Beranda / Romansa / BIDADARI SURGAKU / 8. SABDA CINTA (POV ZAFRAN)

Share

8. SABDA CINTA (POV ZAFRAN)

Sore itu sesuai titah Abi kami akan bertandang di rumah wanita pilihan Abi. Ya, rumah calon istriku.

Aku dan Rayyan hari ini memilih lebih cepat pulang. Kami tengah berdebat di dalam kamarku. 

"Zafran, hari ini ketemu calonnya kudu bahagia dong, jangan pasang tampang kusam kayak gitu."

Aku hanya diam menanggapi sambil terus memilih kemeja koko yang pas untuk malam ini. 

"Kasihan anak orang, kamu datang ke sana memperkenalkan diri, bukannya dibenerin moodnya malah kayak anak gadis yang dipaksa nikah," omelnya lagi. 

"Iya, tante Rayyan."

Rayyan yang tak terima kemudian melemparkan kemeja koko yang ada di tangannya.

"Enak aja disamain sama tante-tante!"

"Ya, abisnya kamu cerewet terus dari tadi."

Rayyan kembali bersungut.

"Udah, bantuin milih kemeja yang pas. Kamu kayak gitu malah kayak anak gadis yang lagi ngambek sama pacarnya."

"Hey, saya normal, ya."

Tak kugubris lagi ocehannya. Bagiku itu malah membuang-buang waktuku. 

"Abang, ditungguin Abi, kok lama banget sih?" Zain tiba-tiba muncul di balik pintu. 

"Abangmu masih sibuk milih baju," celetuk Rayyan. 

"Jangan lama-lama, Bang. Kayak anak gadis aja lama milih baju," gerutunya sambil berlalu.

Rayyan menyemburkan tawanya mendengar ocehan Zain, aku mendelik tajam ke arahnya. 

Tangan ini meraih kemeja koko berwarna mint dari brand ternama. Sengaja aku memilih brand itu dibanding punya sendiri. Celana kain hitam, jam tangan melekat di pergelangan tangan kiri. Rambut sedikit dirapikan dengan mengoles sedikit pomade agar terlihat lebih rapi. 

Baru saja peci kupasang, sebuah tangan langsung menepis.

"Kamu tuh ibarat ketemuan, nggak usah pake peci. Nanti aja pecinya."

Aku segera meletakkan peci kembali ke tempat semula lalu meraih parfum dan menyemprotkannya di badan ini. 

"Gimana?" tanyaku pada Rayyan sambil menghadap ke arahnya.

"Udah oke."

Kami lantas segera ke depan. Rupanya Abi, Umi dan Zain sudah menunggu.

Pandanganku tertuju pada adikku-Zain. Hari ini tampilannya berbeda dari biasanya. Lebih terkesan sopan dengan kemeja berwarna latte. 

"Loh, Zain juga ikut?" tanyaku. 

"Iya dong. Kenapa? Takut ya tuh cewek malah milih aku?"

"Bukan. Ya, tumben aja mau ikut acara resmi."

"Penasaran lihat calon kakak ipar," ledeknya. 

Rayyan mengulum senyumnya berusaha menahan tawa yang siap meledak.

"Yuk, Abi kita berangkat!"

Kami berlima berjalan beriringan menuju mobil yang sudah terparkir di depan rumah. Setelah pintu dan gerbang kukunci, aku melangkah masuk dibalik kemudi. 

Di sepanjang jalan Zain tak berhenti berceloteh menggodaku yang disambut Rayyan. Mereka kalau ketemu pasti membuat kegaduhan. Kalau nggak kompak ya berantem. Mereka sudah layak seperti Abang dan adik. 

"Bang Ray, abang udah tahu penampakan calonnya Abang?" tanya Zain. 

"Hust! Penampakan. Dia manusia, bukan makhluk gaib!" tegur Umi.

"Eh. Hehe. maaf, Umi. Canda kok."

"Abang kamu aja belum pernah lihat apalagi aku," jawab Rayyan.

"Abi, calon Abang cantik nggak? Jangan-jangan dia itu tante-tante yang udah nggak laku." Zain dan Rayyan terbahak bersama. Aku mendelik tajam lewat kaca spion.

"Zain...."tegur Abi. 

"Kalian berdua yang bakalan naksir sama dia. Soalnya dia tuh cantik banget. Ya, nggak, Bi?" sela Umi. 

"Kalian lihat aja pokoknya."

Aku yang diam-diam sejak tadi menyimak jadi penasaran. Seperti apa wajah dari calonku. 

*

Dua puluh menit berlalu, kami tiba di sebuah pelantaran rumah yang begitu asri. Sejuk dan enak dipandang. 

Pintu diketuk sembari mengucapkan salam. Selama menunggu pintu dibuka, perasaanku tak karuan. Jujur, aku sangat gugup saat ini. 

Pintu terbuka menampakkan sosok keibuan. Kalau ditaksir mungkin seusia dengan Umi. Tunggu, sepertinya aku mengenal beliau. Tapi di mana?

Kami melangkah masuk setelah dipersilahkan. Seorang laki-laki berpostur tubuh tegap seperti Abi menyambut kami dengan senyum merekah. Bisa kutebak, mungkin beliau adalah sahabat lama yang dimaksud Abi. 

Abi berpelukan dengan sahabatnya, begitu pun dengan Umi. Mungkin saking lamanya tak bersua. 

Setelah dipersilahkan duduk, Abi memperkenalkan diriku. 

“Husein, ini Zafran, anakku.” Segera aku bangkit lalu menyalaminya dengan penuh takzim ke beliau. 

“Sudah besar dan tambah gagah rupanya,” ucap Abi Husein. Aku hanya tersenyum simpul. 

"Ini Zain anak keduaku, dan Rayyan sahabat Zafran. Kami sudah menganggapnya seperti anak kami sendiri." Abi kembali memperkenalkan Zain dan Rayyan.

"Masyaa Allah Zain sudah besar ya? Dulu masih usia dua tahun," ujar Abi Husein.

“Zafran, Zain, kamu masih ingat? Dulu Abi sering mengajakmu ke rumah Abi Husein dan Umi Aisyah.” Aku yang mendengar penuturan Abi sejenak berpikir mengingat kejadian dua puluh tahun silam. 

Zain menoleh ke arahku seperti meminta jawaban. 

“Iya loh, Mas. Waktu itu Zafran baru berusia delapan tahun dan Zain baru usia dua tahun. Wajar kalau nggak ingat,” sambung Umi Aisyah-Istri Abi Husein. 

Sejenak otakku terus memutar memori. Benar, dulu Abi sering mengajakku berkunjung ke rumah sahabatnya bersama Zain. Pantas saja, aku merasa tak asing saat melihat mereka. 

“Ya Allah, Umi lupa menjamu tamu kita. Sebentar, ya.” Umi Aisyah melenggang ke dapur. 

“Mas Abdullah, akhirnya kita kembali bisa berkumpul, ya, setelah kamu pindah ke sini?” 

“Iya, waktu itu kami harus pindah karena dipindah tugaskan. Alhamdulillah kita dipertemukan secara tidak sengaja di pengajian kemarin.”

“Waktu itu putri kami baru berusia dua tahun.” 

"Seusia aku dong, Om," celetuk Zain.

"Panggil Abi aja, ya, Nak," tegur Abi Husein.

"Eh, iya, Abi." Zain memegang tengkuknya.

"Iya, kalian malah sering bermain bersama."

Di tengah asyiknya bernostalgia, Umi Aisyah muncul bersama sosok wanita yang mengekor di belakangnya. Aku lantas segera menunduk tanpa sempat melihat wajah sosok itu.

"Zaira?" lirih Zain. 

Aku segera menoleh ke arah Zain yang tampak diam terus memandang ke depan. Refleks aku ikut melihat ke arah pandangan Zain. 

Aku terkejut bukan main melihat sosok wanita yang aku cintai-Zaira. Jadi, wanitanyang dijodohkan denganku itu Zaira?

Ada rasa bahagia tak terkira saat mengetahui bahwa orang yang kucintai adalah wanita yang dipilihkan untukku. Namun, bahagia itu mendadak sirna saat aku menyadari pandangan Zaira tertuju pada Zain, bukan padaku. 

"Zaira, airnya!" tegur Abi. 

Zaira kembali tersadar lalu menoleh ke arahku. 

"Ustadz Zafran, Mas Rayyan," sapanya dengan senyumnya yang begitu anggun. 

"Loh, kalian sudah saling kenal?" tanya Abi Husein.

"Zaira itu sosok yang ingin kukenalkan dengan Abi dan Umi. Zafran nggak nyangka ternyata dialah wanita yang dipilihkan Abi untuk Zafran."

Zaira berjalan mendekat untuk mengantar jamuan juga tampak gugup sepertiku. Jamuan yang ada di tangannya pun ikut bergetar. 

Perlahan sosoknya menyejajarkan tubuhnya dengan meja. Dengan rasa gugup yang juga luar biasa, dia perlahan memindai teh yang ada di mampang ke meja lalu menyusunnya sesuai posisi duduk kami. Aku sangat gugup sama sepertinya. 

Setelah Zaira itu meletakkan teh manis dan beberapa potong kue, dia bangkit dan berpindah dari hadapanku. Aku bernapas lega. 

"Subhanallah, jadi kalian ternyata lebih dulu bertemu," timpal Umi Aisyah.

"Lalu Zain?" tanya Abi. Tampak Zain berubah pias, tidak secerah tadi. Aku tak tahu apa yang terjadi sebenarnya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status