Hari pernikahan semakin dekat, masih ada beberapa yang perlu dipersiapkan. Setelah fitting baju pengantin, kali ini mereka memilih dekorasi yang akan dipasang nantinya.
Mereka berdiskusi tentang tema apa yang diusung serta warna apa yang dipilih. Kecuali Zain. Dia lebih memilih duduk dan hanya menyimak tanpa ingin mau berpartisipasi. Baginya ikut berpartisipasi sama saja membuat luka baru untuknya.
"Tan, Zain mau istirahat." Mereka yanh sedang serius berdiskusi kompak menoleh.
"Masuk di kamar Tante aja, ya."
Zain melangkah menuju ruangan yang ditunjuk.
Di dalam kamar, Zain mengempaskan tubuhnya. Lengan kanannya berpindah tepat di atas keningnya. Dia berusaha untuk memejamkan mata tapi tak bisa.
Sudah beberapa hari terakhir Zain tampak tak bergairah melakukan apapun. Tidur tak nyeyak, makan pun tak enak. Hingga tanpa disadari perubahan terjadi di fisiknya. Berat badannya menurun dan wajahnya tak seceria sebelumny
Di tempat yang berbeda sosok yang serupa dengan perasaan Zain saat ini. Mas Taufik. Sejak mengetahui bahwa gadis pujaannya dipinang oleh pria lain, sejak itu pula dia sering mengurung diri. Mas Taufik pun merasa kehilangan. Padahal rencananya setelah Zaira selesai kuliah, dia akan melamae gadis itu. Sayang, itu semua tinggal rencana. Mas Taufik mengembuskan napas kasar. Diraihnya ponsel yang sejak tadi berdiam manis di atas meja kerjanya. Jari jemarknya menari di atas ponsel, menarik ulur beranda di aplikasi i*******m. Matanya berfokus pada sebuah akun yang memberinya sedikit pencerahan. "Jika cinta, ungkapkan! Jangan biarkan cinta terus bersemi tanpa bertuan. Bukankah rasanya sesak jika terus dibiarkan tumbuh tanpa ada mentari yang menyinari?" Sejenak Mas Taufik terus memikirkan maksud dari kalimat itu. Apa yang harus diungkapkan? Sedangkan sang pemilik cinta itu telah bersama yang lain? Khadijah datang di saat yang
Hari pernikahan semakin dekat, segala persiapkan satu persatu sudah selesai. Tinggal mengajukan administrasi ke Kantor Urusan Agama. Hari ini aku akan mengantarkan berkas yang diperlukan bersama Zaira dan tentunya didampingi oleh Umi Aisyah. Setelah menjemput keduanya, kami mampir ke studio foto untuk mengambil gambar yang akan ditempelkan di buku nikah nantinya. Zaira begitu tampak cantik dengan gamis putih senada dengan warna khimarnya. Make up.minimalis menghiasi wajah cantiknya menambah keanggungannya. Latar biru sudah terpajang di belakang kami berdua. Dengan satu kali potret, kami telah selesai pengambilan foto untuk buku nikah. "Alhamdulillah, tinggal penyerahan berkas ke KUA," Ucap Umi saat kami menunggu proses pencetakan gambar. "Alhamdulillah, Umi. Semoga selalu diberi kelancaran," balasku menanggapi. Umi merangkul tubuh mungil Zaira dengan sayang. Pemandangan yang jarang terlihat.&nb
"Wanita? Siapa?" "Zain nggak tahu, Bang. Yang pastinya dia sedang berhadapan dengan Abi dan Umi. Tampaknya suasana lagi tegang gitu." "Oke, tunggu Abang ke sana." Aku menutup panggilan lalu menyalakan meskin mobil. Mobil melaju perlahan meninggalkan pelantaran rumah Zaira. *Dua puluh menit berlalu, aku melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Tampak di depan pintu sepasang sepatu wanita. Siapa dia? "Assalamu'alaikum." Aku mengucapkan salam sambil berlalu. Tampak di ruang tamu Abi, Umi dan Zain sedang berkumpul menghadap ke arah tamu itu. "Wa'alaikumussalam," jawabnya serentak. Tamu yang sejak tadi menungguku, menoleh ke arahku. Deg! Aku diam mematung di tempat. "Anis?" "Zafran," jawabnya sembari tersenyum. Aku melangkah mendekat ke arah mereka. "Ada apa, Nis?" tanyaku berusaha ramah. Jangan tanya bagaimana perasaanku saat ini. Setelah b
"Ujian pranikah itu akan selalu ada. Entah penyebabnya karena ketidakcocokan dalam memilih persiapan nikah, atau bahkan hadirnya masa lalu dari salah satu pasangan. Tugas kita adalah menyelesaikannya dengan kepala dingin." Aku tersenyum kala membaca i***a story yang dibuat oleh salah satu akun pranikah di aplikasi i***agram. Banyak hal yang bisa aku jadikan pelajaran di sana sebagai bekal persiapan pranikah. Ujuan pranikah yang kami lewati sepertinya tidak ada. Aku dan Mas Zafran tidak pernah terjadi kesalahpahaman di antara kami. Persiapan nikah bukan hanya melibatkan kami berdua tapi.juga ke dua orang tua kami. Untuk masa lalu, rasanya juga bukan. Aku dan Mas Zafran tidak punya seseorang dari masa lalu. Saat kami masih mejalani proses ta'aruf dulu, aku sempat bertanya-tanya pada Mas Rayyan tanpa sepengetahuan dari Mas Zafran. Aku bertanya soal bagaimana sosok dari Mas Zafran termasuk masa lalunya. "Mas Rayyan, aku mau nanya, boleh?" tanyaku saat so
"Zafran pernah menyentuhku, Zaira."Tangisnya kembali pecah bersamaan dengan hancurnya hatiku mendengar pengakuannya.Aku sungguh tak percaya Mas Zafran akan sehina itu. Tubuhku melemah seketika, oksigen di dalam paru-paru seolah mulai menipis. Sakit, sesak dan entah kata-kata apalagi yang menggambarkan perasaanku saat ini. Aku hancur. Terluka. "Makanya aku datang ke sini, untuk memberitahumu, Zaira. Kamu adalah perempuan, pasti akan tahu perasaanku saat ini." Aku masih terdiam mendengar setiap ucapan wanita ini. Rasanya aku tak sanggup lagi untuk menerima kenyataan yang begitu pahit ini. "Zaira, aku mohon, lepaskan Zafran. Biar dia mempertanggungjawabkan perbuatannya padaku, Zaira. Dia.... Harus menikahiku." Aku belum merespon permohonannya. Rasanya ini sangat menggangguku. Begitu sangat menyakitkan untukku. Annisa kini berada di depanku kemudian berlutut seraya terus menangis. "Aku
"Aku ingin ketemu, Mas, penting!" Sebuah pesan masuk dari Zaira yang meninggalkan begitu tanda tanya besar. Selama ini, baru kali ini dia mengajakku untuk bertemu. Tanpa mengulur waktu, aku menghubunginya. Panggilan pertama terlewat begitu saja, hingga panggilan ke tiga barulah seseorang dari sana mengangkatnya. "Assalamu'alaikum," sapa Zaira di seberang. "Wa'alaikumussalam, Zaira." "Ada apa, Mas?" tanyanya. "Mas ingin tahu, Dek. Kita ketemuannya dimana?" "Di kantor Mas saja. Zaira harap, Rayyan juga ikut, Mas." "Rayyan?" "Iya, Mas. Bisa ya, Mas?" "Baiklah, Dek." Aku memutuskan sambungan telpon tanpa tahu apa sebenarnya terjadi. Pintu diketuk dari luar, sosok yang tengah dibahas Zaira muncul di balik pintu. "Rayyan, Zaira katanya mau ketemu." Rayyan mendudukkan dirinya di atas sofa dengan membawa dua cangkir teh. "Ya udah,
"Kita pernah melakukan dosa besar, Zafran!" Aku terbelakak mendengar penuturannya. Rayyan dan beberapa orang yang kebetulan ada di lantai dua ini menoleh ke arahku. "Dosa apa?" Sungguh kali ini dia keterlaluan. Aku tak tahu drama apa yang sedang dipermainkannya. "Lihat, Zaira! Bahkan untuk mengakuinya pun enggan. Padahal dia yang memulai. Dia yang....." Annisa menangis tergugu dengan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Anis!" bentakku. "Benar kan? Kita sudah melakukannya, Zafran!" "Ini fitnah!" balasku tak kalah sengit. Aku benar-benar merasa dipermalukan. "Waktu itu kami ada kegiatan kampus sampai malam hingga kami harus begadang. Aku yang sudah lelah, tertidur di kursi dengan posisi masih duduk. Dan Zafran...." Annisa kembali menangis. Tangisan yang kembali mengundang pasang mata serta bisikan-bisikan. "Zafran menodaiku!" pekik Annisa sambil menat
"Selamat atas pertunangan Bang Zafran dan pasangan otewe halalnya." tulis salah satu teman kampusku dulu Rayyan di grup w******p alumni fakultas kami. Sudah banyak komentar yang memberikan ucapan selamat dan do'a untuk mereka berdua. Ada pula yang memuji kecantikan calon istrinya. Aku yang sedang tersulut emosi dan dibakar api cemburu pun ikut berkomentar meskipin masih dengan santun. "Wah, masyaa Allah, kapan nih acaranya? Kok aku nggak tahu, ya? Aku nggak diundang?" "Kamu kan baru aja gabung disini, Nis. Ya, wajarlah kalau kamu nggak tahu," balas Bella. "Wah, ada yang cemburu, nih, Gaes!" celetuk Anya. "Ih, do'ain atuh, mantan terindahnya," balas Angga. Dan masih banyak lagi cibiran dari mereka yang membuat hati ini semakin tersulut api cemburu. Aku menutup aplimasi hijau itu dengan perasaan yang amat terluka. Dia Zafran Abdullah, sosok yang kukagumi semasa menjadi mahasisw
Tiga tahun berlalu, semenjak kepergian Zain suasana rumah Abi Abdullah semakin sepi. Sekali-sekali Zafran datang menjenguk membawa istri dan kedua bayi kembarnya.Zain yang bertugas tak seperti biasanya hanya pulang beberapa kali dalam setahun. Menjelajahi pulau satu ke pulau lainnya yang sulit diakses. Petualangannya bersama Arumi perlahan menumbuhkan rasa yang tak biasanya. Hingga akhirnya hari ini Zain resmi melamar Arumi sebagai pendamping hidupnya.Siapa yang akan menyangka, keduanya sama-sama pernah ditinggalkan oleh orang yang sangat dicintainya. Memiliki kisah cinta yang tak bisa terwujud lalu memilih ikhlas melepaskan meskipun sakit begitu dalam. Akhirnya, mereka dipertemukan.Hari ini secara resmi Zain mempersunting Arumi untuk dijadikan sebagai teman hidup. Perihal rasa yang pernah mengakar, akhirnya bisa juga hilang seiring berjalannya waktu.Arumi tampil begitu anggun dengan balutan kebaya syar'i berwarna peach s
Pov. Zain."Zain terpilih menjadi salah satu dokter yang bertugas di kapal rumah sakit, Abi. Zain pikir, lebih baik Zain terima." Kulihat mulai berembun."Kapan berangkatnya?" tanya Bang Zafran."Besok lusa, Bang," jawabku.Abi mengembuskan napasnya perlahan. Ditatapnya umi yang sudah mulai terisak. Aku mendekat lalu membawa tubuh orang yang telah melahirkanku ke dalam pelukan."Pasti lama. Kamu tega ya ninggalin, Umi?" Aku tersenyum."Ini bentuk pengabdian, Umi. Insya Allah, nanti Zain akan sekali-sekali pulang kok," bujukku berusaha menenangkan umi.Aku tahu perasaan umi saat ini. Umi pasti tak ingin melepaskanku. Tapi sumpah yang sudah terlanjur terucap untuk mengabdikan diri ini pada bangsa dan negara. Mataku tak sengaja mengarah pada sosok wanita yang kucintai. Segera kualihkan pandangan saat mata kami bertemu.'Maafkan Zain, Umi. Semua ini Zain lakukan demi abang. Rasa cinta ini b
Tepat empat puluh lima hari berlalu. Keluarga besar Zaira dan Zafran hari ini mengadakan tasyakuran aqiqah untuk kelahiran bayi kembar mereka. Segala persiapan telah dilaksanakan. Nuansa hijau dan putih menghiasi ruangan sesuai dengan permintaan Zaira.Banyak keluarga, sahabat, dan tetangga yang hadir di acara tersebut, tak terkecuali rekan bisnis serta para jama'ah tempat Zafran mengajarkan ilmu agama.Pemandu acara mulai membuka acara syukuran aqiqah."Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh bapak, ibu dan para tamu undangan yang kami hormati.Pertama – tama mari kita sampaikan puja dan puji syukur kehadirat Allah Subhanah Wa Ta'ala, atas rahmat dan hidayat yang dilimpahkan kepada kita semua, sehingga pada siang yang penuh dengan kebahagiaan ini kita bisa hadir memenuhi undangan dari Ustadz Zafran Abdullah sekeluarga dalam rangka syukuran akan lahirnya putra dan putri, buah hati dari pasangan Ustaz Zafran Abdullah dan ibu Zai
"Mas tolong!" pekik Zaira.Selepas isya suasana rumah menjadi ramai. Zaira tak berhenti menangis kala suhu tubuh kedua bayi kembarnya panas. Rasa panik menghampiri.Zafran yang tengah mengerjakan urusan kantor gegas menuju kamar. Dilihatnya Zaira duduk dengan ekspresi kebingungan di dekat bayi mereka.Zafran mendekat ke istrinya yang masih menangis sesegukan. "Ada apa, Sayang?""Ba-bayi kita, Mas.""Iya, mereka kenapa?" tanya Zafran."Bayi kita demam."Zafran mengecek keduanya. Ternyata benar, suhu badannya tinggi."Sebentar, Sayang, mas hubungi Zain dulu."Sementara Zafran menghubungi Zain, Mbok Siti datang terpongoh-pongoh di dekat Zaira."Ada apa, Bu?" tanyanya khawatir."Bayiku demam tinggi, Mbok," jawab Zaira dengan terisak.Diperiksanya kening bayi itu secara bergantian lalu Mbok Siti bergegas menuju dapur untuk mengambil air lalu tangannya meraih handuk
Hari minggu bahkan tak terasa satu bulan pun berlalu. Kehidupan Zaira dan Zafran terasa begitu indah dengan hadirnya bayi kembar mereka. Rasa lelah tak terasa bagi mereka. Justru mengurus kedua anaknya merupakan hal terindah yang belum pernah mereka rasakan.Bangun di tengah malam saat orang lain tengah menikmati istirahat, justru tidak bagi mereka. Mengganti popok, bangun menyusui atau bahkan melantunkan shalawat untuk si kembar. Hal yang sudah lumrah dirasakan oleh kebanyakan orang tua di luaran sana.Bagi Zafran berangkat ke kantor sudah terasa berbeda. Melihat kelucuan si kembar menjadi penyemangatnya. Begitpun saat pulang bekerja, Zafran akan disambut dengan suara dan harumnya bau tubuh si kembar."Anak ayah harum banget sih, bikin betah aja," ucap Zafran gemas."Ayahnya malah belum mandi, bau acem!" goda Zaira. Zafran tak menggubris godaan istrinya malah memeluk erat Zaira."Apaan sih, Mas," bisik Zaira lalu meli
Pov. ZafranBibirnya tak berhenti mengulas senyum kala istriku terus memandangi wajah kedua anak kami. Aku tahu, Zaira sangat bahagia saat ini. Begitu pun dengan aku.Kehadiran si bayi kembar mewarnai hidup kami. Hadirnya bagaikan oase di tengah padang pasir. Bagaimana tidak, mereka hadir di saat orang tuanya sudah pasrah akan takdir yang terus berjalan.Aku memandangi ketiganya dari balik pintu. Rasanya seperti mimpi melihat apa yang ada di depan mata saat ini. Keadaan yang begitu sangat kami rindukan, terlebih istriku."Sayang, belum tidur?" tanyaku sambil menuju lemari mengganti pakaian."Sayang, baju kaos biru navi mas di mana ya? Mas mau pakai itu, Dek."Lagi dan lagi tak ada jawaban. Pandanganku beralih padanya. Rupanya istriku tengah serius memandangi ajah mungil anak kami."Sayang, fokus banget pandangin si kembar, suami sendiri nggak digubris," protesku kala sudah duduk di pinggiran ranjang. 
Pov. Zaira.Bibir ini tak berhenti menyunggingkan senyum saat melihat wajah lucu dan menggemaskan si bayi kembar. Impian yang selama ini aku rindukan akhirnya terwujud juga.Rasa haru terus menyeruak di dalam dada kala mengingat bagaimana perjuangan kami berdua. Suka duka kita lewati bersama. Tak terhitung berapa tetes air mata yang mewakili perasaan ini.Kini, mereka hadir membantuku meraih mimpi yang sempat aku kubur dalam-dalam. Mereka hadir membangkitkan diri ini yang sempat jatuh hingga terpuruk lebih dalam."Sayang, fokus banget pandangin si kembar, suami sendiri nggak digubris."Aku terhenyak dari lamunanku, rupanya Mas Zafran sudah duduk di pinggiran ranjang. Sejak kapan dia ada di sini?"Maaf, Mas, adek nggak lihat. Mas sudah lama di sini?" tanyaku sambil berusaha bangun lalu menghambur ke tubuhnya.Mas Zafran memelukku dengan erat. "Sejak tadi, Dek. Mas panggilin malah nggak digubris. Mas cemburu sama
"Ingat pesan Om Dokter ya, Vio!" ucap Zain saat Vio sudah berada di dalam mobil."Siap, Om Dokter!" jawab Vio antusias."Apa coba kalau ingat?" tanya Zain memancing.Vio menarik napas lalu mulai menyebutkan pesan dari Zain."Jangan jajan sembarang, jangan makan es krim dulu dan makanan berlemak, tetap jaga kesehatan, jangan bawel. Nah, Vio udah benar kan, Dok?" Zain tersenyum seraya mengangkat kedua jempolnya. Vio bertepuk tangan riang."Dok, terimakasih ya. Suster Mawar, terimakasih sudah merawat Vio, sampaikan pada Dokter Roy dan perawat lainnya.""Iya sama-sama. Jaga Vio ya?" jawab Zain yang dibalas anggukan oleh Arumi."Kami permisi dulu, ya, Dok, Sus," pamit Arumi."Hati-hati," balas Zain.Arumi kemudian masuk dan duduk di samping kemudi. Bibir Arumi tak berhenti menyunggingkan senyum. Zain ikut tersenyum simpul. Mawar yang melihat itu merasa sangat cemburu.Maw
Mawar tak habis fikir dengannya dokter Zain bersikap biasa. Namun, dengan wanita itu, dokter Zain begitu bahagia hingga tertawa lepas. Siapa sebenarnya dia? Apakah dia wanita yang dimaksud Sinta? Pikirnya.Mawar memilih pergi ketimbang terus berdiri di sana melihat keakraban mereka. Wanita mana yang tidak merasa cemburu melihat orang yang dia kagumi tertawa lepas dengan wanita lain?Langkahnya terhenti tepat di depan toilet khusus staf ruangan. Gegas Mawar memilih masuk untuk menenangkan hatinya yang sedang dibakar api cemburu.Di depan cermin berukuran besar, Mawar menatap pantulan dirinya. Menelisik setiap inci yang ada pada dirinya. Baginya, dia tidak terlalu buruk dibanding wanita tadi. Lalu mengapa seolah-olah dokter Zain tak meliriknya?Mawar kemudian menempelkan tangan di dadanya."Ya, Allah. Apakah hamba akan kembali disakiti lagi? Bisakan hamba berharap ditakdirkan dengannya?" lirihnya.Setelah sekian t