Senin pagi seperti biasa aktifitas padat dimulai. Jalanan Ibu Kota akan dipenuhi oleh kendaraan yang lalu lalang. Saat fajar datang menyapa, kebanyakan dari para pengais rejeki akan memulai aktifitasnya. Sama seperti diriku yang memilih berangkat setelah shalat subuh kutunaikan agar aku bisa menghirup udara segar di pagi hari, juga menghindari macet yang menjadi ikon kota ini.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat puluh lima menit, aku tiba di pelantaran sebuah bangunan tempatku mengais rejeki. Bangunan tiga lantai berdiri tegak atas hasil keringat sendiri.
Suasananya masih sepi. Tentu saja. Aku lebih suka datang lebih awal agar aku bisa berehat sejenak sebelum memulai aktifitasku. Menghambakan kepada Sang Pemilik diri ini untuk memohon keberkahan atas segala usahaku hari ini.
Satu jam berlalu, satu persatu karyawan mulai berdatangan dan memulai aktifitas sesaat setelah breafing yang rutin setiap pagi dilakukan untuk menambah semangat kerja para karyawan.
Saat aku tengah sibuk memeriksa laporan bulanan, terdengar pintu diketuk. Seseorang muncul setelah aku persilahkan untuk masuk.
"Hari ini jadi nggak ngisi poadcast di channel Muslimah Berbagi Inspirasi?" tanya Rayyan setelah mendudukkan dirinya di sofa ruang kerjaku.
Aku melirik jam di tangan sejenak.
"Sepuluh menit lagi aku berangkat," jawabku tanpa menoleh.
"Ayolah, Zafran! Kamu bakal tampil, loh, di channel youtube terkenal. Perbaiki dulu penampilanmu."
Aku tersenyum tipis menanggapi.
"Apa penampilan begitu penting?"
Rayyan beranjak dari tempat duduknya lalu berdiri di hadapanku dengan tangan menyilang di depan dada.
"Kamu akan ditonton oleh banyak orang. Jelaslah penampilan penting," ucapnya sewot.
Aku berdiri mengikuti dia yang lebih dulu sudah di depan lemari pakaian yang memang aku siapkan di ruang kerja. Ini adalah ide Rayyan. Saat aku tanya kenapa, dia malah menjawab di luar perkiraanku.
"Takutnya kamu tiba-tiba butuh untuk berganti pakaian. Kan sampai saat ini belum ada yang ngurusin kamu. Maka bersyukurlah punya sahabat sebaik aku." Aku hanya diam tanpa menanggapi.
"Makanya buruan, gih, cari pendamping sebelum aku yang nikah duluan!"
Aku mendelik malas jika ujung-ujungnya membahas ke arah sana. Menikah.
Lamunanku buyar saat sebuah tangan menepuk wajahku.
"Jangan bengong! Entar kesambet kamu."
"Kamu terlalu cerewet. Kayak perempuan aja," ujarku sambil memilih baju yang akan kupilih.
"Terserahlah. Asal kamu nurut."
Sepuluh menit berlalu, tak perlu banyak waktu untuk memilih. Kali ini kemeja koko warna navi adalah pilihan yang tepat untukku yang berkulit cerah. Rambut sedikit kurapikan, jam tangan digital dengan merk ternama melingkar manis di pergelangan tangan kiri serta sepatu santai warna hitam sepadan dengan celana kain berwarna senada.
Dering ponsel menghentikan aktifitasku. Tertera nama Mas Taufik salah satu kru channel Muslimah Berbagi Inspirasi.
"Assalamu'alaikum. Iya, aku sudah menuju ke sana. Mungkin setengah jam lagi aku tiba di sana."
Gegas aku menyambar kunci mobil di atas meja lalu melangkah keluar. Tak kupedulikan teriakan Rayyan yang protes ditinggal begitu saja.
Setelah menempuh perjalanan hampir setengah jam, kembali aku merapikan diri sebelum masuk ke dalam gedung berlantai dua itu.
"Bagaimana?" tanyaku memastikan.
"Udah keren," jawabnya dengan menaikkan dua jempol.
Langkah kaki ini kemudian membawaku menaiki lantai dua. Rayyan tentunya sejak tadi mengekor di belakangku. Selain menjabat sebagai manajer, dia juga merupakan sahabatku sejak kecil. Jadi tak salah jika dia secerewet itu.
Di lantai dua kami disambut oleh tiga orang yang kuyakini para kru.
"Assalamu'alaikum, Ustadz Zafran," sapa Mas Taufik.
"Wa'alaikumussalam, Mas. Maaf kami telat," ucapku sambil merangkul Mas Taufik.
Pandanganku kemudian tertuju pada dua wanita yang berdiri bersisian di samping Mas Taufik. Salah satu di antara mereka sedikit mengalihkan perhatianku. Kuucapkan istighfar sebelum setan mengambil kesempatan ini.
"Assalamu'alaikum, Ustaz," sapanya lembut sambil menangkupkan kedua telapak tangannya di depan.
"Wa'alaikumussalam," balasku kikuk.
"Sudah bisa dimulai, Ustaz?" tanya Mas Taufik kemudian.
"Boleh."
"Silahkan masuk Ustaz. Lima menit lagi kita mulai, ya?" Aku mengangguk kemudian mengikuti langkahnya.
Wanita yang belum aku tahu namanya tersenyum simpul lalu kubalas dengan senyum pula.
Di dalam ruang persegi dengan warna dominan putih serta kaligrafi menghiasi setiap sudut ruangan. Aku dan Rayyan duduk bersisian. Saat aku sedang asyik mengobrol dengan Rayyan, muncul salah satu wanita tadi.
"Maaf mengganggu, Ustaz. Mungkin ustaz Zafran sudah bisa masuk ke ruang utama untuk mengambil rekaman hari ini."
Sejenak aku menoleh ke arah Rayyan yang tak pernah berkedip menatap wanita tadi.
'Semoga nggak kumat,' batinku.
Aku berjalan menuju ruangan yang dituju. Di dalam sudah ada wanita yang duduk di balik meja yang berhadapan langsung dengan kursi yang akan menjadi tempatku nanti. Wanita dengan gamis berwarna navi dengan paduan khimar berwarna abu muda. Sangat cocok dengan wajahnya yang manis.
'Jadi, dia yang akan memandu acara hari ini?'
Sejenak pandangan kami bertemu.
"Silakan duduk, Ustaz," ucapnya dengan lembut dengan senyum menghiasi wajahnya.
Aku mendudukkan diri kemudian sedikit merapikan penampilan sebelum di-take.
"Bisa kita mulai ya, Ustaz?" Aku menggangguk. Ada dentuman dari dalam dada yang sedang berusaha kukontrol.
Pandangannya mulai melihat ke arah sisi kanannya kemudian mengangkat jempol kanannya.
"Bismillahirrohmanirrohim. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pertama - tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah subhanahu wata'ala yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kita dapat berkumpul pada hari ini dengan keadaan sehat wal'afiat.
Tak Lupa Sholawat serta salam tak henti - hentinya kita haturkan kepada Rasulullah salallahu 'alaihi wasallam, yang kita tunggu syafaatnya di hari kiamaat nanti. Semoga kita termasuk golongan umat yang mendapatkan syafa'atnya kelak. Aamiin Allahumma Aamiin."
"Sahabat MBI di mana pun berada, apa kabar hari ini? Semoga senatiasa dalam lindungan Allah Subhana Wa Ta'ala. Aamiin. Seperti biasa hari ini Zaira Khazanah kembali menyapa sahabat fillah semua untuk berbagi kisah inspirasi dengan ornag hebat."
Aku sekali-sekali mencuri pandang kepadanya. Zaira, nama yang indah. Tanpa sadar senyum tercipta di wajahku.
"Alhamdulillah hari ini kita kedatangan tamu istimewa yang belakangan ini jadi pembicaraaan hangat akan sosoknya. Ustaz Zafran Abdullah. Pengusaha muda khusus busana muslim. Masya Allah."
"Assalamu'alaikum, Ustaz."
"Wa'alaikumussalam," jawabku yang kini berhadapan dengannya.
"Sebelumnya jazakallah khairan katsiran Ustaz sudah bersedia membagi waktunya di tengah kesibukan Ustaz untuk menjadi narasumber kami hari ini."
"Wa jazakillah khair."
"Sebelumnya kita santai saja ya, Ustaz, agar sharing kita berjalan dengan mudah."
Entah dia menangkap sinyal rasa gugupku atau memang prosedurnya.
"Baik."
"Sebelumnya, apa Ustaz bisa sedikit bercerita bagaimana kisah di balik kesuksesan Ustaz dalam mengelola usaha ini?"
"Awalnya itu bermula pada tiga tahun silam. Saat itu aku masih menempuh pendidikan di salah satu universitas ternama di kota ini. Di kampus kami itu ada suatu lembaga yang mengadakan kegiatan khusus sebagai wadah bagi mahasiswa beragama muslim untuk mengembangkan dakwah di kampus kami. Setiap hari jum'at sore kami akan mengadakan kajian rutinan yang dihadiri oleh beberapa petinggi universitas, staf dan juga mahasiswa."
"Sampai suatu hari kami berencana mengadakan lomba dalam rangka menyambut bulan suci ramadhan. Salah satunya adalah kelompok shalawatan. Petinggi kampus meminta untuk membuat seragam sendiri yang akan didanai oleh pihak kampus."
"Kebetulan Umi saya memiliki keahlian menjahit. Lalu dengan bantuan beliaulah, seragam itu jadi. Alhamdulillah setiap kegiatan kampus bertema islami, seragam akan dipesan dengan saya sebagai perantara. Katanya, jahitan, kain dan modelnya berbeda dari yang ada di pasaran."
"Saat itulah saya terinspirasi untuk menjadi pedangan muslim dan banyak belajar dari Umi."
"Masyaa Allah sangat inspiratif sekali yang berawal dari seorang aktifis dakwah di kampus, lalu sentuhan jahitan seorang ibu dan pastinya diselingi do'a sehingga bisa seperti ini ya, Ustaz?" Aku mengangguk ramah.
"Lalu untuk nama brandnya sendiri yaitu An-Nur Barokah itu terinspirasi dari mana, Ustaz?"
"Untuk nama brandnya seperti artinya adalah cahaya berkah. Berharap apa yang saya lakukan senantiasa mendapatkan limpahan cahaya keberkahan di dalamnya."
"Masyaa Allah berarti sebuah do'a ya, Ustaz?" Aku mengangguk kembali.
Lalu pertanyaan terus terlontar darinya. Wanita yang berhasil menarik perhatianku sejak awal jumpa. Wanita shalihah yang cerdas dan santun. Zaira Khazanah.
Satu jam telah berlalu, obrolan ringan yang sedikit diselingi canda darinya membuatku semakin tertarik. Pembawaannya yang ringan dan mudah membawa lawan bicara sudah seperti sangat dekat.
"Alhamdulillah sharing pada hari ini berjalan dengan lancar. Semoga ilmu yang disampaikan oleh narasumber kita pada hari ini bermanfaat untuk kita semua."
"Jazakallah khairan kepada Ustaz Zafran Abdullah yang telah menyampaikan sharing luar biasa pada hari ini. Semoga menjadi amal jariyah untuk Ustaz."
"Sebelum kami akhiri sharing hari ini, ada sedikit kenang - kenangan dari kami sebagai ucapan terimakasih."
Tangan lentiknya mengeluarkan sebuah plakat
sebagai tanda terimakasih dan telah bersedia membagi waktuku untuk berbagi di akun channel mereka.Tanpa sadar waktu berlalu begitu cepat hingga sharing hari ini selesai. Ada rasa sedikit sesal karena waktu yang kuminta begitu sedikit. Ah, andai saja aku memilih waktu sedikit lwbih lagi, tentu saja aku bisa menikmati kedekatan ini meskipun hanya sebagai tuan rumah dan tamu. Tapi rasa nyaman itu muncul seketika.
'Astagfirullah ada apa ini? Ampuni Hamba' batinku.
Setelah kami selesai sharing di ruangan persegi kini kami terlibat obrolan ringan di sebuah meja kecil.
"Masyaa Allah begitu menginspirasi cerita di balik suksesnya usaha Ustadz." Mas Taufik membuka obrolan.
"Di luaran sana pasti masih banyak lagi inspirator hebat, Mas."
Kami tertawa ringan sambil menikmati kopi dan beberapa irisan kue bronis cokelat pandan.
"Oh, iya, ini dua rekan saya ustadz, yang satunya pasti ustadz sudah kenal tadi. Zaira Khazanah, dan sahabatnya Khadijah." Mas Taufik memperkenalkan dua rekannya kembali.
"Ini sahabat sekaligus partner saya dalam bisnis ini. Rayyan Habibullah."
Mereka kemudian saling berkenalan. Bisa kutangkap sesekai Zaira mencuri pandang kepadaku. Akupun begitu selalu tertangkap basah mencuri pandang ke arahnya. Saat mata kami bertemu, Zaira akan otomatis menunduk, sedang aku membuang pandangan.
"Maaf ustaz, di kisahnya tadi ustaz belum pernah menyebut sosok wanita yang senantiasa mendampingi Ustaz selain sosok Umi. Apa sengaja tidak disebut, Ustaz?"
Khadijah sebagai salah satu yang hadir di sini bertanya sesuatu yang sangat jarang ditanyakan oleh kebayakan orang.
Kulihat rona wajah Zaira seolah menunggu sebuah jawaban dariku. Apakah dia? Ah, aku tak ingin menimbulkan praduga yang berujung kecewa.
"Sayangnya sosok itu memang belum ada," jawabku dengan sedikit terkekeh.
"Jadi ustaz masih sendiri ternyata. Saya pikir Ustaz sudah ada yang punya," celetuk Mas Taufik.
"Apa Mas Taufik ada calon untuk Ustaz Zafran?" tanya Rayyan.
"Segan aku, Ustaz. Nanti Ustaz sendiri yang memilih. Aku yakin pilihan Ustaz paling terbaik," timpal Mas Taufik.
Tak terasa setengah jam berlalu. Aku harus kembali ke kantor. Aku tidak bisa meninggalkan lebih lama lagi pekerjaan di sana.
Sebelum benar-benar berlalu, aku sengaja menyuruh Rayyan turun duluan. Aku menghampiri Zaira yang tengah merapikan bekas minum kami.
Aku berdehem yang membuatnya sedikit tersentak.
"Ada apa, Ustaz?" tanyanya.
"Eum, apa kamu .... masih sendiri?"
Jujur, aku sangat ragu untuk menanyakan hal yang sangat pribadi. Untuk mengumpulkan keberanian bertanya saja sangat butuh lama hingga sedikit terjeda.
Zaira tersenyum lantas menunduk.
"Masih, Ustaz," lirihnya.
"Alhamdulillah."
Zaira mendongak menampakkan wajahnya yang tengah menghangat. Aku mengulum senyum melihat wajahnya begitu lucu saat ini.
"Zaira, jika kita ditakdirkan bertemu lagi, maka ijinkan aku untuk membawa namamu dalam do'aku."
Wajahnya semakin bersemu merah. Secara tidak langsung aku telah mengakui memiliki daya tarik untuknya. Entah Zaira mengerti atau tidak.
"Aku permisi. Assalamu'alaikum."
Aku pemait setelah mendapatkan balasan atas salam yang telah terucap. Meninggalkan dia yang masih mematung di tempat.
"Lama amat sih, di atas masih ada ketinggalan?" tanya Zafran saat aku sudah berada di balik kemudi.
'Ada, Rayyan. Hatiku,' bisikku dalam hati.
"Tidak ada," jawabku santai namun ditanggapi tawa renyah oleh Rayyan.
"Zafran, aku nggak mengenalmu baru kemarin. Sejak tadi tuh gerak-gerik kamu aku awasi semua."
Aku terkesiap. Jangan-jangan dia tahu.
"Sudahlah. Nggak usah berlagak sok kalem di depanku. Aku tahu. Zaira kan?" godanya.
"Ah, sok tahu kamu," kilahku.
"Tatapan mata kamu itu buktinya. Saat sebelum mulai acara. Pandangan kamu itu udah mengarah ke dia. Meskipun ada Khadijah di sampingnya." Aku bergeming.
"Saat mulai sharing. Tatapan kamu nggak lepas dari dia."
"Sok tahu kamu." Aku terus berpura-pura fokus menyetir.
"Zafran, aku sangat mengenal kamu. Aku setuju kalau sama dia. Dia cantik, baik, shalihah." Aku mengerling tajam.
"Hey, biasa aja dong tatapannya. Apa salahnya?" tanyanya seolah-olah apa yang dia lakukan adalah benar.
"Kamu memujinya di depanku. Membayangkan wajahnya. Itu dosa!"
"Hey, kamu cemburu?" Rayyan terkekeh.
Aku diam dan memilih fokus menyetir.
"Tenang aja, aku akan bantu kamu untuk mencari tahu soal dia." Aku memilih tetap diam.
Zaira, akankah kita akan bertemu lagi? Kapan? Di mana? Atau apakah justru ini adalah pertemuan terakhir kita?
'Astaghfirullah'
Langkahku terus menyusuri jalanan Ibu Kota. Dering ponsel tak berhenti sejak tadi. Ini salahku. Aku terlalu fokus mengejar deadline tugas kuliah sampai lupa kalau hari ini ada sesi sharing dengan seorang ustaz muda yang sedang hangat diperbincangkan. Jujur, aku belum terlalu mengenalnya. Mas Taufik hanya menyebutkan namanya. Ustaz Zafran Abdullah. Ustaz muda berusia dua puluh delapan tahun. Dering ponsel kembali terdengar. Gegas aku mengangkatnya sebelum Mas Taufik berceloteh. "Assalamu'alaikum, Mas. Aku udah di depan, Mas." Langkah kupercepat menaiki tangga hingga menampakkan Khadijah yang tengah mempersiapkan semuanya. "Assalamu'alaikum," sapaku ngos-ngosan. "W*'alaikumussalam." "Mas Taufik mana?" tanyaku sambil celingukan. "Ada kok di dalam," ucapannya sambil meng
Seminggu dari sejak pertemuan itu, kami kembali dipertemukan dalam acara yang sama. Namun, konsep kali ini berbeda. Kami tak harus lagi berada di dalam ruangan persegi. Konsep kali ini adalah tema outdoor. Di mana tim Muslimah Berbagi Inspirasi mendatangi usahaku dan meliput kegiatan kami di sana. Tentunya aku lah sebagai owner yang akan menjadi pemandu. Berkali-kali aku mematut diri di depan cermin. Menelisik setiap inci tubuh. Berulang kali aku mengganti setelan agar terlihat modis. Bukan. Aku bukan untuk menarik perhatian Zaira, aku hanya ingin menampilkan produk terbaikku. "Zafran, dari tadi kamu nggak berhenti mondar-mandir di depanku. Ganti satu baju ke baju yang lainnya. Putar kiri dan kanan di depan cermin. Seperti mau diajak kencan buta saja," cibir Rayyan yang tengah berdiri di dekat pintu sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. "Aku hanya ingin tampil lebih baik. Salah?" tanyaku ya
Zaira Khazanah. Nama yang sudah kubawa dalam sujud dan di do'a-do'a malamku. Nama yang senantiasa kubisikkan di setiap sujud terakhirku. Nama yang sudah aku perkenalkan pada Rabb-ku. Pada Sang pemilik diri. Selama ini aku belum pernah seyakin ini membawa nama seseorang untuk diadukan. Dia lah yang pertama. Sosok cantik, lembut, cerdas dan salihah. Sosok yang kucari selama ini. Pagi ini kusambut dengan senyum yang merekah. Rencananya aku akan memperkenalkan nama Zaira. Ya, aku harus lakukan secepatnya. Aku ingin melihat wajah bahagia Abi dan Umi. Perlahan aku menuruni tangga. Tampak Abi dan Umi sedang duduk di meja makan menikmati sarapan pagi. "Sini, Nak, sarapan dulu sebelum ngantor!" ajak Umi. Umi sibuk mengoleskan selai cokelat di atas roti tawar yang sudah dipanggang. Aku memilih duduk di samping Umi y
Semenjak Ustadz Zafran mengucapkan kalimat yang menggantung itu, pikiranku semakin kalut. Aku tak mengerti sebenarnya apa yang ingin dia sampaikan? Kalimat itu terus terngiang di telingaku. Kalimat yang meninggalkan tanda tanya besar. Apa dia menyukaiku? Hendak melamarku? Atau apa? Aku tak ingin berharap lebih. Aku takut kecewa. Setelah pertemuan itu, kami sudah tidak pernah bertemu lagi. Jangankan bertemu, sekedar saling menyapa pun tidak. Padahal, kontakku ada padanya. "Sudahlah, Zaira, kalau kamu kangen ya hubungi saja to?" ucap Khadijah. "Kita ini wanita, nggak baik nyosor duluan." "Dari pada kamu kayak gitu? Nggak konsen kerja, nggak konsen menyusun proposal?" Aku kembali terdiam. Pulpen yang ada di tanganku berkali-kali kuketukkan ke meja. "Zaira, kamu mengganggu konsentrasiku," gerutu Khadijah. Mas Taufik tiba-tiba muncul membawa dua buah minuman dalam kemasan dan beber
"Kenapa tuh muka? Kusut bener, kayak cucian belum disetrika," goda Rayyan. Aku tak menggubris pertanyaan Rayyan kali ini. Mooodku benar-benar hancur. Aku mendudukkan diri di sofa tepat di samping Rayyan. "Kemarin-kemarin kamu nggak berhenti buat senyum. Sekarang kok gini?" tanya Rayyan lagi. Aku mengembuskan napas kasar. "Aku lagi galau." Rayyan menyemburkan teh yang sempat dia minum lalu tertawa terbahak. "Sejak kapan kamu kenal istilah galau?" "Tadi." "Kenapa? Kamu habis ditolak sama Zaira?" Aku menggeleng lemah. "Lebih dari itu." "Dia udah ada yang punya?" "Aku dijodohkan." Rayyan berdiri tepat di depanku. "Serius? Sama siapa? Kapan? Kamu setuju? Terus si Zaira gimana?" Pertanyaan dari Rayyan justru membuatlu semakin merasa bersalah. "Abi menjodohkanku tanpa sepengetahuanku. Tau-tau udah jadi aja" Aku sedikit m
Sore itu Abi baru pulang dari pengajian, beliau membawa kabar gembira bukan hanya untuk mereka, juga untukku."Umi, tadi Abi ketemu sama Mas Abdullah. Tadi Abi sempat diajak ke rumahnya.""Mereka tinggal di mana sekarang, Bi?" tanya Umi. Aku hanya diam-diam menyimak. Berharap mereka akan membahas sosok Zafran."Di Bintaro." Ayah menyeruput teh yang sudah sejak tadi aku suguhkan."Alhamdulillah lumayan dekat. Kenapa nggak Abi ajak ke rumah. Umi sangat rindu sama Mba Fatimah.""Abi sudah ajak.""Kapan katanya mau ke rumah?" Abi hanya mengedikkan bahu.Mereka asyik mengobrol membahas tentang sahabat lamanya. Namun, tak satu pun dari mereka membahas soal Mas Zafran. Jujur, aku sedikit kecewa, aku ingin tahu apakah dia masih sendiri atau sudah beristri?Apakah sosok Zafran yang di poto itu adalah Ustadz Zafran?"Abi, apa Abi tadi sempat ketemu dengan Mas Zafran?" tanyaku ragu.Jujur aku harus meng
Sore itu sesuai titah Abi kami akan bertandang di rumah wanita pilihan Abi. Ya, rumah calon istriku. Aku dan Rayyan hari ini memilih lebih cepat pulang. Kami tengah berdebat di dalam kamarku. "Zafran, hari ini ketemu calonnya kudu bahagia dong, jangan pasang tampang kusam kayak gitu." Aku hanya diam menanggapi sambil terus memilih kemeja koko yang pas untuk malam ini. "Kasihan anak orang, kamu datang ke sana memperkenalkan diri, bukannya dibenerin moodnya malah kayak anak gadis yang dipaksa nikah," omelnya lagi. "Iya, tante Rayyan." Rayyan yang tak terima kemudian melemparkan kemeja koko yang ada di tangannya. "Enak aja disamain sama tante-tante!" "Ya, abisnya kamu cerewet terus dari tadi." Rayyan kembali bersungut. "Udah, bantuin milih kemeja yang pas. Kamu kayak gitu malah kayak anak gadis yang lagi ngambek sama pacarnya." "Hey, saya normal, ya." Tak kugubris lagi oceh
"Subhanallah, jadi kalian ternyata lebih dulu bertemu," timpal Umi Aisyah. "Lalu Zain?" tanya Abi. Tampak Zain berubah pias, tidak secerah tadi. Aku tak tahu apa yang terjadi sebenarnya. "Di-dia teman kuliah, Zain, Bi," jawab Zain terbata. Aku dan Rayyan saling berpandangan. Kalau hanya sebatas teman kuliah, tidak mungkin Zain berubah seperti ini. “Zafran?” tegur Abi saat melihatku sedari tadi mencoba menerka situasi ini. "Alhamdulillah kalau kalian sudah saling sama-sama kenal. Jadi tak perlu lagi perkenalannya," timpal Umi. Aku dan Zaira hanya melempar senyum. Bahagia terus kurasakan. Allah ternayata memberikan kejutan yang luar biasa. "Kalian itu sejak kecil sudah sama-sama kenal. Mungkin belum ingat, ya?" tanya Abi. “Waktu itu Zafira masih kecil. Ya, kan, Mba, Fatimah?” timpal Umi Aisyah. Aku dan Zaira masih diam menyimak obrolan kedua orang tua kami.