Semenjak dokter memvonis kondisi rahim Zaira, semenjak itu pula Zaira kehilangan semangat hidupnya. Masih terngiang jelas bagiamana dokter memyampaikan kondisi istriku yang sebenarnya.
"Bagaimana, Dok?" tanyaku waktu itu.
Dokter Namira tampak tersenyum hangat.
"Ibu Zaira dan Pak Zafran, saya harap, kabar ini tidak membuat semangat Bapak dan Ibu goyah ya?"
Aku dan Zaira saling berpandangan. Tampak bulir bening mulai menggenang di pelupuk mata Zairaku.
"Ada apa sebenarnya, Dok?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Bapak Zafran, penyebab Ibu Zaira susah hamil karena kondisi rahim Ibu yang tidak normal."
"M-maksudnya, Dok?"
"Masalah rahim yang berpotensi menjadi penyebab wanita susah hamil adalah bentuk rahim yang tidak normal sejak lahir. Kondisi ini biasanya disebut congenital uterine anomalies atau uterine abnormalities. Sebenarnya, kondisi yang bisa menjadi ini termasuk jarang sekali terjadi," terang dok
Menjelang sore pintu diketuk, gegas kutinggalkan Zaira yang sedang menatap kosong. Tampak kedua orang tua kami dan kedua sahabat kami. Rayyan dan Khadijah. "Zaira, di mana, Nak?" tanya Umi mertua. "Ada di dalam kabar, Mi. Zafran panggilkan dulu, ya." Aku segera melangkah ke kamar, Zaira masih dalam posisi semula. "Sayang, keluar dulu, yuk! Di luar ada Umi, Abi, Mas Rayyan dan Khadijah," seruku. Zaira hanya menoleh sekilas lalu tetap fokus memandang ke arah luar jendela. Aku menghampirinya. "Sayang, mereka kesini karena sayang sama kamu, Dek. Apa kamu tega membiarkan mereka menunggu di luar? Orang tua kita ada loh, Sayang." Aku membawanya ke dalam pelukanku. Menciumi pucuk kepalanya dengan sayang. Zaira membalas pelukanku . "Maafin, Zaira, Mas." "Udah, jangan ngomong gitu. Yuk, temui mereka!" Zaira melepas pelukannya seraya mengangguk, mengikuti langkah kakiku.
Abi menelfon mengabarkan bahwa Bude Aminah ingin silaturahmi ke rumah. Aku belum mengenal begitu baik siapa Bude Aminah itu, Mas Zafran hanya mengatakan bahwa beliau kakak kandung Abi Abdullah. Aku dan Mas Zafran membersihkan rumah agar tak ada komentar pedas yang kami dengar. Itu yang dikatakan Mas Zafran soal sosok beliau. "Sayang, sebelum Bude Aminah datang, Mas mohon sama kamu, apapun yang Bude katakan, jangan masukkan ke dalam hati ya, Sayang." "Memangnya kenapa, Mas?" "Bude Aminah itu kalau ngomong suka seenaknya, Dek. Pedas dan menyakitkan. Beda dengan Abah." "Mas, Adek takut." "Mas bersamamu, Sayang." Deru mobil mula terdengar dari halaman depan. "Itu pasti mereka. Yuk, Dek, sambut mereka." Mas Zafran meraih tanganku lalu menggenggamnya mesra. Tampak seorang wanita tua turun dari mobil, bersama Umi, Abi dan Zain. Sosok wanita yang berwajah tegas, pandangan tajam dan raut wajah dingin. Jujur,
"Berusaha opo?!" "Kami sudah berobat, Bude. Kami berdua nggak mandul," jelas Mas Zafran. Aku menyentuh lengannya agar Mas Zafran tidak mendebat Budenya. "Ya kalau kalian ndak mandul, kok iso ndak hamil?" Mas Zafran ingin menjawab, tapi segera kucegah. "Mohon do'anya, Bude," jawabku berusaha terlihat tegar. Kusunggingkan senyum tulus untuknya. Bude Aminah memalingkan wajah ke arah lain. *Di dalam dapur aku menyiapkan bahan untuk makan siang nanti. Aku bersyukur karena dibantu Umi, setidaknya aku tahu selera Bude. "Zaira, maafkan Umi yang tidak bisa membelamu. Bude Aminah memang seperti itu wataknya keras." "Zaira paham, Umi. Cukup Abi dan Umi tetap menyanyangiku, itu sudah membuat Zaira untuk tetap kuat." Umi memelukku dengan sayang, mengelus pelan pundakku. Aku menangis sesegukan di dalam pelukannya. "Insya Allah, suatu hari nanti akan Allah hadirkan malaikat kecil di is
"Zafran dan Zain itu keponakan kesayangan aku, Abdullah. Yo wajar to, aku peduli sama mereka?" Aku sudah tahan dengan sikap Bude yang sudah sangat keterlaluan. Aku menoleh ke arah Zaira saat menggenggam erat tanganku Air matanya luruh dengan sendirinya membasahi khimar yang dipakai. "Silahkan diminum, Bude!" ucapku. Namun, tak digubrisnya. "Nduk, siapa nama kamu?" tanya Bude. "Zaira, Bude." "Loh, kamu kok nangis? Ada yang salah sama kata-kata saya?" Aku menoleh ke arah Zaira tampak dia menggeleng lemah. "Wes sudah to. Kasihan Zaira," bela Abi lagi. Umi yang hanya tadi diam memandang iba pada kami. "Lah, emange aku salah, Abdullah? Ndak to? Wajar aku nanya. Aku heran, sudah lima tahun menikah kok ndak punya anak." Darahku mendidih, Bude sudah sangat kelewatan. Perasaan Zaira sepertinya sudah tak penting baginya. "Bude, anak itu titipan dari Allah. Kami ber
Tiga puluh menit sebelum adzan ashar berkumandang, aku meletakkan kepalanya hati-hati di atas bantal. Wajah cantiknya sedang terlelap dalam tidurnya. Aku melenggang pergi untuk membersihkan piring kotor di wastafel, membersihkan rumah lalu berwudhu. Adzan berkumandang, aku yang telah siap untuk berangkat shalat, perlahan mendekt lalu menepuk pelan pipinya. Mata indahnya mengerjap lalu memandangku. "Sayang, bangun! Mas mau ke mesjid dulu ya, Dek." Zaira bangkit perlahan dari tidur, aku tersenyum seraya mengacak rambut indahnya. *Setelah selesai shalat Ashar, ada beberapa ibu-ibu yang menghampiriku. "Assalamu'alaikum, Ustadz, maaf mengganggu." "Wa'alaikumussalam, Bu. Ada apa?" "Begini, Ustadz, sudah beberapa hari ini, Ustadzah Maftuhah ijin untuk mengajari kami tahsin, apa ustadz punya rekomendasi pengganti Ustadzah Maftuhah yang sedang ijin cuti melahirkan?" tanya Ibu yang berkacamata. Aku berpikir sejena
Aku tak mengerti apa yang terjadi di rumah mertuaku. Mas Zafran yang baru saja pulang dari sana langsung menghambur ke pelukanku sambil terus membisikkan kalimat cinta. Pelukannya begitu kuat hingga aku tak sanggup hanya untuk sekedar bergerak sedikit saja. "Apa yang terjadi, Mas?" tanyaku khawatir. Mas Zafran tak menjawab malah terus memelukku dengan erat. Kupaksa untuk melonggarkan pelukannya agar aku bisa melihat wajahnya. Tampak matanya berkaca dengan tatapan sendu. Aku menghapus jejak air mata itu dengan tanganku. Matanya terus menatapku dengan sirat terluka. "Kita duduk dulu, Mas." Aku menggandeng mesra lengannya lalu duduk bersisian di ruang keluarga kami. Aku bernjak ingin mengambilkannya air minum, tetapi tangan ini ditahannya seraya menggeleng lemah. Aku mendudukkan diri tepat di sampingnya seraya mencium punggung tangannya lama. Tangan ini yang telah menjabat tangan Abiku saat ijab. Tangan ini yang terus
"Mas, adek mau bicara serius." Kami yang sudah bersiap untuk tidur, entah kenapa baru kali ini Zaira ingin berbicara serius. Apa ada yang tak terjadi tanpa kuketahui? "Apa, Sayang?" "Adek mau minta sesuatu dan adek harap Mas mau kabulkan." "Apa itu, Sayang?" Aku masih berfikir positif. Zaira tampak terdiam sejenak. Aku masih dengan setia menunggunya untuk memulai. "Menikahlah, Mas. Adek ikhlas." Aku terperanjat, menoleh padanya lalu bangkit dari posisi tidur. "Maksud kamu apa, Dek?" Tubuhku seketika menegang. Mencoba untuk tetap tenang meski hati sudah berkecamuk. "Adek hanya ingin Mas bahagia." Aku terperangah. "Sependek itu kah pemikiran kamu?" Zaira terdiam. "Kamu sudah tidak mencintai Mas lagi?" Jujur, saat bertanya itu ada nyeri di dalam hati. "Mas salah paham." "Kenapa, Dek?" suaraku melemah. Zaira bangkit menghadapku
"Abang, kalau Abang nekat melakukan poligami, mending abang ceraikan Zaira. Aku yang akan membahagiakannya!" "Apa maksudmu?" "Aku tidak akan membiarkan Zaira terluka." "Maksudmu, Abang tidak pernah membahagiakan Zaira?" "Ya. Jika Abang mengikuti kemauan Bude." "Abang sangat mencintai istriku!" Kami berdua terlibat ketegangan yang luar biasa. Aku menangkap raut kemarahan dari Zain. "Tenang dulu kalian!" Rayyan mulai melerai. "Kita bisa membicarakannya baik-baik. Aku tahu kalian memyayangi Zaira. Aku juga sama, Zaira sudah seperti adikku. Dia sahabat istriku. Membuat Zaira terluka sama saja aku menyakiti istriku secara tidak langsung." Kami berdua terdiam. Aku bersyukur banyak yang menyayangi Zairaku. "Aku menyerahkan Zaira ke Abang, karena aku percaya Abang akan menjaganya. Abang sudha tahu kan bagaimana perasaanku padanya?" "Aku mengerti, Zain." "Jadi. Kalau Abang mengikuti kemauan