"Berusaha opo?!"
"Kami sudah berobat, Bude. Kami berdua nggak mandul," jelas Mas Zafran. Aku menyentuh lengannya agar Mas Zafran tidak mendebat Budenya.
"Ya kalau kalian ndak mandul, kok iso ndak hamil?"
Mas Zafran ingin menjawab, tapi segera kucegah.
"Mohon do'anya, Bude," jawabku berusaha terlihat tegar.
Kusunggingkan senyum tulus untuknya. Bude Aminah memalingkan wajah ke arah lain.
*
Di dalam dapur aku menyiapkan bahan untuk makan siang nanti. Aku bersyukur karena dibantu Umi, setidaknya aku tahu selera Bude."Zaira, maafkan Umi yang tidak bisa membelamu. Bude Aminah memang seperti itu wataknya keras."
"Zaira paham, Umi. Cukup Abi dan Umi tetap menyanyangiku, itu sudah membuat Zaira untuk tetap kuat."
Umi memelukku dengan sayang, mengelus pelan pundakku. Aku menangis sesegukan di dalam pelukannya.
"Insya Allah, suatu hari nanti akan Allah hadirkan malaikat kecil di is
"Zafran dan Zain itu keponakan kesayangan aku, Abdullah. Yo wajar to, aku peduli sama mereka?" Aku sudah tahan dengan sikap Bude yang sudah sangat keterlaluan. Aku menoleh ke arah Zaira saat menggenggam erat tanganku Air matanya luruh dengan sendirinya membasahi khimar yang dipakai. "Silahkan diminum, Bude!" ucapku. Namun, tak digubrisnya. "Nduk, siapa nama kamu?" tanya Bude. "Zaira, Bude." "Loh, kamu kok nangis? Ada yang salah sama kata-kata saya?" Aku menoleh ke arah Zaira tampak dia menggeleng lemah. "Wes sudah to. Kasihan Zaira," bela Abi lagi. Umi yang hanya tadi diam memandang iba pada kami. "Lah, emange aku salah, Abdullah? Ndak to? Wajar aku nanya. Aku heran, sudah lima tahun menikah kok ndak punya anak." Darahku mendidih, Bude sudah sangat kelewatan. Perasaan Zaira sepertinya sudah tak penting baginya. "Bude, anak itu titipan dari Allah. Kami ber
Tiga puluh menit sebelum adzan ashar berkumandang, aku meletakkan kepalanya hati-hati di atas bantal. Wajah cantiknya sedang terlelap dalam tidurnya. Aku melenggang pergi untuk membersihkan piring kotor di wastafel, membersihkan rumah lalu berwudhu. Adzan berkumandang, aku yang telah siap untuk berangkat shalat, perlahan mendekt lalu menepuk pelan pipinya. Mata indahnya mengerjap lalu memandangku. "Sayang, bangun! Mas mau ke mesjid dulu ya, Dek." Zaira bangkit perlahan dari tidur, aku tersenyum seraya mengacak rambut indahnya. *Setelah selesai shalat Ashar, ada beberapa ibu-ibu yang menghampiriku. "Assalamu'alaikum, Ustadz, maaf mengganggu." "Wa'alaikumussalam, Bu. Ada apa?" "Begini, Ustadz, sudah beberapa hari ini, Ustadzah Maftuhah ijin untuk mengajari kami tahsin, apa ustadz punya rekomendasi pengganti Ustadzah Maftuhah yang sedang ijin cuti melahirkan?" tanya Ibu yang berkacamata. Aku berpikir sejena
Aku tak mengerti apa yang terjadi di rumah mertuaku. Mas Zafran yang baru saja pulang dari sana langsung menghambur ke pelukanku sambil terus membisikkan kalimat cinta. Pelukannya begitu kuat hingga aku tak sanggup hanya untuk sekedar bergerak sedikit saja. "Apa yang terjadi, Mas?" tanyaku khawatir. Mas Zafran tak menjawab malah terus memelukku dengan erat. Kupaksa untuk melonggarkan pelukannya agar aku bisa melihat wajahnya. Tampak matanya berkaca dengan tatapan sendu. Aku menghapus jejak air mata itu dengan tanganku. Matanya terus menatapku dengan sirat terluka. "Kita duduk dulu, Mas." Aku menggandeng mesra lengannya lalu duduk bersisian di ruang keluarga kami. Aku bernjak ingin mengambilkannya air minum, tetapi tangan ini ditahannya seraya menggeleng lemah. Aku mendudukkan diri tepat di sampingnya seraya mencium punggung tangannya lama. Tangan ini yang telah menjabat tangan Abiku saat ijab. Tangan ini yang terus
"Mas, adek mau bicara serius." Kami yang sudah bersiap untuk tidur, entah kenapa baru kali ini Zaira ingin berbicara serius. Apa ada yang tak terjadi tanpa kuketahui? "Apa, Sayang?" "Adek mau minta sesuatu dan adek harap Mas mau kabulkan." "Apa itu, Sayang?" Aku masih berfikir positif. Zaira tampak terdiam sejenak. Aku masih dengan setia menunggunya untuk memulai. "Menikahlah, Mas. Adek ikhlas." Aku terperanjat, menoleh padanya lalu bangkit dari posisi tidur. "Maksud kamu apa, Dek?" Tubuhku seketika menegang. Mencoba untuk tetap tenang meski hati sudah berkecamuk. "Adek hanya ingin Mas bahagia." Aku terperangah. "Sependek itu kah pemikiran kamu?" Zaira terdiam. "Kamu sudah tidak mencintai Mas lagi?" Jujur, saat bertanya itu ada nyeri di dalam hati. "Mas salah paham." "Kenapa, Dek?" suaraku melemah. Zaira bangkit menghadapku
"Abang, kalau Abang nekat melakukan poligami, mending abang ceraikan Zaira. Aku yang akan membahagiakannya!" "Apa maksudmu?" "Aku tidak akan membiarkan Zaira terluka." "Maksudmu, Abang tidak pernah membahagiakan Zaira?" "Ya. Jika Abang mengikuti kemauan Bude." "Abang sangat mencintai istriku!" Kami berdua terlibat ketegangan yang luar biasa. Aku menangkap raut kemarahan dari Zain. "Tenang dulu kalian!" Rayyan mulai melerai. "Kita bisa membicarakannya baik-baik. Aku tahu kalian memyayangi Zaira. Aku juga sama, Zaira sudah seperti adikku. Dia sahabat istriku. Membuat Zaira terluka sama saja aku menyakiti istriku secara tidak langsung." Kami berdua terdiam. Aku bersyukur banyak yang menyayangi Zairaku. "Aku menyerahkan Zaira ke Abang, karena aku percaya Abang akan menjaganya. Abang sudha tahu kan bagaimana perasaanku padanya?" "Aku mengerti, Zain." "Jadi. Kalau Abang mengikuti kemauan
"Abang, kalau Abang nekat melakukan poligami, mending abang ceraikan Zaira. Aku yang akan membahagiakannya!" Aku yang tadinya ingin memesankan mereka makanan, tiba-tiba menarik tanganku saat mendengar keributan di dalam. Aku menempelkan telinga di daun pintu. Bukan ingin menguping, tetapi aku sangat penasaran apa yang terjadi di dalam. Aku takut terjadi sesuatu di dalam. "Apa maksudmu?" tanya Mas Zafran. "Aku tidak akan membiarkan Zaira terluka." "Maksudmu, Abang tidak pernah membahagiakan Zaira?" "Ya. Jika Abang mengikuti kemauan Bude." "Abang sangat mencintai istriku!" Mereka berdua sepertinya terlibat ketegangan yang luar biasa. Aku menangkap suara kemarahan dari Zain. Ingin kuhentikan mereka, tetapi suara Mas Rayyan juga terdengar. "Tenang dulu kalian!" Mas Rayyan mulai melerai. "Kita bisa membicarakannya baik-baik. Aku tahu kalian memyayangi Zaira. Aku juga sama, Zaira sudah seperti adikku. Dia sahabat istr
Prang! Aku yang baru saja membersihkan diri gegas berlari ke arah dapur saat mendengar suara benda jatuh. Di sana aku melihat Zaira yang sedang berdiri sambil memegangi kepalanya. Kulihat pecahan mangkuk bertebaran. Aku dengan sigap menangkap tubuhnya yang hampir saja terjatuh. Kupapahnya tubuh ini menuju tempat pembaringan kami. "Ada apa, Sayang?" tanyaku khawatir. "Adek pusing, Mas." Zaira yang baru saja terbaring tiba-tiba merasakan mual. Zaira bangkit lalu menuju kamar mandi. Aku yang panik segera menyusulnya. Di dalam kamar mandi, Zaira tak berhenti mual bahkan muntah. Aku dengan cekatan memijit tengkuknya dan membantunya menyiram bekas muntahannya. Sebenarnya rasa mual bahkan muntah ini sudah biasa terjadi beberapa hari ini, hanya saja Zaira selalu menjawab itu karena faktor stres. "Dek, kamu kenapa?" "Adek nggak tahu, Mas," jawabnya dengan suara lemah. "Mas telfon Umi dulu
"Masya Allah. Allahu Akbar! Alhamdulillah, Ya Allah!" pekik Umi mertua. Kami serentak saling maju untuk sekedar melihat. Pandangan kami fokus pada benda kecil itu. Mataku membulat, ada rasa bahagia, haru yang luar biasa. Dua garis merah terpampang nyata di depanku. Zairaku hamil? Anakku? Aku berbalik lalu memeluknya. Ku eratkan pelukan sambil terus mengucapkan rasa syukur yang tak terkira. Penantian ini telah diijabah. "Selamat, Sayang. Alhamdulillah kita bakal jadi orang tua," seruku. Zaira masih terdiam di tempat. Kucium berkali-kali wajahnya. Aku bahagia dan sangat bahagia atas kuasa Allah. Kedua orang tua kami tampak sangat bahagia. Mereka berpelukan, kecuali Bude. Bude hanya berdiri mematung dengan tatapan yang sama. Aku terseyum ke arahnya, namun tak dibalas juga. Harusnya Bude ikut bahagia. Orang tua kami tak berhenti mengucapkan selamat dan syukur atas kabar bahagia ini. Tak b
Tiga tahun berlalu, semenjak kepergian Zain suasana rumah Abi Abdullah semakin sepi. Sekali-sekali Zafran datang menjenguk membawa istri dan kedua bayi kembarnya.Zain yang bertugas tak seperti biasanya hanya pulang beberapa kali dalam setahun. Menjelajahi pulau satu ke pulau lainnya yang sulit diakses. Petualangannya bersama Arumi perlahan menumbuhkan rasa yang tak biasanya. Hingga akhirnya hari ini Zain resmi melamar Arumi sebagai pendamping hidupnya.Siapa yang akan menyangka, keduanya sama-sama pernah ditinggalkan oleh orang yang sangat dicintainya. Memiliki kisah cinta yang tak bisa terwujud lalu memilih ikhlas melepaskan meskipun sakit begitu dalam. Akhirnya, mereka dipertemukan.Hari ini secara resmi Zain mempersunting Arumi untuk dijadikan sebagai teman hidup. Perihal rasa yang pernah mengakar, akhirnya bisa juga hilang seiring berjalannya waktu.Arumi tampil begitu anggun dengan balutan kebaya syar'i berwarna peach s
Pov. Zain."Zain terpilih menjadi salah satu dokter yang bertugas di kapal rumah sakit, Abi. Zain pikir, lebih baik Zain terima." Kulihat mulai berembun."Kapan berangkatnya?" tanya Bang Zafran."Besok lusa, Bang," jawabku.Abi mengembuskan napasnya perlahan. Ditatapnya umi yang sudah mulai terisak. Aku mendekat lalu membawa tubuh orang yang telah melahirkanku ke dalam pelukan."Pasti lama. Kamu tega ya ninggalin, Umi?" Aku tersenyum."Ini bentuk pengabdian, Umi. Insya Allah, nanti Zain akan sekali-sekali pulang kok," bujukku berusaha menenangkan umi.Aku tahu perasaan umi saat ini. Umi pasti tak ingin melepaskanku. Tapi sumpah yang sudah terlanjur terucap untuk mengabdikan diri ini pada bangsa dan negara. Mataku tak sengaja mengarah pada sosok wanita yang kucintai. Segera kualihkan pandangan saat mata kami bertemu.'Maafkan Zain, Umi. Semua ini Zain lakukan demi abang. Rasa cinta ini b
Tepat empat puluh lima hari berlalu. Keluarga besar Zaira dan Zafran hari ini mengadakan tasyakuran aqiqah untuk kelahiran bayi kembar mereka. Segala persiapan telah dilaksanakan. Nuansa hijau dan putih menghiasi ruangan sesuai dengan permintaan Zaira.Banyak keluarga, sahabat, dan tetangga yang hadir di acara tersebut, tak terkecuali rekan bisnis serta para jama'ah tempat Zafran mengajarkan ilmu agama.Pemandu acara mulai membuka acara syukuran aqiqah."Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh bapak, ibu dan para tamu undangan yang kami hormati.Pertama – tama mari kita sampaikan puja dan puji syukur kehadirat Allah Subhanah Wa Ta'ala, atas rahmat dan hidayat yang dilimpahkan kepada kita semua, sehingga pada siang yang penuh dengan kebahagiaan ini kita bisa hadir memenuhi undangan dari Ustadz Zafran Abdullah sekeluarga dalam rangka syukuran akan lahirnya putra dan putri, buah hati dari pasangan Ustaz Zafran Abdullah dan ibu Zai
"Mas tolong!" pekik Zaira.Selepas isya suasana rumah menjadi ramai. Zaira tak berhenti menangis kala suhu tubuh kedua bayi kembarnya panas. Rasa panik menghampiri.Zafran yang tengah mengerjakan urusan kantor gegas menuju kamar. Dilihatnya Zaira duduk dengan ekspresi kebingungan di dekat bayi mereka.Zafran mendekat ke istrinya yang masih menangis sesegukan. "Ada apa, Sayang?""Ba-bayi kita, Mas.""Iya, mereka kenapa?" tanya Zafran."Bayi kita demam."Zafran mengecek keduanya. Ternyata benar, suhu badannya tinggi."Sebentar, Sayang, mas hubungi Zain dulu."Sementara Zafran menghubungi Zain, Mbok Siti datang terpongoh-pongoh di dekat Zaira."Ada apa, Bu?" tanyanya khawatir."Bayiku demam tinggi, Mbok," jawab Zaira dengan terisak.Diperiksanya kening bayi itu secara bergantian lalu Mbok Siti bergegas menuju dapur untuk mengambil air lalu tangannya meraih handuk
Hari minggu bahkan tak terasa satu bulan pun berlalu. Kehidupan Zaira dan Zafran terasa begitu indah dengan hadirnya bayi kembar mereka. Rasa lelah tak terasa bagi mereka. Justru mengurus kedua anaknya merupakan hal terindah yang belum pernah mereka rasakan.Bangun di tengah malam saat orang lain tengah menikmati istirahat, justru tidak bagi mereka. Mengganti popok, bangun menyusui atau bahkan melantunkan shalawat untuk si kembar. Hal yang sudah lumrah dirasakan oleh kebanyakan orang tua di luaran sana.Bagi Zafran berangkat ke kantor sudah terasa berbeda. Melihat kelucuan si kembar menjadi penyemangatnya. Begitpun saat pulang bekerja, Zafran akan disambut dengan suara dan harumnya bau tubuh si kembar."Anak ayah harum banget sih, bikin betah aja," ucap Zafran gemas."Ayahnya malah belum mandi, bau acem!" goda Zaira. Zafran tak menggubris godaan istrinya malah memeluk erat Zaira."Apaan sih, Mas," bisik Zaira lalu meli
Pov. ZafranBibirnya tak berhenti mengulas senyum kala istriku terus memandangi wajah kedua anak kami. Aku tahu, Zaira sangat bahagia saat ini. Begitu pun dengan aku.Kehadiran si bayi kembar mewarnai hidup kami. Hadirnya bagaikan oase di tengah padang pasir. Bagaimana tidak, mereka hadir di saat orang tuanya sudah pasrah akan takdir yang terus berjalan.Aku memandangi ketiganya dari balik pintu. Rasanya seperti mimpi melihat apa yang ada di depan mata saat ini. Keadaan yang begitu sangat kami rindukan, terlebih istriku."Sayang, belum tidur?" tanyaku sambil menuju lemari mengganti pakaian."Sayang, baju kaos biru navi mas di mana ya? Mas mau pakai itu, Dek."Lagi dan lagi tak ada jawaban. Pandanganku beralih padanya. Rupanya istriku tengah serius memandangi ajah mungil anak kami."Sayang, fokus banget pandangin si kembar, suami sendiri nggak digubris," protesku kala sudah duduk di pinggiran ranjang.
Pov. Zaira.Bibir ini tak berhenti menyunggingkan senyum saat melihat wajah lucu dan menggemaskan si bayi kembar. Impian yang selama ini aku rindukan akhirnya terwujud juga.Rasa haru terus menyeruak di dalam dada kala mengingat bagaimana perjuangan kami berdua. Suka duka kita lewati bersama. Tak terhitung berapa tetes air mata yang mewakili perasaan ini.Kini, mereka hadir membantuku meraih mimpi yang sempat aku kubur dalam-dalam. Mereka hadir membangkitkan diri ini yang sempat jatuh hingga terpuruk lebih dalam."Sayang, fokus banget pandangin si kembar, suami sendiri nggak digubris."Aku terhenyak dari lamunanku, rupanya Mas Zafran sudah duduk di pinggiran ranjang. Sejak kapan dia ada di sini?"Maaf, Mas, adek nggak lihat. Mas sudah lama di sini?" tanyaku sambil berusaha bangun lalu menghambur ke tubuhnya.Mas Zafran memelukku dengan erat. "Sejak tadi, Dek. Mas panggilin malah nggak digubris. Mas cemburu sama
"Ingat pesan Om Dokter ya, Vio!" ucap Zain saat Vio sudah berada di dalam mobil."Siap, Om Dokter!" jawab Vio antusias."Apa coba kalau ingat?" tanya Zain memancing.Vio menarik napas lalu mulai menyebutkan pesan dari Zain."Jangan jajan sembarang, jangan makan es krim dulu dan makanan berlemak, tetap jaga kesehatan, jangan bawel. Nah, Vio udah benar kan, Dok?" Zain tersenyum seraya mengangkat kedua jempolnya. Vio bertepuk tangan riang."Dok, terimakasih ya. Suster Mawar, terimakasih sudah merawat Vio, sampaikan pada Dokter Roy dan perawat lainnya.""Iya sama-sama. Jaga Vio ya?" jawab Zain yang dibalas anggukan oleh Arumi."Kami permisi dulu, ya, Dok, Sus," pamit Arumi."Hati-hati," balas Zain.Arumi kemudian masuk dan duduk di samping kemudi. Bibir Arumi tak berhenti menyunggingkan senyum. Zain ikut tersenyum simpul. Mawar yang melihat itu merasa sangat cemburu.Maw
Mawar tak habis fikir dengannya dokter Zain bersikap biasa. Namun, dengan wanita itu, dokter Zain begitu bahagia hingga tertawa lepas. Siapa sebenarnya dia? Apakah dia wanita yang dimaksud Sinta? Pikirnya.Mawar memilih pergi ketimbang terus berdiri di sana melihat keakraban mereka. Wanita mana yang tidak merasa cemburu melihat orang yang dia kagumi tertawa lepas dengan wanita lain?Langkahnya terhenti tepat di depan toilet khusus staf ruangan. Gegas Mawar memilih masuk untuk menenangkan hatinya yang sedang dibakar api cemburu.Di depan cermin berukuran besar, Mawar menatap pantulan dirinya. Menelisik setiap inci yang ada pada dirinya. Baginya, dia tidak terlalu buruk dibanding wanita tadi. Lalu mengapa seolah-olah dokter Zain tak meliriknya?Mawar kemudian menempelkan tangan di dadanya."Ya, Allah. Apakah hamba akan kembali disakiti lagi? Bisakan hamba berharap ditakdirkan dengannya?" lirihnya.Setelah sekian t