Pov. Zafran.
*
Hari berlalu, sisa tujuh hari lagi. Semua persiapan hampir selesai. Sesuai kemauan Arumi, dia ingin pernikahan sederhana saja. Tak ingin melukaiku lebih dalam lagi katanya.Aku dan mbok sibuk menyusun apa saja yang akan disiapkan sebagai hantaran. Tiba-tiba aku terjatuh. Pandanganku buram, kepalaku mendadak berat. Keluarga yang hadir di sana memboyongku masuk ke dalam kamar tidurku.
Abi menghubungi dokter keluarga kami. Mbok Siti tak berhenti mendekatkan minyak kayu putih di hidungku.
"Ada apa ini?" tanya Bukde gusar.
"Ibu Zaira nggak enak badannya, Bu. Tiba-tiba jatuh tadi," jelas Mbok Siti.
"Halah, paling drama. Suaminya kan bentar lagi nikah," ketus Bude.
"Astagfirullah, Mbak Yu. Ndak boleh ngomong kayak gitu. Ndak baik," celetuk salah satu keluarga Abi.
"Bu dokter," sapa Umi yang sedari tadi mengelus lembut kepalaku.
"Permisi ya, Ibu-ibu. Saya mau cek kesehatan
Pov. Zafran*Hari ini rencananya barang akan masuk lagi ke pabrik. Kain-kain yang dipilih karena kualitasnya hari ini akan tiba. Aku, Rayyan dan Yuda disibukkan dengan pengecekan barang.Rayyan datang menghampiriku, katanya ada pihak yang ingin mengadakan kerjasama. Namanya Pak Syaiful. Seorang pebisnis yang terkenal di daerah Bandung. Rencananya kaminakan bertemu utusannya hari ini di salah satu kafe kawasan Jakarta Selatan.Aku yang masih sibuk di kantor, menunjuk Rayyan untuk mewakiliku. Tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah panggilan dari Abi."Assalamu'alaikum, Bi.""Wa'alaikumussalam. Kamu bisa pulang sekarang, Nak? Zaira tadi hampir pingsan.""Ya Allah. Sekarang bagaimana kabarnya, Bi?""Dokter Riana sudah menuju ke sini.""Baik, Abi. Zafran akan segera ke sana."Aku memutup sambungan telpon lalu menghubungi Yuda."Assalamaualaiku, Yud. Ke ruanganku sekarang!"
"Aku hamil?" pikir Zaira.Sebenarnya, Zaira sangat takut kali ini. Pernikahan Arumi terancam batal karena berita kehamillannya. Zaira tidak ingin gegabah.Diambilnya ponsel lalu mencoba menghubungi suaminya. Namun, tak ada jawaban. Zaira kembali mencoba menghubungi Arumi. Dipanggilan ke tiga baru terjawab."Assalamu'aikum, Arumi.""Wa'alaikumussalam, Mbak.""Apa Mas Zafran sedang bersamamu?" tanya Zaira hati-hati.Arumi terisak, air matanya luruh begitu saja."Ustaz Zafran ada di sini, Mbak. Bukde Aminah juga."Mata Zaira membulat sempurna. Zaira sudah tahu apa yang tengah terjadi di sana."Arumi–""Selamat, ya, Mbak, atas kehamilannya. Aku harap, mbak selalu baik-baik saja, calon bayinya juga. Maaf, Mbak, aku tidak bisa melanjutkan permintaan itu.""T-tapi, Arumi, mbak ikhlas."Arumi menggeleng tegas. "Mungkin ini adalah jalannya, Mbak. Aku tidak bisa masuk
Hari berganti minggu dan bulan. Setelah memeriksakan kehamilannya di klinik dokter Namira, hasil USG menunjukkan bahwa saat ini Zaira mengandung sepasan bayi kembar. Untuk jenis kelaminnya, Zaira memohon agar dokter merahasiakannya.Saat ini Zaira sedang berjalan di sekitaran rumah dengan perut buncitnya tentunya dalam pengawasan Mbok Siti. Kehamilannya saat ini sungguh membuatnya merasa bahagia. Di dalam rahimnya terdapat bayi kembar yang tak sabar dinantikan oleh sepasang suami istri ini."Hati-hati, Bu, jalannya." Mbok Siti tak berhenti mengingatkan Zaira untuk tetap hati-hati.Zaira tersenyum tipis. "Nggeh, Mbok."Setelah merasa cukup, Zaira memilih duduk di kursi terasnya sambil memandangi tanaman hias miliknya. Mbok Siti datang menghampiri dengan segelas susu di tangannya."Diminum, Bu, susunya!"Zaira meraih pelan gelas yang berisi susu khusus untuk ibu hamil. Saat ini Zaira lebih memperhatikan kandungannya. Zaira sangat bersyuk
"Alhamdulillah."Kata yang tak pernah lepas dari lisan Zafran dan Zaira. Penantian yang penuh air mata akhirnya terjawab sudah. Dua bayi kembar dengan jenis kelamin berbeda.Bayi yang sudah dibersihkan oleh bidan lalu diadzani oleh Zafran sebagai ayah dari Si bayi.Saat mengumandangkan adzan di telinga buah hatinya, tak berhenti Zafran meneteskan air mata.*Setelah proses pemulihan selama satu jam, Zaira dipindahkan ke ruangan Melati kelas VVIP. Si bayi kembar pun ikut dengan menggunakan box bayi. Keluarga Zaira dan Zafran datang berkunjung."Alhamdulillah, Nak, setelah penantian panjang kalian," ucap Umi Aisyah dengan penuh haru."Iya, Umi, dua sekaligus," jawab Zaira dengan suara melemah."Selamat ya, Nak," ucap Abi Abdullah."Terimakasih, Abi."Bukde Aminah yang baru saja datang tiba-tiba menghambur ke arah mereka."Bayinya mana?" tanya Bukde tanpa menanyaka
Tiga hari telah berlalu, kondisi Zaira pun sudah membaik. Hari ini sesuai anjuran dari dokter, Zaira sudah bisa dipulangkan. Zafran dengan sigap membantu membereskan semua perlengkapan Zaira dan Si bayi kembar. Kedua orang tuanya yang baru saja tiba ikut membantu mereka untuk persiapan pulang. "Nanti Umi dan Umi Aisyah saja ya, Nak, yang gendong bayi kalian?" ucap Umi Fathimah meminta ijin pada kedua anaknya. "Boleh, Umi, Zaira juga masih butuh penyesuaian," jawab Zafran. "Ya sudah, nanti Zaira sama Abi," usul Abi Husein. Tanpa menunggu lama, Abi Abdullah langsung menenteng beberapa perlengkapan mereka. "Abi bagian angkat barang-barang," ucapnya sambil terkekeh. Orang-orang yang ada di dalam ruangan ikut tertawa ringan. Abi Abdullah dan Zain lebih dulu melangkah menuju parkiran di mana mobil terparkir. Umi Aisyah dan Fathimah meraih tubuh mungil Si Kembar lalu menggendongnya kemudian menyusul menuju
"Ternyata ikhlas itu sangat susah ya, Dok?" Zain mengernyitkan keningnya."Melihat orang yang kita cintai telah berbahagia dengan pilihannya. Kita bisa apa saat mereka adalah takdir yang tertulis di lauhul mahfuz?"Zain semakin tak mengerti. Terlebih dia merasa apa yang dikatakan perawat di depannya seolah menyindirnya."Kita sama, Dokter. Sama-sama pernah mencintai dalam diam hingga akhirnya takdir tak berpihak padaku."Zain mengerti apa yang tengah dimaksud Mawar-salah satu perawat di ruang bedah. "Aku belum mengerti," ucap Zain yang masih setia memandang keluar jendela."Dulu aku pernah menyukai seseorang, dia sahabatku sendiri. Benar kata orang, jika laki-laki dan perempuan bersahabat, maka yakin saja, pasti salah satunya memendam rasa. Itu benar, Dok. Aku sudah lama menyukainya, tapi karena aku tak ingin persahabatan kami hancur yang berujung kehilangannya, maka diam adalah pilihan terbaik.""Lalu?"
"Vio, kamu makan es krim lagi?" sapa seseorang. Keduanya menoleh ke sumber suara."Kamu?" balas Zain saat melihat wanita yang menegur Vio. Wanita yang ada di depan mereka pun ikut terkejut."Loh, kalian sudah kenal?" tanya Vio. Namun, keduanya memilih diam.Vio yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi itu pun tak mau menyerah."Kak Arumi kenal? Om Dokter temannya kakak ya?" tanya Vio lagi."Bukan, tapi–""Bukannya kamu sudah pindah kota ya?" potong Zain."Kak Arumi emang udah pindah, Om Dokter, tapi Vio kangen," balas Vio."Udah ketemu sama Zaira belum?" tanya Zain lagi."Belum. Mbak Zaira ada di sini?" tanya Arumi yang dibalas anggukan oleh Zain.Vio yang merasa diabaikan sejak tadi mulai protes. Dihentakkannya kakinya dengan bibir mengerucut."Kalian jahat, ih! Vio dikacangin!" protesnya seraya melipat kedua tangannya di depan dada.
Mawar tak habis fikir dengannya dokter Zain bersikap biasa. Namun, dengan wanita itu, dokter Zain begitu bahagia hingga tertawa lepas. Siapa sebenarnya dia? Apakah dia wanita yang dimaksud Sinta? Pikirnya.Mawar memilih pergi ketimbang terus berdiri di sana melihat keakraban mereka. Wanita mana yang tidak merasa cemburu melihat orang yang dia kagumi tertawa lepas dengan wanita lain?Langkahnya terhenti tepat di depan toilet khusus staf ruangan. Gegas Mawar memilih masuk untuk menenangkan hatinya yang sedang dibakar api cemburu.Di depan cermin berukuran besar, Mawar menatap pantulan dirinya. Menelisik setiap inci yang ada pada dirinya. Baginya, dia tidak terlalu buruk dibanding wanita tadi. Lalu mengapa seolah-olah dokter Zain tak meliriknya?Mawar kemudian menempelkan tangan di dadanya."Ya, Allah. Apakah hamba akan kembali disakiti lagi? Bisakan hamba berharap ditakdirkan dengannya?" lirihnya.Setelah sekian t