Sore itu Abi baru pulang dari pengajian, beliau membawa kabar gembira bukan hanya untuk mereka, juga untukku.
"Umi, tadi Abi ketemu sama Mas Abdullah. Tadi Abi sempat diajak ke rumahnya."
"Mereka tinggal di mana sekarang, Bi?" tanya Umi. Aku hanya diam-diam menyimak. Berharap mereka akan membahas sosok Zafran.
"Di Bintaro." Ayah menyeruput teh yang sudah sejak tadi aku suguhkan.
"Alhamdulillah lumayan dekat. Kenapa nggak Abi ajak ke rumah. Umi sangat rindu sama Mba Fatimah."
"Abi sudah ajak."
"Kapan katanya mau ke rumah?" Abi hanya mengedikkan bahu.
Mereka asyik mengobrol membahas tentang sahabat lamanya. Namun, tak satu pun dari mereka membahas soal Mas Zafran. Jujur, aku sedikit kecewa, aku ingin tahu apakah dia masih sendiri atau sudah beristri?Apakah sosok Zafran yang di poto itu adalah Ustadz Zafran?
"Abi, apa Abi tadi sempat ketemu dengan Mas Zafran?" tanyaku ragu.
Jujur aku harus mengumpulkan keberanian menanyakan sosok pria di hadapan Abi.
"Sayangnya Zafran lagi di luar mengurus usahanya. Malam nanti dia balik." Aku menelan kekecewaan.
Andaikan Abi bertemu dengan Mas Zafran, setidaknya aku punya bayangan akan sosoknya sekarang. Atau setidaknya aku bisa tahu dia Zafran yang sama dengan Ustadz Zafran atau bukan.
"Zafran sekarang sudah hebat loh Umi. Setelah selesai pendidikan dia membuka usaha jualan pakaian Muslim juga sambilan mengajar ngaji di mesjid dekat kompleks mereka."
"Masya Allah. Bagaimana ya rupanya sekarang, Bi?" pertanyaan Umi kali ini sangat mewakiliku. Diam-diam aku mendengarkannya.
'Kenapa kegiatannya mirip dengan Ustadz Zafran?'
"Abi liat foto keluarga mereka. Zafran semakin gagah," jawab Abi.
Jantungku berdetak lebih cepat. Benar dugaanku. Mas Zafran akan tumbuh menjadi pria yang tampan rupawan. Tak pernah lepas senyum di wajah ini. Tapi, aku masih penasaran tentang sosok keduanya.
Abi merogoh kantong di bajunya mengeluarkan benda pipih. Dengan serius Abi mengotak-atik ponsel yang baru saja dipegangnya.
"Nah, ini Umi, fotonya Zafran." Umi meraih ponsel Abi, aku pun ikut mengintip.
"Allahu Akbar!" pekikku.
Abi dan Umi spontan melihat ke arahku.
"Ada apa, Nak?" tanya Umi.
Aku memegang dada yang tiba-tiba berdetak hebat. Kuatur napas kembali.
"Dia....dia yang beberapa hari yang lalu jadi narasumber Zaira, Bi, Mi."
"Jadi, kalian sudah pernah ketemu?" tanya Abi. Aku mengangguk mantap.
"Bahkan Mas Zafran pernah bilang, akan menunggu Zaira selesai pendidikan."
Aku menceritakam semua tentang bagaimana awal kami bertemu kemudian Mas Zafran ijin membawa namaku di sepertiga malamnya. Setelah itu saat pertemuan ke dua, Mas Zafran mengatkan bahwa dia bersedia menunggu sampai aku selesai pendidikan.
Aku sungguh tidak menyangka kalau selama ini orang yang aku cari ada di depan mataku sendiri. Bercengkerama, dan saling melempar senyum. Ternyata dia sosok Mas Zafranku. Ustadz Zafran.
Aku tak berhenti tersenyum sembari terus memegang dada yang sejak tadi bergemuruh. Berusaha mengulum senyum yang sejak tadi tercipta.
Berawal dari rasa kagum akan kegigihannya dalam mengembangkan usahanya. Bagaimana dia terus bNgkit dan maju saat usahanya terancam tertutup. Semua berawal dari sana. Hingga akhirnya Mas Zafran mengungkapkan kalimat yang awalnya aku tak mengerti itu.
Obrolan berlanjut membahas tentang masa lalu mereka. Aku hanya menyimak dan diam-diam merasa bahagia. Bahagia karena dialah yang selama ini kucari.
*
Malam berlanjut, aku membuka buku diary yang selama ini jadi temoatku menuangkan kata. Menceritakan sosok Zafran yang ternyata orang yang meminta untuk menungguku.Bagaimana dia sekarang? Selepas hari itu kita tidak lagi bertemu. Saling menyimpan kontak tapi tak saling menyapa.
Kembali kutuliskan untaian kalimat untuk Zafranku.
"Sepertinya semesta memihak kepadaku. Aku sudah menemukan sosok dirimu yang selama ini aku cari. Bisakah aku menjadi wanita seperti sosok Sayyidah Fatimah kepada Sayyidina Ali? Atau menjadi Khadijah di masa kini?"
Tanganku berhenti bergerak menuliskan setiap kata. Kembali memikirkan langkah yang harus kutempuh.
Kuraih poselku, segera kubuka aplikasi hijau lalu mencari nama Khadijah.
'Assalamualaikum, Khadijah. Sibuk nggak?'
'Wa'alaikumussalam, nggak kok. Kenapa?'
'Mau curhat, nih.'
'Kebiasaan. Nyari pas curhat doang. Hihi. Iya, mau curhat apa?'
'Ternyata dia Zafran yang selama ini aku cari.''Maksudnya?'
'Zafran teman masa kecil yang selama ini aku cari ternyata Ustadz Zafran sendiri, loh...'
'Eh seriusan? Alhamdulillah, bakal lancar dong PDKT nya hihi.'
'Ih, kamu mah, ngasal aja kalau ngomong.''Ya udah, tunggu apalagi? Pepet cepat. Jangan sampai kendor. Aku kawal nih sampai halal.'
'Ih, apa sih?'Obrolan terus mengalir hingga aku tak berhenti terseyum saat Khadijah terus menggodaku.
Memang dasar Khadijah dia akan terus-terusan serba ingin tahu. Yang tadinya kami hanya chattingan, sekarang sebuah panggilan masuk.
"Eh, karena kamu udah ketemu Si Pangeran dari masa lalu, kamu nggak niat gitu untuk memilikinya?"
"Bukannya ucapin salam dulu, malah nyerocos aja."
"Hehe. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Ucapnya dengan semangat menggebu.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."
"Aku malu," jawabku.
"Kenapa? Kalian kan sejak kecil sudah bersama, meskipun terpisah. Nah, sedangkan Ustadz Zafran juga masih single. Lalu apalagi?"
"Aku malu, Khadijah. Jujur, waktu kita ketemuan untuk ke dua kalinya, dia ngomong sesuatu."
"Apa?"
Aku menceritakan semua. Tentang Mas Zafran yang meminta untuk menungguku hingga selesai.
"So sweet banget, sih. Pepet aja terus," ucapnya menggebu. Aku mengerling malas.
"Kita ini perempuan loh."
"Kenapa nggak jadi Khadijah di masa kini aja?"
Aku berpikir sejenak. Apa iyya? Tapi aku malu.
"Malu lah. Mending jadi Sayyidah Fatimah."
"Kamu yakin bakal kuat? Mending jadi Khadijah di masa kini aja. Kalau diam-diam, nanti diembat orang loh."
"Jodoh nggak akan kemana kali."
"Percaya sama aku. Ajukan aja sama Abi. Kan orangtua kalian sahabatan."
Sejenak aku berpikir. Ada benarnya juga. Aku coba saja menjadi khadijah di masa kini.
"Takut, ah. Kalau Bi marah gimana? Kamu mau tanggungjawab?"
"Nggak bakalan."
Suara ketukan mengakhiri obrolanku dengan Khadijah. Perlahan kuputar handel pintu, ternyata Abi.
"Abi boleh masuk, Nak?"
"Boleh, Bi," jawabku seraya membuka lebar pintu.
Abi kini tengah duduk di tepi ranjang menatap lurus ke depan.
"Abi mau sedikit cerita." Aku diam menyimak menunggu.
"Abi dan Abi Abdullah adalah sahabat lama. Kami terpisah karena Abi Abdullah dipindah tugaskan. Sekarang setelah dua puluh tahun lamanya, kami kembali dipertemukan. Abi sangat berharap kami bisa terus bersama."
Abi kemudian menoleh ke arahku.
"Abi tahu, kamu diam-diam mencari tahu soal Zafran. Dan Abi tahu diam-diam kamu menaruh rasa padanya."
Aku melebarkan mata. "Dari mana Abi tahu?"
"Nak, Abi ini ayahmu. Gerak-gerik putrinya pasti Abi tahu."Aku menyembunyikan muka dengan kedua telapak tangan.
"Jadi, Abi benar kan?"
Aku mengangguk malu.
"Abi tidak melarangmu untuk menaruh rasa. Itu hal wajar. Apalagi Abi kenal Zafran dan keluarganya. Jadi, Abi tidak akan ragu lagi."
"Jadi, bisakah Zaira meminta Abi untuk menjodohkan Zaira dengan Mas Zafran?"
Abi mengangguk.
"Nanti Abi bicara ya sama Abi Abdullah"
"Baik, Abi," ucapku seraya memeluk Abi.
Tangan Abi dengan lembut mengusap pucuk kepalaku. Aku sangat bersyukur memiliki orang tua yang senantiasa menyayangiku.
"Abi, apa Abi tidak malu melamarkan putrinya untuk seorang laki-laki? Maksudnya anak Abi kan perempuan, biasanya yang melamar itu pihak pria."
"Abi tidak ingin anak Abi terus-terusan memikirkan seseorang yang bukan mahramnya."
Jleb. Aku seperti tertampar.
"Maafin, Zaira, Bi."
"Abi mengerti. Makanya Abi setuju-setuju saja saat kamu mengajukan diri."
"Lagian Abi sudah lama kenal mereka, jadi tidak ada keraguan sedikitpun dari Abi."
Aku memeluk erat tubuh cinta pertamaku ini. Betapa besar cinya yang ia beri untukku.
"Maafin Zaira, Abi."
*
Di sore hari saat aku tengah asyik menyiram tanaman hias, suara klakson mobil mengagetkanku. Gegas aku segera membuka gerbang, kemudian perlahan mobil masuk ke halaman parkir.Aku melangkah ke arah Abi dan Umi yang baru saja turun dari mobil. Entah apa yang terjadi, aku tidak tahu, yang jelas mereka tampak wajah bahagia.
"Zaira, Abi mau bicara."
Aku mengekor di belakang Abi sambil bergelayut manja di lengan Umi. Kami sama-sama mendudukkan diri di sofa ruang keluarga.
"Zaira, tadi kami bertemu dengan Abi Abdullah dan Umi Fatimah. Kami membahas tentang kalian. Abi mengajukan perjodohan yang ternyata disambut baik," ucap Abi dengan raut wajah bahagia.
Tiba-tiba ada rasa bahagia yang menyeruak dari dalam diri ini. Rasa yang tak terkira. Degupan jantung berpacu lebih cepat, ada desir hebat yang mengalir di dalam tubuh ini.
Tiba-tiba senyumku memudar saat menyadari akan satu hal.
"Abi, apakah Mas Zafran tahu?"
"Sepertinya belum."
"Bagaimana jika Mas Zafran menolak perjodohan ini, Abi?".
Senyum yang sedari tadi Umi tampilkan kini ikut memudar. Pandangannya beralih ke Abi.
"Abi tahu watak Abi Abdullah. Sekali bilamg A tetap A."
"Tapi, Zaira nggak mau kalau perjodohan ini karena terpaksa, Bi."
"Nggak, Sayang. Bukannya kamu pernah cerita kalau Zafran mau nunggu kamu?" tanya Umi.
"Tapi saat ini dia tidak tahu kalau Zairah lah wanita pilihan Abinya."
Umi mengelus pucuk kepalaku dengan sayang.
"Biar itu jadi kejutan, Sayang."
"Abi telpon mereka dulu," putus Abi.
Tampak Abi mengotak atik ponselnya lalu menempelkannya di telinga.
"Assalamualaikum, Mas Abdullah. Kami sudah sampaikan perihal perjodohan ini pada Zaira. Bagaimana dengan Zafran?"
"Wa'alaikumussalam, Insyaa Allah Zafran pasti setuju. Tapi beri kami waktu untuk bertandang ke rumahmu, ya. Untuk mempertemukan mereka."
"Alhamdulillah, baiklah, kami tunggu kabar baiknya, Mas."
Panggilan diakhiri setelah mengucapkan salam.
Aku memandang Abi meminta jawaban. Tampak Abi merubah posisinya. Aku semakin gugup menunggu jawaban dari Abi.
"Alhamdulillah, Zafran sudah setuju. Rencananya mereka akan datang bertamu di rumah kita, bersama Zafran."
"Kapan, Bi?" tanya Umi.
"Kita tunggu saja kabar baiknya."
Aku semakin deg-degan dibuatnya. Aku bersyukur tiada henti saat tahu Mas Zafran setuju. Meskipun aku tidak tahu, apakah Mas Zafran tahu, dia dijodohkan dengan aku atau bukan. Akulah yang meminta kepada Abi untuk merahasiakan identitasku.
Aku berpamitan untuk masuk ke dalam kamar. Di ruang persegi ini aku terus menerawang saat pertama kali kami dipertemukan. Saat Mas Zafran mengucapkan kalimat yang waktu itu tak ku mengerti. Sebuah janji yang akan menungguku hingga wisuda.
Akupun tak menyangka Abi akan secepat ini mengajukanku pada keluarganya. Aku pikir, Abi akan membahas ini setelah aku diwisuda. Seperti titah Abi dulu.
Segera kubuka buku diary yang selama ini menyimpan berbagai coretan tentang dia. Kupandangi wajah sosok anak laki-laki yang tengah menggendongku.
"Mas, aku tidak ingin lama-lama memendam rasa sama kamu. Benar kata Abi, itu dosa. Zina mata dan zina hati. Demi menjaga diri ini, dan juga dirimu aku rela menjadi Khadijah di masa kini."
Kuraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Membuka aplikasi hijau, seraya memandangi kontak W******p yang tersimpan.
Aku sudah lama menyimpan kontaknya. Ya, sejak pertemuan ke dua itu. Tapi, jangankan saling berbalas pesan untuk menanyakan kabar, sekedar basa-basi saja tidak pernah. Entah saya ataupun Mas Zafran. Kami hanya jadi pengintip story masing-masing tanpa berani untuk sekedar merespon status. Mungkin Mas Zafran juga merasakan hal yang sama. Atau sebaliknya?
*
Pagi kusambut dengan rasa bahagia. Senyum tak pernah lepas dari bibirku. Aku melangkah memasuki pelantaran kampus tempatku menimba ilmu. Saat aku sedang asyik membaca pengumuman di papan informasi, seseorang menghampiriku."Zaira." Aku lantas menoleh.
Zain. Dialah teman kampus yang selama ini berjuang mengungkapkan perasaannya. Bukan aku tak ingin, tapi rasanya aku tak bisa.
Mana mumgkin aku menerimanya padahal sudah jelas pacaran itu diharamkan?
"Iya?"
"Maafkan aku, Zaira."
Aku mengernyitkan kening.
"Maaf buat apa?"
Zain menyennderkan tubuhnya di tembok. Tapi matanya tak pernah lepas memandangku.
"Aku mau berhenti ngejar kamu."
Syukrlah, batinku.
"Caraku emang salah, sih. Dari awal nguber kamu kayak maling," ucapnya seraya terkekeh.
"Lalu?"
"Ya, aku bakal berhenti ngejar kamu lagi. Tapi, aku bakal bawa namamu di sepertiga malamku. Biar Allah menyatukan kita."
Aku melotot ke arahnya.
"Kamu berhenti ngejar aku terus milih bawa nama aku di sepertiga malam gitu?"
Dia mengangguk antusias.
"Ya. Nggak salah kan?" tanyanya santai.
"Ya, emang nggak salah. Tapi, aku sudh dijodohkan, Zain."
"Haha. Ya nggak pa-pa," jawabnya santai sambil memasukkan tangamnya ke dalam kantong celananya.
"M-maksudnya?" tanyaku heran.
"Iya. Kan belum tentu nikah."
Aku mendelik tajam. Apa maksudnya?
"Hey, santai dong. Emang benar kan?"
Aku terdiam bersiap meninggalkan dia sebelum sebuah kalimat yang dia ucapkan membuat niatku tertunda.
"Dijodohkan belum tentu jodoh. Iya, kan?" wajahnya mulai sedikit mendekat. Refleks aku mundur.
"Kali aja do'aku terijabah. Soalnya Allah lihat usahaku selama ini. Bukan kayak dia yang belum tentu sama besar usahanya denganku."
"Terserah."
"Dasar cowok manja. Tahunya nikung kayak gitu. Haduh," cibirnya.
"Berhenti lah untuk mengikutiku. Berhenti ngejar-ngejar aku dan jangan pernah bawa nama aku di dalam do'amu."
Dia tersenyum sinis, "Ya, terserah aku dong. Kan itu hakku."
"Terserah kamu!"
Aku berlalu meninggalkan dia yang terus saja tertawa. Iya, tawa bahagia karena berhasil membuat moodku menjadi hancur.
Sore itu sesuai titah Abi kami akan bertandang di rumah wanita pilihan Abi. Ya, rumah calon istriku. Aku dan Rayyan hari ini memilih lebih cepat pulang. Kami tengah berdebat di dalam kamarku. "Zafran, hari ini ketemu calonnya kudu bahagia dong, jangan pasang tampang kusam kayak gitu." Aku hanya diam menanggapi sambil terus memilih kemeja koko yang pas untuk malam ini. "Kasihan anak orang, kamu datang ke sana memperkenalkan diri, bukannya dibenerin moodnya malah kayak anak gadis yang dipaksa nikah," omelnya lagi. "Iya, tante Rayyan." Rayyan yang tak terima kemudian melemparkan kemeja koko yang ada di tangannya. "Enak aja disamain sama tante-tante!" "Ya, abisnya kamu cerewet terus dari tadi." Rayyan kembali bersungut. "Udah, bantuin milih kemeja yang pas. Kamu kayak gitu malah kayak anak gadis yang lagi ngambek sama pacarnya." "Hey, saya normal, ya." Tak kugubris lagi oceh
"Subhanallah, jadi kalian ternyata lebih dulu bertemu," timpal Umi Aisyah. "Lalu Zain?" tanya Abi. Tampak Zain berubah pias, tidak secerah tadi. Aku tak tahu apa yang terjadi sebenarnya. "Di-dia teman kuliah, Zain, Bi," jawab Zain terbata. Aku dan Rayyan saling berpandangan. Kalau hanya sebatas teman kuliah, tidak mungkin Zain berubah seperti ini. “Zafran?” tegur Abi saat melihatku sedari tadi mencoba menerka situasi ini. "Alhamdulillah kalau kalian sudah saling sama-sama kenal. Jadi tak perlu lagi perkenalannya," timpal Umi. Aku dan Zaira hanya melempar senyum. Bahagia terus kurasakan. Allah ternayata memberikan kejutan yang luar biasa. "Kalian itu sejak kecil sudah sama-sama kenal. Mungkin belum ingat, ya?" tanya Abi. “Waktu itu Zafira masih kecil. Ya, kan, Mba, Fatimah?” timpal Umi Aisyah. Aku dan Zaira masih diam menyimak obrolan kedua orang tua kami.
Semenjak pertemuan di rumah Zaira, sampai saat ini Zafran belum menemukan teka-teki apa yang sebenarnya terjadi. Zafran yang tengah disibukkan dengan pekerjaannya tampak tak bisa berkonsentrasi mengingat kejadian kemarin. Rayyan yang menyadari itu lantas segera menghibur sahabatnya. "Zafran, sudah dikirim proposal ta'arufnya?" tanya Rayyan sambil menenteng lembar laporan. Zafran menggeleng lemah sambil mengetuk keningnya dengan pulpen. Rayyan menghempaskan tubuhnya di sofa seraya menoleh ke arah sahabatnya. Rayyan tahu apa yang menjadi kendala proposal itu belum dikirimkan. "Mungkin hanya dugaan kita. Buatlah proposal itu. Bukankah itu yang kamu tunggu? Jangan mengorbankan orang-orang yang mengharapkan pernikahan kalian." "Bagaimana mungkin aku tega melanjutkan sedangkan adikku sepertinnya terluka dengan perjodohan kami?" Rayyan mengembuskan napas kasar. "Kalau begitu segera pastikan. Jangan membua
"Zain mencintai Zaira, Abi." Ummi Fathimah yang mendengar itu sedikit tersentak. Bagaimana mungkin kedua anaknya menyukai wanita yang sama? "Di mana Zain?" "Biar Umi yang panggilkan." Umi Fathimah beranjak dari tempat duduknya lalu menemui anak bungsunya. Pintu kamar Zain diketuk, tapi tak ada sedikitpun jawaban. Perlahan Umi memutar handel pintu lalu mendorongnya pelam. Tampak jelas Zain hanya duduk termenung di kursi tempatnya belajar. Umi Fathimah kemidian masuk lalu berdiri tepat di belakang putranya. "Ada apa, Nak?" tanya Umi. Zain yang menyadari kehadiran Uminya lantas segera memeluk tubuh wanita yang melahirkannya. "Zain nggak pa-pa." Umi Fathimah tahu jika anaknya sedang berbohong. Dibelainya rambut tebal outranya dengan lembut. "Abi mencarimu, Nak. Ikut umi, yuk!" Zain berdiri lalu mengekor di belakang Umi. Tanpa sepatah kata pun. "Zain, Abi ingin kamu juj
"Assalamu'alaikum, Dek. Besok lusa, Mas dan keluarga akan datang untuk mengkhitbahmu." Zaira tersentak saat sebuah pesan masuk ke aplikasi hijaunya. Pesan cinta dari Mas Zafran. Pesan pertama yang selama ini dia tunggu. "Lusa? Apa Umi dan Abi sudah tahu." Gegas Zaira mencari orang tuanya. Setelah mencari dari ruang keluarga dan ke halamannya, rupanya Umi sedang berada di dapur. "Umi, abi dimana?" Umi yang sedang memotong tomat berbalik ke arah Zaira. "Paling di ruang kerjanya, Sayang. Ada apa?" "Mas Zafran tadi ngabarin Zaira, lusa mereka bakal datang lamaran." "Eh, kok mendadak? Maksudnya kenapa nggak ngabarin beberapa hari sebelum hari H?" Umi Fathimah gegas menemui Abi yang sedang berada di ruang kerjanya. "Abi." "Hm." "Kata Zafran, lusa mereka bakal datang lamaran, Bi. Abi udah tahu?" Abi Abdullah melepas kacamata yang sedari tadi bertemgger di hidung b
*Hari lamaran pun tiba. Zaira tak berhenti mematut diri di depan cermin. Kebaya berwarna silver dipadu padankan dengan khimar warna senada. Hari ini Zaira begitu tampak lebih cantik dengan polesan make-up minimalis. Rasa deg-degan luar biasa dirasakannya. Zaira benar-benar tidak menyangka akan secepat ini. Zaira hanya berharap semua berjalan dengan lancar. *Zafran tak berhenti mengucapkan asma-asma Allah untuk menenangkan hatinya yang sedang bergemuruh hebat. Hari ini, dia kan mempersunting wanita pujaannya. Di sisi lain, Zain terus berusaha untuk tetap tegar. Meskipun sulit, tapi dia harus bisa melakukannya. Zain harus berusaha tetap baik-baik saja ketika nanti menyaksikan Abangnya mempersunting wanita yang sangat dicintainya. *Dua keluarga berkumpul di dalam satu ruangan dan saling berhadapan. Tampak Zaira dan Zafran saling mencuri pandang dan sekali-sekali berusaha menetralkan degupan jantung yang terus bertalu tak ber
Saat kuputuskanBertemu orang tuamuKuyakinkan diriKaulah yang terbaik Dan saat kau memilihAku yang pantas untukmuHati ini berikrar'Tuk s'lalu menjagamu Kuyakin kaulah jawabanDi setiap pintakuWalauKu belum tahu namamu Bisikkan di sujudkuDi sepertiga malamkuUntukKehadiranmu sempurnakan imankuHaa-aa Saat kau memilihAku yang pantas untukmuHati ini berikrar'Tuk s'lalu menjagamu Kuyakin kaulah jawabanDi setiap pintakuWalauKu belum tahu namamu Bisikkan di sujudkuDi sepertiga malamkuUntukKehadiranmu sempurnakan imanku Buang cerita lamaRangkai cerita baruMenua bersama Lagu itu terus terputar di daftar lagu ponselku. Semenjak Mas Zafran menyanyikan lagu itu, aku semakin merasa bahwa Mas Zafran begitu mencintaiku. Pagi ini setelah lamaran kemarin aku beraktifitas seperti biasa. Saat ini aku sedang proses penelitian untuk ba
"Bang Zafran di mana?" tanyanya kemudian. "Mungkin dengan Mas Rayyan." Zain kemudian mendudukkan diri tepat di depanku. Sekali-sekali pandangan kami bertemu. Suasana begitu sepi, hanya detakan jam dinding yang memecah kesunyian. "Itu...." ekor matanya mengarah ke tumpukan berkas kuesionerku. "O-oh. Ini lembar kuesioner," jawabku gugup. Zain mengangguk dan lagi kami hanya terdiam. Ada rasa yang tak nyaman saat berdua dengannya di sini. Dia yang selama ini jail dan akan terus mengangguku, sekarang seperti orang asing. Bukan Zain yang selama ini kukenal. Baru kali ini aku menatap lekat wajahnya. Wajah pemilik sosok yang beberapa tahun terakhir tak berhenti untuk mengejarku. Tampan seperti kakaknya. Bulu mata lentik, kulit bersih, bibir tipis dan alis tebal. Aku bisa menelisik wajahnya ketika Zain sedang sibuk mengotak-atik ponselnya. Aku pun tak mengerti mengapa hati ini susah terb