"Bang Zafran di mana?" tanyanya kemudian.
"Mungkin dengan Mas Rayyan."
Zain kemudian mendudukkan diri tepat di depanku. Sekali-sekali pandangan kami bertemu. Suasana begitu sepi, hanya detakan jam dinding yang memecah kesunyian.
"Itu...." ekor matanya mengarah ke tumpukan berkas kuesionerku.
"O-oh. Ini lembar kuesioner," jawabku gugup.
Zain mengangguk dan lagi kami hanya terdiam.
Ada rasa yang tak nyaman saat berdua dengannya di sini. Dia yang selama ini jail dan akan terus mengangguku, sekarang seperti orang asing. Bukan Zain yang selama ini kukenal.
Baru kali ini aku menatap lekat wajahnya. Wajah pemilik sosok yang beberapa tahun terakhir tak berhenti untuk mengejarku. Tampan seperti kakaknya. Bulu mata lentik, kulit bersih, bibir tipis dan alis tebal. Aku bisa menelisik wajahnya ketika Zain sedang sibuk mengotak-atik ponselnya.
Aku pun tak mengerti mengapa hati ini susah terb
"Zaira?" Bagai disambar petir di siang hari, aku yang saat ini ikut menemani Abang untuk bertemu dengan calon istri pilihan Abi harus menelan pil pahit. Wanita yang selama ini menjadi pengisi hatiku, telah dijodohkan dengan orang lain. Abangku sendiri. *Empat tahun yang lalu saat aku masih menjadi mahasiswa baru adalah kali pertama aku melihatnya. Saat itu aku yang tengah kebingungan mencari di mana perpustakaan tiba-tiba dibantu oleh seorang gadis cantik berpakaian syar'i. "Cari ap, Mas?" tanyanya lembut. "Perpustakaan di sebelah mana, ya, Mba?" "Oh, sebelah sana, Mas. Kebetulan aku juga mau kesana." "Aku ikut, boleh?" tanyaku ragu. "Yuk, Mas!" "Zain. Namaku Zain Abdullah." Aku mengulurkan tangan, sayangnya tak disambut. Kedua tangannya ditengkupkan di depan dada. "Aku, Zaira." Segera kutarik tangan yang sudah mengudara. Dia tetap terse
*Hari berlalu begitu cepat hingga pagi ini Abi menelfonku untuk segera pulang ke rumah. Aku penasaran sebenarnya ada apa? Tiba di rumah Abi kembali menyuruhku untuk bersiap-siap. "Mau kemana, Bi?" "Kita mau bertandang ke rumah Abi Husein." "Oh, yang calon mertua abang, ya, Bi?" "Iya, Sayang," sahut Umi. Gegas aku memuju kamar untuk membersihkan diri lalu berganti pakaian. *"Loh, Zain juga ikut?" tanya Bang Zafran saat kami tengah menunggunya. "Iya dong. Kenapa? Takut ya tuh cewek malah milih aku?" "Bukan. Ya, tumben aja mau ikut acara resmi." "Penasaran lihat calon kakak ipar," ledekku. Mas Rayyan mengulum senyumnya berusaha menahan tawa yang siap meledak. "Yuk, Abi kita berangkat! anak-anak udah siap." Kami berlima berjalan beriringan menuju mobil yang sudah terparkir di depan rumah. Setelah pintu dan gerbang kukunci , Abang melangkah masuk dibalik kemud
Hari berlalu kulalui dengan penuh luka yang menganga. Ikhlas? Bahkan memikirkan pun belum. Mengingat bagaimana aku selama ini berusaha merebut hatinya yang ternyata lebih mudah ditaklukkan oleh Abangku sendiri. Gontai aku melangkah memasuki pelantaran kampus tempat aku menuntut ilmu. Dari kejauhan kulihat Zaira bersama Khadijah tampak begitu bahagia. Bahagia kah dia saat ini? Semudah itu? Padahal aku lah yang selalu ada untuknya. Zaira, kamu bagaikan rembulan yang tidak dapat kuraih dan akulah Si pungguk yang merindukan Sang rembulan. *Hari-hari kulewati lebih berat dan lama seperti biasa. Aku sudah berusaha untuk mengikhlaskan segala takdir yang sedang berjalan. Susah, sangat susah. Tiga tahun lebih bukan waktu yang singkat untuk memendam gejolak rasa. Bunga yang kupelihara, kupupuk dengan penuh kasih sayang kini dipetik orang lain tanpa peduli akan perasaanku, tak peduli akan perjuanganku. Sepulangnya dari
*Prosesi lamaran telah usai, sekarang kami sudah kembali ke rumah. Tampak rumah kembali sunyi karena kerabat yang datang sudah kembali pulang. Aku yang tengah duduk diam menyendiri ditemani oleh lantunan lagu galau, tersentak saat sebuah pelukan hangat memelukku dari belakang. "Umi tahu, Sayang, kamu sangat terluka," bisiknya sambil tergugu. Aku masih terdiam menatap lurus ke depan. "Maafin, Umi, Nak. Bukannya Umi tidak memihak sama kamu, tapi perjodohan ini sudah terjadi. Umi mohon, Sayang, ikhlaskan Zaira." Air mata menetes, tanganku kembali mengepal. Rasanya saat ini pasokan oksigen di dalam paru-paruku mulai menipis. Pikiranku kalut, pandanganku nanar. Aku terisak dalam pelukan kasih sayang seorang ibu. Aku berbalik lalu memeluknya sangat erat. Menangis dan menumpahkan segala rasa yang sejak beberapa hari ini kupendam. Umi terus mengusap sayang kepalaku dan terus memelukku dengan erat
Hari pernikahan semakin dekat, masih ada beberapa yang perlu dipersiapkan. Setelah fitting baju pengantin, kali ini mereka memilih dekorasi yang akan dipasang nantinya. Mereka berdiskusi tentang tema apa yang diusung serta warna apa yang dipilih. Kecuali Zain. Dia lebih memilih duduk dan hanya menyimak tanpa ingin mau berpartisipasi. Baginya ikut berpartisipasi sama saja membuat luka baru untuknya. "Tan, Zain mau istirahat." Mereka yanh sedang serius berdiskusi kompak menoleh. "Masuk di kamar Tante aja, ya." Zain melangkah menuju ruangan yang ditunjuk. Di dalam kamar, Zain mengempaskan tubuhnya. Lengan kanannya berpindah tepat di atas keningnya. Dia berusaha untuk memejamkan mata tapi tak bisa. Sudah beberapa hari terakhir Zain tampak tak bergairah melakukan apapun. Tidur tak nyeyak, makan pun tak enak. Hingga tanpa disadari perubahan terjadi di fisiknya. Berat badannya menurun dan wajahnya tak seceria sebelumny
Di tempat yang berbeda sosok yang serupa dengan perasaan Zain saat ini. Mas Taufik. Sejak mengetahui bahwa gadis pujaannya dipinang oleh pria lain, sejak itu pula dia sering mengurung diri. Mas Taufik pun merasa kehilangan. Padahal rencananya setelah Zaira selesai kuliah, dia akan melamae gadis itu. Sayang, itu semua tinggal rencana. Mas Taufik mengembuskan napas kasar. Diraihnya ponsel yang sejak tadi berdiam manis di atas meja kerjanya. Jari jemarknya menari di atas ponsel, menarik ulur beranda di aplikasi i*******m. Matanya berfokus pada sebuah akun yang memberinya sedikit pencerahan. "Jika cinta, ungkapkan! Jangan biarkan cinta terus bersemi tanpa bertuan. Bukankah rasanya sesak jika terus dibiarkan tumbuh tanpa ada mentari yang menyinari?" Sejenak Mas Taufik terus memikirkan maksud dari kalimat itu. Apa yang harus diungkapkan? Sedangkan sang pemilik cinta itu telah bersama yang lain? Khadijah datang di saat yang
Hari pernikahan semakin dekat, segala persiapkan satu persatu sudah selesai. Tinggal mengajukan administrasi ke Kantor Urusan Agama. Hari ini aku akan mengantarkan berkas yang diperlukan bersama Zaira dan tentunya didampingi oleh Umi Aisyah. Setelah menjemput keduanya, kami mampir ke studio foto untuk mengambil gambar yang akan ditempelkan di buku nikah nantinya. Zaira begitu tampak cantik dengan gamis putih senada dengan warna khimarnya. Make up.minimalis menghiasi wajah cantiknya menambah keanggungannya. Latar biru sudah terpajang di belakang kami berdua. Dengan satu kali potret, kami telah selesai pengambilan foto untuk buku nikah. "Alhamdulillah, tinggal penyerahan berkas ke KUA," Ucap Umi saat kami menunggu proses pencetakan gambar. "Alhamdulillah, Umi. Semoga selalu diberi kelancaran," balasku menanggapi. Umi merangkul tubuh mungil Zaira dengan sayang. Pemandangan yang jarang terlihat.&nb
"Wanita? Siapa?" "Zain nggak tahu, Bang. Yang pastinya dia sedang berhadapan dengan Abi dan Umi. Tampaknya suasana lagi tegang gitu." "Oke, tunggu Abang ke sana." Aku menutup panggilan lalu menyalakan meskin mobil. Mobil melaju perlahan meninggalkan pelantaran rumah Zaira. *Dua puluh menit berlalu, aku melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Tampak di depan pintu sepasang sepatu wanita. Siapa dia? "Assalamu'alaikum." Aku mengucapkan salam sambil berlalu. Tampak di ruang tamu Abi, Umi dan Zain sedang berkumpul menghadap ke arah tamu itu. "Wa'alaikumussalam," jawabnya serentak. Tamu yang sejak tadi menungguku, menoleh ke arahku. Deg! Aku diam mematung di tempat. "Anis?" "Zafran," jawabnya sembari tersenyum. Aku melangkah mendekat ke arah mereka. "Ada apa, Nis?" tanyaku berusaha ramah. Jangan tanya bagaimana perasaanku saat ini. Setelah b
Tiga tahun berlalu, semenjak kepergian Zain suasana rumah Abi Abdullah semakin sepi. Sekali-sekali Zafran datang menjenguk membawa istri dan kedua bayi kembarnya.Zain yang bertugas tak seperti biasanya hanya pulang beberapa kali dalam setahun. Menjelajahi pulau satu ke pulau lainnya yang sulit diakses. Petualangannya bersama Arumi perlahan menumbuhkan rasa yang tak biasanya. Hingga akhirnya hari ini Zain resmi melamar Arumi sebagai pendamping hidupnya.Siapa yang akan menyangka, keduanya sama-sama pernah ditinggalkan oleh orang yang sangat dicintainya. Memiliki kisah cinta yang tak bisa terwujud lalu memilih ikhlas melepaskan meskipun sakit begitu dalam. Akhirnya, mereka dipertemukan.Hari ini secara resmi Zain mempersunting Arumi untuk dijadikan sebagai teman hidup. Perihal rasa yang pernah mengakar, akhirnya bisa juga hilang seiring berjalannya waktu.Arumi tampil begitu anggun dengan balutan kebaya syar'i berwarna peach s
Pov. Zain."Zain terpilih menjadi salah satu dokter yang bertugas di kapal rumah sakit, Abi. Zain pikir, lebih baik Zain terima." Kulihat mulai berembun."Kapan berangkatnya?" tanya Bang Zafran."Besok lusa, Bang," jawabku.Abi mengembuskan napasnya perlahan. Ditatapnya umi yang sudah mulai terisak. Aku mendekat lalu membawa tubuh orang yang telah melahirkanku ke dalam pelukan."Pasti lama. Kamu tega ya ninggalin, Umi?" Aku tersenyum."Ini bentuk pengabdian, Umi. Insya Allah, nanti Zain akan sekali-sekali pulang kok," bujukku berusaha menenangkan umi.Aku tahu perasaan umi saat ini. Umi pasti tak ingin melepaskanku. Tapi sumpah yang sudah terlanjur terucap untuk mengabdikan diri ini pada bangsa dan negara. Mataku tak sengaja mengarah pada sosok wanita yang kucintai. Segera kualihkan pandangan saat mata kami bertemu.'Maafkan Zain, Umi. Semua ini Zain lakukan demi abang. Rasa cinta ini b
Tepat empat puluh lima hari berlalu. Keluarga besar Zaira dan Zafran hari ini mengadakan tasyakuran aqiqah untuk kelahiran bayi kembar mereka. Segala persiapan telah dilaksanakan. Nuansa hijau dan putih menghiasi ruangan sesuai dengan permintaan Zaira.Banyak keluarga, sahabat, dan tetangga yang hadir di acara tersebut, tak terkecuali rekan bisnis serta para jama'ah tempat Zafran mengajarkan ilmu agama.Pemandu acara mulai membuka acara syukuran aqiqah."Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh bapak, ibu dan para tamu undangan yang kami hormati.Pertama – tama mari kita sampaikan puja dan puji syukur kehadirat Allah Subhanah Wa Ta'ala, atas rahmat dan hidayat yang dilimpahkan kepada kita semua, sehingga pada siang yang penuh dengan kebahagiaan ini kita bisa hadir memenuhi undangan dari Ustadz Zafran Abdullah sekeluarga dalam rangka syukuran akan lahirnya putra dan putri, buah hati dari pasangan Ustaz Zafran Abdullah dan ibu Zai
"Mas tolong!" pekik Zaira.Selepas isya suasana rumah menjadi ramai. Zaira tak berhenti menangis kala suhu tubuh kedua bayi kembarnya panas. Rasa panik menghampiri.Zafran yang tengah mengerjakan urusan kantor gegas menuju kamar. Dilihatnya Zaira duduk dengan ekspresi kebingungan di dekat bayi mereka.Zafran mendekat ke istrinya yang masih menangis sesegukan. "Ada apa, Sayang?""Ba-bayi kita, Mas.""Iya, mereka kenapa?" tanya Zafran."Bayi kita demam."Zafran mengecek keduanya. Ternyata benar, suhu badannya tinggi."Sebentar, Sayang, mas hubungi Zain dulu."Sementara Zafran menghubungi Zain, Mbok Siti datang terpongoh-pongoh di dekat Zaira."Ada apa, Bu?" tanyanya khawatir."Bayiku demam tinggi, Mbok," jawab Zaira dengan terisak.Diperiksanya kening bayi itu secara bergantian lalu Mbok Siti bergegas menuju dapur untuk mengambil air lalu tangannya meraih handuk
Hari minggu bahkan tak terasa satu bulan pun berlalu. Kehidupan Zaira dan Zafran terasa begitu indah dengan hadirnya bayi kembar mereka. Rasa lelah tak terasa bagi mereka. Justru mengurus kedua anaknya merupakan hal terindah yang belum pernah mereka rasakan.Bangun di tengah malam saat orang lain tengah menikmati istirahat, justru tidak bagi mereka. Mengganti popok, bangun menyusui atau bahkan melantunkan shalawat untuk si kembar. Hal yang sudah lumrah dirasakan oleh kebanyakan orang tua di luaran sana.Bagi Zafran berangkat ke kantor sudah terasa berbeda. Melihat kelucuan si kembar menjadi penyemangatnya. Begitpun saat pulang bekerja, Zafran akan disambut dengan suara dan harumnya bau tubuh si kembar."Anak ayah harum banget sih, bikin betah aja," ucap Zafran gemas."Ayahnya malah belum mandi, bau acem!" goda Zaira. Zafran tak menggubris godaan istrinya malah memeluk erat Zaira."Apaan sih, Mas," bisik Zaira lalu meli
Pov. ZafranBibirnya tak berhenti mengulas senyum kala istriku terus memandangi wajah kedua anak kami. Aku tahu, Zaira sangat bahagia saat ini. Begitu pun dengan aku.Kehadiran si bayi kembar mewarnai hidup kami. Hadirnya bagaikan oase di tengah padang pasir. Bagaimana tidak, mereka hadir di saat orang tuanya sudah pasrah akan takdir yang terus berjalan.Aku memandangi ketiganya dari balik pintu. Rasanya seperti mimpi melihat apa yang ada di depan mata saat ini. Keadaan yang begitu sangat kami rindukan, terlebih istriku."Sayang, belum tidur?" tanyaku sambil menuju lemari mengganti pakaian."Sayang, baju kaos biru navi mas di mana ya? Mas mau pakai itu, Dek."Lagi dan lagi tak ada jawaban. Pandanganku beralih padanya. Rupanya istriku tengah serius memandangi ajah mungil anak kami."Sayang, fokus banget pandangin si kembar, suami sendiri nggak digubris," protesku kala sudah duduk di pinggiran ranjang. 
Pov. Zaira.Bibir ini tak berhenti menyunggingkan senyum saat melihat wajah lucu dan menggemaskan si bayi kembar. Impian yang selama ini aku rindukan akhirnya terwujud juga.Rasa haru terus menyeruak di dalam dada kala mengingat bagaimana perjuangan kami berdua. Suka duka kita lewati bersama. Tak terhitung berapa tetes air mata yang mewakili perasaan ini.Kini, mereka hadir membantuku meraih mimpi yang sempat aku kubur dalam-dalam. Mereka hadir membangkitkan diri ini yang sempat jatuh hingga terpuruk lebih dalam."Sayang, fokus banget pandangin si kembar, suami sendiri nggak digubris."Aku terhenyak dari lamunanku, rupanya Mas Zafran sudah duduk di pinggiran ranjang. Sejak kapan dia ada di sini?"Maaf, Mas, adek nggak lihat. Mas sudah lama di sini?" tanyaku sambil berusaha bangun lalu menghambur ke tubuhnya.Mas Zafran memelukku dengan erat. "Sejak tadi, Dek. Mas panggilin malah nggak digubris. Mas cemburu sama
"Ingat pesan Om Dokter ya, Vio!" ucap Zain saat Vio sudah berada di dalam mobil."Siap, Om Dokter!" jawab Vio antusias."Apa coba kalau ingat?" tanya Zain memancing.Vio menarik napas lalu mulai menyebutkan pesan dari Zain."Jangan jajan sembarang, jangan makan es krim dulu dan makanan berlemak, tetap jaga kesehatan, jangan bawel. Nah, Vio udah benar kan, Dok?" Zain tersenyum seraya mengangkat kedua jempolnya. Vio bertepuk tangan riang."Dok, terimakasih ya. Suster Mawar, terimakasih sudah merawat Vio, sampaikan pada Dokter Roy dan perawat lainnya.""Iya sama-sama. Jaga Vio ya?" jawab Zain yang dibalas anggukan oleh Arumi."Kami permisi dulu, ya, Dok, Sus," pamit Arumi."Hati-hati," balas Zain.Arumi kemudian masuk dan duduk di samping kemudi. Bibir Arumi tak berhenti menyunggingkan senyum. Zain ikut tersenyum simpul. Mawar yang melihat itu merasa sangat cemburu.Maw
Mawar tak habis fikir dengannya dokter Zain bersikap biasa. Namun, dengan wanita itu, dokter Zain begitu bahagia hingga tertawa lepas. Siapa sebenarnya dia? Apakah dia wanita yang dimaksud Sinta? Pikirnya.Mawar memilih pergi ketimbang terus berdiri di sana melihat keakraban mereka. Wanita mana yang tidak merasa cemburu melihat orang yang dia kagumi tertawa lepas dengan wanita lain?Langkahnya terhenti tepat di depan toilet khusus staf ruangan. Gegas Mawar memilih masuk untuk menenangkan hatinya yang sedang dibakar api cemburu.Di depan cermin berukuran besar, Mawar menatap pantulan dirinya. Menelisik setiap inci yang ada pada dirinya. Baginya, dia tidak terlalu buruk dibanding wanita tadi. Lalu mengapa seolah-olah dokter Zain tak meliriknya?Mawar kemudian menempelkan tangan di dadanya."Ya, Allah. Apakah hamba akan kembali disakiti lagi? Bisakan hamba berharap ditakdirkan dengannya?" lirihnya.Setelah sekian t