Semenjak Ustadz Zafran mengucapkan kalimat yang menggantung itu, pikiranku semakin kalut. Aku tak mengerti sebenarnya apa yang ingin dia sampaikan?
Kalimat itu terus terngiang di telingaku. Kalimat yang meninggalkan tanda tanya besar.
Apa dia menyukaiku? Hendak melamarku? Atau apa? Aku tak ingin berharap lebih. Aku takut kecewa.
Setelah pertemuan itu, kami sudah tidak pernah bertemu lagi. Jangankan bertemu, sekedar saling menyapa pun tidak. Padahal, kontakku ada padanya.
"Sudahlah, Zaira, kalau kamu kangen ya hubungi saja to?" ucap Khadijah.
"Kita ini wanita, nggak baik nyosor duluan."
"Dari pada kamu kayak gitu? Nggak konsen kerja, nggak konsen menyusun proposal?"
Aku kembali terdiam. Pulpen yang ada di tanganku berkali-kali kuketukkan ke meja.
"Zaira, kamu mengganggu konsentrasiku," gerutu Khadijah.
Mas Taufik tiba-tiba muncul membawa dua buah minuman dalam kemasan dan beberapa potong kue.
"Nih, Mas bawakan kalian cemilan, biar kalian bisa konsentrasi."
Khadijah tanpa komando langsung mencomot kue yang sudah diletakkan di atas meja. Aku dan Mas Taufik hanya saling berpandangan.
"Hati-hati makannya. Ntar kamu keselek," goda Mas Taufik.
Tapi memang sudah watak Khadijah, dia tidak peduli bagaimana pun pedasnya sindiran.
"Bagaimana kelanjutan proposalnya?" tanya Mas Taufik kemudian.
"Alhamdulillah, Mas, sedikit lagi. Minggu depan aku ujian. Kata dosen dipercepat soalnya hanya beberapa saja yang perlu diganti di dalamnya."
"Kamu harus semangat ya. Ibarat kata, ujian proposal dan skripsi itu perjuangan terakhir kamu selama empat tahun belakangan ini."
"Baik, Mas."
"Khadijah, proposalnya gimana?"
Khadijah berhenti mengunyah.
"He he he. Belum revisi, Mas."
"Kok, gitu?"
"Abisnya dosen pembimbingnya bawel, Mas. Ini salah itu salah. Kan jadinya pusing. Ya, udah aku anggurin dulu aja."
Mas Taufik menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Ini sudah tahap akhir loh, kamu banyak santainya kali."
Khadijah menggeleng cepat. "Enggak kok, Mas."
"Kamu harus semangat lagi. Jangan banyak ngeluh."
Berbagai nasehat yang kami dapat dari Mas Taufik hari ini. Semua itu membuatku semakin semangat untuk menyelesaikan tahap akhir dari bangku peekuliahan ini.
*
Sore ini Umi memintaku untuk membersihkan ruang kerja Abi. Aku yang sedang duduk santai di ruang keluarga dengan sigap menuju ruang kerja Abi sambil menenteng sapu ijuk dan kemoceng. Aku yang sedang membersihkan ruang kerja Abi tak sengaja menangkap benda persegi yang berbaris di antara tumpukan buku koleksi Abi. Sebuah Album yang sudah sedikit lusuh.
Rasa penasaran itu muncul, hingga tangan ini memindahkan album itu. Perlahan aku duduk di balik meja kerja Abi kemudian membuka lembarannya.
Lembaran pertama terdapat sebuah tulisan tangan yang aku tahu itu milik Abi.
'Zaira Khanzanah, bidadari kecil, buah hati kami'
Rasa haru menyeruak dalam dada. Betapa besar kasih sayang kedua orang tuaku.
Lembar selanjutnya menampakkan potret ketika aku masih bayi. Terdapat keterangan setiap gambar yang tertera.
Setiap lembaran yang kubuka menghadirkan rasa bahagia tak terkira. Bagaimana setiap momen yang tercipta mereka abadikan.
Saat pertama kali aku tengkurap, duduk, hingga berjalan. Semua momen tersimpan jelas dalam sebuah gambar beserta keterangannya.
Tangan ini terhenti kala menangkap sebuah potret diri bersama seorang anak laki-laki yang tengah duduk dan memangku tubuh kecilku.
'Siapa dia?' batinku bertanya.
Aku tak mengenal siapa dia. Bahkan mengingat pun tidak, karena saat itu aku baru berusia dua tahun. Jadi, wajar aku belum bisa menangkap memori kala itu.
Lembar selanjutnya kubuka menampakkan wajah anak laki-laki yang lebih kecil. Mungkin seumuran denganku. Di gambar itu kami berdua sedang bermain bersama.
'Lalu ini siapa?' batinku kembali bertanya.
Sejenak kuperhatikan beberapa potret kami berdua. Potret dengan anak laki-laki yang lebih tua dariku. Ada potret saat dia menyuapiku, menggendongku, menggenggam tanganku, bahkan mencubit gemas pipiku. Rasa penasaranku semakin bertambah. Tidak mungkin dia saudaraku, karena akulah anak pertama. Lalu, siapa dia?
"Lihat apa, Sayang?" sapaan Umi membuatku sedikit kaget.
"Album waktu Zaira masih kecil, Umi," jawabku.
"Dia Zafran dan Zain." ucap Umi seakan tahu isi pikiranku.
"Apa dia saudaraku?" Umi menggeleng.
"Zafran dan Zain adalah teman masa kecilmu. Usia Zafran saat itu delapan tahun dan Zain seusia denganmu. Dulu kita itu tetanggaan. Abi dan Umi bukan sekedar sahabatan, tapi sudah seperti saudara."
"Sayang, mereka pindah ke Jakarta. Waktu itu kami masih sama-sama di Malang. Perpisahan yang hingga kini masih menyimpan kesedihan. Semenjak pindahnya mereka, kami kehilangan kontak."
Aku memeluk erat tubuh wanita yang telah melahirkanku. " Insyaa Allah akan bertemu nanti, Umi."
Zafran. Tiba-tiba aku teringat dengan Ustadz Zafran yang beberapa hari yang lalu kutemui. Apa dia orangnya?
Jika diperhatikan, wajah mereka memang sedikit mirip. Tapi, apa dia Zafran teman masa kecilku?
*
Setelah mendengar cerita Umi tentang masa kecilku, diam-diam aku mengambil gambar kami berdua melalui ponsel pintarku.Semenjak kejadian itu, aku sering bertanya bagaimana dulu kedekatan antara aku dan sosok Mas Zafran. Dari penuturan Umi, aku tahu bagaimana seorang Mas Zafran menyayangiku layaknya adik kecilnya.
Diam-diam aku mengagumi sosok anak kecil yang ada bersamaku dalam gambar. Pasti sekarang dia berubah menjadi sosok pria dewasa. Seperti apa rupanya sekarang?
Jika melihat dari potret masa kecilnya, dia memiliki mata yang indah, rambut lurus dan tebal, dan juga bibir yang tipis. Sangat mirip dengan Ustadz Zafran.
Ini masih menjadi teka-teki untukku. Apalagi beberapa hari yang lalu Ustadz Zafran memberikan sinyal untukku. Apakah ini sebuah kebetulan atau takdir yang tengah berjalan?
"Astagfirullah." Aku merutuki diri yang membayangkan sosok pria yang bukan mahramku.
Aku hanya bisa berdoa agar dipertemukan dengan sosok Zafran yang ada dalam foto itu. Dan jika dia adalah Zafran yang kutemui beberapa hari yang lalu, itu adalah takdir terindah di dalam hidupku.
*
Sinar mentari menyambut hariku. Tak seperti biasanya pagi ini kusambut dengan senyum yang merekah. Umi dan Abi yang sejak memperhatikanku mulai merasa terusik."Zaira?"
"Iya, Mi?" tanyaku sembari mengolesi selai cokelat ke roti yang sudah dipanggang.
"Kamu tampak bahagia hari ini, Nak. Ada apa"
Aku hanya tersenyum tipis sambil.terus mengunyah roti yang telah kuberi selai.
"Mungkin lagi jatuh cinta kali, ya, Abi?" tanya Umi pada Abi.
Abi menyorot tajam padaku. "Ingat, kamu masih kuliah, Nak. Jangan cinta-cintaan dulu!" titah Abi.
Aku mengangguk sembari tersenyum. "Kecuali jika Zaira sudah menyelesaikan pendidikan dan menggapai mimpi Zaira lalu membuat Abi dan Umi bangga, barulah Zaira boleh mengenal cinta. Itu kan yang mau Abi sampaikan juga?"
Abi mengangguk seraya mengancungiku dua jempol.
"Cerdas anak shalihah Abi."
Umi hanya menggeleng melihat tingkah laku kami.
"Hari ini ngampus, Nak?" tanya Umi.
"Nggak, Mi. Mau ke studio buat kerjain yang kemarin."
Abi dan Umi kompak mengangguk.
"Do'akan Zaira ya, Umi. Semoga apa yang Zaira kerjakan saat ini bernilai pahala."
"Aamiin Allahumma Aamiin," jawab Umi dan Abi kompak.
Aku melorik arloji yang menempel manis di pergelangan tangan kiriku. Jarum jamnya mengarah ke arah angka tujuh. Gegas aku meminum susu buatan Umi lalu berpamitan.
"Abi, Umi, Zaira pamit dulu, ya, Mi, Bi?" pamitku seraya mencium takzim punggung tangan kedua orang tuaki.
"Hati-hati bawa motornya, Nak! Jangan ngebut!" titah Abi seperti biasanya.
Aku mengangguk mantap lalu mengangkat jempol kanan.
Sigap aku melangkah menuju garasi dan mulai mengeluarkan motor matic putih kesayanganku. Helem kupasang lalu meng-klik tali pengamannya. Spion kupasang dengan baik lalu mulai menyalakan mesinnya.
"Bismillahirrahmanirrahim."
Perlahan roda motor berputar meninggalkan halaman rumah menuju studio tempatku bekerja selama ini.
*
Suasana macet di Ibu Kota bukan hal yang baru lagi untukku. Terik matahari yang mampu membakar kulit, suara bising kendaraan dan kalkson serta suara-suara dari pedangan keliling dan pengamen menambah ciri khas Ibu Kota.Aku melajukan kendaraan saat jalanan mulai lenggang. Menikmati setiap pemandangan Ibu Kota yang hampir setiap hari kulalui.
Tiga puluh menit berlalu, akhirnya aku telah tiba di pelantaran studio. Setelah memarkir motor dengan rapih, aku mempercepat langkah menuju lantai dua tempatku bekerja selama ini.
"Assalamu'alaikum, Miss telat!" sapa Khadijah.
Ya, selama ini aku dijuluki Miss telat karena memang aku kebiasaan terlambat hadir di sini. Mas Taufik yang menyadari kehadiranku hanya tersenyum.
"Wa'alaikumussalam."
"Kenapa? Mau alasan lagi? Macet? Selain macet ada alasan yang lebih bagus gitu?" cecar Khadijah. Aku hanya menyengir.
"Basi, ya?" tanyaku sambil menggaruk kepala yang tak gatal.
"Itu alasan anak sekolah yang emang sukanya bangun telat."
"Mas Taufik.... Maaf....." Mas Taufik hanya tersenyum.
"Zaira, bantu Mas untuk mengedit ini semua, ya," ucapnya tanpa mempedulikan ucapanku.
Gegas aku berdiri melangkah ke meja kerjanya. Mas Taufik menjelaskan bagian mana saja yang harus dikerjakan.
Aku kemudian mengambil bahan yang akan diedit lalu membawanya ke meja kerjaku.
Ekor mata ini menangkap nama Mas Zafran Abdullah sebagai narasumber yang berdampingan dengan namaku sebagai presenter.
Aku tersenyum malu saat melihat nama kami bersanding. Kalau kami jodoh, nama kami pun akan bersanding seperti ini dan tentunya akan lebih terasa berbeda.
Degub jantungku bertalu lebih cepat, dada ini berdesir mengalirkan sesuatu yang membuatku seperti tengah berbunga-bunga. Kupegang dada ini, degubannya sangat terasa. Wajahku seketika menghangat.
"Zaira!" tegur Khadijah.
"Astagfirullah!" Akuntersentak mendengar suara Khadijah yang begitu memekakkan telinga.
Aku mendelik tajam padanya.
"Itu ngapain senyum-senyum nggak jelas gitu?"
"Eng-Enggak, kok!" kilahku.
Khadijah mengerling malas. "Aku lihat loh."
"Ngaco."
"Lihatin apa.sih sampe segitunya? Tuh mukanya sampai memerah gitu."
Gegas aku menutup layar yang ada di laptop, lalu menyembunyikan wajahku dengan khimar yanh sedang kupakai.
"Nggak ada!"
"Kamu gugup berarti bohong!"
"Nggak! Kamu tuh ngagetin aku aja. Ya, jelas aku kagetlah!"
Khadijah memajukan badannya hendak mengintip, sebisa mungkin aku mencoba menghindar.
"Mas Taufik!"
Khadijah bergegas kembali ke mejanya lalu mengetik di depan layar komputer.
"Huh! Selamat," gumamku.
"Ada apa, Zaira?" tanya Mas Taufik dari balik meja kerjanya.
"Eh, anu...." aku memutar bola mata untuk mencari alasan.
"Abi nitip salam," jawabku asal.
"Oh, wa'alaikumussalam. Nanti Mas ke sana."
Aku mengangguk kikuk. Padahal kan Abi nggak pernah bahas. Aku menepuk kening.
*
Saat kami tengah istirahat, tak berhenti aku terus memikirkan tentang dua sosok yang sama-sama beenama Zafran. Apakah mereka Zafran yang sama atau berbeda?Kalau mereka adalah orang yang sama, jangan tanyakan lagi bahagiaku seperti apa. Tapi jika tidak? Zafran mana yang akan kupilih. Zafran yang sejak dulu tlah bersamaku atau Zafran yabg baru beberapa hari yang lalu kutemui?
Aku menggeleng kuat hingga Khadijah kembali menegurku.
"Zaira!"
"Ah, ya?"
"Kenapa geleng-geleng? Kemasukan semut telinganya?" tanyanya dengan raut kebingungan.
"Oh, nggak. Olahraga leher."
"Ah, kamu semakin ngaco aja semenjak ketemu sama Ustadz Zafran."
Aku mengernyirkan dahi. "Maksudnya?"
"Ih, kura-kura makan tahu, pura-pura nggak tahu!"
Aku semakin tidak mengerti. Khadijah menarik napas dalam.
"Kamu semenjak ketemu dengan Ustadz Zafran malah suka senyum-senyum sendiri. Kena pelet kamu?"
Aku mencubit pahanya. "Ngaco, kamu!"
Khadijah mengeluh sembari mengelus pahanya.
"Siapa yang kena pelet?" tanya Mas Taufik.
Aku dan Khadijah saling berpandangan.
"Zaira, Mas. Kayaknya kena pelet."
Aku mengedipkan mata berkali-kali agar doa berhenti berceloteh.
"Oh, ya? Siapa pelakunya tanya Mas Taufik penasaran.
"Sama Ustadz Zafran kali."
Aku menginjak kakinya dengan kuat hingga ia berteriak.
"Kenapa diinjek, sih?!" gerutunya.
"Emang kenapa dengan Ustadz Zafran?"
"Kayaknya Ustadz Zafran ada rasa deh sama Zaira, Mas. Kemarin tuh kentara banget gimana tatapan cinta dari ustadz Zafran. Zaira pun sepertinya sama, Mas. Sama-sama jatuh cinta," jawabnya menggebu-gebu.
Raut wajah Mas Taufik langsung berubah. Khadijah yang terus berceloteh tak pernah ditanggapi oleh Mas Taufik. Pandangannya lurus ke depan dan sama sekali tak tertarik dengan ocehan Khadijah.
"Saya ke ruangan dulu," pamit Mas Taufik. Dia berlalu meninggalkan kami tanpa menoleh.
Khadijah yang masih asyik berceloteh seketika diam lalu melirikku.
"Sst! Sst!"
Aku melirik ke arahnya. "Dia kenapa?"
Aku mengendikkan bahu. "Entah."
"Mas Taufik aneh loh, tadi senyum-senyum aja, kok jadi melempeng gitu?"
"Nggak tahu."
"Cemburu kali," ucapnya.
Aku berdiri lalu meninggalkannya. "Ngaco kamu!"
Aku pun berpikir sama yang ipikirkan Khadijah. Kenapa saat bahas Ustadz Zafran, Mas Taufik langsung terdiam tanpa ekspresi?
Tak.ingin berprasangka buruk, gegas aku menuju meja kerjaku tanpa mempedulikan setiap ocehan Khadijah lagi.
"Kenapa tuh muka? Kusut bener, kayak cucian belum disetrika," goda Rayyan. Aku tak menggubris pertanyaan Rayyan kali ini. Mooodku benar-benar hancur. Aku mendudukkan diri di sofa tepat di samping Rayyan. "Kemarin-kemarin kamu nggak berhenti buat senyum. Sekarang kok gini?" tanya Rayyan lagi. Aku mengembuskan napas kasar. "Aku lagi galau." Rayyan menyemburkan teh yang sempat dia minum lalu tertawa terbahak. "Sejak kapan kamu kenal istilah galau?" "Tadi." "Kenapa? Kamu habis ditolak sama Zaira?" Aku menggeleng lemah. "Lebih dari itu." "Dia udah ada yang punya?" "Aku dijodohkan." Rayyan berdiri tepat di depanku. "Serius? Sama siapa? Kapan? Kamu setuju? Terus si Zaira gimana?" Pertanyaan dari Rayyan justru membuatlu semakin merasa bersalah. "Abi menjodohkanku tanpa sepengetahuanku. Tau-tau udah jadi aja" Aku sedikit m
Sore itu Abi baru pulang dari pengajian, beliau membawa kabar gembira bukan hanya untuk mereka, juga untukku."Umi, tadi Abi ketemu sama Mas Abdullah. Tadi Abi sempat diajak ke rumahnya.""Mereka tinggal di mana sekarang, Bi?" tanya Umi. Aku hanya diam-diam menyimak. Berharap mereka akan membahas sosok Zafran."Di Bintaro." Ayah menyeruput teh yang sudah sejak tadi aku suguhkan."Alhamdulillah lumayan dekat. Kenapa nggak Abi ajak ke rumah. Umi sangat rindu sama Mba Fatimah.""Abi sudah ajak.""Kapan katanya mau ke rumah?" Abi hanya mengedikkan bahu.Mereka asyik mengobrol membahas tentang sahabat lamanya. Namun, tak satu pun dari mereka membahas soal Mas Zafran. Jujur, aku sedikit kecewa, aku ingin tahu apakah dia masih sendiri atau sudah beristri?Apakah sosok Zafran yang di poto itu adalah Ustadz Zafran?"Abi, apa Abi tadi sempat ketemu dengan Mas Zafran?" tanyaku ragu.Jujur aku harus meng
Sore itu sesuai titah Abi kami akan bertandang di rumah wanita pilihan Abi. Ya, rumah calon istriku. Aku dan Rayyan hari ini memilih lebih cepat pulang. Kami tengah berdebat di dalam kamarku. "Zafran, hari ini ketemu calonnya kudu bahagia dong, jangan pasang tampang kusam kayak gitu." Aku hanya diam menanggapi sambil terus memilih kemeja koko yang pas untuk malam ini. "Kasihan anak orang, kamu datang ke sana memperkenalkan diri, bukannya dibenerin moodnya malah kayak anak gadis yang dipaksa nikah," omelnya lagi. "Iya, tante Rayyan." Rayyan yang tak terima kemudian melemparkan kemeja koko yang ada di tangannya. "Enak aja disamain sama tante-tante!" "Ya, abisnya kamu cerewet terus dari tadi." Rayyan kembali bersungut. "Udah, bantuin milih kemeja yang pas. Kamu kayak gitu malah kayak anak gadis yang lagi ngambek sama pacarnya." "Hey, saya normal, ya." Tak kugubris lagi oceh
"Subhanallah, jadi kalian ternyata lebih dulu bertemu," timpal Umi Aisyah. "Lalu Zain?" tanya Abi. Tampak Zain berubah pias, tidak secerah tadi. Aku tak tahu apa yang terjadi sebenarnya. "Di-dia teman kuliah, Zain, Bi," jawab Zain terbata. Aku dan Rayyan saling berpandangan. Kalau hanya sebatas teman kuliah, tidak mungkin Zain berubah seperti ini. “Zafran?” tegur Abi saat melihatku sedari tadi mencoba menerka situasi ini. "Alhamdulillah kalau kalian sudah saling sama-sama kenal. Jadi tak perlu lagi perkenalannya," timpal Umi. Aku dan Zaira hanya melempar senyum. Bahagia terus kurasakan. Allah ternayata memberikan kejutan yang luar biasa. "Kalian itu sejak kecil sudah sama-sama kenal. Mungkin belum ingat, ya?" tanya Abi. “Waktu itu Zafira masih kecil. Ya, kan, Mba, Fatimah?” timpal Umi Aisyah. Aku dan Zaira masih diam menyimak obrolan kedua orang tua kami.
Semenjak pertemuan di rumah Zaira, sampai saat ini Zafran belum menemukan teka-teki apa yang sebenarnya terjadi. Zafran yang tengah disibukkan dengan pekerjaannya tampak tak bisa berkonsentrasi mengingat kejadian kemarin. Rayyan yang menyadari itu lantas segera menghibur sahabatnya. "Zafran, sudah dikirim proposal ta'arufnya?" tanya Rayyan sambil menenteng lembar laporan. Zafran menggeleng lemah sambil mengetuk keningnya dengan pulpen. Rayyan menghempaskan tubuhnya di sofa seraya menoleh ke arah sahabatnya. Rayyan tahu apa yang menjadi kendala proposal itu belum dikirimkan. "Mungkin hanya dugaan kita. Buatlah proposal itu. Bukankah itu yang kamu tunggu? Jangan mengorbankan orang-orang yang mengharapkan pernikahan kalian." "Bagaimana mungkin aku tega melanjutkan sedangkan adikku sepertinnya terluka dengan perjodohan kami?" Rayyan mengembuskan napas kasar. "Kalau begitu segera pastikan. Jangan membua
"Zain mencintai Zaira, Abi." Ummi Fathimah yang mendengar itu sedikit tersentak. Bagaimana mungkin kedua anaknya menyukai wanita yang sama? "Di mana Zain?" "Biar Umi yang panggilkan." Umi Fathimah beranjak dari tempat duduknya lalu menemui anak bungsunya. Pintu kamar Zain diketuk, tapi tak ada sedikitpun jawaban. Perlahan Umi memutar handel pintu lalu mendorongnya pelam. Tampak jelas Zain hanya duduk termenung di kursi tempatnya belajar. Umi Fathimah kemidian masuk lalu berdiri tepat di belakang putranya. "Ada apa, Nak?" tanya Umi. Zain yang menyadari kehadiran Uminya lantas segera memeluk tubuh wanita yang melahirkannya. "Zain nggak pa-pa." Umi Fathimah tahu jika anaknya sedang berbohong. Dibelainya rambut tebal outranya dengan lembut. "Abi mencarimu, Nak. Ikut umi, yuk!" Zain berdiri lalu mengekor di belakang Umi. Tanpa sepatah kata pun. "Zain, Abi ingin kamu juj
"Assalamu'alaikum, Dek. Besok lusa, Mas dan keluarga akan datang untuk mengkhitbahmu." Zaira tersentak saat sebuah pesan masuk ke aplikasi hijaunya. Pesan cinta dari Mas Zafran. Pesan pertama yang selama ini dia tunggu. "Lusa? Apa Umi dan Abi sudah tahu." Gegas Zaira mencari orang tuanya. Setelah mencari dari ruang keluarga dan ke halamannya, rupanya Umi sedang berada di dapur. "Umi, abi dimana?" Umi yang sedang memotong tomat berbalik ke arah Zaira. "Paling di ruang kerjanya, Sayang. Ada apa?" "Mas Zafran tadi ngabarin Zaira, lusa mereka bakal datang lamaran." "Eh, kok mendadak? Maksudnya kenapa nggak ngabarin beberapa hari sebelum hari H?" Umi Fathimah gegas menemui Abi yang sedang berada di ruang kerjanya. "Abi." "Hm." "Kata Zafran, lusa mereka bakal datang lamaran, Bi. Abi udah tahu?" Abi Abdullah melepas kacamata yang sedari tadi bertemgger di hidung b
*Hari lamaran pun tiba. Zaira tak berhenti mematut diri di depan cermin. Kebaya berwarna silver dipadu padankan dengan khimar warna senada. Hari ini Zaira begitu tampak lebih cantik dengan polesan make-up minimalis. Rasa deg-degan luar biasa dirasakannya. Zaira benar-benar tidak menyangka akan secepat ini. Zaira hanya berharap semua berjalan dengan lancar. *Zafran tak berhenti mengucapkan asma-asma Allah untuk menenangkan hatinya yang sedang bergemuruh hebat. Hari ini, dia kan mempersunting wanita pujaannya. Di sisi lain, Zain terus berusaha untuk tetap tegar. Meskipun sulit, tapi dia harus bisa melakukannya. Zain harus berusaha tetap baik-baik saja ketika nanti menyaksikan Abangnya mempersunting wanita yang sangat dicintainya. *Dua keluarga berkumpul di dalam satu ruangan dan saling berhadapan. Tampak Zaira dan Zafran saling mencuri pandang dan sekali-sekali berusaha menetralkan degupan jantung yang terus bertalu tak ber