"Lalu anakku?" tanyaku dengan suara gemetar.
"Anakmu tidak bisa diselamatkan. Zaira sampai sekarang belum bangun juga, Nak."
Aku terdiam menahan sesak dan gemuruh di dalam dada. Tak berhenti aku merutuki diri ini yang begitu ceroboh.
Aku menggenggam tangan Zairaku dengan kuat. Air mataku luruh tak terbendung. Begitu sayangnya Allah pada kami, hingga diberi cobaan seperti ini. Aku tidak tahu bagaimana nantinya respon Zaira saat tahu, calon bayi yang ditunggu tak dapat diselamatkan.
Azan dhuhur berkumandang, aku melangkah pergi menuju mushallah. Di tengah jalan aku bertemu dengan abi. Aku menghambur ke pelukannya. Abi dan abi mertuaku mengelus punggung ini lalu menasehatiku tentang sabar dan ikhlas.
Di dalam do'aku aku memohon ampunan karena tidak bisa menjaga amanah yang telah Allah berikan. Aku memohon agar kami diberi kelapangan dada atas musibah yang menimpa kami.
*
Di dalam ruangan, kami berkumpul menunggu ZaiSore ini bukde mengunjungi kami. Aku yang sedang terbaring lemah di dalam kamar memilih pura-pura tidur saat mas Zafran datang membangunkanku."Sayang, bangun, yuk! Ada bukde Aminah di luar. Katanya mau jengukin kamu, Dek."Aku masih bertahan dengan mata tertutup. Bukannya aku tak ingin menemuinya, hanya saja, hatiku belum siap untuk mendengar segala ocehan pedasnya.Berkali-kali mas Zafran menepuk pelan pipiku, tetapi aku memilih untuk terus berpura-pura. Karena tak berhasil, mas Zafran memilih leliar dari kamar tentunya tanpa aku.Aku melangkah pelan ke arah pintu kamar yang sudah ditutup. Telinga tertempel di daun pintu hingga akhirnya aku mendengar obrolan mereka."Di mana, Istrimu, Nduk?"Aku semakin merapatkan telinga ini saat mereka mulai membahasku."Lagi tidur, Bukde.""Jam segini masih molor?""Wajar, Bukde, Zaira kan masih sakit.""Sakit opo?""Masih pemulihan, Bukde."Tak ada
"Sayang, mas ada kejutan buat kamu."Aku mengerjap mata berkali-kali. "Kejutan apa, Mas?" tanyaku dengan suara sedikit serak."Ayo, Sayang, ikut, Mas!"Mas Zafran membawaku hingga ke ruang tamu. Tampaklah seorang wanita dengan tampilan syar'i berdiri tepat di depanku dengan senyum merekah. Aku tebak, usianya sekitar lima puluhan."Sayang, ini mbok Siti. Dia yang akan menemani kamu di sini saat Mas tiba-tiba harus meninggalkanmu. Mbok Siti juga yang akan membantumu membersihkan dan mengurus rumah ini. Hingga kamu bisa pulih lagi."Mbok Siti tersenyum ramah padaku. Aku pun membalasnya."Mbok, ini istri saya, Ibu Zaira."Aku dan mbok Siti bersalaman."Mari, Mbok, saya tunjukkan kamarnya."Mas Zafran berlalu yang diikuti oleh Mbok Siti."Permisi, Bu," ucapnya dengan ramah. Aku mengangguk seraya tersenyum.Aku kembali masuk ke dalam kamar, seperti biasa aku akan menyendiri lagi. Mengobati
POV. ZAFRAN Seperginya bukde kepalaku mendadak pusing dan terasa berat. Apa sebenarnya rencana bukde? Tak cukupkah pembuktian bahwa Zaira bisa hamil? Kenapa yang ada di fikiran bukde adalah soal poligami? Aku harus melakukan sesuatu. Aku tak ingin Zaira tahu soal rencana bukde. Psikis Zaira akan terganggu jika Zaira tahu soal rencana bukde. Aku melangkah menuju kamar tidur kami. Perlahan kubuka pintu lalu menghampiri Zairaku yang sedang tertidur. Semakin langkah ini mendekat, semakin pula aku mendengar isak tangis Zaira. Aku melingkarkan tangan ke pelukan Zaira "Mas tahu kamu sedang menangis, Sayang. Menangislah di dalam pelukan mas." Aku mengeratkan pelukan kala isakan terus terdengar. Aku tahu betapa sakitnya perasaanya saat ini. Zaira membalikkan tubuh menghambur ke dalam pelukanku. Zaira memelukku begitu erat, melampiaskan segala sesak di dalam dadanya. Zairaku menangis di dalam pelukan. Aku hanya bisa mengelus pu
POV. ZAFRAN"Mas, adek ingin dimadu."Aku yang tengah bersiap untuk tidur sontak menoleh ke arah Zaira."Apa?" tanyaku memastikan."Adek ingin dimadu, Mas.""Kenapa?""Ini sudah tiga bulan lamanya, dan aku juga tak kunjung hamil. Bukde sudah berkali-kali mendesak, Mas, kan?"Aku membuang napas kasar. Jujur, aku sangat tidak suka jika yang dibahas soal poligami. Tak mengertikah Zaira? apa Zaira tak merasakan bagaimana cintaku seperti apa? Tak bisa kah Zaira menghargai pengorbananku?"Mas tidak akan pernah mau.""Adek mohon, Mas. Sampai kapan kita akan menunggu?""Sampai Allah mempercayai kita lagi.""Mas, untuk mendapatkan anak butuh lima tahun penantian. Sekarang? Sudah mau memasuki tahun ke enam, Mas."Aku mendengus kasar lalu berlalu meninggalkan Zaira. Di dalam kamar mandi aku memahan segala amarah yang membuncah. Berkali-kali aku menarik napas dalam lalu membuangnya.Sebenarnya aku b
POV ZAIRA "Sejak kapan kamu mencintai suamiku?" tanyaku pada Arumi yang sedang duduk di pelantaran mesjid. Arumi sedikit tersentak dengan pertanyaanku. Wajar saja, Arumi yang selama ini berusaha menyembunyikan rasa yang dia pendam, justru malah aku sendiri yang mengetahuinnya. Semua kecurigaanku berawal saat kali pertama Mas Zafran mengenalkanku padanya. Tampak raut kecewa yang tergambar jelas di wajahnya. Aku memilih diam dan menganggap itu hanyalah firasatku. Namun, semakin aku menepis semakin besar pula kecurigaan ini padanya. Pernah aku tak sengaja memergoki Arumi memandang suamiku dari jauh. Senyumnya tergambar jelas dengan semburan merah di pipinya. Ketika Mas Zafran menoleh, cepat-cepat Arumi menundukkan pandangan. Kecurigaanku bertambah ketika Arumi melihat bagaimana perlakuan mesra Mas Zafran padaku. Wajahnya tampak begitu murung dan matanya ikut berkaca-kaca. Saat aku hamil, aku yang jarang menemani ma
"Apakah Arumi pernah dekat dengan seseorang, Bu?""Setau saya teh tidak pernah. Benar kan Ibu-ibu?""Benar, Neng. Selama kami mengenal neng Arumi, dia teh belum pernah terlihat dekat sama laki-laki."Aku sudah melakukan beberapa penelitian soal Arumi. Kebanyakan mengatakan bahwa Arumi sosok yang shalihah, cerdas dan sangat menyayangi anak kecil. Tak ada riwayat penyakit yang dideritanya. Itu terbukti saat aku mengunjungi salah satu temanku yang bertugas di puskesmas terdekat."Sejauh ini, pasein atas nama Arumi tidak memiliki riwayat penyakit serius. Dia datang berobat hanya untuk mengecek kesehatannya yang kadang menurun. Itu karena terlalu kelelahan."Terakhir aku bertanya pada ibu-ibu pengajian di mesjid tempat yang selalu kudatangi bersama mas Zafran. Kali ini adalah kesempatan baik untukku. Arumi tidak hadir malam ini."Arumi malam ini absen, Bu?" tanyaku pada bu Arini."Katanya lagi pratikum, Bu."
POV ARUMI"Kak Arumi, abis shalat isya nanti akan ada kajian rutinan loh di kompleks ini," seru Vio salah satu murid les privatku.Aku yang tengah asyik memeriksa hasil tugasnya hanya tersenyum simpul."Kak Arumi ikut, ya!" pintanya."Nanti yang ngisi kajian ustadz Abi Abdullah lagi kan?" tanyaku. Aku sudah hafal pengisi kajian rutinan di kompleks ini."Bukan loh, Kak.""Trus siapa dong?""Anaknya Abi! Ustaz muda kata mama," serunya.Pulpen di tanganku berhenti bergerak. Baru disebutkan sosoknya dan belum namanya saja aku sudah kaku seperti ini. Kembali aku mencoba bersikap seperti semula."Oh .... "Hanya itu yang bisa kuucapkan."Kakak nggak penasaran? Vio aja penasan loh, Kak."Aku tertawa geli mendengar penuturan bocah sembilan tahun ini."Emang Vio penasarannya karena apa?" godaku.Bocah itu melirik sambil mesem-mesem ke arahku."Vio mau c
"Ustadz, baru datang?" tanya Vio yang berjalan beriringan denganku."Iya, adik manis," jawab Ustadz Zafran seraya mencubit gemas pipi tembem Vio."Ustadz berapa bersaudara?" Aku yang bersama Vio hanya diam menyimak obrolan mereka."Dua.""Yang satunya mana?""Adik ustadz itu lagi bertugas di rumah sakit. Jadi, nggak bisa dulu ke sini.""Oh. Emang adik ustadz dokter?" tanya Vio kepo."Yup, benar banget.""Wah ustadz Abi beruntung dong, punya anak yang hebat."Ustadz Zafran hanya tersenyum tipis."Vio jadi bingung, Ustadz."Ustadz Zafran mengerutkan kening. "Bingung kenapa, shalehah?""Nanti kak Arumi, Vio jodohin sama siapa ya? Ustadz atau om dokter?"Aku tersentak kaget. Senyum di wajah ustadz Zafran memudar."Vio!" tegurku."Ustadz permisi dulu, ya."Aku menjadi salah tingkah dibuatnya. Bisa-bisanya Vio mempermalukanku di depan Ustadz Zafran.