POV. ZAFRAN
"Mas, adek ingin dimadu."
Aku yang tengah bersiap untuk tidur sontak menoleh ke arah Zaira.
"Apa?" tanyaku memastikan.
"Adek ingin dimadu, Mas."
"Kenapa?"
"Ini sudah tiga bulan lamanya, dan aku juga tak kunjung hamil. Bukde sudah berkali-kali mendesak, Mas, kan?"
Aku membuang napas kasar. Jujur, aku sangat tidak suka jika yang dibahas soal poligami. Tak mengertikah Zaira? apa Zaira tak merasakan bagaimana cintaku seperti apa? Tak bisa kah Zaira menghargai pengorbananku?
"Mas tidak akan pernah mau."
"Adek mohon, Mas. Sampai kapan kita akan menunggu?"
"Sampai Allah mempercayai kita lagi."
"Mas, untuk mendapatkan anak butuh lima tahun penantian. Sekarang? Sudah mau memasuki tahun ke enam, Mas."
Aku mendengus kasar lalu berlalu meninggalkan Zaira. Di dalam kamar mandi aku memahan segala amarah yang membuncah. Berkali-kali aku menarik napas dalam lalu membuangnya.
Sebenarnya aku b
POV ZAIRA "Sejak kapan kamu mencintai suamiku?" tanyaku pada Arumi yang sedang duduk di pelantaran mesjid. Arumi sedikit tersentak dengan pertanyaanku. Wajar saja, Arumi yang selama ini berusaha menyembunyikan rasa yang dia pendam, justru malah aku sendiri yang mengetahuinnya. Semua kecurigaanku berawal saat kali pertama Mas Zafran mengenalkanku padanya. Tampak raut kecewa yang tergambar jelas di wajahnya. Aku memilih diam dan menganggap itu hanyalah firasatku. Namun, semakin aku menepis semakin besar pula kecurigaan ini padanya. Pernah aku tak sengaja memergoki Arumi memandang suamiku dari jauh. Senyumnya tergambar jelas dengan semburan merah di pipinya. Ketika Mas Zafran menoleh, cepat-cepat Arumi menundukkan pandangan. Kecurigaanku bertambah ketika Arumi melihat bagaimana perlakuan mesra Mas Zafran padaku. Wajahnya tampak begitu murung dan matanya ikut berkaca-kaca. Saat aku hamil, aku yang jarang menemani ma
"Apakah Arumi pernah dekat dengan seseorang, Bu?""Setau saya teh tidak pernah. Benar kan Ibu-ibu?""Benar, Neng. Selama kami mengenal neng Arumi, dia teh belum pernah terlihat dekat sama laki-laki."Aku sudah melakukan beberapa penelitian soal Arumi. Kebanyakan mengatakan bahwa Arumi sosok yang shalihah, cerdas dan sangat menyayangi anak kecil. Tak ada riwayat penyakit yang dideritanya. Itu terbukti saat aku mengunjungi salah satu temanku yang bertugas di puskesmas terdekat."Sejauh ini, pasein atas nama Arumi tidak memiliki riwayat penyakit serius. Dia datang berobat hanya untuk mengecek kesehatannya yang kadang menurun. Itu karena terlalu kelelahan."Terakhir aku bertanya pada ibu-ibu pengajian di mesjid tempat yang selalu kudatangi bersama mas Zafran. Kali ini adalah kesempatan baik untukku. Arumi tidak hadir malam ini."Arumi malam ini absen, Bu?" tanyaku pada bu Arini."Katanya lagi pratikum, Bu."
POV ARUMI"Kak Arumi, abis shalat isya nanti akan ada kajian rutinan loh di kompleks ini," seru Vio salah satu murid les privatku.Aku yang tengah asyik memeriksa hasil tugasnya hanya tersenyum simpul."Kak Arumi ikut, ya!" pintanya."Nanti yang ngisi kajian ustadz Abi Abdullah lagi kan?" tanyaku. Aku sudah hafal pengisi kajian rutinan di kompleks ini."Bukan loh, Kak.""Trus siapa dong?""Anaknya Abi! Ustaz muda kata mama," serunya.Pulpen di tanganku berhenti bergerak. Baru disebutkan sosoknya dan belum namanya saja aku sudah kaku seperti ini. Kembali aku mencoba bersikap seperti semula."Oh .... "Hanya itu yang bisa kuucapkan."Kakak nggak penasaran? Vio aja penasan loh, Kak."Aku tertawa geli mendengar penuturan bocah sembilan tahun ini."Emang Vio penasarannya karena apa?" godaku.Bocah itu melirik sambil mesem-mesem ke arahku."Vio mau c
"Ustadz, baru datang?" tanya Vio yang berjalan beriringan denganku."Iya, adik manis," jawab Ustadz Zafran seraya mencubit gemas pipi tembem Vio."Ustadz berapa bersaudara?" Aku yang bersama Vio hanya diam menyimak obrolan mereka."Dua.""Yang satunya mana?""Adik ustadz itu lagi bertugas di rumah sakit. Jadi, nggak bisa dulu ke sini.""Oh. Emang adik ustadz dokter?" tanya Vio kepo."Yup, benar banget.""Wah ustadz Abi beruntung dong, punya anak yang hebat."Ustadz Zafran hanya tersenyum tipis."Vio jadi bingung, Ustadz."Ustadz Zafran mengerutkan kening. "Bingung kenapa, shalehah?""Nanti kak Arumi, Vio jodohin sama siapa ya? Ustadz atau om dokter?"Aku tersentak kaget. Senyum di wajah ustadz Zafran memudar."Vio!" tegurku."Ustadz permisi dulu, ya."Aku menjadi salah tingkah dibuatnya. Bisa-bisanya Vio mempermalukanku di depan Ustadz Zafran.
"Sanah helwah barakallahu fii umrik, istiku sayang!" seru Zafran.Zaira yang sedang tertidur pulas, tampak sekali-sekali mengerjapkan matanya. Zafran tak berhenti menowel pipi mulus Zaira karena istrinya belum juga sadar penuh."Ayo, dong, Sayang, bangun!" desak Zafran sambil terus menggoyangkan tubuh istrinya.Zaira mengedarkan pandangan. Tatapannya begitu takjub melihat dekorasi kamarnya berubah. Balon berwarna putih dan pink, pencahayaan yang temaram serta beberapa tangkai bunga mawar kesukaan Zaira.Zaira menutup mulutnya, dia begitu merasa sangat bahagia."Romantis banget suamiku ini," seru Zaira dan langsung menghambur ke dalam pelukan Zafran."Semua untukmu, Sayang," bisik Zafran romantis.Berkali-kali Zafran menghadiahi kecupan mesra di kening dan pipinya. Zaira sangat bahagia dengan perlakuan hangatnya."Sayang, hari ini kita jalan-jalan, ya? Kemana pun kamu mau, mas akan turut
Pemandangan laut lepas terlihat begitu menyejukkan mata. Zaira tak berhenti memandangi wajah suaminya yang begitu rupawan. Wajah yang mungkin nanti akan jarang ia nikmati lagi."Kenapa, Sayang? Kok lihatin mas segitunya?"Zaira memalingkan wajah seraya tersenyum. Zafran meraih tangan istrinya lalu menggenggamnya."Kita belum pesan, nih?" tanya Zafran."Adek lagi nungguin seseorang.""Siapa?"Zaira tersenyum lalu melambaikan tangannya pada pelayan."Siapa, Sayang?""Tunggu aja, bentar lagi sampai kok."Mereka lalu memilih menu setelah pelayan sudah berdiri di samping meja. Saat asyik tengah memilih, seseorang telah berdiri di sampingnya."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumussalam."Zaira dan Zafran kompak menoleh. Senyum di wajah Zafran memudar. Zaira yang menyadari itu langsung mempersilahkan Arumi duduk."Duduk, yuk!"Arumi kemudian meraih kursi la
Arumi terus menangis sesegukan di sebuah taman. Kondisi taman yang sepi membuat Arumi bebas untuk mengeluarkan sesak di dalam dada. Keinginannya untuk membantu Zaira dihilangkan begitu saja.Sebuah panggilan masuk, Arumi menatap lama layar yang bertuliskan nama mbak Zaira. Rasa sesak itu masih ada hingga membuatnya mengabaikan panggilan itu.Sebuah tissue yang disodorkan oleh seseorang tepat di hadapan Arumi membuatnya menghentikan tangisnya.Matanya mengarah ke pemilik tissue itu. Sosok pria berwajah tampan dengan penampilan yang begitu memikat.Arumi mengernyitkan keningnya, pria itu tersenyum."Tidak baik menangis di tempat seperti ini. Nanti kesambet," ucap pria itu dengan senyum menawannya.Arumi membuang muka, pria itu duduk tepat di sampingnya."Yakin nggak mau? Kamu nggak tahu bagaimana hancurnya wajahmu saat ini."Arumi yang mendengar itu sejenak merasa terganggu. Terpaksa tangannya
"Maafkan adek, Mas. Tapi, apa yang harus adek lakukan?" tanyaku sesaat setelah kami telah tiba di rumah.Mas Zafran menarik napas berat."Cobalah mengerti perasaanku saat ini, Dek.""Mas yang harus mengerti kondisiku. Adek sangat tertekan, Mas. Adek sudah menyerah, Mas. Kemungkinan hamil sangat minim. Lalu, adek harus apa?" tanyaku dengan tangis yang tertahan.Mas Zafran memeluk tubuhku. Aku tahu, mas Zafran sedang menahan amarahnya sejak tadi. Benar, harusnya aku memberitahunya lebih dulu."Mas istikharah dulu."*Umi dan abi mertua datang berkunjung. Mereka memelukku satu persatu memberikan ucapan selamat dan do'a untuk diriku."Zaira, ini umi buatin brownis kesukaan kamu, Sayang," ucap Umi seraya memberikan kotak kue yang berisikan kue brownis. Aku mengambilnya dengan perasaan yang senang tentunya."Makasih, Umi." Kupeluk tubuh wanita yang telah melahirkan mas Zafran.Mas Zafran dan abi tersenyu