Zaira Khazanah. Nama yang sudah kubawa dalam sujud dan di do'a-do'a malamku. Nama yang senantiasa kubisikkan di setiap sujud terakhirku. Nama yang sudah aku perkenalkan pada Rabb-ku. Pada Sang pemilik diri.
Selama ini aku belum pernah seyakin ini membawa nama seseorang untuk diadukan. Dia lah yang pertama. Sosok cantik, lembut, cerdas dan salihah. Sosok yang kucari selama ini.
Pagi ini kusambut dengan senyum yang merekah. Rencananya aku akan memperkenalkan nama Zaira. Ya, aku harus lakukan secepatnya. Aku ingin melihat wajah bahagia Abi dan Umi.
Perlahan aku menuruni tangga. Tampak Abi dan Umi sedang duduk di meja makan menikmati sarapan pagi.
"Sini, Nak, sarapan dulu sebelum ngantor!" ajak Umi.
Umi sibuk mengoleskan selai cokelat di atas roti tawar yang sudah dipanggang.
Aku memilih duduk di samping Umi yang berhadapan langsung dengan Abi.
"Zain mana, Mi?" tanyaku. Biasanya anak itu juga ikut bergabung.
"Sudah berangkat dari tadi. Katanya ada yang mau diselesaikan di kampusnya."
"Anak itu kebiasaan. Segala tugasnya pasti dikerjain pas mendesak aja. Jadinya, ya, begitu," sambung Abi.
"Namanya anak muda, Bi," ucapku.
"Tapi, 'kan Zain sudah mulai menyusun proposal, loh. Bentar lagi turun penelitian. Sudah bukan saatnya lagi dia bersantai kayak gitu," celetuk Umi.
"Sementara penyusunan proposal?" tanyaku.
"Loh, iya. Kamu nggak tahu, Nak?" Aku menggeleng.
"itu adikmu loh," sambung Umi.
"Zafran nggak begitu perhatikan, Mi, Zain sudah semester berapa."
"Karena sibuk kerja. Jangankan urusan adik sendiri, buat cari pendamping aja kamu nggak ada waktu, Nak. Ayolah, Umi mau lihat kamu bahagia."
Aku tersenyum menanggapi.
"Lihat 'kan, Bi? Giliran bahas pendamping malah cuma senyum."
"Sudah....sudah! Ini lagi di meja makan loh. Selesaikan dulu sarapannya baru bahas yang lain."
Kali ini aku diselamatkan Abi.
*
Seperti rutinitasku sebelumnya hari ini stok bahan datang. Aku dan Rayyan turun langsung mengecek semuanya kemudian melakukan pembayaran."Alhamdulillah bulan ini pemasukan kita meningkat. Banyak toko-toko yang dari kemarin memasukkan list pemesanan," ucap Rayyan sambil terus memantau karyawan.
"Apa ada kendala?"
"Sepertinya tidak. Semoga saja tidak ada. Mengingat banyak pesaing yang menjamur."
Aku berjalan mengawasi karyawan. Senyum dan kata-kata penyemangat terus kuberikan kepada mereka. Aku tidak ingin menjadi pemimpin yang otoriter. Bagiku mereka adalah keluargaku. Kami sama-sama saling membutuhkan satu sama lain.
"Pak Zafran, aku mau ijin. Tadi istriku menelfon, katanya anak kami demam tinggi, aku harus pulang untuk mengantarnya ke Rumah Sakit, Pak," ucap Asep-salah satu supir kantor.
"Pulanglah. Kunci mobil kamu pegang kan?"
Asep merogoh kantong bajunya lalu mengeluarkan kunci mobil yang selama ini dia pegang.
"Ini, Pak."
"Tidak. Maksudku, kamu pakai mobil kantor saja. Nanti saat urusanmu selesai baru kamu bisa kembali."
Matanya berembun." Terimakasih, Pak."
Asep berlalu setelah berpamitan.
*
Sore hari berlalu, aku bersyukur hari ini berlalu lebih cepat dari kemarin. Segera aku meraih kunci mobil lalu bergegas pulang ke rumah.Sepanjang jalan aku tidak sabar untuk tiba di rumah. Aku ingin mengabarkan ke Abi dan Umi tentang sosok yang ingin aku halalkan.
Tiba di pelantaran rumah, kulihat mobil Abi terparkir di garasi tepat di samping motor sport milik Zain. Itu artinya mereka di rumah. Benar-benar sebuah kesempatan yang baik.
Langkah kupercepat masuk ke dalam rumah. Tampak Abi dan Umi sedang bercengkerama. Di sampingnya ada pula Zain yang berbaring di atas pangkuan Umi.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam," jawab mereka kompak.
Aku menjatuhkan diri di sofa tepat di samping Abi.
"Bagaimana hari ini, Nak?" tanya Umi.
"Alhamdulillah semua berjalan dengan baik."
"Nanti malam Abi ingin mengisi pengajian di kompleks tetangga. Umi mau ikut?" tanya Abi.
"Bukannya selama ini begitu, Bi? Umi akan ikut kemana Abi pergi," goda Zain.
Umi mencubit gemas lengan Zain. Aku dan Abi tertawa melihat mereka.
"Zafran, malam ini ada jadwal?" tanya Abi.
"Seperti biasa, Bi, Zafran mengajar tahsin bapak-bapak di kompleks kita."
"Baru saja Abi mau ngajak kamu."
"Zain aja, Bi. Dari pada di rumah sendiri."
"Nggak, ah, aku mau ke rumah Faiz ngerjain proposal bareng."
"Alasan aja kamu."
"Zafran, selesai dari mengajar tahsin, Abi ingin bicara sesuatu sama kamu, ya, Nak?"
Aku mengangguk.
"Zafran juga, Bi. Ada yang ingin Zafran sampaikan. Kalau sekarang, waktunya sudah mepet."
"Kenapa nggak sekarang, Nak?" tanya Umi.
"Biar jadi kejutan," ucapku antisias.
*
Hari ini harusnya aku yang memberi kejutan pada mereka. Nyatanya, justru aku yang dapat kejutan.Sesaat sebelum aku mengajukan nama Zaira sebagai pilihanku, Abi rupanya sudah menemukan sosok yang akan mendampingi hidupku.
Aku kalah cepat. Harusnya aku jujur sebelumnya. Nyatanya, waktu yang tak berpihak padaku. Atau justru aku yang telah menyia-nyiakan kesempatan yang ada?
"Zafran, Abi mau bicara sebentar."
Aku yang saat itu baru tiba di rumah langsung berkumpul dengan mereka di ruang keluarga.
"Iya, Abi."
Sekarang kami duduk berhadapan. Tampak wajah Abi begitu serius.
"Zafran, kemarin Abi bertemu sahabat lama Abi. Kami bertemu di pengajian. Sesuai permintaan Umi, Abi pikir memang sudah seharusnya Abi mencarikanmu pendamping, Nak."
Aku tertunduk. Pupus sudah harapanku. Aku sebagai anak tidak pernah membantah titah dari Abi.
"Abi harap kamu bisa terima. Nanti kita bertandang ke rumahnya."
Dadaku bergemuruh. Aku bener-benar bingung harus bagaimana.
"Zafran?"
"Iya, Abi?"
"Bisa?"
Aku terdiam.
"Ingat Umimu, Nak. Umi sudah ingin punya mantu. Bahagiakan Umi."
Aku masih tertunduk dalam. Apa yang harus kulakukan?
"Di-dia siapa, Bi?" Hanya itu yang bisa kukatakan.
"Dia putri tunggal sahabat lama Abi."
"Apa Zafran mengenalnya, Bi?"
"Iya. Abi Husein."
Aku berusaha mengingat. Namun, sepertinya aku masih asing dengan nama itu.
"Kemarin kami bertemu setelah sekian lama kami berpisah. Takdir mempertemukan kami saat Abi mengisi pengajian. Lama kami mengenang masa dulu. Sampai akhirnya Abi ingat kamu. Ya, obrolan mengalir begitu saja dan kami memutuskan menjodohkan kalian."
Aku masih terus terdiam mencerna setiap perkataan dari Abi.
"Zafran, tadi katanya kamu mau bicara sesuatu sama Abi. Apa itu, Nak?"
"A-anu, Bi...."
Aku menggantungkan kalimatku. Sungguh, aku bingung harus bagaimana. Jujur sama Abi atau tidak?
Kalau aku jujur, aku takut Abi kecewa. Kalau aku tetap diam, bagaimana dengan Zaira? Padahal aku sudah berjanji untuk menunggunya.
"Zafran?" tegur Abi.
"Sebelumnya Zafran ingin minta maaf sama Abi. Tapi, ini di luar kendali Zafran," ucapku hati-hati.
Kulihat wajah teduh Abi siap menyimak apa yang akan aku sampaikan.
"Begini, Abi. Zafran sudah menemukan seseorang yang tepat untuk mendampingiku kelak. Kami bertemu di sebuah acara."
"Kapan?"
"Senin kemarin, Abi."
Abi terdiam sejenak untuk memberi jeda.
"Senin kemarin kedua kalinya kami ketemu."
"Kenapa baru sekarang kamu cerita sama Abi?"
"Zafran cari waktu yang tepat, Abi."
"Dan sekarang menurut kamu waktunya sudah tepat?"
Aku terdiam. Benar, aku kalah cepat.
"Zafran, seandainya kamu lebih dulu mengenalkan dia sama Abi, insyaa Allah Abi akan setuju. Karena Abi yakin, kamu bisa memilih yang terbaik. Hanya saja sekarang berbeda. Abi sudah terlanjur menjodohkanmu dengan anak sahabat lama Abi."
Abi menarik napas dalam.
"Tidak mungkin Abi membatalkannya secara sepihak."
"Apa karena beliau sahabat Abi?"
"Tidak. Kamu pasti mengerti. Tidak beradab namanya jika kita seenaknya membatalkan secara sepihak. Padahal Abi yang mengajukan."
"Tapi, Zafran sudah memilih orang lain, Bi."
"Tetap tidak jika kamu mengajukannya lebih dulu. Nyatanya, baru sekarang kamu jujur sama Abi."
Pupus sudah harapanku. Abi tidak bisa membatalkan perjodohan itu.
Abi meninggalkanku seorang diri di ruang keluarga. Pandanganku menerawang membayangkan wajah Zaira. Gadis impianku.
Apa yang harus aku lakukan sekarang? Menepati janji yang terlanjur kuucap atau menuruti titah Abi?
Aku melangkah gontai menuju kamar lalu menghempaskan tubuh ke pembaringan. Tiba-tiba pintu diketuk. Aku bangkit membuka dan menampilkan sosok wanita yang selama ini kucintai. Umi.
Umi memelukku sesaat setelah aku membawanya masuk ke dalam kamar.
"Ada apa, Nak?" tanyanya lembut.
"Abi ternyata sudah menjodohkan Zafran, Mi."
"Ya, bagus dong, Nak. Kamu khawatir soal apa?"
"Zafran sudah punya pilihan sendiri."
"Apa?"
Aku mengangguk. Aku tahu Umi pasti kaget soal ini.
"Zafran harus bagaimana, Umi?"
Umi mengembuskan napas pelan.
"Kamu tahu kan Abi seperti apa? Memang Abi tidak memaksakan kehendak, tapi Abi sangat menjunjung tinggi sebuah harga diri. Abi sudah terlanjur menjodohkannya untukmu. Itu artinya, kalian tinggal dipertemukan, mengenal lalu menikah."
"Zafran sudah berjanji sama dia untuk menghalalkannya, Umi."
"Semua sudah terlambat, Nak. Abi sudah secara tidak langsung melamar dia untuk kamu."
"Umi...."
"Terimalah pilihan Abi dan lupakan wanita itu."
"Zafran belum kenal sama pilihan Abi. Sedangkan wanita pilihan Zafran, sudah Zafran kenal."
"Nanti kalian akan diperkenalkan."
Aku menatap lama wajah Umi. Ada kebimbangan yang juga dirasakannya. Tapi Umi tidak berani menolak titah Abi.
"Zafran sudah menaruh hati sama dia."
"Cinta bisa timbul seiring waktu saat kalian sudah bersama. Dan cinta bisa hilang digantikan dengan dia yang selalu ada."
"Bagaimana Zafran menjalani biduk rumah tangga tanpa ada rasa cinta?"
"Zafran, kamu lupa? Tanpa Umi ajarkan soal ini pun kamu pasti tahu, Nak."
Benar. Aku tahu, tapi hatiku belum bisa menerima.
Kami kembali terdiam dengan pikiran masing-masing. Hingga Umi memilih untuk keluar dari kamar ini.
"Terimalah, Nak, keputusan Abi. Sebelum kamu terlalu jauh melangkah. Jangan membuat anak orang kecewa, terlebih Abi. Kamu belum jauh melangkah dengan wanita pilihan kamu, Nak. Sebelum terlambat, lepaskan dia."
Kata-kata yang Umi ucapkan barusan sedikit membuatku merasa tertekan.
Melupakan? Padahal aku baru memulai. Aku baru saja membawa namanya dalam do'a malamku.
Saat ini hatiku lebih memilih Zaira dibanding wanita pilihan Abi yang belum kutahu siapa dia.
Aku semakin merasa tersudut. Aku lantas bangkit dan memilih berwudhu. Kemudian shalat dua rakaat memohon pengampuanan dilanjut bertasbih menyebut asma-asma Allah.
*
Adzan subuh berkumandang, aku tersentak saat mendapati tubuh ini bersandar di kepala ranjang. Sepertinya aku ketiduran saat merenungi takdir yang menyapa.
Gegas aku membersihkan diri kemudian berwudhu. Saat semua telah siap, aku melangkahkan kaki hendak menuju mesjid. Di halaman rumah, aku mendapati Abi dan Zain sedang membuka gerbang.
Aku melangkah mendekati kemudian berjalan beriringan menuju mesjid di dalam kompleks ini.
Tak ada pembicaraan serius kali ini karena baru beberapa langkah keluar dari rumah, kami bertemu dengan Pak RT. Abi dan Pak Arman serius berbincang seputar keadaan lingkungan kompleks tempat tinggal kami.
Hingga saat iqamah dikumandangkan, kami melaksanakan shalat subuh secara berjama'ah.
Hari ini Abi menyampaikan sedikit tausiyah tentang bagaimana kita sebagai anak patuh dan hormat terhadap orang tua.
Seperti biasa aku akan mendengarkan petuah-petuah yang Abi sampaikan. Namun, kali ini berbeda. Ada rasa yang benar-benar aku tak mengerti. Mungkin karena titah Abi kali ini sungguh berat.
"Orang tua adalah harta yang paling berharga dalam hidup kita. Kita sebagai anak wajib menghormati, menyayangi dan memuliakannya. Kita harus patuh pada permintaannya selama itu tidak melanggar syari'at agama."
"Kalau ingin menyakiti perasaannya, ingat saat kita kecil dulu. Mereka lah yang dengan kasih sayangnya hingga kita tumbuh besar seperti sekarang ini."
"Seorang ibu yang rela berkorban banyak untuk kita. Dimulai saat kita masih dalam kandungan hingga kita tumbuh dewasa. Ibu lah yang berjuang bertaruh nyawa demi melahirkan kita ke dunia ini. Rela begadang, tidur tak nyaman, makan tak sampai kenyang, bahkan ada seorang ibu yang untuk mengurus dirinya pun tak sempat. Semua hanya karena ingin memastikan kita baik-baik saja."
"Kemudian seorang ayah yang rela membanting tulang, bermandikan keringat demi menafkahi kita. Menyekolahkan kita hingga sukses. Rela berpanas-panasan di tengah terik matahari yang membakar kulit. Senua demi anak tercintanya."
"Lalu apakah kalian tega menggoreskan luka di hatinya?"
Aku terdiam meresapi setiap petuah yang disampaikan oleh Abi. Bayang-bayang akan kebahagiaan Abi saling bergantian dengan wajah Zaira. Wanita yang saat ini mengisi relung hatiku.
Karena terlalu asyik memikirkan jalan takdirku, tanpa sadar Abi menepuk pundakku.
"Zafran, ayo pulang!" ajak Abi.
Aku melihat sekeliling sudah tak tampak jama'ah yang sedari tadi ada di sekelilingku. Begitu cepat waktu berlalu. Zain pun begitu. Entah kemana perginya anak itu.
Aku berdiri menghampiri Abi yang sedang berjalan lebih dulu. Gegas aku mempercepat langkah menyusul beliau.
"Jangan terlalu banyak pikiran. Apa yang mengganjal pikiranmu? Tentang wanita itu?"
Aku mengangguk lemah.
"Kamu belum terlambat, Zafran."
Hanya itu yang diucapkan oleh Abi. Aku kembali terdiam merasakan dilema yang begitu hebat.
"Abang pilih saja wanita pilihan Abi, cewek Abang biar sama Zain aja. Adil kan?" celetuk Zain yang entah dari mana dia muncul.
Aku menatapnya tajam. Zain terkekeh.
"Abang kan tahu, keputusan Abi tidak boleh diganggu gugat. Bukan salah Abi loh, salah Abang yang mengulur waktu. Jadinya begini kan?"
"Abang maunya ngasih kejutan."
"Pada kenyataannya justru Abang lah yang dapat kejutan dari Abi kan?"
Zain benar, aku terlalu lalai.
"Aku jadi penasaran, seperti apa sih wajah wanita yang mencuri hati Abang?"
Aku menatapnya tajam.
Semenjak Ustadz Zafran mengucapkan kalimat yang menggantung itu, pikiranku semakin kalut. Aku tak mengerti sebenarnya apa yang ingin dia sampaikan? Kalimat itu terus terngiang di telingaku. Kalimat yang meninggalkan tanda tanya besar. Apa dia menyukaiku? Hendak melamarku? Atau apa? Aku tak ingin berharap lebih. Aku takut kecewa. Setelah pertemuan itu, kami sudah tidak pernah bertemu lagi. Jangankan bertemu, sekedar saling menyapa pun tidak. Padahal, kontakku ada padanya. "Sudahlah, Zaira, kalau kamu kangen ya hubungi saja to?" ucap Khadijah. "Kita ini wanita, nggak baik nyosor duluan." "Dari pada kamu kayak gitu? Nggak konsen kerja, nggak konsen menyusun proposal?" Aku kembali terdiam. Pulpen yang ada di tanganku berkali-kali kuketukkan ke meja. "Zaira, kamu mengganggu konsentrasiku," gerutu Khadijah. Mas Taufik tiba-tiba muncul membawa dua buah minuman dalam kemasan dan beber
"Kenapa tuh muka? Kusut bener, kayak cucian belum disetrika," goda Rayyan. Aku tak menggubris pertanyaan Rayyan kali ini. Mooodku benar-benar hancur. Aku mendudukkan diri di sofa tepat di samping Rayyan. "Kemarin-kemarin kamu nggak berhenti buat senyum. Sekarang kok gini?" tanya Rayyan lagi. Aku mengembuskan napas kasar. "Aku lagi galau." Rayyan menyemburkan teh yang sempat dia minum lalu tertawa terbahak. "Sejak kapan kamu kenal istilah galau?" "Tadi." "Kenapa? Kamu habis ditolak sama Zaira?" Aku menggeleng lemah. "Lebih dari itu." "Dia udah ada yang punya?" "Aku dijodohkan." Rayyan berdiri tepat di depanku. "Serius? Sama siapa? Kapan? Kamu setuju? Terus si Zaira gimana?" Pertanyaan dari Rayyan justru membuatlu semakin merasa bersalah. "Abi menjodohkanku tanpa sepengetahuanku. Tau-tau udah jadi aja" Aku sedikit m
Sore itu Abi baru pulang dari pengajian, beliau membawa kabar gembira bukan hanya untuk mereka, juga untukku."Umi, tadi Abi ketemu sama Mas Abdullah. Tadi Abi sempat diajak ke rumahnya.""Mereka tinggal di mana sekarang, Bi?" tanya Umi. Aku hanya diam-diam menyimak. Berharap mereka akan membahas sosok Zafran."Di Bintaro." Ayah menyeruput teh yang sudah sejak tadi aku suguhkan."Alhamdulillah lumayan dekat. Kenapa nggak Abi ajak ke rumah. Umi sangat rindu sama Mba Fatimah.""Abi sudah ajak.""Kapan katanya mau ke rumah?" Abi hanya mengedikkan bahu.Mereka asyik mengobrol membahas tentang sahabat lamanya. Namun, tak satu pun dari mereka membahas soal Mas Zafran. Jujur, aku sedikit kecewa, aku ingin tahu apakah dia masih sendiri atau sudah beristri?Apakah sosok Zafran yang di poto itu adalah Ustadz Zafran?"Abi, apa Abi tadi sempat ketemu dengan Mas Zafran?" tanyaku ragu.Jujur aku harus meng
Sore itu sesuai titah Abi kami akan bertandang di rumah wanita pilihan Abi. Ya, rumah calon istriku. Aku dan Rayyan hari ini memilih lebih cepat pulang. Kami tengah berdebat di dalam kamarku. "Zafran, hari ini ketemu calonnya kudu bahagia dong, jangan pasang tampang kusam kayak gitu." Aku hanya diam menanggapi sambil terus memilih kemeja koko yang pas untuk malam ini. "Kasihan anak orang, kamu datang ke sana memperkenalkan diri, bukannya dibenerin moodnya malah kayak anak gadis yang dipaksa nikah," omelnya lagi. "Iya, tante Rayyan." Rayyan yang tak terima kemudian melemparkan kemeja koko yang ada di tangannya. "Enak aja disamain sama tante-tante!" "Ya, abisnya kamu cerewet terus dari tadi." Rayyan kembali bersungut. "Udah, bantuin milih kemeja yang pas. Kamu kayak gitu malah kayak anak gadis yang lagi ngambek sama pacarnya." "Hey, saya normal, ya." Tak kugubris lagi oceh
"Subhanallah, jadi kalian ternyata lebih dulu bertemu," timpal Umi Aisyah. "Lalu Zain?" tanya Abi. Tampak Zain berubah pias, tidak secerah tadi. Aku tak tahu apa yang terjadi sebenarnya. "Di-dia teman kuliah, Zain, Bi," jawab Zain terbata. Aku dan Rayyan saling berpandangan. Kalau hanya sebatas teman kuliah, tidak mungkin Zain berubah seperti ini. “Zafran?” tegur Abi saat melihatku sedari tadi mencoba menerka situasi ini. "Alhamdulillah kalau kalian sudah saling sama-sama kenal. Jadi tak perlu lagi perkenalannya," timpal Umi. Aku dan Zaira hanya melempar senyum. Bahagia terus kurasakan. Allah ternayata memberikan kejutan yang luar biasa. "Kalian itu sejak kecil sudah sama-sama kenal. Mungkin belum ingat, ya?" tanya Abi. “Waktu itu Zafira masih kecil. Ya, kan, Mba, Fatimah?” timpal Umi Aisyah. Aku dan Zaira masih diam menyimak obrolan kedua orang tua kami.
Semenjak pertemuan di rumah Zaira, sampai saat ini Zafran belum menemukan teka-teki apa yang sebenarnya terjadi. Zafran yang tengah disibukkan dengan pekerjaannya tampak tak bisa berkonsentrasi mengingat kejadian kemarin. Rayyan yang menyadari itu lantas segera menghibur sahabatnya. "Zafran, sudah dikirim proposal ta'arufnya?" tanya Rayyan sambil menenteng lembar laporan. Zafran menggeleng lemah sambil mengetuk keningnya dengan pulpen. Rayyan menghempaskan tubuhnya di sofa seraya menoleh ke arah sahabatnya. Rayyan tahu apa yang menjadi kendala proposal itu belum dikirimkan. "Mungkin hanya dugaan kita. Buatlah proposal itu. Bukankah itu yang kamu tunggu? Jangan mengorbankan orang-orang yang mengharapkan pernikahan kalian." "Bagaimana mungkin aku tega melanjutkan sedangkan adikku sepertinnya terluka dengan perjodohan kami?" Rayyan mengembuskan napas kasar. "Kalau begitu segera pastikan. Jangan membua
"Zain mencintai Zaira, Abi." Ummi Fathimah yang mendengar itu sedikit tersentak. Bagaimana mungkin kedua anaknya menyukai wanita yang sama? "Di mana Zain?" "Biar Umi yang panggilkan." Umi Fathimah beranjak dari tempat duduknya lalu menemui anak bungsunya. Pintu kamar Zain diketuk, tapi tak ada sedikitpun jawaban. Perlahan Umi memutar handel pintu lalu mendorongnya pelam. Tampak jelas Zain hanya duduk termenung di kursi tempatnya belajar. Umi Fathimah kemidian masuk lalu berdiri tepat di belakang putranya. "Ada apa, Nak?" tanya Umi. Zain yang menyadari kehadiran Uminya lantas segera memeluk tubuh wanita yang melahirkannya. "Zain nggak pa-pa." Umi Fathimah tahu jika anaknya sedang berbohong. Dibelainya rambut tebal outranya dengan lembut. "Abi mencarimu, Nak. Ikut umi, yuk!" Zain berdiri lalu mengekor di belakang Umi. Tanpa sepatah kata pun. "Zain, Abi ingin kamu juj
"Assalamu'alaikum, Dek. Besok lusa, Mas dan keluarga akan datang untuk mengkhitbahmu." Zaira tersentak saat sebuah pesan masuk ke aplikasi hijaunya. Pesan cinta dari Mas Zafran. Pesan pertama yang selama ini dia tunggu. "Lusa? Apa Umi dan Abi sudah tahu." Gegas Zaira mencari orang tuanya. Setelah mencari dari ruang keluarga dan ke halamannya, rupanya Umi sedang berada di dapur. "Umi, abi dimana?" Umi yang sedang memotong tomat berbalik ke arah Zaira. "Paling di ruang kerjanya, Sayang. Ada apa?" "Mas Zafran tadi ngabarin Zaira, lusa mereka bakal datang lamaran." "Eh, kok mendadak? Maksudnya kenapa nggak ngabarin beberapa hari sebelum hari H?" Umi Fathimah gegas menemui Abi yang sedang berada di ruang kerjanya. "Abi." "Hm." "Kata Zafran, lusa mereka bakal datang lamaran, Bi. Abi udah tahu?" Abi Abdullah melepas kacamata yang sedari tadi bertemgger di hidung b