Adzan subuh berkumandang, setelah menyelesaikan kegiatan mengaji bersama, aku berlalu ke luar kamar untuk mengambil wudhu.
Di dalam kamar mandi, aku masih tak menyangka, kini aku benar-benar telah menjadi suaminya.
Dari balik pintu, aku melihat bagaimana Zairaku dengan cekatan membersihkan tempat tidur kami. Wajah cantiknya yang selalu membuatku jatuh cinta setiap saat.
Aku kemudian meraih sajadah yang telah Zaira siapkan.
"Dek, Mas ke mesjid dulu ya," pamitku lalu keluar yang diikuti olehny.
Di luar kamar, tampak Abi dan Zain tengah menungguku. Di perjalanan tidak seperti biasanya, Zain lebih banyak diam. Apa karena cemburu?
Hingga.kami pulang dari shalat subuh, Zain tak.banyak bicara, hanya menjawab seadanya. Pintu kuketuk, tak lama menampakkan sosok bidadariku.
"Assalamu'alaikum," ucap mereka bersamaan.
"Wa'alaikumussalam."
Zaira meraih tangan Abi dan tanganku, menciu
"Bersejarah kenapa, Mas?" "Iya, ini kemeja yang mas pakai waktu kali pertama ketemu dengan pujaan hati mas," jawabku sembari tersenyum. Raut wajah Zaira tiba-tiba berubag, senyumnya memudar seketika bahkan Zaira membelakangiku. "Sayang, bantuin Mas lipat lengan baju dong." Zaira mendekatiku sembari membantunya melipat lengan baju. Tak ada sepatah katapun darinya. Wajahnya tampak cemberut. Aku yang menyadari perubahannya perlahan memengang dagunya sedikit terangkat. Tatapan kami lalu bertemu. "Kenapa, Dek?" Zaira diam. Air matanya luruh begitu saja. Akundengan penuh sayang membersihkan jejak air mata itu. "Ada apa, Sayang? Kok nangis?" "Adek cemburu." "Sama siapa?" "Pujaan hati Mas. Katanya tadi ini baju bersejarah, karena Mas ketemu dia pas pakai baju ini. Adek cemburu." Kutahan tawa yang siap menyembur itu. Aku membawanya ke dalam pelukan. Tanganku mengelus lembut kepalanya. Zaira malah
Hari-hari bahagia kita lalui bersama sebagai sepaasang suami istri. Aku melakukan peranku sebagai istri dengan terus membaktikan diri ini untuknya. Aku selalu berusaha agar suamiku tetap bersamaku, nyaman denganku. Satu minggu setelah pernikahan aku menjalani sidang akhir dengan hasil memuaskan. Itu semua berkat dorongan dan do'a dari keluarga terutama suamiku. Suamiku yang selalu setia mendampingiku mengerjakan tugas akhir. Menemaniku begadang dan selalu siaga memijit badanku saat aku merasa lelah. Menjadi penyemangatku saat aku mulai menyerah. "Alhamdulillah, Sayangku, atas keberhasilannya hingga akhir. Semoga gelar barunya diberi keberkahan oleh Allah ya, Sayang," ucapnya sambil memberikanku buket bunga yang begitu besar. Hari ini aku diwisuda dan lulus dengan predikat cumlaude. Rasa syukur tiada terkira dan terus terucap dari lisanku. "Aamiin, Mas. Makasih, ya, Mas. Ini semua berkat do'a dan dukunganmu, Sayang."
"Aku bakal melamar Khadijah minggu depan," ucapnya dengan antusias sambil duduk di atas sofa, menyenderkan badannya ke kepala sofa. "Alhandulillah," ucapku bersamaan dengan Mas Zafran. "Akhirnya anak orang nggak digantungin lama juga." Mas Rayyan mendelik. "Kita beda lah, kamu kaya dari sono, punya usaha sendiri. Lah aku? Orang dari keluarga sederhana, dan bersyukur malah kerja sama kamu." "Ah, kamu biasa aja! Keluarga sederhana gimana? Kamu aja yang nggak mau nurut sama orang tua buat kerja di perusahaannya." "Abisnya, aku nggak mau langsung punya jabatan tinggi. Aku maunya merangkak dari bawah. Biar punya pengalaman dulu." "Masyaa Allah keren, Mas." "Datang ya, kalian," ucapnya seraya berlalu. *Tak terasa satu tahun lebih berlalu, kini kami hadir di acara tujuh bulanan Khadijah. Aku dan Mas Zafran duduk di bagian depan berbaur dengan yang lain. Ada rasa sedih sekaligus iri dari da
“Mas, adek ingin dimadu.” Bagai disambar petir di siang bolong, aku tersentak kaget mendengar permintaan istriku. Aku menatap lekat matanya yang mulai berembun. Wajahnya tertunduk saat aku mengembuskan napas kasar. Bagaimana mungkin aku melakukannya? Sama saja aku telah menyakiti orang yang sangat aku cintai. Aku pun juga tidak mungkin mengingkari janji suci kami. “Dek, ada apa?” tanyaku lembut berusaha meredam hati yang bergemuruh, menahan sesak di dada. Dia hanya bisa terdiam. Menangis sesenggukan. Kuraih tubuh mungilnya lalu mendekapnya dengan penuh sayang. Berkali-kali kuhadiahi kecupan lembut di ubun-ubunnya yang tertutup khimar. Pelukannya begitu erat, kepalanya ia benamkan di dada bidangku. Terdengar isak tangis yang begitu menyesakkan dada. Dia Zaira Khazanah. Perempuan cerdas, penyayang, dan berhati mulia. Sesuai namanya, bagiku dia adalah bunga yang sangat berharga. Dialah satu-satu
Hari ini dilalui terasa berat. Senyum yang selama ini Zaira tampilkan sudah jarang terlihat digantikan oleh wajah mendungnya. Aku tahu ini berat baginya, karena selama lima tahun pernikahan kami, sudah berapa puluh test pack dengan hasil negatif. Giliran kedua mertuaku yang berkunjung ke rumah, memberikan dukungan dan petuah-petuah untuk kami, terkhusus Zaira. "Ada apa, Nak?" tanya Umi lembut. Zaira justru hanya terdiam. "Zaira selalu merasa gagal menjadi istriku, Umi. Belum lengkap rasanya di pernikahan kami jika belum dikaruniai anak. Itu katanya." Abi menarik napas sejenak. "Zaira, Abi mau bertanya dan kamu jawab yang jujur, ya, Nak?" Zaira mengangguk lemah. "Kamu sangat menkhawatirkan soal keturunan?" Zaira mengangguk. "Kenapa? Bukankah Rejeki, jodoh, hidup dan mati kita ada di tangan Allah?" "Zaira belum sempurna menjadi seorang istri, Abi." Aku terdiam membiarkan Zaira mengeluarkan uneg-unegnya
Seperti anjuran orang tua kami, hari ini kami memeriksakan kondisi kesehatan reproduksi kami di rumah sakit tempat Zain bekerja. Mas Zafran menyuruhku untuk duduk di ruang tunggu sembari menunggunya menyelesaikan administrasi di loket pendaftaran. Zain yang hari ini mendampingi kami langsung mengantar kami ke depan ruang tunggu bagian obgyn. Aku menunggunya dengan penuh rasa was-was, taj berhenti lisan ini mengucapkan zikir. Mas Zafran terus menggenggam tanganku memberi kekuatan. Senyumnya yang tak pernah lepas dari wajahnya yang rupawan sedikit mengurangi rasa ketakutanku. "Mas, bagaimana kalau adek mandul?" "Husnudzon, Sayang. Mas juga bisa bilang begitu. Bagaimana kalau ternyata Mas lah yang bermasalah?" Aku kembali terdiam. "Sayang, serahkan semua sama Allah ya. Apapun itu hasilnya, kamulah satu-satunya." Aku tertunduk seraya menghapus jejak air mata menempel di pipi ini. "Rileks, ya, Sayang. Tanganmu dingin gini
"Apakah kemungkinan hamil itu akan ada, Dok?" tanya Mas Zafran. "Bisa. Hanya saja resikonya yang akan ditemui adalah keguguran atau lahir prematur." Aku terisak lalu menghambur ke dalam pelukan suamiku. Sungguh, ini adalah berita teeburuk yang kudengar. Pupus sudah harapanku untuk memberikannya keturunan. "Selama ini istri saya baik-baik saja, Dok." "Memang benar. Wanita dengan kondisi ini mungkin tidak menunjukkan gejala dan tidak menyadari memiliki rahim tunggal, dan kehamilan normal dapat terjadi. Hanya saja bisa beresiko tinggi keguguran dan kondisi obstrektik." "Apa penyebabnya, dok?" "Kondisi ini terjadi ketika rahim wanita hanya berukuran setengah dari normal dan memiliki satu saluran tuba falopi. Kelainan yang disebut juga uterus dengan satu tanduk ini, disebabkan oleh jaringan yang membentuk rahim tidak berkembang dengan baik. Pada unicornuate uterus, jumlah indung telur sama seperti biasa–dua buah, tapi hany
Semenjak dokter memvonis kondisi rahim Zaira, semenjak itu pula Zaira kehilangan semangat hidupnya. Masih terngiang jelas bagiamana dokter memyampaikan kondisi istriku yang sebenarnya. "Bagaimana, Dok?" tanyaku waktu itu. Dokter Namira tampak tersenyum hangat. "Ibu Zaira dan Pak Zafran, saya harap, kabar ini tidak membuat semangat Bapak dan Ibu goyah ya?" Aku dan Zaira saling berpandangan. Tampak bulir bening mulai menggenang di pelupuk mata Zairaku. "Ada apa sebenarnya, Dok?" tanyanya dengan suara bergetar. "Bapak Zafran, penyebab Ibu Zaira susah hamil karena kondisi rahim Ibu yang tidak normal." "M-maksudnya, Dok?" "Masalah rahim yang berpotensi menjadi penyebab wanita susah hamil adalah bentuk rahim yang tidak normal sejak lahir. Kondisi ini biasanya disebut congenital uterine anomalies atau uterine abnormalities. Sebenarnya, kondisi yang bisa menjadi ini termasuk jarang sekali terjadi," terang dok