"Aku hamil?" pikir Zaira.
Sebenarnya, Zaira sangat takut kali ini. Pernikahan Arumi terancam batal karena berita kehamillannya. Zaira tidak ingin gegabah.
Diambilnya ponsel lalu mencoba menghubungi suaminya. Namun, tak ada jawaban. Zaira kembali mencoba menghubungi Arumi. Dipanggilan ke tiga baru terjawab.
"Assalamu'aikum, Arumi."
"Wa'alaikumussalam, Mbak."
"Apa Mas Zafran sedang bersamamu?" tanya Zaira hati-hati.
Arumi terisak, air matanya luruh begitu saja.
"Ustaz Zafran ada di sini, Mbak. Bukde Aminah juga."
Mata Zaira membulat sempurna. Zaira sudah tahu apa yang tengah terjadi di sana.
"Arumi–"
"Selamat, ya, Mbak, atas kehamilannya. Aku harap, mbak selalu baik-baik saja, calon bayinya juga. Maaf, Mbak, aku tidak bisa melanjutkan permintaan itu."
"T-tapi, Arumi, mbak ikhlas."
Arumi menggeleng tegas. "Mungkin ini adalah jalannya, Mbak. Aku tidak bisa masuk
Hari berganti minggu dan bulan. Setelah memeriksakan kehamilannya di klinik dokter Namira, hasil USG menunjukkan bahwa saat ini Zaira mengandung sepasan bayi kembar. Untuk jenis kelaminnya, Zaira memohon agar dokter merahasiakannya.Saat ini Zaira sedang berjalan di sekitaran rumah dengan perut buncitnya tentunya dalam pengawasan Mbok Siti. Kehamilannya saat ini sungguh membuatnya merasa bahagia. Di dalam rahimnya terdapat bayi kembar yang tak sabar dinantikan oleh sepasang suami istri ini."Hati-hati, Bu, jalannya." Mbok Siti tak berhenti mengingatkan Zaira untuk tetap hati-hati.Zaira tersenyum tipis. "Nggeh, Mbok."Setelah merasa cukup, Zaira memilih duduk di kursi terasnya sambil memandangi tanaman hias miliknya. Mbok Siti datang menghampiri dengan segelas susu di tangannya."Diminum, Bu, susunya!"Zaira meraih pelan gelas yang berisi susu khusus untuk ibu hamil. Saat ini Zaira lebih memperhatikan kandungannya. Zaira sangat bersyuk
"Alhamdulillah."Kata yang tak pernah lepas dari lisan Zafran dan Zaira. Penantian yang penuh air mata akhirnya terjawab sudah. Dua bayi kembar dengan jenis kelamin berbeda.Bayi yang sudah dibersihkan oleh bidan lalu diadzani oleh Zafran sebagai ayah dari Si bayi.Saat mengumandangkan adzan di telinga buah hatinya, tak berhenti Zafran meneteskan air mata.*Setelah proses pemulihan selama satu jam, Zaira dipindahkan ke ruangan Melati kelas VVIP. Si bayi kembar pun ikut dengan menggunakan box bayi. Keluarga Zaira dan Zafran datang berkunjung."Alhamdulillah, Nak, setelah penantian panjang kalian," ucap Umi Aisyah dengan penuh haru."Iya, Umi, dua sekaligus," jawab Zaira dengan suara melemah."Selamat ya, Nak," ucap Abi Abdullah."Terimakasih, Abi."Bukde Aminah yang baru saja datang tiba-tiba menghambur ke arah mereka."Bayinya mana?" tanya Bukde tanpa menanyaka
Tiga hari telah berlalu, kondisi Zaira pun sudah membaik. Hari ini sesuai anjuran dari dokter, Zaira sudah bisa dipulangkan. Zafran dengan sigap membantu membereskan semua perlengkapan Zaira dan Si bayi kembar. Kedua orang tuanya yang baru saja tiba ikut membantu mereka untuk persiapan pulang. "Nanti Umi dan Umi Aisyah saja ya, Nak, yang gendong bayi kalian?" ucap Umi Fathimah meminta ijin pada kedua anaknya. "Boleh, Umi, Zaira juga masih butuh penyesuaian," jawab Zafran. "Ya sudah, nanti Zaira sama Abi," usul Abi Husein. Tanpa menunggu lama, Abi Abdullah langsung menenteng beberapa perlengkapan mereka. "Abi bagian angkat barang-barang," ucapnya sambil terkekeh. Orang-orang yang ada di dalam ruangan ikut tertawa ringan. Abi Abdullah dan Zain lebih dulu melangkah menuju parkiran di mana mobil terparkir. Umi Aisyah dan Fathimah meraih tubuh mungil Si Kembar lalu menggendongnya kemudian menyusul menuju
"Ternyata ikhlas itu sangat susah ya, Dok?" Zain mengernyitkan keningnya."Melihat orang yang kita cintai telah berbahagia dengan pilihannya. Kita bisa apa saat mereka adalah takdir yang tertulis di lauhul mahfuz?"Zain semakin tak mengerti. Terlebih dia merasa apa yang dikatakan perawat di depannya seolah menyindirnya."Kita sama, Dokter. Sama-sama pernah mencintai dalam diam hingga akhirnya takdir tak berpihak padaku."Zain mengerti apa yang tengah dimaksud Mawar-salah satu perawat di ruang bedah. "Aku belum mengerti," ucap Zain yang masih setia memandang keluar jendela."Dulu aku pernah menyukai seseorang, dia sahabatku sendiri. Benar kata orang, jika laki-laki dan perempuan bersahabat, maka yakin saja, pasti salah satunya memendam rasa. Itu benar, Dok. Aku sudah lama menyukainya, tapi karena aku tak ingin persahabatan kami hancur yang berujung kehilangannya, maka diam adalah pilihan terbaik.""Lalu?"
"Vio, kamu makan es krim lagi?" sapa seseorang. Keduanya menoleh ke sumber suara."Kamu?" balas Zain saat melihat wanita yang menegur Vio. Wanita yang ada di depan mereka pun ikut terkejut."Loh, kalian sudah kenal?" tanya Vio. Namun, keduanya memilih diam.Vio yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi itu pun tak mau menyerah."Kak Arumi kenal? Om Dokter temannya kakak ya?" tanya Vio lagi."Bukan, tapi–""Bukannya kamu sudah pindah kota ya?" potong Zain."Kak Arumi emang udah pindah, Om Dokter, tapi Vio kangen," balas Vio."Udah ketemu sama Zaira belum?" tanya Zain lagi."Belum. Mbak Zaira ada di sini?" tanya Arumi yang dibalas anggukan oleh Zain.Vio yang merasa diabaikan sejak tadi mulai protes. Dihentakkannya kakinya dengan bibir mengerucut."Kalian jahat, ih! Vio dikacangin!" protesnya seraya melipat kedua tangannya di depan dada.
Mawar tak habis fikir dengannya dokter Zain bersikap biasa. Namun, dengan wanita itu, dokter Zain begitu bahagia hingga tertawa lepas. Siapa sebenarnya dia? Apakah dia wanita yang dimaksud Sinta? Pikirnya.Mawar memilih pergi ketimbang terus berdiri di sana melihat keakraban mereka. Wanita mana yang tidak merasa cemburu melihat orang yang dia kagumi tertawa lepas dengan wanita lain?Langkahnya terhenti tepat di depan toilet khusus staf ruangan. Gegas Mawar memilih masuk untuk menenangkan hatinya yang sedang dibakar api cemburu.Di depan cermin berukuran besar, Mawar menatap pantulan dirinya. Menelisik setiap inci yang ada pada dirinya. Baginya, dia tidak terlalu buruk dibanding wanita tadi. Lalu mengapa seolah-olah dokter Zain tak meliriknya?Mawar kemudian menempelkan tangan di dadanya."Ya, Allah. Apakah hamba akan kembali disakiti lagi? Bisakan hamba berharap ditakdirkan dengannya?" lirihnya.Setelah sekian t
"Ingat pesan Om Dokter ya, Vio!" ucap Zain saat Vio sudah berada di dalam mobil."Siap, Om Dokter!" jawab Vio antusias."Apa coba kalau ingat?" tanya Zain memancing.Vio menarik napas lalu mulai menyebutkan pesan dari Zain."Jangan jajan sembarang, jangan makan es krim dulu dan makanan berlemak, tetap jaga kesehatan, jangan bawel. Nah, Vio udah benar kan, Dok?" Zain tersenyum seraya mengangkat kedua jempolnya. Vio bertepuk tangan riang."Dok, terimakasih ya. Suster Mawar, terimakasih sudah merawat Vio, sampaikan pada Dokter Roy dan perawat lainnya.""Iya sama-sama. Jaga Vio ya?" jawab Zain yang dibalas anggukan oleh Arumi."Kami permisi dulu, ya, Dok, Sus," pamit Arumi."Hati-hati," balas Zain.Arumi kemudian masuk dan duduk di samping kemudi. Bibir Arumi tak berhenti menyunggingkan senyum. Zain ikut tersenyum simpul. Mawar yang melihat itu merasa sangat cemburu.Maw
Pov. Zaira.Bibir ini tak berhenti menyunggingkan senyum saat melihat wajah lucu dan menggemaskan si bayi kembar. Impian yang selama ini aku rindukan akhirnya terwujud juga.Rasa haru terus menyeruak di dalam dada kala mengingat bagaimana perjuangan kami berdua. Suka duka kita lewati bersama. Tak terhitung berapa tetes air mata yang mewakili perasaan ini.Kini, mereka hadir membantuku meraih mimpi yang sempat aku kubur dalam-dalam. Mereka hadir membangkitkan diri ini yang sempat jatuh hingga terpuruk lebih dalam."Sayang, fokus banget pandangin si kembar, suami sendiri nggak digubris."Aku terhenyak dari lamunanku, rupanya Mas Zafran sudah duduk di pinggiran ranjang. Sejak kapan dia ada di sini?"Maaf, Mas, adek nggak lihat. Mas sudah lama di sini?" tanyaku sambil berusaha bangun lalu menghambur ke tubuhnya.Mas Zafran memelukku dengan erat. "Sejak tadi, Dek. Mas panggilin malah nggak digubris. Mas cemburu sama
Tiga tahun berlalu, semenjak kepergian Zain suasana rumah Abi Abdullah semakin sepi. Sekali-sekali Zafran datang menjenguk membawa istri dan kedua bayi kembarnya.Zain yang bertugas tak seperti biasanya hanya pulang beberapa kali dalam setahun. Menjelajahi pulau satu ke pulau lainnya yang sulit diakses. Petualangannya bersama Arumi perlahan menumbuhkan rasa yang tak biasanya. Hingga akhirnya hari ini Zain resmi melamar Arumi sebagai pendamping hidupnya.Siapa yang akan menyangka, keduanya sama-sama pernah ditinggalkan oleh orang yang sangat dicintainya. Memiliki kisah cinta yang tak bisa terwujud lalu memilih ikhlas melepaskan meskipun sakit begitu dalam. Akhirnya, mereka dipertemukan.Hari ini secara resmi Zain mempersunting Arumi untuk dijadikan sebagai teman hidup. Perihal rasa yang pernah mengakar, akhirnya bisa juga hilang seiring berjalannya waktu.Arumi tampil begitu anggun dengan balutan kebaya syar'i berwarna peach s
Pov. Zain."Zain terpilih menjadi salah satu dokter yang bertugas di kapal rumah sakit, Abi. Zain pikir, lebih baik Zain terima." Kulihat mulai berembun."Kapan berangkatnya?" tanya Bang Zafran."Besok lusa, Bang," jawabku.Abi mengembuskan napasnya perlahan. Ditatapnya umi yang sudah mulai terisak. Aku mendekat lalu membawa tubuh orang yang telah melahirkanku ke dalam pelukan."Pasti lama. Kamu tega ya ninggalin, Umi?" Aku tersenyum."Ini bentuk pengabdian, Umi. Insya Allah, nanti Zain akan sekali-sekali pulang kok," bujukku berusaha menenangkan umi.Aku tahu perasaan umi saat ini. Umi pasti tak ingin melepaskanku. Tapi sumpah yang sudah terlanjur terucap untuk mengabdikan diri ini pada bangsa dan negara. Mataku tak sengaja mengarah pada sosok wanita yang kucintai. Segera kualihkan pandangan saat mata kami bertemu.'Maafkan Zain, Umi. Semua ini Zain lakukan demi abang. Rasa cinta ini b
Tepat empat puluh lima hari berlalu. Keluarga besar Zaira dan Zafran hari ini mengadakan tasyakuran aqiqah untuk kelahiran bayi kembar mereka. Segala persiapan telah dilaksanakan. Nuansa hijau dan putih menghiasi ruangan sesuai dengan permintaan Zaira.Banyak keluarga, sahabat, dan tetangga yang hadir di acara tersebut, tak terkecuali rekan bisnis serta para jama'ah tempat Zafran mengajarkan ilmu agama.Pemandu acara mulai membuka acara syukuran aqiqah."Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh bapak, ibu dan para tamu undangan yang kami hormati.Pertama – tama mari kita sampaikan puja dan puji syukur kehadirat Allah Subhanah Wa Ta'ala, atas rahmat dan hidayat yang dilimpahkan kepada kita semua, sehingga pada siang yang penuh dengan kebahagiaan ini kita bisa hadir memenuhi undangan dari Ustadz Zafran Abdullah sekeluarga dalam rangka syukuran akan lahirnya putra dan putri, buah hati dari pasangan Ustaz Zafran Abdullah dan ibu Zai
"Mas tolong!" pekik Zaira.Selepas isya suasana rumah menjadi ramai. Zaira tak berhenti menangis kala suhu tubuh kedua bayi kembarnya panas. Rasa panik menghampiri.Zafran yang tengah mengerjakan urusan kantor gegas menuju kamar. Dilihatnya Zaira duduk dengan ekspresi kebingungan di dekat bayi mereka.Zafran mendekat ke istrinya yang masih menangis sesegukan. "Ada apa, Sayang?""Ba-bayi kita, Mas.""Iya, mereka kenapa?" tanya Zafran."Bayi kita demam."Zafran mengecek keduanya. Ternyata benar, suhu badannya tinggi."Sebentar, Sayang, mas hubungi Zain dulu."Sementara Zafran menghubungi Zain, Mbok Siti datang terpongoh-pongoh di dekat Zaira."Ada apa, Bu?" tanyanya khawatir."Bayiku demam tinggi, Mbok," jawab Zaira dengan terisak.Diperiksanya kening bayi itu secara bergantian lalu Mbok Siti bergegas menuju dapur untuk mengambil air lalu tangannya meraih handuk
Hari minggu bahkan tak terasa satu bulan pun berlalu. Kehidupan Zaira dan Zafran terasa begitu indah dengan hadirnya bayi kembar mereka. Rasa lelah tak terasa bagi mereka. Justru mengurus kedua anaknya merupakan hal terindah yang belum pernah mereka rasakan.Bangun di tengah malam saat orang lain tengah menikmati istirahat, justru tidak bagi mereka. Mengganti popok, bangun menyusui atau bahkan melantunkan shalawat untuk si kembar. Hal yang sudah lumrah dirasakan oleh kebanyakan orang tua di luaran sana.Bagi Zafran berangkat ke kantor sudah terasa berbeda. Melihat kelucuan si kembar menjadi penyemangatnya. Begitpun saat pulang bekerja, Zafran akan disambut dengan suara dan harumnya bau tubuh si kembar."Anak ayah harum banget sih, bikin betah aja," ucap Zafran gemas."Ayahnya malah belum mandi, bau acem!" goda Zaira. Zafran tak menggubris godaan istrinya malah memeluk erat Zaira."Apaan sih, Mas," bisik Zaira lalu meli
Pov. ZafranBibirnya tak berhenti mengulas senyum kala istriku terus memandangi wajah kedua anak kami. Aku tahu, Zaira sangat bahagia saat ini. Begitu pun dengan aku.Kehadiran si bayi kembar mewarnai hidup kami. Hadirnya bagaikan oase di tengah padang pasir. Bagaimana tidak, mereka hadir di saat orang tuanya sudah pasrah akan takdir yang terus berjalan.Aku memandangi ketiganya dari balik pintu. Rasanya seperti mimpi melihat apa yang ada di depan mata saat ini. Keadaan yang begitu sangat kami rindukan, terlebih istriku."Sayang, belum tidur?" tanyaku sambil menuju lemari mengganti pakaian."Sayang, baju kaos biru navi mas di mana ya? Mas mau pakai itu, Dek."Lagi dan lagi tak ada jawaban. Pandanganku beralih padanya. Rupanya istriku tengah serius memandangi ajah mungil anak kami."Sayang, fokus banget pandangin si kembar, suami sendiri nggak digubris," protesku kala sudah duduk di pinggiran ranjang. 
Pov. Zaira.Bibir ini tak berhenti menyunggingkan senyum saat melihat wajah lucu dan menggemaskan si bayi kembar. Impian yang selama ini aku rindukan akhirnya terwujud juga.Rasa haru terus menyeruak di dalam dada kala mengingat bagaimana perjuangan kami berdua. Suka duka kita lewati bersama. Tak terhitung berapa tetes air mata yang mewakili perasaan ini.Kini, mereka hadir membantuku meraih mimpi yang sempat aku kubur dalam-dalam. Mereka hadir membangkitkan diri ini yang sempat jatuh hingga terpuruk lebih dalam."Sayang, fokus banget pandangin si kembar, suami sendiri nggak digubris."Aku terhenyak dari lamunanku, rupanya Mas Zafran sudah duduk di pinggiran ranjang. Sejak kapan dia ada di sini?"Maaf, Mas, adek nggak lihat. Mas sudah lama di sini?" tanyaku sambil berusaha bangun lalu menghambur ke tubuhnya.Mas Zafran memelukku dengan erat. "Sejak tadi, Dek. Mas panggilin malah nggak digubris. Mas cemburu sama
"Ingat pesan Om Dokter ya, Vio!" ucap Zain saat Vio sudah berada di dalam mobil."Siap, Om Dokter!" jawab Vio antusias."Apa coba kalau ingat?" tanya Zain memancing.Vio menarik napas lalu mulai menyebutkan pesan dari Zain."Jangan jajan sembarang, jangan makan es krim dulu dan makanan berlemak, tetap jaga kesehatan, jangan bawel. Nah, Vio udah benar kan, Dok?" Zain tersenyum seraya mengangkat kedua jempolnya. Vio bertepuk tangan riang."Dok, terimakasih ya. Suster Mawar, terimakasih sudah merawat Vio, sampaikan pada Dokter Roy dan perawat lainnya.""Iya sama-sama. Jaga Vio ya?" jawab Zain yang dibalas anggukan oleh Arumi."Kami permisi dulu, ya, Dok, Sus," pamit Arumi."Hati-hati," balas Zain.Arumi kemudian masuk dan duduk di samping kemudi. Bibir Arumi tak berhenti menyunggingkan senyum. Zain ikut tersenyum simpul. Mawar yang melihat itu merasa sangat cemburu.Maw
Mawar tak habis fikir dengannya dokter Zain bersikap biasa. Namun, dengan wanita itu, dokter Zain begitu bahagia hingga tertawa lepas. Siapa sebenarnya dia? Apakah dia wanita yang dimaksud Sinta? Pikirnya.Mawar memilih pergi ketimbang terus berdiri di sana melihat keakraban mereka. Wanita mana yang tidak merasa cemburu melihat orang yang dia kagumi tertawa lepas dengan wanita lain?Langkahnya terhenti tepat di depan toilet khusus staf ruangan. Gegas Mawar memilih masuk untuk menenangkan hatinya yang sedang dibakar api cemburu.Di depan cermin berukuran besar, Mawar menatap pantulan dirinya. Menelisik setiap inci yang ada pada dirinya. Baginya, dia tidak terlalu buruk dibanding wanita tadi. Lalu mengapa seolah-olah dokter Zain tak meliriknya?Mawar kemudian menempelkan tangan di dadanya."Ya, Allah. Apakah hamba akan kembali disakiti lagi? Bisakan hamba berharap ditakdirkan dengannya?" lirihnya.Setelah sekian t