ini ketemu calonnya kudu bahagia dong, jangan pasang tampang kusam kayak gitu." Aku hanya diam menanggapi sambil terus memilih kemeja koko yang pas untuk malam ini. "Kasihan anak orang, kamu datang ke sana memperkenalkan diri, bukannya dibenerin moodnya malah kayak anak gadis yang dipaksa nikah," omelnya lagi. "Iya, tante Rayyan." Rayyan yang tak terima kemudian melemparkan kemeja koko yang ada di tangannya. "Enak aja disamain sama tante-tante!" "Ya, abisnya kamu cerewet terus dari tadi." Rayyan kembali bersungut. "Udah, bantuin milih kemeja yang pas. Kamu kayak gitu malah kayak anak gadis yang lagi ngambek sama pacarnya." "Hey, saya normal, ya." Tak kugubris lagi oceh