Sore itu sesuai titah Abi kami akan bertandang di rumah wanita pilihan Abi. Ya, rumah calon istriku.
Aku dan Rayyan hari ini memilih lebih cepat pulang. Kami tengah berdebat di dalam kamarku.
"Zafran, hari ini ketemu calonnya kudu bahagia dong, jangan pasang tampang kusam kayak gitu."
Aku hanya diam menanggapi sambil terus memilih kemeja koko yang pas untuk malam ini.
"Kasihan anak orang, kamu datang ke sana memperkenalkan diri, bukannya dibenerin moodnya malah kayak anak gadis yang dipaksa nikah," omelnya lagi.
"Iya, tante Rayyan."
Rayyan yang tak terima kemudian melemparkan kemeja koko yang ada di tangannya.
"Enak aja disamain sama tante-tante!"
"Ya, abisnya kamu cerewet terus dari tadi."
Rayyan kembali bersungut.
"Udah, bantuin milih kemeja yang pas. Kamu kayak gitu malah kayak anak gadis yang lagi ngambek sama pacarnya."
"Hey, saya normal, ya."
Tak kugubris lagi ocehannya. Bagiku itu malah membuang-buang waktuku.
"Abang, ditungguin Abi, kok lama banget sih?" Zain tiba-tiba muncul di balik pintu.
"Abangmu masih sibuk milih baju," celetuk Rayyan.
"Jangan lama-lama, Bang. Kayak anak gadis aja lama milih baju," gerutunya sambil berlalu.
Rayyan menyemburkan tawanya mendengar ocehan Zain, aku mendelik tajam ke arahnya.
Tangan ini meraih kemeja koko berwarna mint dari brand ternama. Sengaja aku memilih brand itu dibanding punya sendiri. Celana kain hitam, jam tangan melekat di pergelangan tangan kiri. Rambut sedikit dirapikan dengan mengoles sedikit pomade agar terlihat lebih rapi.
Baru saja peci kupasang, sebuah tangan langsung menepis.
"Kamu tuh ibarat ketemuan, nggak usah pake peci. Nanti aja pecinya."
Aku segera meletakkan peci kembali ke tempat semula lalu meraih parfum dan menyemprotkannya di badan ini.
"Gimana?" tanyaku pada Rayyan sambil menghadap ke arahnya.
"Udah oke."
Kami lantas segera ke depan. Rupanya Abi, Umi dan Zain sudah menunggu.
Pandanganku tertuju pada adikku-Zain. Hari ini tampilannya berbeda dari biasanya. Lebih terkesan sopan dengan kemeja berwarna latte.
"Loh, Zain juga ikut?" tanyaku.
"Iya dong. Kenapa? Takut ya tuh cewek malah milih aku?"
"Bukan. Ya, tumben aja mau ikut acara resmi."
"Penasaran lihat calon kakak ipar," ledeknya.
Rayyan mengulum senyumnya berusaha menahan tawa yang siap meledak.
"Yuk, Abi kita berangkat!"
Kami berlima berjalan beriringan menuju mobil yang sudah terparkir di depan rumah. Setelah pintu dan gerbang kukunci, aku melangkah masuk dibalik kemudi.
Di sepanjang jalan Zain tak berhenti berceloteh menggodaku yang disambut Rayyan. Mereka kalau ketemu pasti membuat kegaduhan. Kalau nggak kompak ya berantem. Mereka sudah layak seperti Abang dan adik.
"Bang Ray, abang udah tahu penampakan calonnya Abang?" tanya Zain.
"Hust! Penampakan. Dia manusia, bukan makhluk gaib!" tegur Umi.
"Eh. Hehe. maaf, Umi. Canda kok."
"Abang kamu aja belum pernah lihat apalagi aku," jawab Rayyan.
"Abi, calon Abang cantik nggak? Jangan-jangan dia itu tante-tante yang udah nggak laku." Zain dan Rayyan terbahak bersama. Aku mendelik tajam lewat kaca spion.
"Zain...."tegur Abi.
"Kalian berdua yang bakalan naksir sama dia. Soalnya dia tuh cantik banget. Ya, nggak, Bi?" sela Umi.
"Kalian lihat aja pokoknya."
Aku yang diam-diam sejak tadi menyimak jadi penasaran. Seperti apa wajah dari calonku.
*
Dua puluh menit berlalu, kami tiba di sebuah pelantaran rumah yang begitu asri. Sejuk dan enak dipandang.Pintu diketuk sembari mengucapkan salam. Selama menunggu pintu dibuka, perasaanku tak karuan. Jujur, aku sangat gugup saat ini.
Pintu terbuka menampakkan sosok keibuan. Kalau ditaksir mungkin seusia dengan Umi. Tunggu, sepertinya aku mengenal beliau. Tapi di mana?
Kami melangkah masuk setelah dipersilahkan. Seorang laki-laki berpostur tubuh tegap seperti Abi menyambut kami dengan senyum merekah. Bisa kutebak, mungkin beliau adalah sahabat lama yang dimaksud Abi.
Abi berpelukan dengan sahabatnya, begitu pun dengan Umi. Mungkin saking lamanya tak bersua.
Setelah dipersilahkan duduk, Abi memperkenalkan diriku.
“Husein, ini Zafran, anakku.” Segera aku bangkit lalu menyalaminya dengan penuh takzim ke beliau.
“Sudah besar dan tambah gagah rupanya,” ucap Abi Husein. Aku hanya tersenyum simpul.
"Ini Zain anak keduaku, dan Rayyan sahabat Zafran. Kami sudah menganggapnya seperti anak kami sendiri." Abi kembali memperkenalkan Zain dan Rayyan.
"Masyaa Allah Zain sudah besar ya? Dulu masih usia dua tahun," ujar Abi Husein.
“Zafran, Zain, kamu masih ingat? Dulu Abi sering mengajakmu ke rumah Abi Husein dan Umi Aisyah.” Aku yang mendengar penuturan Abi sejenak berpikir mengingat kejadian dua puluh tahun silam.
Zain menoleh ke arahku seperti meminta jawaban.
“Iya loh, Mas. Waktu itu Zafran baru berusia delapan tahun dan Zain baru usia dua tahun. Wajar kalau nggak ingat,” sambung Umi Aisyah-Istri Abi Husein.
Sejenak otakku terus memutar memori. Benar, dulu Abi sering mengajakku berkunjung ke rumah sahabatnya bersama Zain. Pantas saja, aku merasa tak asing saat melihat mereka.
“Ya Allah, Umi lupa menjamu tamu kita. Sebentar, ya.” Umi Aisyah melenggang ke dapur.
“Mas Abdullah, akhirnya kita kembali bisa berkumpul, ya, setelah kamu pindah ke sini?”
“Iya, waktu itu kami harus pindah karena dipindah tugaskan. Alhamdulillah kita dipertemukan secara tidak sengaja di pengajian kemarin.”
“Waktu itu putri kami baru berusia dua tahun.”
"Seusia aku dong, Om," celetuk Zain.
"Panggil Abi aja, ya, Nak," tegur Abi Husein.
"Eh, iya, Abi." Zain memegang tengkuknya.
"Iya, kalian malah sering bermain bersama."
Di tengah asyiknya bernostalgia, Umi Aisyah muncul bersama sosok wanita yang mengekor di belakangnya. Aku lantas segera menunduk tanpa sempat melihat wajah sosok itu.
"Zaira?" lirih Zain.
Aku segera menoleh ke arah Zain yang tampak diam terus memandang ke depan. Refleks aku ikut melihat ke arah pandangan Zain.
Aku terkejut bukan main melihat sosok wanita yang aku cintai-Zaira. Jadi, wanitanyang dijodohkan denganku itu Zaira?
Ada rasa bahagia tak terkira saat mengetahui bahwa orang yang kucintai adalah wanita yang dipilihkan untukku. Namun, bahagia itu mendadak sirna saat aku menyadari pandangan Zaira tertuju pada Zain, bukan padaku.
"Zaira, airnya!" tegur Abi.
Zaira kembali tersadar lalu menoleh ke arahku.
"Ustadz Zafran, Mas Rayyan," sapanya dengan senyumnya yang begitu anggun.
"Loh, kalian sudah saling kenal?" tanya Abi Husein.
"Zaira itu sosok yang ingin kukenalkan dengan Abi dan Umi. Zafran nggak nyangka ternyata dialah wanita yang dipilihkan Abi untuk Zafran."
Zaira berjalan mendekat untuk mengantar jamuan juga tampak gugup sepertiku. Jamuan yang ada di tangannya pun ikut bergetar.
Perlahan sosoknya menyejajarkan tubuhnya dengan meja. Dengan rasa gugup yang juga luar biasa, dia perlahan memindai teh yang ada di mampang ke meja lalu menyusunnya sesuai posisi duduk kami. Aku sangat gugup sama sepertinya.
Setelah Zaira itu meletakkan teh manis dan beberapa potong kue, dia bangkit dan berpindah dari hadapanku. Aku bernapas lega.
"Subhanallah, jadi kalian ternyata lebih dulu bertemu," timpal Umi Aisyah.
"Lalu Zain?" tanya Abi. Tampak Zain berubah pias, tidak secerah tadi. Aku tak tahu apa yang terjadi sebenarnya.
"Subhanallah, jadi kalian ternyata lebih dulu bertemu," timpal Umi Aisyah. "Lalu Zain?" tanya Abi. Tampak Zain berubah pias, tidak secerah tadi. Aku tak tahu apa yang terjadi sebenarnya. "Di-dia teman kuliah, Zain, Bi," jawab Zain terbata. Aku dan Rayyan saling berpandangan. Kalau hanya sebatas teman kuliah, tidak mungkin Zain berubah seperti ini. “Zafran?” tegur Abi saat melihatku sedari tadi mencoba menerka situasi ini. "Alhamdulillah kalau kalian sudah saling sama-sama kenal. Jadi tak perlu lagi perkenalannya," timpal Umi. Aku dan Zaira hanya melempar senyum. Bahagia terus kurasakan. Allah ternayata memberikan kejutan yang luar biasa. "Kalian itu sejak kecil sudah sama-sama kenal. Mungkin belum ingat, ya?" tanya Abi. “Waktu itu Zafira masih kecil. Ya, kan, Mba, Fatimah?” timpal Umi Aisyah. Aku dan Zaira masih diam menyimak obrolan kedua orang tua kami.
Semenjak pertemuan di rumah Zaira, sampai saat ini Zafran belum menemukan teka-teki apa yang sebenarnya terjadi. Zafran yang tengah disibukkan dengan pekerjaannya tampak tak bisa berkonsentrasi mengingat kejadian kemarin. Rayyan yang menyadari itu lantas segera menghibur sahabatnya. "Zafran, sudah dikirim proposal ta'arufnya?" tanya Rayyan sambil menenteng lembar laporan. Zafran menggeleng lemah sambil mengetuk keningnya dengan pulpen. Rayyan menghempaskan tubuhnya di sofa seraya menoleh ke arah sahabatnya. Rayyan tahu apa yang menjadi kendala proposal itu belum dikirimkan. "Mungkin hanya dugaan kita. Buatlah proposal itu. Bukankah itu yang kamu tunggu? Jangan mengorbankan orang-orang yang mengharapkan pernikahan kalian." "Bagaimana mungkin aku tega melanjutkan sedangkan adikku sepertinnya terluka dengan perjodohan kami?" Rayyan mengembuskan napas kasar. "Kalau begitu segera pastikan. Jangan membua
"Zain mencintai Zaira, Abi." Ummi Fathimah yang mendengar itu sedikit tersentak. Bagaimana mungkin kedua anaknya menyukai wanita yang sama? "Di mana Zain?" "Biar Umi yang panggilkan." Umi Fathimah beranjak dari tempat duduknya lalu menemui anak bungsunya. Pintu kamar Zain diketuk, tapi tak ada sedikitpun jawaban. Perlahan Umi memutar handel pintu lalu mendorongnya pelam. Tampak jelas Zain hanya duduk termenung di kursi tempatnya belajar. Umi Fathimah kemidian masuk lalu berdiri tepat di belakang putranya. "Ada apa, Nak?" tanya Umi. Zain yang menyadari kehadiran Uminya lantas segera memeluk tubuh wanita yang melahirkannya. "Zain nggak pa-pa." Umi Fathimah tahu jika anaknya sedang berbohong. Dibelainya rambut tebal outranya dengan lembut. "Abi mencarimu, Nak. Ikut umi, yuk!" Zain berdiri lalu mengekor di belakang Umi. Tanpa sepatah kata pun. "Zain, Abi ingin kamu juj
"Assalamu'alaikum, Dek. Besok lusa, Mas dan keluarga akan datang untuk mengkhitbahmu." Zaira tersentak saat sebuah pesan masuk ke aplikasi hijaunya. Pesan cinta dari Mas Zafran. Pesan pertama yang selama ini dia tunggu. "Lusa? Apa Umi dan Abi sudah tahu." Gegas Zaira mencari orang tuanya. Setelah mencari dari ruang keluarga dan ke halamannya, rupanya Umi sedang berada di dapur. "Umi, abi dimana?" Umi yang sedang memotong tomat berbalik ke arah Zaira. "Paling di ruang kerjanya, Sayang. Ada apa?" "Mas Zafran tadi ngabarin Zaira, lusa mereka bakal datang lamaran." "Eh, kok mendadak? Maksudnya kenapa nggak ngabarin beberapa hari sebelum hari H?" Umi Fathimah gegas menemui Abi yang sedang berada di ruang kerjanya. "Abi." "Hm." "Kata Zafran, lusa mereka bakal datang lamaran, Bi. Abi udah tahu?" Abi Abdullah melepas kacamata yang sedari tadi bertemgger di hidung b
*Hari lamaran pun tiba. Zaira tak berhenti mematut diri di depan cermin. Kebaya berwarna silver dipadu padankan dengan khimar warna senada. Hari ini Zaira begitu tampak lebih cantik dengan polesan make-up minimalis. Rasa deg-degan luar biasa dirasakannya. Zaira benar-benar tidak menyangka akan secepat ini. Zaira hanya berharap semua berjalan dengan lancar. *Zafran tak berhenti mengucapkan asma-asma Allah untuk menenangkan hatinya yang sedang bergemuruh hebat. Hari ini, dia kan mempersunting wanita pujaannya. Di sisi lain, Zain terus berusaha untuk tetap tegar. Meskipun sulit, tapi dia harus bisa melakukannya. Zain harus berusaha tetap baik-baik saja ketika nanti menyaksikan Abangnya mempersunting wanita yang sangat dicintainya. *Dua keluarga berkumpul di dalam satu ruangan dan saling berhadapan. Tampak Zaira dan Zafran saling mencuri pandang dan sekali-sekali berusaha menetralkan degupan jantung yang terus bertalu tak ber
Saat kuputuskanBertemu orang tuamuKuyakinkan diriKaulah yang terbaik Dan saat kau memilihAku yang pantas untukmuHati ini berikrar'Tuk s'lalu menjagamu Kuyakin kaulah jawabanDi setiap pintakuWalauKu belum tahu namamu Bisikkan di sujudkuDi sepertiga malamkuUntukKehadiranmu sempurnakan imankuHaa-aa Saat kau memilihAku yang pantas untukmuHati ini berikrar'Tuk s'lalu menjagamu Kuyakin kaulah jawabanDi setiap pintakuWalauKu belum tahu namamu Bisikkan di sujudkuDi sepertiga malamkuUntukKehadiranmu sempurnakan imanku Buang cerita lamaRangkai cerita baruMenua bersama Lagu itu terus terputar di daftar lagu ponselku. Semenjak Mas Zafran menyanyikan lagu itu, aku semakin merasa bahwa Mas Zafran begitu mencintaiku. Pagi ini setelah lamaran kemarin aku beraktifitas seperti biasa. Saat ini aku sedang proses penelitian untuk ba
"Bang Zafran di mana?" tanyanya kemudian. "Mungkin dengan Mas Rayyan." Zain kemudian mendudukkan diri tepat di depanku. Sekali-sekali pandangan kami bertemu. Suasana begitu sepi, hanya detakan jam dinding yang memecah kesunyian. "Itu...." ekor matanya mengarah ke tumpukan berkas kuesionerku. "O-oh. Ini lembar kuesioner," jawabku gugup. Zain mengangguk dan lagi kami hanya terdiam. Ada rasa yang tak nyaman saat berdua dengannya di sini. Dia yang selama ini jail dan akan terus mengangguku, sekarang seperti orang asing. Bukan Zain yang selama ini kukenal. Baru kali ini aku menatap lekat wajahnya. Wajah pemilik sosok yang beberapa tahun terakhir tak berhenti untuk mengejarku. Tampan seperti kakaknya. Bulu mata lentik, kulit bersih, bibir tipis dan alis tebal. Aku bisa menelisik wajahnya ketika Zain sedang sibuk mengotak-atik ponselnya. Aku pun tak mengerti mengapa hati ini susah terb
"Zaira?" Bagai disambar petir di siang hari, aku yang saat ini ikut menemani Abang untuk bertemu dengan calon istri pilihan Abi harus menelan pil pahit. Wanita yang selama ini menjadi pengisi hatiku, telah dijodohkan dengan orang lain. Abangku sendiri. *Empat tahun yang lalu saat aku masih menjadi mahasiswa baru adalah kali pertama aku melihatnya. Saat itu aku yang tengah kebingungan mencari di mana perpustakaan tiba-tiba dibantu oleh seorang gadis cantik berpakaian syar'i. "Cari ap, Mas?" tanyanya lembut. "Perpustakaan di sebelah mana, ya, Mba?" "Oh, sebelah sana, Mas. Kebetulan aku juga mau kesana." "Aku ikut, boleh?" tanyaku ragu. "Yuk, Mas!" "Zain. Namaku Zain Abdullah." Aku mengulurkan tangan, sayangnya tak disambut. Kedua tangannya ditengkupkan di depan dada. "Aku, Zaira." Segera kutarik tangan yang sudah mengudara. Dia tetap terse