"Masya Allah. Allahu Akbar! Alhamdulillah, Ya Allah!" pekik Umi mertua.
Kami serentak saling maju untuk sekedar melihat. Pandangan kami fokus pada benda kecil itu. Mataku membulat, ada rasa bahagia, haru yang luar biasa. Dua garis merah terpampang nyata di depanku.
Zairaku hamil? Anakku?
Aku berbalik lalu memeluknya. Ku eratkan pelukan sambil terus mengucapkan rasa syukur yang tak terkira. Penantian ini telah diijabah.
"Selamat, Sayang. Alhamdulillah kita bakal jadi orang tua," seruku.
Zaira masih terdiam di tempat. Kucium berkali-kali wajahnya. Aku bahagia dan sangat bahagia atas kuasa Allah.
Kedua orang tua kami tampak sangat bahagia. Mereka berpelukan, kecuali Bude. Bude hanya berdiri mematung dengan tatapan yang sama.
Aku terseyum ke arahnya, namun tak dibalas juga. Harusnya Bude ikut bahagia.
Orang tua kami tak berhenti mengucapkan selamat dan syukur atas kabar bahagia ini. Tak b
"Alhamdulillah, selamat, Pak, ada kehidupan di dalam." Aku terperangah mendengar penuturan dari dokter Namira. "Maksudnya, Dok?" tanya suamiku. "Usia kehamilan Ibu Zaira sudah memasuki minggu ke tiga. Artinya sudah hampir satu bulan sudah ada kehidupan di dalam sana." Mataku membulat sempurna. Mas Zafran bersujud syukur atas jawaban dari penantian lama kami. Aku terus menangis dan tak hentinya mengucapkan syukur. Dokter dan perawat yang menyaksikan keadaan kami ikut merasa terharu. Perawat kemudian membersihkan sisa gel yang ada di perutku yang masih datar ini dan membantuku untuk turun. Mas Zafran langsung memelukku, tak henti aku menangis di dalam pelukannya. "Alhamdulillah, Mas, adek bahagia," ucapku di sela tangis. Mas Zafran mengangguk seraya menghapus jejak air mata ini. Perawat itu memberikan kami hasil dari USG nya. Kami tak berhenti memandangi gambar hitam putih itu. Meskipun belum tampak jelas, setidak
Hari-hari kulalui dengan penuh rasa bahagia. Menjadi seorang calon ibu di kehamilan pertama trimester pertama sungguh campur aduk rasanya. Proses ngidam yang semua ibu pun sudah pasti merasakan. Akan ada berbagai macam keanehan yang timbul. Begitu juga denganku. "Mas, Adek mau makan rujak, tapi Mas sendiri yang buat, ya?" pintaku manja. "Dek, Mas nggak tahu cara buat rujak. Kota beli aja, ya?" bujuknya. "Nggak, Mas! Adek maunya Mas yang buatin." Mas Zafran menepuk pelan keningnya. "Dek, ini sudah malam. Jam delapan malam, bagaiamana caranya? Kita kudu belanja dulu kan, Sayang?" "Ya sudah kalau gitu, bilang aja malas!" Kau menghentakkan kaki meninggalkannya sendiri di ruang kerjanya. Aku benar-benar merasa dongkol. Air mata menetes begitu saja. Perasaanku mengatakan Mas Zafran sudah mulai tak menyayangiku. Terdengar Mas Zafran terus memanggilku, kurasakan tangannya kini meraih tangan
Hari-hari kami lalui dengan penuh rasa bahagia. Menjadi seorang calon ayah untuk kali pertama selama penantian panjang. Jangan tanyakan seperti apa rasanya, tentu saja rasa yang bercampir aduk. Tapi, aku sangat menikmati. Proses ngidam yang semua ibu pun sudah pasti merasakan. Akan ada berbagai macam keanehan yang timbul. Begitu juga dengan Zairaku. Sebagai suami siaga, bukan hanya aku yang pasti sudah mengalaminya, bahkan laki-laki yang bergelar suami pasti merasakan sensasi menjadi suami siaga. Siap antar jaga.Bagi suami siaga, kemauan istri adalah nomor satu. Kebahagiaan istri adalah nomor satu dan kebutuhan istei adalah nomor satu. Kebahagiaan kita, kebutuhan kita bahkan jadi nomor sekian."Mas, Adek mau makan rujak, tapi Mas sendiri yang buat, ya?" pinta Zaira manja.Aku yang sedang sibuk memeriksa laporan bulanan sedikit merasa keberatan dengan permintaan Zaira."Dek, Mas nggak tahu cara buat rujak. Kita beli a
Zaira menutup hidung lalu mengibaskan tangan ke udara, memberi kode agar aku mundur. Aku memilih menuruti kemauannya dengan sedikit menjauh. Dari jauh tampak Zaira melepaskan dua jari yang sejak tadi menutupi hidungnya dan bernapas lega."Mas, kok tiap kali aku mencium bau badan, Mas, kok aku mual-mual ya?""Ya, Mas juga nggak tahu, Dek. Mas wangi padahal. Bau ketek Mas aja kamu suka.""Jadi gimana dong, Mas?""Kita istirahat aja, Sayang." Aku mulai mendekat tanpa mau lagi menggendong tubuhnya.Saat kami sudah berada di dalam kamar, aku memilih berbaring lebih dulu sembari menunggu Zaira untuk menghambur ke pelukanku seperti biasa. Perlahan Zaira mendekat. Niat hati ingin bermesraan, pupus sudah. Saat Zaira mencium kembali aroma tubuh ini, Zaira berdiri mematung."Mual lagi?" tanyaku sedikit frustrasi saat melihat Zaira menutup mulut lalu berlari kecil ke kamar mandi. Aku membuang napas kasar."Mual lagi?" tanyaku sedikit
Menjadi ibu hamil adalah impian banyak orang, terutama yang sangat mendambakan kehadiran si buah hati di dalam pernikahannya. Begitupun dengan aku. Dulu, kami sangat merindukan kehadirannya. Siang dan malam lisan ini tak berhenti memohon kepada Sang pemilik kehidupan agar kami diberi amanah untuk memiliki buah hati. Tak tanggung-tanggung, segala cibiran, sindiran bahkan dicap sebagai wanita mandul dilekatkan padaku. Tak peduli bagaimana perasaanku.Aku pernah berada di posisi ingin menyerah. Ingin pergi saja bahkan ingin diduakan meski hati tak menerima. Tapi, semua demi kebahagiaan keluarga suamiku. Hati wanita siapa yang sanggup diduakan? Makanya wanita yang ikhlas dipoligami hadiahnya adalah surga.Aku memang merindukan surga, tapi bukan surga itu yang kurindukan. Aku manusia biasa, makhluk lemah, aku wanita dengan sejuta rasa cemburu yang mengakar di dalam dada. Bukannya aku menentang poligami, hanya saja hati ini belum siap.Poligami itu d
"Ya Allah,darah!" pekik umi mertua. Mereka berdua panik termasuk aku. Tak kupedulikan rasa sakit ini, aku memikirkan janinku. "Sebentar, Mba, aku hubungi Zain dulu." Umi mengangkat kepalaku lalu membawanya ke dalam pangkuan. Tak berhenti Umi menangis di sisiku, begitupun aku. "Assalamualaikum, Zain, cepat bawa ambulans ke sini, Zaira terjatuh, dan pendarahan!" Mereka lalu mengangkatku menuju tempat tidur. Aku tak henti-hentinya menangis. Bukan karena sakitnya terjatuh, aku memikirkan buah hati kami. Tak berselang lama Zain datang bersama dengan beberapa orang lainnya. Zain terlihat panik saat melihat darah yang menetes di kakiku. Zain menarik selimut untuk menutupi tubuh ini. "Biar saya yang menggendongnya!" Tanpa ragu, Zain menggendongku tubuhku lalu berlari kecil membawa tubuh ini keluar dan membaringkannya di atas brankar. Umi, dan Umi mertua turut ikut naik di atas mobil ambulans setela
Tiga bulan telah berlalu, perut yang awalnya rata kini mulai sedikit membesar. Zairaku juga banyak perubahan. Nafsu makannya meningkat dan gampang baperan. Ngidam? Sampai sekarang ngidamnya pun aneh-aneh.Minta aku berbaju daster lah, memintaku menina bobokannya sebelum tidur, mengepang rambut indahnya dan masih banyak lagi. Kadang aku harus terbangun di jam dua pagi sampai subuh hanya untuk menemaninya menonton drama korea. Padahal aku sudah melarangnya. Tapi, katanya bawaan si buah hati."Sayang, lagi apa?" tanyaku yang tengah sibuk menyiapkan keperluannya sendiri."Lagi lihatin tanaman kita, Mas," jawab Zaira seraya tersenyum.Zaira berdiri mendekatiku hanya untuk membantu menyiapkan kebutuhanku. Namun, langkahnya terhenti saat aku menyadarinya."Dek, di situ aja, ya, jangan kemana-mana!""Tapi, Mas, adek juga butuh gerak," rengeknya."Sayang, jangan kerja yang berat. Kita harus menjaganya.""Ma
"Lalu anakku?" tanyaku dengan suara gemetar."Anakmu tidak bisa diselamatkan. Zaira sampai sekarang belum bangun juga, Nak."Aku terdiam menahan sesak dan gemuruh di dalam dada. Tak berhenti aku merutuki diri ini yang begitu ceroboh.Aku menggenggam tangan Zairaku dengan kuat. Air mataku luruh tak terbendung. Begitu sayangnya Allah pada kami, hingga diberi cobaan seperti ini. Aku tidak tahu bagaimana nantinya respon Zaira saat tahu, calon bayi yang ditunggu tak dapat diselamatkan.Azan dhuhur berkumandang, aku melangkah pergi menuju mushallah. Di tengah jalan aku bertemu dengan abi. Aku menghambur ke pelukannya. Abi dan abi mertuaku mengelus punggung ini lalu menasehatiku tentang sabar dan ikhlas.Di dalam do'aku aku memohon ampunan karena tidak bisa menjaga amanah yang telah Allah berikan. Aku memohon agar kami diberi kelapangan dada atas musibah yang menimpa kami.*Di dalam ruangan, kami berkumpul menunggu Zai