Hari ini aku sungguh tidak bersemangat. Zaira terus meminta bahkan di depan orang tuanya.
Entah apa yang ada di pikiran Zaira saat ini. Bisakah aku juga egois untuk menolak permintaannya? Aku hanya ingin menjadikannya satu-satunya.
Aku tak masalah jika kami tak memiliki keturunan. Aku bahkan sudah mengajukan untuk memilih adopsi saja. Tapi, kenapa Zaira keras kepala seperti itu?
"Di luar sana masih banyak, Dek, yang bahkan belasan tahun baru diberi anak. Kenapa baru enam tahun, kamu sudah menyerah?" tanyaku dengan menahan sesak di dada.
"Mas tidak mengerti kondisiku," lirihnya.
"Apa bedanya? Kamu masih memiliki rahim juga tidak mandul. Itu berarti kita masih punya harapan, Dek!"
Zaira berdiri menghadapku dengan linangan air mata.
"Karena kasus kami berbeda, Mas."
Zaira berlalu menuju kursi dekat jendela. Pandangannya lurus ke depan. Aku lantas menghampirinya.
"Mas sangat mencintaimu. Harus b
"Bukde, Zafran mohon, jangan ganggu kami lagi. Biarkan kami hidup seperti ini," ucapku melemah.Bukde menghentakkan kakinya lalu pergi. Aku berbalik memeluk istriku untuk memberikannya kenyamanan.Mbok Siti yang sejak tadi bersembunyi perlahan mendekati kami."Maafkan saya, Pak, ndak bisa lindungi ibu dari amukan ibu Aminah."Aku mengangguk paham. "Iya, Mbok. Nggak pa-pa."Kugendong tubuh istriku yang masih gemetaran ke dalam kamar tidur kami. Perlahan kubaringkan tubuhnya."Mas, jangan tinggalin adek," ucapnya dengan sangat pelan."Iya, Sayang. Sekarang tidurlah! Mas ada di sampingmu."Zaira pun tertidur di dalam dekapanku. Sekarang aku mengerti, kenapa Zaira begitu bersikeras untuk dimadu. Ternyata ini alasannya. Bukde lah dalang di balik semua ini.Zaira pasti sangat tertekan selama ini. Bahkan Abi sendiri tak dapat menghentikan bukde Aminah. Lalu, apa aku juga harus berkorban
POV ARUMI"Saya hanya mencintai istri saya dan sampai kapanpun, tidak akan ada wanita ke dua.""Kalau kamu tetap mengikuti keinginan Zaira, maaf, aku tidak kan pernah bisa menerima apalagi mencintaimu."Kalimat itu terus terngiang di telingaku meskipun kejadiannya sudah beberapa waktu yang lalu.Penolakan secara halus tapi terdengar dengan penuh penegasan.Sudah beberapa hari ini aku lebih memilih berdiam diri di kamar. Rasa sakit yang diberikan oleh ustadz Zafran sangat membekas.Pintu kamar berderit menampakkan sosok wanita yang selama ini sudah kuanggap seperti ibuku. Bunda Asma."Boleh bunda masuk, Nak?" tanyanya lembut."Boleh, Bunda."Langkah kaki bunda Asma perlahan mendekatiku yang sedang duduk termenung di atas pembaringan. Tangannya mengusap lembut rambut ini saat bunda Asma telah duduk di tepi ranjang."Ada apa, Nak?" tanya Bunda Asma."Mbak Zaira terus memohon padaku, Bunda, un
"Tapi, Nak, kamu akan terluka nantinya.""Bukankah jika kita mencintai seseorang kita harus berkorban? Seperti mbak Zaira yang rela berkorban demi anak, Arumi pun sama, Bunda. Arumi rela berkorban demi mendapatkan cinta ustaz Zafran.""Itu bukan cinta. Itu ambisi."Aku menggeleng kuat. " Tidak jika atas kuasa Allah. Saat ini mungkin ustaz Zafran belum mencintaiku. Tapi, saat anak itu lahir, perlahan ustaz Zafran akan luluh dan mencintaiku. Aku yakin itu."Bunda Asma mengendikkan bahu."Bunda serahkan semua sama kamu, Nak."Aku menghambur ke dalam pelukannya. "Insya Allah, Bunda."Sebenarnya aku juga dilema. Antara bahagia atau tidak. Jujur, aku pun memikirkan apa yang dipikirkan oleh bunda Asma. Mungkin lisanku berkata bahwa itu karena Ustaz Zafran, tapi hati kecilku mengatakan itu semua demi mbak Zaira.Aku ingat waktu kami berbicara empat mata. Mbak Zaira menangis sesegukan menceritakan kondisi keluarganya.&
"Bismillah. Zafran siap menikah lagi."Duar! Bagai disambar petir di siang hari, kalimat yang diucapkan oleh Mas Zafran begitu mengoyak hatiku hingga tercabik-cabik.Aku berlalu meninggalkan mereka di sana. Hati ini sungguh sakit. Dadaku sesak seolah oksigen enggan untuk sekedar tinggal.Bukankah ini yang kamu inginkan, Zaira? Lantas kenapa kamu menangisinya lagi?Aku terduduk di sebuah taman tak jauh dari rumah. Aku merutuki atas keputusan yang aku buat sendiri. Mengapa sesakit ini, Ya Allah?Lama aku terdiam dalam penyesalan yang mendalam hingga akhirnya aku berpikir untuk mendatangi Arumi.Sebuah taksi online bergerak menuju ke arahku selang beberapa saat aku memesannya melalui aplikasi hijau."Mbak Zaira, ya?" tanya seorang pria muda di balik kemudi.Aku mengangguk lalu membuka pintu tepat di belakangnya."Sesuai petunjuk di aplikasi ya, Pak!" ucapku setelah duduk di balik supir ta
"Mbak, ketemu lagi kita," ucapnya dengan senyum yang sukringah menampilkan deretan gigi yang tersusun rapi.Aku tersenyum tipis padanya."Mau balik, Mbak?""Kamu membuntutiku?"Mas Husein terkekeh. "Mbak terlalu ke-pede-an. Aku malah kebetulan lewat, lihat Mbak dengan tampang lebih hancur dari yang sebelumnya."Aku mendelik tajam."Oh, oke. Oke. Kalau Mbak mau langsung balik, Mbak buka aplikasinya dulu, lalu klik akunku. Kalau Mba mau menenangkan diri dulu, simpan ponselnya, nanti aku antar ke mana saja Mbak mau. Gimana?"Aku menimbang apa yang ditawarkannya. Kalau aku pulang, hati ini tentu akan masih sakit. Kalau aku memilih menenangkan diri, apa mungkin aku pergi berdua dengan lelaki asing ini? Aku sudah bersuami."Aku mau langsung balik saja.""Kenapa?""Suamiku menungguku di rumah.""Masya Allah. Jarang perempuan jaman sekarang masih memikirkan suaminya saat bertemu pria tampan
Saat prosesi khitbah, akad dilakukan dua minggu setelahnya. Berarti aku masih mempunyai waktu selama dua minggu untuk berbakti pada suamiku, melayaninya sepenuh hati sebelum seseorang membantuku. Mengambil setengah dari tugasku.Rasanya begitu sakit saat mengingat kebersamaan kami selama enam tahun belakangan ini, akan berubah.Dulu, aku menjadi satu-satunya, tapi dua minggu yang akan datang, akan ada hati yang lain yang akan menggeser sedikit posisiku.Bukankah ini kemauanmu, Zaira? Padahal suamimu sangat memohon untuk membatalkan semua.Pagi ini aku mulai melakukan aktifitasku seperti biasa. Memasak, memberishkan rumah, menyiapkan kebutuhannya dan segala aktivitas yang selama ini kukerjakan. Dan mungkin bisa jadi ini yang terakhir.Mas Zafran terus melarangku untuk melakukan semua ini karena khawatir dengan kondisiku, tapi aku terus memaksa."Dek, ada mbok Siti. Biar Mbok yang mengerjakan semua.""Nggak
*Hari berlalu, sisa tujuh hari lagi. Semua persiapan hampir selesai. Sesuai kemauan Arumi, dia ingin pernikahan sederhana saja. Tak ingin melukaiku lebih dalam lagi katanya.Aku dan mbok sibuk menyusun apa saja yang akan disiapkan sebagai hantaran. Tiba-tiba aku terjatuh. Pandanganku buram, kepalaku mendadak berat. Keluarga yang hadir di sana memboyongku masuk ke dalam kamar tidurku.Abi menghubungi dokter keluarga kami. Mbok Siti tak berhenti mendekatkan minyak kayu putih di hidungku."Ada apa ini?" tanya Bukde gusar."Ibu Zaira nggak enak badannya, Bu. Tiba-tiba jatuh tadi," jelas Mbok Siti."Halah, paling drama. Suaminya kan bentar lagi nikah," ketus Bude."Astagfirullah, Mbak Yu. Ndak boleh ngomong kayak gitu. Ndak baik," celetuk salah satu keluarga Abi."Bu dokter," sapa Umi yang sedari tadi mengelus lembut kepalaku. "Permisi ya, Ibu-ibu. Saya mau cek kesehatan Ibu Zaira dulu."M
Pov. Zafran.*Hari berlalu, sisa tujuh hari lagi. Semua persiapan hampir selesai. Sesuai kemauan Arumi, dia ingin pernikahan sederhana saja. Tak ingin melukaiku lebih dalam lagi katanya.Aku dan mbok sibuk menyusun apa saja yang akan disiapkan sebagai hantaran. Tiba-tiba aku terjatuh. Pandanganku buram, kepalaku mendadak berat. Keluarga yang hadir di sana memboyongku masuk ke dalam kamar tidurku.Abi menghubungi dokter keluarga kami. Mbok Siti tak berhenti mendekatkan minyak kayu putih di hidungku."Ada apa ini?" tanya Bukde gusar."Ibu Zaira nggak enak badannya, Bu. Tiba-tiba jatuh tadi," jelas Mbok Siti."Halah, paling drama. Suaminya kan bentar lagi nikah," ketus Bude."Astagfirullah, Mbak Yu. Ndak boleh ngomong kayak gitu. Ndak baik," celetuk salah satu keluarga Abi."Bu dokter," sapa Umi yang sedari tadi mengelus lembut kepalaku. "Permisi ya, Ibu-ibu. Saya mau cek kesehatan
Tiga tahun berlalu, semenjak kepergian Zain suasana rumah Abi Abdullah semakin sepi. Sekali-sekali Zafran datang menjenguk membawa istri dan kedua bayi kembarnya.Zain yang bertugas tak seperti biasanya hanya pulang beberapa kali dalam setahun. Menjelajahi pulau satu ke pulau lainnya yang sulit diakses. Petualangannya bersama Arumi perlahan menumbuhkan rasa yang tak biasanya. Hingga akhirnya hari ini Zain resmi melamar Arumi sebagai pendamping hidupnya.Siapa yang akan menyangka, keduanya sama-sama pernah ditinggalkan oleh orang yang sangat dicintainya. Memiliki kisah cinta yang tak bisa terwujud lalu memilih ikhlas melepaskan meskipun sakit begitu dalam. Akhirnya, mereka dipertemukan.Hari ini secara resmi Zain mempersunting Arumi untuk dijadikan sebagai teman hidup. Perihal rasa yang pernah mengakar, akhirnya bisa juga hilang seiring berjalannya waktu.Arumi tampil begitu anggun dengan balutan kebaya syar'i berwarna peach s
Pov. Zain."Zain terpilih menjadi salah satu dokter yang bertugas di kapal rumah sakit, Abi. Zain pikir, lebih baik Zain terima." Kulihat mulai berembun."Kapan berangkatnya?" tanya Bang Zafran."Besok lusa, Bang," jawabku.Abi mengembuskan napasnya perlahan. Ditatapnya umi yang sudah mulai terisak. Aku mendekat lalu membawa tubuh orang yang telah melahirkanku ke dalam pelukan."Pasti lama. Kamu tega ya ninggalin, Umi?" Aku tersenyum."Ini bentuk pengabdian, Umi. Insya Allah, nanti Zain akan sekali-sekali pulang kok," bujukku berusaha menenangkan umi.Aku tahu perasaan umi saat ini. Umi pasti tak ingin melepaskanku. Tapi sumpah yang sudah terlanjur terucap untuk mengabdikan diri ini pada bangsa dan negara. Mataku tak sengaja mengarah pada sosok wanita yang kucintai. Segera kualihkan pandangan saat mata kami bertemu.'Maafkan Zain, Umi. Semua ini Zain lakukan demi abang. Rasa cinta ini b
Tepat empat puluh lima hari berlalu. Keluarga besar Zaira dan Zafran hari ini mengadakan tasyakuran aqiqah untuk kelahiran bayi kembar mereka. Segala persiapan telah dilaksanakan. Nuansa hijau dan putih menghiasi ruangan sesuai dengan permintaan Zaira.Banyak keluarga, sahabat, dan tetangga yang hadir di acara tersebut, tak terkecuali rekan bisnis serta para jama'ah tempat Zafran mengajarkan ilmu agama.Pemandu acara mulai membuka acara syukuran aqiqah."Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh bapak, ibu dan para tamu undangan yang kami hormati.Pertama – tama mari kita sampaikan puja dan puji syukur kehadirat Allah Subhanah Wa Ta'ala, atas rahmat dan hidayat yang dilimpahkan kepada kita semua, sehingga pada siang yang penuh dengan kebahagiaan ini kita bisa hadir memenuhi undangan dari Ustadz Zafran Abdullah sekeluarga dalam rangka syukuran akan lahirnya putra dan putri, buah hati dari pasangan Ustaz Zafran Abdullah dan ibu Zai
"Mas tolong!" pekik Zaira.Selepas isya suasana rumah menjadi ramai. Zaira tak berhenti menangis kala suhu tubuh kedua bayi kembarnya panas. Rasa panik menghampiri.Zafran yang tengah mengerjakan urusan kantor gegas menuju kamar. Dilihatnya Zaira duduk dengan ekspresi kebingungan di dekat bayi mereka.Zafran mendekat ke istrinya yang masih menangis sesegukan. "Ada apa, Sayang?""Ba-bayi kita, Mas.""Iya, mereka kenapa?" tanya Zafran."Bayi kita demam."Zafran mengecek keduanya. Ternyata benar, suhu badannya tinggi."Sebentar, Sayang, mas hubungi Zain dulu."Sementara Zafran menghubungi Zain, Mbok Siti datang terpongoh-pongoh di dekat Zaira."Ada apa, Bu?" tanyanya khawatir."Bayiku demam tinggi, Mbok," jawab Zaira dengan terisak.Diperiksanya kening bayi itu secara bergantian lalu Mbok Siti bergegas menuju dapur untuk mengambil air lalu tangannya meraih handuk
Hari minggu bahkan tak terasa satu bulan pun berlalu. Kehidupan Zaira dan Zafran terasa begitu indah dengan hadirnya bayi kembar mereka. Rasa lelah tak terasa bagi mereka. Justru mengurus kedua anaknya merupakan hal terindah yang belum pernah mereka rasakan.Bangun di tengah malam saat orang lain tengah menikmati istirahat, justru tidak bagi mereka. Mengganti popok, bangun menyusui atau bahkan melantunkan shalawat untuk si kembar. Hal yang sudah lumrah dirasakan oleh kebanyakan orang tua di luaran sana.Bagi Zafran berangkat ke kantor sudah terasa berbeda. Melihat kelucuan si kembar menjadi penyemangatnya. Begitpun saat pulang bekerja, Zafran akan disambut dengan suara dan harumnya bau tubuh si kembar."Anak ayah harum banget sih, bikin betah aja," ucap Zafran gemas."Ayahnya malah belum mandi, bau acem!" goda Zaira. Zafran tak menggubris godaan istrinya malah memeluk erat Zaira."Apaan sih, Mas," bisik Zaira lalu meli
Pov. ZafranBibirnya tak berhenti mengulas senyum kala istriku terus memandangi wajah kedua anak kami. Aku tahu, Zaira sangat bahagia saat ini. Begitu pun dengan aku.Kehadiran si bayi kembar mewarnai hidup kami. Hadirnya bagaikan oase di tengah padang pasir. Bagaimana tidak, mereka hadir di saat orang tuanya sudah pasrah akan takdir yang terus berjalan.Aku memandangi ketiganya dari balik pintu. Rasanya seperti mimpi melihat apa yang ada di depan mata saat ini. Keadaan yang begitu sangat kami rindukan, terlebih istriku."Sayang, belum tidur?" tanyaku sambil menuju lemari mengganti pakaian."Sayang, baju kaos biru navi mas di mana ya? Mas mau pakai itu, Dek."Lagi dan lagi tak ada jawaban. Pandanganku beralih padanya. Rupanya istriku tengah serius memandangi ajah mungil anak kami."Sayang, fokus banget pandangin si kembar, suami sendiri nggak digubris," protesku kala sudah duduk di pinggiran ranjang. 
Pov. Zaira.Bibir ini tak berhenti menyunggingkan senyum saat melihat wajah lucu dan menggemaskan si bayi kembar. Impian yang selama ini aku rindukan akhirnya terwujud juga.Rasa haru terus menyeruak di dalam dada kala mengingat bagaimana perjuangan kami berdua. Suka duka kita lewati bersama. Tak terhitung berapa tetes air mata yang mewakili perasaan ini.Kini, mereka hadir membantuku meraih mimpi yang sempat aku kubur dalam-dalam. Mereka hadir membangkitkan diri ini yang sempat jatuh hingga terpuruk lebih dalam."Sayang, fokus banget pandangin si kembar, suami sendiri nggak digubris."Aku terhenyak dari lamunanku, rupanya Mas Zafran sudah duduk di pinggiran ranjang. Sejak kapan dia ada di sini?"Maaf, Mas, adek nggak lihat. Mas sudah lama di sini?" tanyaku sambil berusaha bangun lalu menghambur ke tubuhnya.Mas Zafran memelukku dengan erat. "Sejak tadi, Dek. Mas panggilin malah nggak digubris. Mas cemburu sama
"Ingat pesan Om Dokter ya, Vio!" ucap Zain saat Vio sudah berada di dalam mobil."Siap, Om Dokter!" jawab Vio antusias."Apa coba kalau ingat?" tanya Zain memancing.Vio menarik napas lalu mulai menyebutkan pesan dari Zain."Jangan jajan sembarang, jangan makan es krim dulu dan makanan berlemak, tetap jaga kesehatan, jangan bawel. Nah, Vio udah benar kan, Dok?" Zain tersenyum seraya mengangkat kedua jempolnya. Vio bertepuk tangan riang."Dok, terimakasih ya. Suster Mawar, terimakasih sudah merawat Vio, sampaikan pada Dokter Roy dan perawat lainnya.""Iya sama-sama. Jaga Vio ya?" jawab Zain yang dibalas anggukan oleh Arumi."Kami permisi dulu, ya, Dok, Sus," pamit Arumi."Hati-hati," balas Zain.Arumi kemudian masuk dan duduk di samping kemudi. Bibir Arumi tak berhenti menyunggingkan senyum. Zain ikut tersenyum simpul. Mawar yang melihat itu merasa sangat cemburu.Maw
Mawar tak habis fikir dengannya dokter Zain bersikap biasa. Namun, dengan wanita itu, dokter Zain begitu bahagia hingga tertawa lepas. Siapa sebenarnya dia? Apakah dia wanita yang dimaksud Sinta? Pikirnya.Mawar memilih pergi ketimbang terus berdiri di sana melihat keakraban mereka. Wanita mana yang tidak merasa cemburu melihat orang yang dia kagumi tertawa lepas dengan wanita lain?Langkahnya terhenti tepat di depan toilet khusus staf ruangan. Gegas Mawar memilih masuk untuk menenangkan hatinya yang sedang dibakar api cemburu.Di depan cermin berukuran besar, Mawar menatap pantulan dirinya. Menelisik setiap inci yang ada pada dirinya. Baginya, dia tidak terlalu buruk dibanding wanita tadi. Lalu mengapa seolah-olah dokter Zain tak meliriknya?Mawar kemudian menempelkan tangan di dadanya."Ya, Allah. Apakah hamba akan kembali disakiti lagi? Bisakan hamba berharap ditakdirkan dengannya?" lirihnya.Setelah sekian t