"Maafkan adek, Mas. Tapi, apa yang harus adek lakukan?" tanyaku sesaat setelah kami telah tiba di rumah.
Mas Zafran menarik napas berat.
"Cobalah mengerti perasaanku saat ini, Dek."
"Mas yang harus mengerti kondisiku. Adek sangat tertekan, Mas. Adek sudah menyerah, Mas. Kemungkinan hamil sangat minim. Lalu, adek harus apa?" tanyaku dengan tangis yang tertahan.
Mas Zafran memeluk tubuhku. Aku tahu, mas Zafran sedang menahan amarahnya sejak tadi. Benar, harusnya aku memberitahunya lebih dulu.
"Mas istikharah dulu."
*
Umi dan abi mertua datang berkunjung. Mereka memelukku satu persatu memberikan ucapan selamat dan do'a untuk diriku."Zaira, ini umi buatin brownis kesukaan kamu, Sayang," ucap Umi seraya memberikan kotak kue yang berisikan kue brownis. Aku mengambilnya dengan perasaan yang senang tentunya.
"Makasih, Umi." Kupeluk tubuh wanita yang telah melahirkan mas Zafran.
Mas Zafran dan abi tersenyu
"Mas berangkat dulu, ya, Sayang. Jangan lupa pesan mas, kamu nggak boleh terlalu kecapean.""Iya, Mas," ucapku seraya membantunya menyiapkan keperluan."Mungkin hari ini, Mbok tiba. Kamu nggak apa-apa kan mas tinggal?"Aku mengangguk seraya tersenyum padanya."Iya, Sayang."Aku mengantar mas Zafran hingga di depan pintu. Mata ini tak lepas dari padangan hingga mobilnya sudah tak terlihat.Baru beberapa menit mas Zafran pergi, suara ketukan pintu terdengar. Aku melangkah gontai menuju pintu. Saat pintu terbuka tanpaklah wajah wanita yang selama ini ingin aku hindari. Bukde Aminah.Aku mempersilahkannya masuk lalu duduk tepat di hadapannya. Pandangannya mengedar ke segala sudut ruangan."Bagaimana?" tanya bukde Aminah."Aku sudah mempertemukan mereka, Bukde. Tapi Mas Zafran tetap sama."Bukde Aminah menarik napas dalam lalu mengembuskan kasar."Kamu tidak pernah serius, Zaira. Kamu ini
"Sayang, gimana kondisinya?" tanya Zafran sambil menyentuh kening istrinya."Alhamdulillah, Mas, udah baikan.""Hari ini berdua sama Mbok, gapapa, ya, Dek?" tanyanya seraya menyambar kunci di atas meja."Iya, Mas nggak apa-apa."Zaira mencium punggung tangan suaminya. Niat hati ingin mengantarnya sama seperti biasanya, tetapi kali ini Zafran menolak. Katanya Zaira harus istirahat."Mas pergi dulu ya, Dek. Baik-baik di rumah."Zaira mengangguk seraya tersenyum pada suaminya."Mas, adek kangen sama abi dan umi, adek mau ketemu, Mas.""Nanti bareng sama mas, ya?"Zaira tersenyum manis. Ia sudah menduga suaminya tak akan pernah mengijinkannya keluar tanpanya."Baiklah, Mas.""Ya sudah, Mas mau berangkat dulu."Zafran mencium kening Zaira kemudian berlalu meninggalkan Zaira seorang diri."Mbok, tolong jagain ibu, ya! Insya Allah saya cepat baliknya," ucap Zafran pada mbok Siti yan
"Ada apa ini?!" tanya abi dengan sedikit penekanan.Zaira tampak gugup, jantungnya berdetak lebih cepat. Matanya mulai mengembun."Apa yang terjadi, Nak? Apa ada orang ketiga?" tanya Umi dengan suara bergetar."Dek .... " lirih Zafran dengan wajah memelas."Apa apa, Zafran?! Apa kamu telah berani menyakiti putriku?" Zafran sedikit tersentak. Ia tak tahu harus menjawab seperti apa."Abi, umi, ini bukan salah mas Zafran. Ini salah Zaira, Bi. Dan tentang orang ketiga, itu sama sekali tak ada.""Lalu apa, Nak?" tanya Umi Aisyah."Ini murni karena kekurangan Zaira. Ini sudah tahun ke berapa? Zaira juga belum dikaruniai seorang anak.""Dek, mas sudah berapa kali bilang? Jangan membahas sesuatu yang tak mungkin mas lakukan.""Abi, Umi, Zaira belum jadi istri yang sempurna. Zaira sangat tahu, Mas Zafran sudah merindukan hadirnya malaikat kecil. Zaira belum mampu memberikannya, Umi, Abi. Butuh perjuangan dan Zai
Hari ini aku sungguh tidak bersemangat. Zaira terus meminta bahkan di depan orang tuanya.Entah apa yang ada di pikiran Zaira saat ini. Bisakah aku juga egois untuk menolak permintaannya? Aku hanya ingin menjadikannya satu-satunya.Aku tak masalah jika kami tak memiliki keturunan. Aku bahkan sudah mengajukan untuk memilih adopsi saja. Tapi, kenapa Zaira keras kepala seperti itu?"Di luar sana masih banyak, Dek, yang bahkan belasan tahun baru diberi anak. Kenapa baru enam tahun, kamu sudah menyerah?" tanyaku dengan menahan sesak di dada."Mas tidak mengerti kondisiku," lirihnya."Apa bedanya? Kamu masih memiliki rahim juga tidak mandul. Itu berarti kita masih punya harapan, Dek!"Zaira berdiri menghadapku dengan linangan air mata."Karena kasus kami berbeda, Mas."Zaira berlalu menuju kursi dekat jendela. Pandangannya lurus ke depan. Aku lantas menghampirinya."Mas sangat mencintaimu. Harus b
"Bukde, Zafran mohon, jangan ganggu kami lagi. Biarkan kami hidup seperti ini," ucapku melemah.Bukde menghentakkan kakinya lalu pergi. Aku berbalik memeluk istriku untuk memberikannya kenyamanan.Mbok Siti yang sejak tadi bersembunyi perlahan mendekati kami."Maafkan saya, Pak, ndak bisa lindungi ibu dari amukan ibu Aminah."Aku mengangguk paham. "Iya, Mbok. Nggak pa-pa."Kugendong tubuh istriku yang masih gemetaran ke dalam kamar tidur kami. Perlahan kubaringkan tubuhnya."Mas, jangan tinggalin adek," ucapnya dengan sangat pelan."Iya, Sayang. Sekarang tidurlah! Mas ada di sampingmu."Zaira pun tertidur di dalam dekapanku. Sekarang aku mengerti, kenapa Zaira begitu bersikeras untuk dimadu. Ternyata ini alasannya. Bukde lah dalang di balik semua ini.Zaira pasti sangat tertekan selama ini. Bahkan Abi sendiri tak dapat menghentikan bukde Aminah. Lalu, apa aku juga harus berkorban
POV ARUMI"Saya hanya mencintai istri saya dan sampai kapanpun, tidak akan ada wanita ke dua.""Kalau kamu tetap mengikuti keinginan Zaira, maaf, aku tidak kan pernah bisa menerima apalagi mencintaimu."Kalimat itu terus terngiang di telingaku meskipun kejadiannya sudah beberapa waktu yang lalu.Penolakan secara halus tapi terdengar dengan penuh penegasan.Sudah beberapa hari ini aku lebih memilih berdiam diri di kamar. Rasa sakit yang diberikan oleh ustadz Zafran sangat membekas.Pintu kamar berderit menampakkan sosok wanita yang selama ini sudah kuanggap seperti ibuku. Bunda Asma."Boleh bunda masuk, Nak?" tanyanya lembut."Boleh, Bunda."Langkah kaki bunda Asma perlahan mendekatiku yang sedang duduk termenung di atas pembaringan. Tangannya mengusap lembut rambut ini saat bunda Asma telah duduk di tepi ranjang."Ada apa, Nak?" tanya Bunda Asma."Mbak Zaira terus memohon padaku, Bunda, un
"Tapi, Nak, kamu akan terluka nantinya.""Bukankah jika kita mencintai seseorang kita harus berkorban? Seperti mbak Zaira yang rela berkorban demi anak, Arumi pun sama, Bunda. Arumi rela berkorban demi mendapatkan cinta ustaz Zafran.""Itu bukan cinta. Itu ambisi."Aku menggeleng kuat. " Tidak jika atas kuasa Allah. Saat ini mungkin ustaz Zafran belum mencintaiku. Tapi, saat anak itu lahir, perlahan ustaz Zafran akan luluh dan mencintaiku. Aku yakin itu."Bunda Asma mengendikkan bahu."Bunda serahkan semua sama kamu, Nak."Aku menghambur ke dalam pelukannya. "Insya Allah, Bunda."Sebenarnya aku juga dilema. Antara bahagia atau tidak. Jujur, aku pun memikirkan apa yang dipikirkan oleh bunda Asma. Mungkin lisanku berkata bahwa itu karena Ustaz Zafran, tapi hati kecilku mengatakan itu semua demi mbak Zaira.Aku ingat waktu kami berbicara empat mata. Mbak Zaira menangis sesegukan menceritakan kondisi keluarganya.&
"Bismillah. Zafran siap menikah lagi."Duar! Bagai disambar petir di siang hari, kalimat yang diucapkan oleh Mas Zafran begitu mengoyak hatiku hingga tercabik-cabik.Aku berlalu meninggalkan mereka di sana. Hati ini sungguh sakit. Dadaku sesak seolah oksigen enggan untuk sekedar tinggal.Bukankah ini yang kamu inginkan, Zaira? Lantas kenapa kamu menangisinya lagi?Aku terduduk di sebuah taman tak jauh dari rumah. Aku merutuki atas keputusan yang aku buat sendiri. Mengapa sesakit ini, Ya Allah?Lama aku terdiam dalam penyesalan yang mendalam hingga akhirnya aku berpikir untuk mendatangi Arumi.Sebuah taksi online bergerak menuju ke arahku selang beberapa saat aku memesannya melalui aplikasi hijau."Mbak Zaira, ya?" tanya seorang pria muda di balik kemudi.Aku mengangguk lalu membuka pintu tepat di belakangnya."Sesuai petunjuk di aplikasi ya, Pak!" ucapku setelah duduk di balik supir ta